SMA Tarung Semesta:Volume01 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 2

Irrelevan.

Mana ada undangan masuk sekolah yang ditempel di depan pintu. Aku curiga ini ulah 3nd, adikku atau sepupuku, M1lia. Mereka senang mengerjaiku.

LEDAKAN!

Surat meledak. Rupanya ini kreasi terbaru mereka. Manis. Sampai kutahu bahwa surat itu bukan dari mereka.

Sekolah Tarung Antar Semesta. Nama yang aneh dan anarkis. Aku yakin tidak akan menerima undangan sekolah aneh ini. Tidak akan.


"***"


Irrelevan! Lagi!

Mereka sudah benar menyantumkan namaku di surat: F4rend K0sm0s tapi sekarang justru papan sekolah mengabaikan nama itu. Nama Farend Kosmos justru tertera jelas menggantikan namaku.

Apa sih sekolah ini? Namanya saja sudah absurd. Sekolah Tarung Antar Semesta. Nama alay yang seharusnya sudah masuk perkamen kuno. Ini lagi...

"Apa-apaan ini? Mereka salah mengeja namaku! Harusnya angka 4, bukan A! Dan yang ini juga! Harusnya angka 0! Sialan!" Aku memaki. Aku punya hak. Bercanda ada batasnya. Selama sebulan aku sampai dibuat stress mencari eksistensi sekolah ini. Dan sekarang mereka salah menyebut namaku? Sungguh irrelevan. Nama itu penting! Bisa saja seharusnya bukan aku yang di sini.

Tunggu.

Bisa jadi pula bukan aku yang seharusnya tertipu. Siapa tahu si Farend Kosmos juga sebenarnya menunggu surat itu. Bisa jadi pula aku mengambil kesempatannya. Ah, kepala sekolah di sini harus kuinterogasi. Semua harus jelas di sini. Hitam di atas putih. Sama seperti motif catur di ikat kepalaku ini.

Keributan apa itu?

Ada yang pingsan? Mungkin ia juga berpikir sama sepertiku. Sekolah ini hanya candaan april mop. Tapi seharusnya yang pingsan tadi bisa berpikir dengan kepala dingin. Setidaknya orientasi siswa sekolah ini seminggu lebih cepat dari sekolah lain. Andai ngaco pun, opsi transfer masih tersedia. Semua bisa dipikirkan dengan kepala dingin. Jadi tidak ada alasan untuk kecewa. Apalagi semua gratis.

Ah, kata itulah yang menenggelamkan 3nd dan M1lia. Mereka merengek juga ingin masuk ke sekolah yang sama denganku. Mereka berdua sukses membuat bunda dan bapak untuk menjerumuskanku ke sekolah ini. Andai bisa bertukar posisi, aku akan memberikannya. Aku lebih menyukai sekolah normal. Ya, bagiku sekolah ini dipenuhi aroma tidak normal... dan bahaya.


"***"


Tidak ada yang aneh selama orientasi awal. Kecuali yang pingsan tadi. Aku sempat melihat rok. Berarti yang pingsan perempuan. Mudah-mudahan saja dia tidak kena masalah. Maksudku, saat ini orientasi sudah mulai masuk ke fase: marah-marah para senior. Entah yang sakit akan diapakan oleh mereka. Oleh sekolah (mungkin) gadungan ini.

Oh, mereka mulai dengan ragam perintah. Sekarang semua anak baru dikumpulkan di kelas. Diceramahi sebentar lalu disuruh menunduk dan menutup mata.

Ah, suara apa itu? Ada yang pingsan lagi?

Lalu bahuku ditepuk. Tanpa menoleh, mengangkat muka dan membuka mata, aku menjawab,

"Ada apa?"

"Lu ikut keluar sama gue."

Oh. Standar orientasi lagi. Beberapa anak baru dibawa keluar, dimarahi sebentar lalu diajari beberapa lagu atau entahlah apapun tarian kreatif lain yang nanti harus ditularkan pada anak baru lain.

...Ternyata hanya aku sendiri.

Saat ini aku berhadapan dengan murid botak yang memakai selendang putih atau kain atau apapun itu yang membentuk sebuah mangkuk di punggungnya.

"Lu sapa sih?"

"Apa maksud—“

"Tu anak cewe bisa ampe pingsan lagi pas liat lu, pake ajian apa lu?"

Aku hanya diam dan mengamatinya mengambil sumpit panjang. Sumpit itu diputar di jemarinya.

"Pasti tampang lu," dan sekarang ia menuduhku sembari menekan keningku dengan sumpitnya. Belum ada bukti sudah menuduh. Dan tampangnya sangat relevan untuk disebut menyebalkan.

"Canggih ya. Tampang aja bisa bikin pingsan."

Aku menggeram kesal mendengarnya. Tuduhannya irrelevan dengan kasus ini. Yang pingsan bisa jadi karena anemia, kelelahan atau punya kompleksitas.

"Minggir minggir!"

Dan kulihat para senior membawa keluar yang pingsan. Rok. Perempuan lagi rupanya.

"Tuan ksatria..."

Dia mengerang. Tuan ksatria?

...

"Hey, jangan bengong gitu abis liat sempak cewe."

"Hah?"

Senior botak itu kembali menusuk dadaku dengan sumpitnya. Aku menangkap sumpit itu dan menatapnya.

"Hooo... mata yang bagus. Tajam, menusuk dan sexy. Lu punya nyali buat mandang senior kek gitu," senior satu ini justru malah menaikkan dagunya. Andai M1lia dibegitukan, tidak ada sedetik pasti dagunya remuk ditendang.

"AUGHJCKS!!"

Astaga!

Aku terpana. Senior itu jatuh bersujud di tanah. Tangannya memegang lokasi rawan pria. Pasti sakitnya minta ampun. Matanya saja sampai memutih dan bibirnya berbusa begitu. Pelakunya adalah seorang murid - perempuan. Dia memakai anting panjang sedada. Kalau diperhatikan, bentuknya mirip pentul korek. Ah... dia menatapku. Tajam. Aku serasa berada di kandang macan. Tatapannya sama seperti M1lia saat marah... tapi murid di depanku ini tidak marah.

"Abaikan saja kupret gundul satu ini."

Aku terdiam.

Dan masih terdiam saat murid perempuan itu menyeret senior botak tanpa tedeng aling.

Sekolah ini jelas membawa aura tak normal...


"***"


Tak normal.

Sudah seminggu lebih aku merasakan itu.

1. Aku selalu merasa diperhatikan. Dan aku yakin bukan berasal dari senior botak.

2. Saat kehilangan barang, selalu ada yang menggantikan. Tepat di mejaku setelah aku meleng. Ini hanya terjadi padaku. Mengganggu? Mungkin... karena yang lain tidak sepertiku.

3. Seminggu ini selalu ada teh botol gratis untukku. Katanya sudah dipesan sebulan penuh. Penasaran dan senang bercampur aduk karenanya.

4. Ini yang menggangguku... nama "Tuan Ksatria"... begitu mendengar sesuatu terkait hal itu... kepalaku langsung pusing. M1lia berkali-kali meledekku dengan mengucapkan kata itu berkali di dekat telingaku. Hasilnya aku sempat demam.

5. Saat demam itu aku bermimpi melihat peri. Wujudnya mungil memiliki sepasang antena dan sayap. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Seolah sinar matahari selalu menutup wajahnya, kecuali senyum lebarnya yang membuatku terbuai.

Apapun mungkin dalam mimpi bukan? Dan... yah... aku terbangun dengan celana basah... dan bukan karena keringat. Beruntung M1lia tidak melihatnya. Entah apa kata makhluk kontet itu kalau mendapati situasi basah itu.


"***"


Peri.

Peri.

Peri.

Entah berapa kali aku menghela napas karenanya. Setiap kali mengingatnya wajahku memanas secara otomatis. Dadaku seperti dicengkram keras dan jantungku dipaksa berdebar keras. Simptom ini hanya terjadi saat olahraga Yang benar saja, memikirkan peri saja bisa membuat tubuhku berolahraga. Irrelevan.

"Dee, ayo ke kantin!"

Dee?

Nama itu terdengar familiar.

Aku menengok. Tapi tak ada siapapun di sana. Hmmph, sepertinya aku mengigau siang hari. Tapi sebuah senyum tipis meliuk. Entah mengapa mendengarnya membuatku sedikit lega.

Ada apa dengan nama itu?

...ah sudahlah...

Apa yang terjadi di dunia mimpi tidak relevan di dunia nyata.

Mungkin.


"***"


Dua minggu di sekolah ini membuatku sadar (dan menerima) bahwa ketidaknormalan dapat membuatmu normal.

Yah, kuakui aku mulai menerimanya karena sudah nyemplung di kubangan. Opsi transfer terpaksa kubuang karena 3nd masuk sekolah swasta yang mahal.

Selayaknya anak sekolah pada umumnya, aku pun mengidamkan beberapa hal, sebut saja romansa cinta.

Tahu apa yang menarik lagi dari sekolah ini? Mereka tidak melarang pacaran. Terdengar gila memang, tapi mereka mengatakan nikmati masa muda dan tetap bertanggungjawab. Yah, andai mereka bisa mengerem nafsu daerah bawah...

Peraturan itu ditaati dengan cepat. Senior sudah memburu gadis idaman mereka semenjak ospek. Beberapa nama yang kudengar populer antara lain Fiani dan Fivi. Aku baru sadar mereka teman sekelasku setelah senior bergantian memanggil mereka.

Seperti yang kubilang, aku juga termasuk yang menginginkannya. Romansa maksudku. Tapi ada beberapa hal yang membuatku harus menyiapkan diri lebih baik.

Pertama, Julukan Si Wajah Tua alias Mutu alias Om-om sudah akrab di telingaku. Amat sangat wajar mengingat jenggot dan kumisku tumbuh lebat nyaris tak terurus. Ditambah tinggi yang mencapai 190 meter membuatku lebih terlihat jelas dibanding anak lain. Beberapa anak bahkan merasa terancam dengan kehadiranku. Tampang tua-ku ini membuatku cukup relevan untuk:

1. dianggap sudah berpengalaman (seenaknya saja) dan akibatnya sering ditanya soal pengalaman cinta. (heh?!)

2. Dijauhi karena dianggap sudah tua. (ini menyebalkan). Katanya ada gap generasi.

Makanya dosa apa sih orang yang punya tampang seperti ini? Kalau seandainya boleh memilih, mungkin aku lebih senang seperti Zein. Tunggu itu salah,dia tidak bermasalah dengan tampang. Buktinya Fivi tertarik dengannya. Hmmm... aku juga ogah kalau dikatai Gorila seperti si Altem. Jadi, mengapa semua ini relevan?

Aku suka seseorang?

Salah? Tentu tidak. Tapi ya seperti yang kubilang tadi. Dua faktor di atas membuatku enggan untuk memulai pembicaraan dengan gebetan. Terakhir yang terjadi adalah aku dianggap seperti kakak. KAKAK. Lagi-lagi karena tampangku dianggap seperti kakak yang melindungi (atau bisa saja itu mulut manis mereka).

Dua gebetan sebelumnya menyebutku om. AGH!! Bahkan gebetan sebelumnya lagi menolak bertemu karena melihat wajah tuaku. Karena itulah sekarang ini aku belum menyatakan cinta. Seharusnya aku mencoba mengabaikan perasaan ini tapi yang namanya cinta memang susah datang atau diusir. Setiap malam aku selalu teringat wajahnya. Aku hampir disebut gila oleh 3nd dan bunda (untung sekarang mereka sudah terbiasa). Mereka terganggu dengan kekehanku dan suara terhantamnya dinding kamar yang tak sengaja kutonjok untuk mengukir nama gebetan. Dan kali ini aku mengukir namanya: Dee.

Namanya manis bukan?

Akui saja tiga huruf tadi sangat menggoda walau padahal nama panjangnya terkesan sedikit aneh di telinga. Diddordeb. Itulah nama panjangnya. Tanpa marga tanpa embel-embel lagi.

AH... pertemuan pertamaku dengannya sangat... unik.

Seperti biasa saat istirahat aku pergi ke kantin, memesan soto ayam (plus teh botol gratis) dan duduk di pojokan. Tidak ada yang mengajakku bicara dan tidak ada yang menegur. jadi bisa kukatakan, hari itu damai.

Seharusnya. Sampai tiba-tiba sudut mataku menangkap sebuah benda yang berada di atas atap. Seorang gadis mungil sedang memanjat atap lantai tiga. Ia memanggul sebuah tali tambang besar yang diikatkan ke pinggangnya. Saat itu aku bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya? bungee jumping? atau mungkin rope climbing? Tunggu, bagian pentingnya bukan ada di sana. Dan herannya mengapa tidak ada yang melihat kelakuannya selain diriku?

Selagi berpikir seperti itu, ternyata gadis mungil itu memutar-mutar tambang di tangannya. Dari arah wajah dan tindak tanduknya, aku tahu ia sedang mengincar dahan pohon besar di hadapannya. Aku berfirasat buruk saat itu dan hanya termanggu menunggu apa yang akan ia lakukan (tentu saja berharap gadis itu tidak berniat melakukan tindakan sembrono).

Tali tambang gadis itu dilempar dan melilit di pohon. Sampai sini rasanya tidak masalah. Tapi firasat burukku masih melilit. Aku makin berdebar saat tahu ia mengambil ancang-ancang melompat.

Dan serius firasatku jadi kenyataan. Tali tambang gadis itu putus saat ia berayun di udara. Tubuhku bergerak lebih cepat daripada otak merespon peristiwa jatuhnya gadis tersebut. Mangkuk soto ayam refleks kulempar. segenap daya konsentrasi kugunakan untuk meLEDAKkan daya di otot kakiku. Momen singkat itu membuatku merasakan menjadi aktor film laga. dan aku sukses menjalankan Stunt pertamaku. Gadis itu, yang tak lain adalah Dee, berhasil kutangkap dengan kedua tangan. Hukum Fisika benar-benar kurasakan saat itu. Aku mendengar suara KRAK dari tanganku. Aku berpikir bahwa suara tersebut berasal dari dahan sampai ngilu ikut hadir dua detik setelahnya.

“Anda tidak apa-apa?” tanyaku pertama kali, mencoba mengabaikan rasa sakit.

Dee hanya menatapku dengan mata polosnya. Dapat kurasakan getaran di tanganku. Entah karena ia takut atau karena tanganku yang patah. Sungguh sakitnya mulai terasa. Dan tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku meringis, menahan tangis akibat sakit tiada tara tersebut.

“Tuan ksatria, kenapa nangis?” adalah ucapan Dee padaku. Iapun mengusap usap kepalaku “Fuh, sakit jahat pergi dari mata,” tambahnya sembari meniup mataku. Tindakan aneh tapi jutsru sangat berkesan padaku. Gadis inilah yang pertama kali tidak mengataiku tua atau apapun saat pertama kali bertemu. Ia justru... bagaimana ya... memperlakukanku setara? Ah tidak, bukan itu. Ia menganggapku Ksatria, Ksatria. Seumur-umur aku belum pernah mendapat julukan itu. Dan Ksatria itu adalah sesuatu yang mulia. Dadaku dibuat berdebar hanya dengan ucapan seperti itu. Rasanya seperti ada angin hangat yang menembus dada. Aku merasa bahkan bisa mendengar suara alam. Ingatanku kembali pada peri misterius.

Ini lebay? Bukankah postulat orang yang jatuh cinta adalah selalu menjadi idiot?

Aku tak dapat melepas pandangan darinya saat itu. Boleh dikata aku mematung beku (tapi suara hatiku ramai dan bergemuruh). Riuh heboh kantin bahkan tidak membuatku menengok. Padahal di kantin juga terjadi peristiwa menghebohkan.

Konon katanya kuah soto ayam yang kulempar mengguyur Lena Chronos. Salah satu gadis populer sekolah itu dengan antengnya membuka seragam sekolah di depan umum, memperlihatkan body yang (katanya) aduhai dan bohai. Banyak yang meledekku karena kehilangan jajanan mata yang tidak akan muncul selama seabad lamanya. Tapi andai mereka tahu bahwa mataku sudah beralih dunia maka Trio Chronoss yang populer tidak lagi masuk dalam radarku (dalam ribuan tahun lamanya).

Dan peristiwa tersebut ternyata memang membuat tanganku patah. Butuh sebulan agar retak tulangku sembuh. Seharusnya dua sampai tiga bulan sih. Tapi ramuan aneh dari Dee membuatnya menjadi lebih cepat (ya, pada awalnya aku ogah percaya pada fakta ini).

Aku merasa bahwa event satu ini adalah takdir untukku. Ya, aku memang tidak melihat kejadian seru tapi aku mendapat momen mendapatkan calon takdirku.

Tapi selanjutnya... yang kubutuhkan adalah keberanian untuk melangkah dan menantang... wajahku ini.

P.S: aku baru menyadari kalau kami sekelas. Jadi... sepertinya percuma menantang wajah sendiri...