Remount Earth:Volume00 Chap.03

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

3rd Tale : Even Sky Could Cry

Kalau sudah membahas darat dan laut, ada satu lagi bagian dari diriku yang pasti terkait dengan keduanya : langit. Berbeda dengan cerita mengenai lautan dan daratan, cerita tentang langit ini mungkin lebih berpengaruh bagi mereka yang hidup di bawahnya, bukan yang hidup di atas atau di dalamnya (karena tidak ada yang hidup di langit).

Tapi justru di sini lucunya. Bagi manusia di zaman dahulu kala, yang tidak tahu ada apa di balik langit, langit menjadi sesuatu yang begitu sakral. Mereka menganggap adanya ‘dewa’ – suatu entitas dengan kekuasaan tinggi – yang tinggal di langit dan mengatur kehidupan mereka. Kepercayaan itu terus berkembang hingga muncullah apa yang disebut sebagai agama dengan berbagai macam kepercayaan mereka.

Oh, sebelum aku memasuki cerita tentang manusia dan kepercayaan mereka, mungkin sebaiknya aku bercerita tentang langit itu sendiri terlebih dahulu.

Dahulu kala, ketika aku masih baru pertama kali terbentuk di suatu tempat antah berantah di ruang angkasa, aku belum memiliki apa yang sekarang disebut sebagai ‘langit’. Bisa kau bayangkan sebuah planet polos tanpa atmosfer? Ya, kurang lebih seperti itu. Langit belum terbentuk saat aku pertama kali ada, dan baru setelah gas-gas dari ruang angkasa terperangkap di dalam dirikulah langit awal terbentuk.

Sejak langit awal terbentuk, energi panas juga jadi terperangkap di dalam permukaan diriku dan tidak bisa keluar ke ruang angkasa. Setelah benda-benda asing berhenti menyerangku (lebih tepatnya, menabrakku), permukaan diriku mulai mendingin, dan langit awal yang sudah sangat menebal akhirnya tumpah menjadi hujan yang sangat lama hingga samudera di dunia terbentuk.

Jadi hitungannya, sebenarnya lautan adalah yang paling muda bila dibandingkan daratan dan langit.

Cerita langit belum berhenti di situ. Setelah lautan terbentuk dan hujan berhenti, langit kini malah menjadi begitu kosong sehingga radiasi cahaya Matahari (yang dikenal manusia dengan nama ultraviolet... kudengar ini bersifat merusak bagi mereka) masuk tanpa penghalang sama sekali. Nah, baru setelah ada kehidupan di laut, atmosfer terbentuk dari udara yang mahluk hidup pertama di laut keluarkan (oksigen?) selama berjuta-juta tahun, dan akhirnya langit bisa melindungi mereka yang hidup di bawahnya dari paparan ultraviolet berlebih. Inilah yang kemudian membuat kehidupan di darat mulai bermunculan.

Singkat kata, peran langit begitu besar hingga tanpa adanya langit, sebagian besar kehidupan di atas diriku tidak mungkin terjadi.

Ada banyak sekali hal menarik yang bisa kita bicarakan tentang langit, seperti awan, pelangi, hujan, salju, petir, badai, angin, dan lain-lainnya. Aku tidak mungkin menjelaskan semuanya, tapi ada beberapa dari mereka yang menarik untuk dibahas.

Dengan wujudku yang sekarang, rasanya aku jadi mengerti kenapa manusia melihat langit sebagai sesuatu yang ‘tinggi’. Sebagai mahluk yang ditakdirkan hidup dengan memijak tanah, mungkin mereka menyimpan hasrat untuk tahu bagaimana rasanya bila dapat mengarungi langit dengan bebas.

Aku tidak tahu kenapa, tapi langit lebih berasosiasi dengan ‘kebebasan’. Mungkin karena manusia iri dengan burung?

Atau mungkin...karena manusia tidak pernah suka berdiri di atasku?

Haha, tidak mungkin, ya. Sekalipun mereka hidup di langit, tetap saja itu artinya mereka hidup di atasku. Dan lagi, di langit tidak ada apa-apa untuk keberlangsungan hidup mereka, tidak seperti tanah di daratan dan air di lautan.


Awan

Kalau kita membicarakan langit, yang paling mudah ditemukan di langit selain warna polos biru (atau putih, merah, hitam, tergantung waktu) yang membentang luas pastilah awan.

Sekalipun terlihat empuk dan menyenangkan bila kita bisa duduk di atasnya, awan tidak padat, jadi tidak bisa dinaiki. Nah, mungkin manusia tidak bisa, tapi manusia dahulu kala menganggap dewa tinggal di balik awan.

Jadi bisa dikatakan, sosok dewa adalah sosok yang bisa melakukan apa yang manusia kira tidak akan bisa dilakukan. Kalau kau melempar seseorang dengan teknologi masa depan ke masa lalu, mungkin dia juga akan dianggap dewa oleh orang-orang di masa tersebut.

Sebagai planet yang ditinggali oleh orang-orang yang memegang kepercayaan itu, aku bisa bilang kalau aku sendiri tidak pernah mengenal sosok ‘dewa’ ini. Apa mungkin mereka sebenarnya ada, tapi berbeda dimensi?

Yang jelas, tidak ada yang hidup di balik awan, tapi awan sendiri memang bisa menjadi sumber kehidupan.

Kenapa? Karena awan mengandung air. Mahluk hidup mana yang tidak perlu air? Kecuali mereka hidup di laut yang airnya adalah tempat tinggal mereka sendiri.

Aah, tapi aku sudah panjang lebar menyebut ‘lautan = sumber kehidupan’ sebelumnya, jadi mungkin cerita tentang awan ini tidak akan mengulang hal itu. Justru, mungkin lebih menarik kalau kita mengupas apa-apa saja yang terjadi di balik awan itu sendiri.

Contohnya adalah awan dan salju.

Ada yang bilang, saat hujan turun adalah saat dewa di langit sedang menangis. Aku tidak tahu apakah salju juga dikatakan sebagai tangisan dewa atau tidak, tapi pada kenyataannya, hujan dan salju itu sama-sama berasal dari awan.

Di dalam awan yang kelihatannya hanya gumpalan gas, sebenarnya terdapat banyak partikel es yang kalau sudah kepenuhan akan bocor ke bawah (penggambaran ini kurang tepat, tapi kira-kira begitulah adanya). Kalau tanah di bawahnya dingin, es ini menjadi gumpalan kristal yang manusia lihat sebagai salju di musim dingin. Sementara kalau tanah di bawah panas, esnya mencair bahkan saat masih di udara, sehingga yang turun air berupa hujan (terutama banyak di musim panas).

Karena sudah merasakan musim panas dan musim dingin sebelumnya, aku jadi menyadari hal-hal kecil seperti ini. Ternyata apa yang terjadi dengan langit juga tergantung pada musimnya, ya.

Ngomong-ngomong, awan itu bisa lahir karena berbagai hal, tapi intinya adalah antara udara panas yang naik ke langit atau berkumpulnya arus udara. Kenapa aku membahasnya? Karena setelah manusia mengetahui hal ini, barulah mereka mengerti kalau awan bukanlah singgasana dewa mereka (toh terbentuknya juga dari atas bumi, bukan sekonyong-konyong selalu ada di langit).

Dengan demikian, semakin terbukti kalau ‘dewa itu tidak ada’ hanya dengan membahas soal awan.

Eh...tapi kalau kuingat lagi, ada banyak versi tentang dewa, dan ada juga dewa yang tidak hidup di langit. Kelihatannya aku perlu memperhatikan hal-hal lain lagi untuk membuktikan keberadaan (atau ketiadaan) dewa ini.

Oh ya, sebelum aku lupa, ada lagi satu hal yang terjadinya karena awan : petir.

Kalau hujan digambarkan sebagai tangisan dewa, maka petir digambarkan sebagai kemurkaan dewa. Lagi-lagi ini hal yang cukup lucu, mengingat petir biasanya ada saat hujan turun. Jadi dewa marah sambil menangis? Memangnya dewa-dewa itu perempuan yang cintanya baru saja ditolak?

Eh...kenapa aku jadi membicarakan soal itu...

Kalau secara ilimiah (aneh juga menjelaskan tentang diriku sendiri seperti ini), petir itu terjadi karena muatan listrik di awan tumpah ke bawah. Pada keadaan biasa, muatan listrik ini tertahan oleh awan dan atmosfir. Tapi kalau sudah sampai tingkatan tertentu, maka mereka akan lepas dan jatuh ke bawah, dan DUAR! Jadilah petir yang menakutkan bagi manusia awam.

Kalau hujan atau salju itu es yang turun, maka pada petir yang lepas ke bawah adalah listrik. Sederhananya sih begitu.

Lalu ada lagi yang terakhir setelah hujan turun, yaitu pelangi.

Yah, orang yang sudah tahu soal cahaya pasti tahu kalau pelangi itu adanya karena pantulan cahaya matahari pada butiran hujan setelah awan hujan menghilang. Tapi bagaimana dengan kepercayaan mengenai dewa?

Seingatku, mereka mengatakan kalau saat pelangi tercipta, itu artinya ada dewa yang turun ke bumi. Tapi ada juga yang mengatakan kalau pelangi itu menandakan dewa sedang berbahagia, makanya pelangi berwarna-warni dan seperti sebentuk senyum (terbalik).

Yah...artinya ini masih terkait dengan hujan dan petir barusan sebagai satu rangkaian, kan?

Hmm..jadi kalau kita simpulkan alurnya...

Ada dewa yang bertengkar dan mengamuk dengan penuh air mata, dan di akhir salah satu pihak dari dewa-dewa yang bertengkar itu kabur atau malah dihukum dengan turun ke bumi, dan dia bahagia di akhir?

...logika yang aneh.


Iklim dan Cuaca

Selain awan, ada lagi yang menjadi kekhususan dari langit hingga mempengaruhi mereka yang ada di bawahnya.

Aku sebelumnya sudah menjelaskan tentang musim, tapi bagaimana dengan iklim dan cuaca? Nah, di sini ternyata langit juga memiliki peran.

Peran langit di sini adalah menjadi tempat bagi udara untuk berhembus dari tengah diriku ke ujung-ujung kutub diriku.

Jadi begini, siapapun yang belajar soal energi pasti tahu kalau energi yang paling banyak dihasilkan itu panas. Sama seperti manusia yang mengeluarkan panas setelah beraktivitas, aku juga mengeluarkan panas terus-menerus karena berbagai peristiwa yang terjadi di atas diriku. Kalau tidak ada langit yang menjadi saran menyalurkan panas ini ke tempat lain, maka semua mahluk hidup bisa kepanasan setiap saat.

Kalau manusia mendinginkan diri dengan berkeringat, maka aku mendinginkan bagian dari diriku yang panas dengan bantuan angin dan kutub. Udara panas naik ke atas, kemudian karena aku berputar, maka angin-angin pembawa udara panas itu menyebar ke tempat yang lebih dingin.

Tentu saja, tempat paling dingin di atasku adalah kutub utara dan selatan.

Kedua kutub itu ada untuk mendinginkan lagi bagian diriku yang panas. Setelah udara sampai di sana, angin akan berbalik lagi ke daerah sebelumnya, kini dengan membawa udara dingin. Dengan demikian, aku bisa dibilang ‘stabil’ setiap saat, bahkan di musim dingin, karena tidak ada bagian dari diriku yang benar-benar meleleh atau beku (kecuali beberapa tempat yang memang sudah demikian adanya...tapi toh itu bukan tempat di mana manusia hidup).

Ah...seandainya manusia tahu kalau aku punya kesadaran dan hidup, apa mungkin mereka akan mengurangi aktivitas yang membuat aku semakin panas?

Yah, seharusnya mereka tahu kalau cuaca dan iklim itu berubah sebagian besar karena ulah mereka sendiri, di samping mekanisme diriku untuk hal-hal yang memang secara alami selalu terjadi.

Mereka sering mengatakan kalau bumi menjadi lebih panas, atau hujan asam melukai hutan, atau lapisan ozon yang melindungi mereka dari radiasi kini berlubang...semuanya tak lain karena mereka sendiri yang mencemari langit.

Seolah tidak cukup dengn kerusakan di daratan dan lautan, langit yang mereka kira tidak memberi apa-apa justru secara keseluruhan adalah yang dampaknya bila berubah akan lebih berasa bagi mereka.

Sejak mereka hilang dari permukaan diriku, aku –yang kini dalam wujud manusia di atas diriku sendiri – bisa merasakan kalau perlahan-lahan kondisiku mulai membaik. Kemungkinan besar ini karena banyak hal yang manusia lakukan tanpa sadar dapat melukaiku jadi berkurang, jadi aku punya kesempatan untuk memulihkan diri.

Tapi aku jadi merasa tidak enak.

Aku tahu kalau semua yang ‘hidup’ pasti akan ‘mati’.

Hanya saja...apakah semua murni kesalahan mereka?

Atau aku terlalu baik untuk tidak berpikir seperti itu? Maksudku, kalau mereka memang tercipta untuk hidup di atasku, bukankah apapun yang kemudian terjadi karena keberadaan mereka di sini adalah hal yang wajar?

...mungkin analoginya sama dengan bakteri dan manusia. Beberapa bakteri mungkin wajar ada di dalam tubuh manusia, tapi ketika mereka semakin banyak, tubuh manusia malah digerogoti dan perlahan tapi pasti akan menuju kematian.

Ahahaha, tak kusangka, cuma membahas langit saja jadi malah membuatku berpikir kalau ada banyak kesamaan antara diriku dengan mereka.

Kalau saja kami bisa saling mengerti, apa mungkin mereka tidak akan menghilang?

Aku hanya bisa memandang langit yang kosong, tak tahu jawaban apa yang benar dari semua pertanyaan untuk diriku sendiri ini.


Earth Theatre #03

Di suatu tempat bernama Langit, hiduplah keluarga Awan yang memiliki tiga orang anak. Anak-anak Awan tersebut adalah Hujan yang senang menyimpan unsur es, Petir yang selalu menyimpan unsur listrik, dan Pelangi yang tak pernah melepas unsur cahaya. Setiap hari Awan berkeliling ke berbagai tempat di Langit bersama anak-anaknya, melihat bagaimana dunia berjalan di bawah mereka.

Pada suatu ketika, Awan dan anak-anaknya berhenti untuk melihat bagaimana mereka dipandang di mata manusia.

“Oh, dewa!” ujar seorang manusia sambil bersimpuh dan mengangkat tangannya ke langit. “Turunkanlah hujan di tanah ini, dan buatlah tanah ini subur!”

Merasa dirinya dipanggil, hujan menyanggupi permintaan itu dengan melepaskan sebagian dirinya ke daratan.

Maka manusia di bawah mereka menyambut turunnya air dari Langit dengan penuh suka cita.

“Mereka tampak bahagia,” kata Petir melihatnya. “Apa sebaiknya aku ikut turun?”

Petir melepaskan sebagian dirinya, menjadi guntur yang menggelegar di telinga para manusia yang mendengarnya. Karena takut akan tersambar, mereka semua masuk ke dalam rumah, menunggu hujan dan petir di luar reda.

“Apa?! Kenapa mereka memnita kedatangan Hujan, tapi tidak suka denganku!?”

Petir mengamuk menjadi-jadi, dan amukannya berimbas pada semakin banyaknya kilatan-kilatan guntur di langit. Hujan bersedih karena tidak suka melihat Petir seperti marah karenanya, jadi dia meringkuk dan membuat air semakin deras turun ke bumi.

“Sudah, sudah,” Pelangi yang tenang berusaha melerai keduanya. “Kalian akan menyusahkan ibu Awan kalau seperti ini terus. Bisakah kalian berhenti?’

“Ini bukan urusanmu!” bentak Petir.

“..uuuh...hiks. Apa salahku...hiks. Kenapa kau...hiks..tidak berhenti berteriak?” seru Hujan sambil tersedu-sedu.

Petir geram, tapi kemudian Pelangi kembali menengahi.

“Berhentilah. Atau kuminta ibu Awan mengadukan hal ini pada Elisa.”

“...”

Mendengar nama Elisa disebut, Petir pun berhenti. Melihat Petir berhenti, Hujan pun ikut berhenti. Kini langit kembali cerah dan hanya Pelangi yang terlihat di mata para manusia di bawah sana.

Awan, yang sedari tadi diam melihat tingkah laku ketiga anaknya, memutuskan untuk pergi berkonsultasi ke Elisa.


Pelangi memang tidak jadi memberitahukan hal ini pada Elisa, tapi Awan berkehendak lain. Saat ia meninggalkan mereka bertiga di suatu tempat di Langit, iapun pergi untuk berbicara berdua saja dengan Elisa.

“Kau tahu kan kalau mereka bertiga memang seperti itu? Hujan selalu sedih, Petir selalu marah, dan hanya Pelangi yang selalu tampak bahagia. Apakah tidak ada cara supaya mereka bisa saling merasakan apa yang lain rasakan?”

Elisa yang segera tahu seperti apa pokok permasalahnnya, tidak bisa mengatakan apapun selain bahwa mereka memang tercipta seperti itu. Justru karena ketiganya berbeda, mereka saling melengkapi.

Elisa juga mengingat masalah soal para Musim atau duo Daratan-Lautan beberapa saat lalu. Mungkin nasehat yang sama ini akan berulang, dan ia tidak yakin Awan bisa menerimanya begitu saja, mengingat kasus kali ini yang mengadu justru bukan pihak terkait.

Akhirnya, yang bisa Elisa sarankan adalah untuk berhenti berkeliaran di Langit sementara waktu.

“...hah? Kenapa kau malah ingin kami berhenti melintasi Langit?”

Elisa menjelaskan kalau di langit ada Awan lain selain Awan yang membawa tiga anak ini. Kalau Awan (yang saat ini berbicara dengannya) adalah Awan A, maka di salah satu belahan Langit lain akan ada Awan B Awan C, dan seterusnya.

Ia berharap Awan bisa bertemu dengan mereka dan mengobrol soal anak-anaknya.

“Wah, aku baru tahu soal itu... Ternyata Langit sangat luas ya...”

Tentu saja, Langit itu secara permukaan pasti lebih luas dari Daratan dan Lautan sekalipun. Jadi seharusnya, lebih banyak ilmu dan pelajaran yang bisa diambil dari Langit, pikir Elisa saat itu.

Setelah berterimakasih atas sarannya (yang menurut Elisa bukan benar-benar sebuah saran), Awan A (?) pun undur diri untuk bertemu awan-awan lainnya.


Di suatu bagian Langit, Awan A (yang kali ini membawa ketiga anaknya ikut serta) pun bertemu dengan awan-awan lainnya.

Alangkah terkejutnya Awan A melihat berbagai bentukan awan terbentang di mana-mana. Tidak seperti dirinya yang hanya berebntuk gumpalan, awan-awan lain itu ada yang memanjang seperti garis, berlapis-lapis menjajar, hingga ada pula yang bergulung-gulung tinggi menjadi awan raksasa.

Ternyata Langit benar-benar tempat yang luas.

Awan A menjadi malu karenanya.

Selama ini, ia hanya pergi berputar-putar di satu daerah tanpa tahu kalau ada banyak awan seperti ini. Ia menjadi merasa rendah diri. Bagaimana kalau hanya ia satu-satunya awan yang tidak tahu apa-apa soal awan-awan lain selama ini? Apa yang harus ia ucapkan bila bertatapan langsung dengan awan-awan itu?

Berbagai pertanyaan terus datang tanpa henti, seolah berusaha membuat Awan A mengurungkan niatnya bertemu dengan awan lainnya.

Ia benar-benar ingin pulang.

Hanya saja, sebelum ia meninggalkan tempat itu, sebuah awan lain yang besar sudah terlebih dulu berada di depannya tanpa ia sadari.

“---!!?”

“Wow, wow. Jangan kaget begitu, hai Awan Kecil. Biarkan kami menyapamu. Kau baru ya di tempat ini?” Awan A tampak ragu dan melihat ke sekitar. Dalam waktu sebentar saja, kini ia sudah dikelilingi oleh awan-awan lainnya.

“Ibu Awan... Mereka mau apa?”

Hujan adalah yang pertama kali bertanya. Petir terlihat siap memberontak bila diperlukan, sementara Pelangi masih menahan dan berusaha menenangkan Petir untuk tetap diam di balik Awan A.

Melihat anaka-anaknya tampak cemas dengan keadaan ini, Awan A pun berusaha untuk menenangkan mereka.

“Maaf...bisakah kalian minggir? Anak-anakku kelihatannya takut dengan kalian semua...” kata Awan A kepada awan-awan yang mengelilingi mereka.

Awan-awan lain tampaknya mengerti kekhawatiran Awan A, tapi bukannya menyingkir, mereka malah semakin mendekat dan menyatukan diri dengan Awan A.

“..?! Apa yang kalian lakukan?”

Awan A hendak berontak, namun kemudian menyadari apa yang ada di depannya saat ini.

Hujan, Petir, dan Pelangi juga mengerti.

Ternyata awan-awan lainnya juga memiliki anak-anak seperti Awan A.

“Kalian...”

Para awan tersenyum melihat Awan A, seolah mengisyaratkan anak-anak mereka untuk bermain bersama anak-anak Awan A. Dalma waktu singkat, semua rasa cemas yang dirasakan tiga bersaudara Hujan Petir dan Pelangi berubah menjadi keceriaan di dalam kerumunan awan-awan yang menggumpal menjadi satu.

“Kami sudah dengar dari Elisa,” kata sebuah awan mendekati Awan A. “Kelihatannya selama ini kau berjalan di Langit seorang diri, ya? Apa ini benar-benar pertama kali kau bersatu dengan awan lain?”

Awan A hanya bisa mengiyakan.

“Ketahuilah, Langit itu sangat luas. Kau bisa menemukan sesamamu bila kau mau mencari, dan itu berarti kau tidak perlu menanggung semua beban atau pertanyaan seorang diri,” kata awan yang lain.

“Kita semua sebenarnya satu,” ujar awan ketiga ikut berbicara. “Bila kita bergabung, kita semua adalah satu. Mungkin ada kalanya kita terpisah satu dengan yang lain, tapi kalau kita mengingat kita sebenarnya tidak sendiri, kami yakin kau tidak akan pernah merasa ada masalah dengan dirimu sendiri.”

Nasehat demi nasehat diterima oleh Awan A, membuatnya mengingat tujuan awalnya datang ke sini.

“Bagaimana dengan anak-anak kalian? Aku ke sini bukan untuk bertanya soal awan lain, tapi soal Hujan, Petir, dan Pelangi. Pernahkah mereka bertengkar satu sama lain?”

Para awan saling memandang, dan tak lama kemudian, barulah mereka memahami pertanyaan tersebut.

“Di mana ada perbedaan, di situ pasti terjadi perselisihan,” jawab sebuah awan. “Tapi, bukan berarti karena mereka berbeda, mereka tidak bisa berada di tempat yang sama. Kalau kau pikirkan lagi, bukankah justru mereka ada karena kau ada? Bukankah keberadaan mereka bagi manusia di bawahnya adalah hal yang tidak terpisahkan? Itulah yang kita sebut sebagai saling melengkapi.”

“Bahkan manusia saja berbeda-beda, tapi mereka tetap bisa bersatu dan membantu satu sama lain,” sambung awan lain. “Kalau melihat mereka, rasanya tak aneh kalau kita juga bisa seperti itu.”

Awan A melihat anak-anaknya yang kini asik bercengkerama dengan anak-anak lain yang sama dengan mereka. Melihat mereka, barulah ia menyadari apa sebenarnya yang menjadi masalah dari semua ini.

Sekilas memang terlihat akar masalah ini adalah ‘perbedaan’, namun sebenarnya bukan itu masalahnya.

Semua ini adalah tentang ‘menerima diri sendiri’.

Tidak peduli bagaimana manusia memandang mereka, setiap dari Hujan, Petir, dan Pelangi ada dengan arti mereka sendiri-sendiri. Begitu pula dengan Awan A. Selama mereka bisa menerima diri mereka apa adanya, dan menerima perbedaan yang ada di antara mereka, ini bukan lagi masalah siapa yang lebih disukai.

Awan A akhirnya merasa sebuah beban yang ia pegang selama ini lepas. Ternyata semuanya sesederhana ini.

Berterimakasih pada Elisa dalam hati, ia pun tidak melepas kesempatan ini untuk mencoba berbaur dan bertukar cerita dengan awan-awan lainnya.

Dan kini ia mengerti.

Apapun masalahmu dan apapun perbedaanmu dengan yang lain, kau tidak akan pernah sendiri.

Semua pasti ada jawabannya selama kau mau mencari.