Remount Earth:Volume00 Chap.02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

2nd Tale : Covered In Blue

Hanya dengan melihat diriku dari luar angkasa saja, semua pasti tahu kalau warna yang mendominasi permukaan diriku adalah warna biru.

Bukan berarti aku punya warna favorit, tapi memang begitulah yang tampak seperti apapun kau melihatnya. Hal ini dikarenakan perbandingan antara lautan dan daratan saat ini mencapai 1000 : 1. Walaupun ada yang bilang biru laut sebenarnya hanya memantulkan biru langit, tapi karena laut yang ada di permukaan, jadilah permukaan diriku itu terwarnai dengan biru.

Oh, aku jadi ingat.. saat pertama kali aku ada, permukaanku malah pernah berwarna biru sepenuhnya karena apa yang sekarang dikenal sebagai daratan dulu masih terendam di bawah air semua.

Namun sejak menjadi bagian dari Tata Surya, aku beberapa kali terpapar dengan cahaya sang Matahari serta berputar ke sana-kemari, dan mungkin itu yang membuat ketinggian air di permukaanku perlahan-lahan menurun. Dalam jutaan atau mungkin sampai milyaran tahun, akhirnya beberapa bagian berair cukup ‘terkuras’ sehingga beberapa daratan dapat menyembul keluar dan tidak tenggelam di bawah air.

Sejak munculnya daratan pula, mahluk hidup mulai berkembang menjadi tidak hanya mereka yang cuma bisa berenang di air.

Tumbuhan merambat keluar dari air, dan beberapa mungkin memang lebih nyaman berada di daratan karena lebih dekat dengan cahaya Matahari. Selain itu, banyak yang berkembang menjadi pohon dengan buah, dan semakin banyak pohon, semakin banyak pula warna hijau.

Binatang juga berubah dari ikan menjadi hidup di dua alam (kurasa sebutannya reptil...atau amfibi?), lalu karena perubahan suhu yang lebih sering terjadi di atas daratan ketimbang di dasar lautan, mereka lama-lama jadi berdarah panas dan berbulu. Aku bahkan tidak sadar ketika tahu sudah ada binatang yang bisa terbang dan berkembang biak dengan melahirkan.

Perubahan memang sesuatu yang datangnya tiba-tiba. Kalau kau tidak memperhatikan sebentar saja, hal-hal yang berubah dan berbeda dari sebelumnya mendadak jadi banyak sekali.

Setelah melalui jutaan tahun, perbandingan daratan dan lautan akhirnya menjadi 2 : 3. Pada masa ini, manusia sudah mulai memenuhi diriku.

Aku punya pandangan sendiri soal kenapa manusia menjadi banyak seiring dengan bertambah banyaknya pula daratan yang bisa ditinggali.

Sebelumnya, mahluk hidup hanya bisa berenang di dalam air. Dengan adanya daratan, kini mereka – terutama manusia – jadi bisa merasakan bagaimana rasanya ‘berpijak’ di tanah, melangkah ke manapun kaki mereka membawa diri mereka dan menemukan tempat baru semakin jauh mereka melangkah.

Mungkin karena itu pula aku dalam wujud manusia kini malah tidak punya kaki untuk memijak diriku sendiri.

Ya, wujud manusiaku tidak berkaki.

Saat aku memutuskan untuk mencoba menciptakan pecahan diriku yang berwujud manusia seperti ini, aku memang mengambil bentuk yang paling merepresentasikan keadaanku sendiri. Entah bagaimana, ‘bentuk’ itu adalah seorang gadis lusuh tanpa kaki –yang kemudian kukenal sebagai ‘diriku sendiri dalam wujud manusia’.

Awalnya aku kaget dengan penampilanku sendiri, namun lama-kelamaan jadi mengerti arti di balik penampilan ini.

Manusia tidak lagi menjadikanku tempat berpijak...karena itulah aku tidak memiliki kaki.

Yah, tidak begitu masalah sih untukku, toh aku bisa menolak gravitasi diriku sendiri dan melayang untuk pergi ke mana-mana. Namun tetap saja, ada perasaan ‘kurang’ karena tak bisa melakukan hal-hal yang manusia normalnya lakukan, seperti melangkahkan kaki di tanah.

Aku sempat mencoba membuat kaki buatan dengan tanah yang menyambung ke ujung pahaku, namun rasanya tidak memuaskan. Aku tidak benar-benar merasa utuh karena kaki buatan dari tanah itu tidak pernah benar-benar terasa sebagai bagian ‘tubuh manusia’ku ini bagaimanapun aku membentuknya.

Apa mungkin saat mereka meninggalkan diriku, mereka mengutuki tempat tinggal mereka sendiri?

Mengutuki diriku supaya tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa dipijak oleh kaum mereka lagi...

...ahahaha, aku berpikiran terlalu berlebihan.

Tidak, tidak. Pasti bukan itu alasannya. Kalau mereka memang sepenuhnya membenciku sebagai tempat tinggal mereka sendiri, mungkin aku tidak akan berbentuk menyerupai mereka sekarang ini.

Lagipula...bukankah keadaan ini sama saja dengan ketika aku baru pertama ada?

Memang saat ini tidak banyak mahluk hidup di daratan. Tapi seiring berjalannya waktu – kalau memang pergantian musim tahun demi tahunnya menciptakan hal yang sama dengan apa yang terjadi jutaan tahun lalu – pasti akan banyak lagi mahluk hidup di daratan, dan bukan tidak mungkin jumlah daratan berbanding lautan tidak akan berbeda sejauh ini.

Um, aku yakin pasti seperti itu!

Toh semua kehidupan dan daratan berawal dari lautan.


Entah apa manusia menyadarinya atau tidak saat mereka masih ada di sini, tapi jutaan mahluk hidup yang belum pernah mereka temui masih ada hingga saat ini di dalam lautan.

Bukan sepenuhnya salah mereka sih kalau tidak tahu, toh mereka memang tercipta sedemikian rupa untuk hidup di darat, bukan di dalam laut. Tapi setidaknya kalau mereka tahu akan hal ini, mungkin mereka akan menyadari betapa laut itu luas dalam artian yang sebenarnya, dan banyak hal yang tidak mereka kira penting bagi hidup mereka tersimpan di dalamnya.

Haha, karena sejak awal kita bicara soal warna biru dan laut, tidak ada salahnya kalau aku mengupas topik ini sedikit lebih jauh.

Selain karena ‘kehidupan berasal dari laut’ yang sudah kusebutkan sebelumnya, laut juga menyimpan kekayaan yang berharga bagi manusia. Saat aku mengatakan ‘kekayaan’, artinya memang sesuatu yang berharga bagi manusia di zaman apapun.

Contoh paling utamanya adalah emas.

Aku tidak tahu kenapa manusia senang dengan emas, tapi seingatku emas itu berharga bagi manusia karena punya ‘nilai tukar’. Emas menjadi penting dalam hidup manusia karena dengan emas mereka bisa menukarkan emas yang mereka miliki dengan apa yang mereka inginkan. Tak heran kalau sosok manusia yang berkuasa di awal-awal zaman juga pasti tak lepas dari emas sebagai simbol kekuasaan (atau mungkin lebih tepatnya, kemampuan untuk memiliki sesuatu – karena itulah mereka disebut ‘penguasa’ -)

Nah, lalu apa hubungannya emas dan laut?

Kalau perhitunganku tidak salah, baik itu serbuk maupun serpihan emas tersebar di lautan manapun di dunia. Kalau seandainya semua emas di lautan bisa diangkat ke daratan, kurasa jumlahnya cukup untuk dibagikan ke semua jiwa yang hidup di atasku pada satu masa.

Sehebat itulah kekayaan lautan..

...tapi tidak! Kekayaan ini tidak berhenti hanya sampai di sini!

Kalau aku bicara soal kekayaan berupa keanekaragaman mahluk hidup, mungkin nilainya bersifat subjektif dari sudut pandang manusia (tidak semua manusia peduli juga pada sesama kaumnya, jadi belum tentu juga mereka peduli pada mahluk lain), jadi kekayaan yang lainnya selain emas adalah hal lain, meski sebenarnya asalnya juga dari mahluk hidup.

Yup, hal kedua yang kumaksud adalah minyak.

Kurasa ilmu yang dimiliki manusia sudah cukup untuk membuat mereka mengerti kalau minyak di dalam diriku itu berasal dari mahluk yang mati jutaan atau ribuan tahun lalu sebelum minyak itu ditemukan di tempatnya masing-masing. Dari sini saja, pantaslah kalau laut menyimpan banyak minyak, karena mahluk hidup yang tak terhitung jumlahnya oleh otak manusia selama apapun mereka menghitung sempat hidup di laut untuk waktu yang sangat lama.

Mahluk-mahluk yang paling pertama ada di laut dan mati itu jumlahnya begitu banyak, hingga minyak yang terpendam di dasar laut melimpah ruah untuk manusia ambil selama beberapa generasi lamanya.

Yah, tentu minyak punya nilai yang tinggi juga bagi manusia, karena ini adlaah sumber daya yang tidak akan terbaharui kecuali mereka menunggu sekian ribu atau juta tahun lagi, padahal manusia dalam satu generasi tidak akan hidup selama itu.

Terlebih lagi, semakin maju kehidupan manusia, semakin banyak minyak digunakan dalam keseharian hidup mereka.

Hmm, aku sudah bicara soal emas dan minyak. Apa dua hal itu saja sudah cukup menggambarkan hebatnya laut di samping menjadi ‘awal kehidupan’?


Sebelum menutup pembahasanku mengenai laut (sejak kapan aku jadi memberi kuliah?), kurasa ada baiknya menyertakan cerita tentang pentingnya keberadaan laut bagi daratan.

Ketika manusia masih belum menemukan caranya terbang di udara, laut menjadi jalan penghubung antara daratan yang satu dengan daratan yang lain. Saat mereka berpikir kalau masih ada daratan yang lain di seberang lautan sana, manusia mulai menciptakan metode transportasi untuk melintasi lautan.

Dan hasilnya bisa dibilang tidak buruk.

Sejak penemuan adanya lebih dari satu benua oleh suatu bangsa, manusia menjadi lebih terhubung dan terbuka terhadap perbedaan. Memang prosesnya tidak langsung sih, karena pastinya ada perseteruan dan masalah-masalah remeh di antara manusia-manusia itu sendiri sebelum mencapai kedamaian, tapi setidaknya aku perlu memberikan catatan bahwa lewat lautlah orang menemukan ‘dunia yang baru’ yang belum mereka jelajahi.

Jadi, apa yang bisa disimpulkan dari cerita hari ini?


Earth Theatre #02

Tersebutlah satu masa di mana Daratan dan Lautan saling berseteru satu sama lain.

Entah bagaimana awal mulanya, tapi mereka akhir-akhir ini menjadi tidak akur. Seharusnya mereka hidup berdampingan di atas Elisa, namun keduanya selalu berusaha menjatuhkan yang lainnya.

Pada awalnya Lautan memang unggul dengan menyelimuti seluruh bagian Daratan. Namun Daratan tak mau kalah, dan perlahan-lahan naik ke permukaan untuk merebut wilayah Lautan.

“Sejak awal kau memang tercipta untuk berada di bawahku!” kata Lautan dengan angkuh. “Berhentilah menampakkan diri dan biarkan aku menguasai Elisa!”

Elisa sebenarnya merasa sedikit aneh dengan kalimat terakhir tadi, tapi memutuskan untuk mendengar dulu balasan dari Daratan.

Sesuai dugaan, Daratan tidak tinggal diam dan membalas. “Enak saja,” katanya menolak pernyataan dari Lautan. “Tanpa keberadaanku, akan ada banyak mahluk yang tidak bisa hidup. Aku lebih diperlukan dari dirimu, tahu!”

“Apa kau bilang!?”

“Lihat saja, warnamu hanya biru atau hitam dan tampak kelam. Sementara aku? Di atas diriku ada berbagai macam mahluk hidup dengan berbagai warna yang tampak meriah dan hidup. Jelas mana yang lebih superior di antara kita.”

“Sombong sekali kau.. Kau tidak tahu ya kalau dirimu tidak akan subur tanpa hujan, dan hujan itu datangnya dariku?”

“Hei, apa yang terjadi di alam itu bukan milik-mu. Jangan seenaknya sok merasa kalau apa yang dimiliki Elisa adalah milikmu juga!”

“—kh! Kau---“

“---apa? Mau berkelahi!?”

Elisa yang sedari awal hanya diam berusaha melerai. Dirinya tahu kalau Lautan dan Daratan ditakdirkan untuk ada secara berdampingan, bukan untuk melahap satu sama lain. Bagaimanapun juga, banyak kehidupan bergantung pada keadaan masing-masing dari mereka, jadi kalau sampai salah satu dari mereka lenyap, akan ada terlalu banyak kehidupan yang hilang dari atas Elisa.

“Kalau kau tidak mau aku beradu pendapat dengan dia, maka pisahkan aku darinya!” pinta Lautan pada Elisa. “Bagian-bagian dari diriku tersebar dan dipisahkan oleh dirinya, jadi sebaiknya kau buat saja aku menjadi satu daerah besar sendiri, dan dia juga sendiri, jadi kami tidak perlu terhubung satu sama lain di atasmu.”

Mendengar permintaan ini, Elisa tidak lantas menyanggupi.

Bagi Lautan, akan mudah untuk menghilangkan bagian dari diri Daratan dengan menyapu beberapa pulau atau bahkan bagian dari benua. Namun sebaliknya, Daratan tidak dapat semudah itu mencaplok wilayah Lautan. Ia bahkan perlu waktu lama untuk sampai ke permukaan, jadi terus terang ia pasti kalah dalam jumlah dan kekuatan.

Tambah lagi, Elisa juga tahu kalau Daratan tadinya hanyalah satu benua besar, lalu terpisah-pisah menjadi beberapa potongan benua dan pulau-pulau kecil karena Daratan memotong dirinya sendiri untuk sebuah alasan.

Sebuah alasan yang seharusnya juga diketahui oleh Lautan sejak lama.

“---baiklah.”

“Eh?”

Baik Lautan maupun Elisa seolah tak percaya mendengar Daratan menyanggupi begitu saja.

“Elisa, kalau kau berkenan, pisahkan aku darinya! Buat aku menjadi satu benua seperti semula, dan buatlah batas antara diriku dan dirinya sehingga kami tidak bertemu!”

Seruan dari Daratan membuat Lautan seolah merasa tak mau kalah.

“...hah! Masih saja bermulut besar. Dalam waktu singkat aku yakin kau akan memohon lagi pada Elisa untuk dipertemukan denganku.”

“Apa, kau mau menantangku? Baik, siapa yang lebih dulu meminta sesuatu pada Elisa akan kalah, dan yang kalah harus menuruti apa kata yang menang. Bagaimana?”

“...baik, aku setuju.”

Elisa sebenarnya tidak setuju, tapi keputusan ini sudah diambil secara sepihak (dua pihak, lebih tepatnya), dan dia tidak punya kuasa apa-apa selain mendengar dan mengiyakan.

Jadilah kini Daratan kembali menjadi satu benua, dan Lautan menjadi satu samudera luas. Di batas antara Daratan dan Lautan tidak ada lagi pantai, melainkan sebuah jurang yang sangat dalam dengan kegelapan pekat, seolah inti bumi sendiri yang melarang mereka bertemu.

Sekali lagi, Elisa sebenarnya sedikit enggan dengan keadaan ini, tapi memutuskan untuk melihat bagaimana perkembangannya kalau Daratan dan Lautan dibiarkan seperti ini untuk sementara waktu.


Waktu pun berlalu, dan berbagai perubahan terjadi di seluruh penjuru dunia.

Dengan hilangnya Lautan dari kehidupan mereka yang tinggal di Daratan, banyak hal yang menjadi lebih sulit. Contohnya, bila dulu orang masih bisa menikmati produk laut seperti ikan laut dan garam, sekarang orang yang dulunya tinggal di pesisir pantai mau tak mau jadi pergi ke pusat benua karena kehilangan pekerjaan bila berada di pinggiran benua. Pada kasus lain lagi, jalur transportasi menjadi cukup kacau karena daerah perairan yang mendadak hilang, sehingga orang-orang harus memikirkan dan membangun ulang alternatif lain yang cuma mengandalkan Daratan.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama menurut persepsi waktu Elisa.

Seiring berjalannya waktu, mahluk hidup manapun sudah dibekali kemampuan untuk beradaptasi. Sejak awal apa yang mereka sebut sebagai bumi memang terus-menerus mengalami perubahan, jadi tidak aneh kalau mahluk hidup juga terus-menerus berusaha mengimbangi perubahan itu agar bisa menyesuaikan diri.

Hingga pada akhirnya...

...mereka yang hidup di Lautan tidak lagi mengenal Daratan, dan mereka yang ada di Daratan tidak lagi mengetahui adanya Lautan.


“Aku tidak mengerti,” keluh Lautan suatu hari pada Elisa. “Kenapa dia bgetiu bersikeras memisahkan diri dariku kalau itu cuma membuatnya susah? Kalau saja sejak awal ia mengakui kalau aku lebih tinggi darinya, mungkin dia tidak perlu kesulitan seperti ini.”

Perkataan Lautan ditujukan pada keadaan Daratan saat ini.

Tanpa sumber daya alam yang sangat besar dari Lautan, banyak kelangkaan terjadi di Daratan. Berawal dari garam dan minyak, kini bahkan air pun menjadi langka karena air hanya berputar dari darat dan ke darat, sementara air laut yang menjadi hujan hanya menghujani daerah Lautan tanpa menghampiri Daratan.

Elisa sudah memprediksi hal ini.

Cepat atau lambat, kalau keduanya tidak berdampingan, salah satu – kemungkinan besar Daratan – akan berangsur-angsur mati dan menghilang.

Bukannya ia tidak mau mencegahnya, tapi Elisa ingin membiarkan dulu ini terjadi supaya mereka berpikir sendiri.

Sebagai bukti, kini Lautan berbicara padanya sekalipun yang menurutnya kesusahan adalah Daratan.

Dengan kata lain, Lautan masih peduli dengan Daratan.

Di balik sikap angkuh dan tak mau kalahnya, Lautan pasti juga tahu kalau ia dan Daratan adalah satu kesatuan yang membentuk permukaan Elisa. Mereka tidak bisa dipisahkan, dan waktu pasti akan mengantar keduanya untuk hadir bersama-sama lagi di permukaan planet ini.

“Hei, kau mendengarkan tidak? Kalau begini terus, Daratan akan—“ Perkataan Lautan dipotong oleh kehadiran Daratan di antara mereka.

“...oh? Apa kau datang duluan untuk meminta sesuatu pada Elisa? Hm, apa ini berarti aku yang memenangkan taruhan kita ratusan tahun yang lalu?”

“E-enak saja! Aku datang ke sini bukan untuk meminta sesuatu! Tanya saja pada Elisa kalau tidak percaya!”

Daratan terkekeh pelan, kemudian tanpa menghiraukan Lautan yang tampak kesal dengan kemunculannya kini menghampiri Elisa.

“Kelihatannya kau sudah tahu maksud kedatanganku tanpa kukatakan, kan?”

Elisa hanya mengiyakan, sementara Lautan tampak tak mengerti.

“Apa? Hei, kalian sudah bertemu sebelumnya/”

“Tidak. Tapi ini Elisa, dan dia pasti tahu apapun yang ada di atasnya tanpa kita beritahu. Aku yakin dia juga banyak memberitahumu soal keadaan diriku belakangan ini kan?”

“Ka-kau...dari mana—“

“Yah, kita persingkat saja,” Daratan melanjutkan. “Elisa, sudah cukup. Tolong hilangkan lagi batas antara aku dan Lautan, dan pecah lagi diriku menjadi banyak bagian seperti sebelumnya.”

Tidak ada keraguan dalam permintaan Daratan. Namun entah kenapa, hal ini justru memancing Lautan untuk berbicara.

“Hah..hahahaha! Tuh kan, ternyata kau yang lebih dulu meminta sesuatu pada Elisa! Kau kalah! Sekarang, kau harus menuruti satu permintaanku!”

Daratan tidak terlihat menyesal sama sekali dengan kekalahannya, membuat Lautan jadi bingung sendiri dengan apa yang terjadi.

Akhirnya ia mengajukan satu permintaan.

“...beritahu aku kenapa kau meminta untuk menghilangkan batas denganku.”

“...yakin ingin tahu? Kalimatmu itu bentuknya sama seperti perintah lho, jadi ‘satu permintaan pada yang kalah’ milikmu sudah terpakai dengan permintaan barusan, ya.”

“Tidak masalah. Toh memang apa juga yang bisa Daratan menyedihkan sepertimu lakukan untukku?”

“Haha, kau benar. Baik, kalau begitu biar kumulai dari pertanyaan ini dulu : masih ingat kenapa kau berseteru denganku?”

“Kenapa kau malah jadi balik bertanya?” Lautan heran, tapi melihat Daratan kelihatannya tidak akan melanjutkan penjelasannya kalau ia tidak menjawab, Lautan pun mencoba mengingat-ingat. “Kalau tidak salah, semua berawal dari pertanyaanku soal mana yang lebih dulu ada, aku atau kau, kan?”

“Ternyata kau masih ingat ya..”

“Memangnya kenapa dengan itu?” Lautan mendesak agar Daratan melanjutkan penjelasannya. Daratan memandang ke arah Elisa, kemudian ke arah Lautan, sebelum kemudian memulai penjelasannya.

“Setelah berpisah denganmu, aku mulai menyadari kalau pertanyaan yang kau ajukan waktu itu adalah salah. Ini bukan masalah siapa yang ada lebih dulu: tidak peduli apakah aku ada lebih dulu baru kau menyelimuti sebagian dari diriku, atau justru kau ada lebih dulu dan aku muncul di permukaan setelahnya; yang terpenting adalah kita ada sebagai satu kesatuan.”

“Satu...kesatuan? Apa yang kau bicarakan?”

“Tidakkah kau bisa berpikir seperti ini : semua mahluk hidup yang ada di atas kita – di atas Elisa – tidak bisa memilih sebagai apa dan di mana dia lahir, tapi mereka terus hidup hingga mati. Lalu kenapa kita, tempat di mana mereka berusaha untuk terus hidup dari waktu ke waktu, malah menjadi pihak yang mempermasalahkan diri kita sendiri? Setelah melihat kesulitan yang dialami oleh mereka yang hidup di atas diriku, aku jadi merasa pertengkaran ini tidak ada gunanya lagi. Aku tidak peduli kau memandangku serendah apa, tapi setidaknya, tolong jangan berpikir untuk berpisah lagi denganku.”

“....”

Lautan tertegun mendegar kata-kata dari Daratan.

Kali ini, ia jadi merasa bersalah pada Daratan. Karena keegoisannya sendiri, keduanya jadi melibatkan mereka yang hidup di atas Elisa hanya untuk alasan konyol.

Sebelum Lautan sempat meminta maaf, Daratan sudah terlebih dahulu menutup dengan sebuah penjelasan terakhir.

“Kau tahu kan kenapa aku memecah diriku sendiri saat aku masih satu benua dulu?”

Entah kenapa Lautan merasa kalah kalau ia mengiyakan pertanyaan ini, tapi di satu sisi ia juga merasa tidak ada gunanya lagi bersikap angkuh di depan Daratan, jadi ia mengiyakan.

“Kalau kau tahu, maka harusnya kau paham bahwa kita memang ditakdirkan untuk saling berdampingan sejak kita pertama terbentuk. Sebagian dari diriku dikelilingi olehmu, dan sebagian dari dirimu dipenuhi oleh bagian dari diriku. Karena kita ada berdampingan si atas Elisa, hidup bisa terus beputar sebagaimana mestinya. Dan karena itulah, aku menyebut diri kita sebagai satu kesatuan.”

Lautan kehabisan kata-kata.

Ia sama sekali tidak bisa membantah pernyataan Daratan ini, dan pada akhirnya ia benar-benar meminta maaf atas kesalahannya.

Mereka pun berbaikan, dan Elisa hanya bisa bersyukur melihat keduanya belajar dari pengalaman ini.