Palatial Palover:Volume00 05

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 05 – Hasuragi Mahiru (February)

Part 1

“Lihat, lihat di sana!”

“Oh, idola sekolah kita!”

“Sumeragi Sakuya-san!”

“Ah..hari ini Sakuya-san cantik seperti biasanya...”

“Selamat pagi, Sakuya-san!”

“Selamat pagi!”

“Selamat pagi!”


Berdiri di samping sang idola sekolah, aku bisa mendengar kalimat-kalimat dengan kekaguman di dalamnya yang terus digumamkan oleh nyaris setiap pasang mata sejauh kami melintas menuju gedung sekolah.

Hari inipun, Sakuya selalu menjadi pusat perhatian seperti biasanya.

Bisa berdiri di sampingnya saja jadi membuatku ikut bangga.

Aku mungkin bukan pusat perhatian – dan tidak pernah ingin menjadi pusat perhatian –, tapi melihat orang yang kuanggap saudara sekaligus sahabat terdekatku disayangi oleh banyak orang ikut membuatku bahagia. Bagiku, itu menandakan kalau semua orang di sekolah ini peduli dengannya, dan tidak akan ada hal buruk yang dapat menimpanya.

“Kau tahu, Mahiru... Aku senang mereka perhatian padaku...tapi setelah hampir setahun seperti ini, kurasa jadi pusat perhatian itu melelahkan juga.”

Masih dalam perjalanan kami menuju kelas di pagi hari, Sakuya bicara padaku dengan nada mengeluh.

“Bukankah itu hal yang baik? Semua senang denganmu, kau dipuja dan tidak punya musuh di sini – kau bukan sekedar idola, kau sudah seperti ratu bagi mereka.”

Aku tidak merasa ucapanku berlebihan, Sakuya, bersama-sama dengan Shiroyanagi Shion, adalah pemegang kuasa utama di sekolah ini. Sama sekali tidak aneh bagi siapapun kalau menyebut mereka berdua sebagai ‘penguasa’, karena memang itulah peran mereka berdua di SMA Kaminokuni.

“Ratu, eh... Kuharap itu tidak membuatku terlihat seperti seorang dewi atau semacamnya. Bagaimanapun juga, aku kan cuma siswi biasa seperti kalian semua.”

“Setidaknya aku tidak akan bersikap berbeda selama bersamamu.”

“Ah ya, terima kasih, Mahiru. Meski dunia menjadi lawanku, aku masih punya kau.”

“Dan Shion. Dan seluruh murid sekolah ini.”

“...itu tadi cuma pengandaian, tolong jangan dianggap serius begitu. Tapi sekali lagi terima kasih. Kalau kau yang bilang begitu, rasanya perhatian mereka semua jadi lebih berarti.”

“Kalau mereka memang berarti bagimu, bagaimana kalau kau membalas ucapan selamat pagi mereka?”

Sakuya tersenyum mendengar ucapanku, kemudian segera mengubah ekspresinya menjadi riang – ekspresi yang pantas ditunjukkan oleh seorang idola.

Dengan wajah yang menyenangkan bagi siapapun yang melihatnya, Sakuya membalas ucapan setiap orang yang menyapanya dengan senyuman.

“Selamat pagi, semuanya~!”


Rutinitas membalas sapaan ini terus berlanjut bahkan hingga kami memasuki gedung sekolah. Sambil menaruh sepatu di rak, Sakuya masih menjadi sosok elegan yang disapa setiap orang.

“Bicara soal perhatian...apakah kau memperhatikan suasana sekolah belakangan ini?”

“Suasana? Apa musim dingin tahun ini belum berakhir? Memang kurasa belakangan ini masih dingin. Kuharap musim semi cepat datang.”

“Oh, musim semi sudah datang kok. Bagi mereka yang sedang terbuai cinta, tentunya.”

Ketika memikirkan apa yang dimaksud oleh Sakuya, barulah aku menyadari kalau ini bulan Februari.

Bulan Februari. Bulan di mana hari Valentine ada. Bulan yang keberadaannya selalu dibesar-besarkan sebagai bulan penuh cinta bagi kaum wanita.

“Jangan memasang wajah seperti itu, Mahiru. Kenapa tidak membuat dirimu sedikit terlibat?”

“...apa maksudmu? Valentine tidak ada hubungannya denganku. Oh, atau kau ingin menyiapkan cokelat untuk seseorang? Perlu bantuan?”

“Mahiru. Aku sudah tahu tanpa kau memberitahuku. Kau serius tidak punya rencana untuk memberi cokelat pada <orang itu>?”

<Orang itu>.

Aku tahu siapa yang Sakuya maksud, tapi tidak tahu dari mana Sakuya punya ide seperti itu.

“...kau bicara apa—“

“Mengelak tidak ada gunanya. Aku tidak perlu menyebutkan nama, kan? Ayolah, kau mungkin tidak pernah cerita, tapi aku kan selalu ada di dekatmu. Mustahil aku tidak tahu.”

“Uh....”

Aku lengah. Keraguan seperti ini sama saja seperti konfirmasi untuk Sakuya kalau apapun yang ada di kepalanya itu benar adanya.

“Ini kesempatan, lho! Satu semester ini kita sudah cukup dekat dengannya – dan aku tahu kau menyimpan perasaan padanya. Kenapa tidak mencoba melakukan sesuatu yang istimewa sekali-sekali?”

“Tapi, aku...”

Aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk melanjutkan kalimatku. Melihatku seperti itu, Sakuya menepuk punggungku sambil tersenyum.

Ia memasuki kelas seraya mengedipkan sebelah mata dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku mengikutinya, dan bel tanda masuk pun berbunyi.


Seperti yang dikatakan Sakuya pagi ini, topik hangat di antara para siswi saat ini ternyata memang tentang Valentine dan cokelat.

Sebenarnya aku cukup skeptis dengan konsep ‘memberikan cokelat di tanggal 14 Februari’. Maksudku, kita punya satu tahun penuh, kenapa harus berpatokan pada satu tanggal untuk mengungkapkan perasaan? Mungkin memang ada faktor budaya modern, atau mungkin propaganda pabrik cokelat itu ternyata benar seperti yang orang-orang sering bicarakan.

Intinya, aku sendiri bukan termasuk perempuan yang disibukkan dengan ‘topik hangat’ ini.

Tapi tidak demikian dengan Sakuya.

Sebagai perempuan nomor satu di sekolah super besar ini, pembicaraan tentang ‘siapa yang akan menerima cokelat dari Sakuya-san?’ adalah satu dari sekian topik yang bisa kudengar selama berjalan ke sana kemari sepanjang hari di lingkungan sekolah. Dan ke mana aku pergi selama di sekolah, Sakuya selalu menemani (atau harus kukatakan sebaliknya – aku yang menemani dia). Mau tidak mau, Sakuya ikut mendengar pembicaraan seperti itu juga.

“Lama-lama aku bisa benci menjadi orang populer begini. Bisakah aku melakukan sesuatu untuk menurunkan popularitasku?”

Kalau Sakuya adalah seorang artis dunia hiburan, popularitas mungkin sesuatu yang ingin dikejar. Tapi sebagai pelajar, kulihat memang lama-lama Sakuya jadi sering terganggu meski sumber gangguan itu (para murid) tidak bermaksud buruk.

“Mahiru, bagaimana menurutmu kalau aku jadi berandalan dan melakukan sesuatu yang mencoreng nama sekolah? Apa popularitasku bakal jatuh?”

“Kurasa kau akan tetap populer, meski untuk alasan yang berbeda. Tapi jangan coba-coba. Ingatlah bahwa dirimu mewakili seluruh murid di sini – kalau kau rusak, seisi sekolah ini juga akan ikut rusak nantinya.”

Mendengarkan keluhan Sakuya dari waktu ke waktu adalah salah satu hal yang bisa kulakukan untuk membantunya.

Dengan diikuti sedikit saran dan motivasi, biasanya mood Sakuya akan baik kembali. Pada dasarnya Sakuya itu sosok yang pengertian dan baik hati, jadi perasaan negatif jarang menetap lama pada dirinya.

“Ahahaha, kau benar... Huh, kalau saja aku bisa memberikan ketenaranku ini padamu...”

“...? Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?”

“Habis, kalau kau ada di posisiku kan orang jadi sulit menolakmu. <Orang itu> juga pasti langsung menerima kalau kau—“

“Sakuya. Sudah, ah. Tolong jangan lanjutkan lagi.”

“Oh-ho? Apa kau tipe yang lemah kalau diminta bicara soal romansa? Apa aku perlu menyeret <orang itu> ke sini sekarang?”

“Sakuya!”

“Bercanda, bercanda~. Mahiru ternyata lucu juga kalau frustasi seperti ini, ahahaha~.”

Sakuya tertawa lepas tanpa beban setelah menggodaku. Meski awalnya sedikit sebal, tapi kemudian aku bersyukur karena kelihatannya Sakuya jadi lupa dengan keluhannya semula.

“Tapi aku serius penasaran. Kau benar-benar tidak punya rencana apa-apa untuknya tanggal 14 nanti?”

Ternyata pembicaraan kami belum berhenti, dan Sakuya kembali membawa topik itu lagi.

“Tidak. Setidaknya tidak untuk saat ini. Belum kupikirkan, dan entah akan terpikirkan atau tidak.”

“Hmm...”

Dengan nada sedikit kecewa, Sakuya berjalan menuju tempat makan siang dengan aku menemani di sampingnya.


Sejak pembicaraan itu, beberapa hari sudah berlalu.

Valentine semakin dekat dan tetap menjadi topik hangat. Kebetulan tanggal 14 jatuh bukan pada hari sekolah. Bagi siapapun yang menjadi korban budaya dan iklan, Valentine di tahun ini mungkin tidak bisa dilakukan dengan cara klasik ala menaruh cokelat di loker sepatu atau laci meja, atau memanggil anak laki-laki untuk menemuimu sepulang sekolah seperti yang biasa digambarkan di shoujo manga.

Aku sendiri berusaha untuk membuat diriku tidak terpengaruh dengannya....

...tetapi mustahil dengan Sakuya yang selalu ada di sampingku.

“Ayolah Mahiru, masa’ kau tidak punya apa-apa untuk diceritakan pada sepupumu tercinta ini? Beritahu aku dong, sejak kapan kau suka dia, kenapa, dan bagaimana rencanamu untuk ke depannya?”

Aku termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan situasi. Hanya perlu beberapa hari bagiku untuk tetap tenang meski Sakuya terus-terusan bersikap seperti ibu mertua yang menyebalkan. Aku ingin membalasnya, tapi aku tahu betul kalau Sakuya tidak punya orang yang disukai (aku kasihan pada Shion, tapi dia memang pecundang), jadi rasanya posisiku tidak imbang.

“Aku bahkan tidak tahu dari mana kau tahu soal perasaanku pada <orang itu>. Kurasa aku justru harus bertanya itu dulu padamu.”

“Sebenarnya aku cuma menebak lho. Tapi tanda-tandanya memang mengarah ke sana, dan tebakanku ternyata benar pula.”

“......”

Sejujurnya...aku tidak ingin membicarakan ini dengan Sakuya.

Sekalipun dia tahu siapa <orang itu>, dia tidak tahu bagaimana aku memandangnya, dan perasaan apa yang sebenarnya kusimpan kepadanya.

Tidak. Kata-kata atau penjelasan tentang semua itu tidak akan keluar dari mulutku.

Dan aku tidak ingin Sakuya mengetahuinya, sampai kapanpun juga.

Jadi biarlah semua godaan Sakuya pada diriku kutanggapi saja seperti angin lalu.


Hingga kemudian, hari itu datang.


Part 2

Hasuragi Mahiru adalah perempuan dengan pembawaan tenang, tidak banyak meninggalkan kesan, dan selalu berada di samping Sumeragi Sakuya.

Kurasa itu yang orang-orang tahu tentang diriku, dan yang orang-orang perlu tahu tentang diriku.

Tapi bukan perempuan namanya kalau tidak punya satu-dua rahasia yang disimpan. Dan aku adalah seorang perempuan.

Hari ini adalah hari Valentine. Hari yang ditandai di kalender dengan spidol berwarna merah jambu oleh banyak orang...atau setidaknya begitulah yang kubayangkan.

Karena ini hari libur, aku tidak berangkat ke sekolah dengan Sakuya. Meski terlihat nyaris tak terpisahkan bagi siapapun yang melihat kami di sekolah, aku dan Sakuya punya waktu pribadi kami sendiri-sendiri, dan hari libur seperti ini adalah salah satunya. Di waktu-waktu di mana Sakuya tidak tahu apa yang kulakukan inilah, sebagian diriku yang tidak tampak pada hari biasa kubiarkan muncul di dunia.

Aku akan menemui <orang itu> hari ini.

Mungkin harus kuakui bahwa sebagai seorang perempuan, ide-ide romantisme bukan sesuatu yang bisa kuenyahkan begitu saja dari kepalaku seperti apapun aku menunjukkan penolakan. Meski pembawaanku tenang, aku tidak akan menyebut diriku sendiri orang yang dingin. Dan sebagai seseorang yang menyimpan perasaan pada lawan jenis, rasanya tidak aneh kalau remaja seusiaku tertarik untuk mencoba hal-hal yang mengatasnamakan cinta, sekonyol apapun kedengarannya di masa depan.

Ya. Valentine memang bukan satu-satunya kesempatan dalam satu tahun untuk mengungkapkan perasaan...tapi tetap saja bisa digunakan sebagai satu momen di antara ratusan momen sepanjang satu tahun ini.

Aku akan menemui <orang itu>, di hari libur, dan memberikan cokelat kepadanya.

Ini adalah skenario di mana impresi kuat pasti akan muncul, karena reaksi <orang itu> pastilah ‘Oh, kau jauh-jauh datang di hari libur begini untuk memberi cokelat kepadaku?’, kemudian bergantung pada situasinya, aku bisa menjadi tsundere[1] dengan mengatakan ‘A-aku tidak membuatkannya hanya untukmu, jangan besar kepala!’. Atau pura-pura malu seperti gadis polos dan lari, membiarkan ia penasaran dan membuat interpretasi sendiri. Atau bisa saja aku bersikap kasual, sehingga apa yang kulakukan terlihat normal dan dia pun jadi merasa lebih dekat karena semua akan terasa natural.

Sakuya tidak akan menggangguku hari ini. Aku sudah mengecek jadwalnya, dan dia dipastikan sibuk mengurus urusan administratif sekolah (aku salut dia masih bekerja di hari libur – meski dia masih menjadi pelajar).

Kebetulan pula, sebelum ini aku sudah mengecek semua tentang <orang itu>.

<Orang itu> tinggal tak jauh dari kompleks sekolah, jarak yang masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku sudah mendapatkan alamat lengkapnya, dan kuketahui ia tinggal sendiri sepanjang tahun lalu hingga kini karena orangtuanya bekerja di luar negeri. Aku juga sudah mencari tahu siapa orangtuanya, kapan dan di mana ia lahir, bagaimana riwayat hidupnya dari kecil sampai ia tiba di SMA Kaminokuni, apa topik pembicaraan yang ia sukai, makanan apa yang sering ia beli di kantin sekolah, situs apa yang ia kunjungi setiap harinya....dan hal-hal kecil lain yang kurasa akan berguna kalau ingin menghabiskan waktu berdua. Dia tidak punya kegiatan khusus untuk mengisi waktu kosong, dan bukan termasuk orang yang populer di sekolah. Beberapa orang mungkin pernah mendengar namanya, tapi kurasa tak banyak orang yang dekat atau tahu persis tentang dirinya.

Sosok yang tampak normal, tapi punya sedikit aura misterius yang menggelitik.

Melihat <orang itu> selalu membuatku merasa seperti melihat diriku sendiri.

Seolah-olah dia memang belahan diriku, setengah dari diriku, yang sudah ditakdirkan untuk melengkapiku menjadi satu.

Ah... Aku tidak tahan memikirkannya.

Aku ingin segera bertemu!

Dan ketika aku bertemu dengannya...


Paraparo05.jpg

“Oh, Mahiru? Ada apa datang kemari?”

“Ah...tidak, aku hanya...”

“Hm?"

“I, ini untukmu!”

“...cokelat? Astaga, kau sengaja datang hari ini untuk memberiku cokelat? Terima kasih! Kukira aku tidak akan dapat cokelat dari siapapun tahun ini...”

“Aku senang kalau kau ikut senang...”

“Ah, karena kau sudah di sini, bagaimana kalau kau masuk dulu?”

“Eh, bolehkah?”

“Anggap saja balasan terimakasihku untuk cokelat ini.”

“Apa aku tidak mengganggu?”

“Tidak ada orang di rumah selain aku, kok. Kau sama sekali tidak mengganggu.”

“Eeeh? Jadi cuma ada kita berdua saja?”

“Ng? Ah, tidak tidak! Aku mengundangmu masuk bukan karena alasan khusus—“

“Alasan khusus?”

“Uh, bagaimana aku mengatakannya...”

“Aku tidak keberatan kok.”

“...Mahiru, apa maksud—“

“Kalau itu kau...aku tidak keberatan menjadi milikmu seharian ini.”

“....kau....”


Heh. Hehe. Hehehehe.

Sempurna.

Lalu setelah itu, aku dan dia akan.....

....ah. Tidak tidak, aku sudah membuang banyak waktu dengan fantasi tidak berguna pagi ini!

Aku bergegas bangkit dari kasurku yang berantakan dan berpakaian. Sebentar lagi hari akan menuju siang, dan aku tidak ingin waktuku banyak terbuang. Kalau aku berhasil, bukan tidak mungkin seharian ini aku akan menghabiskan waktu bersamanya! Dan karena besok juga masih hari libur, tidak ada alasan untuk buru-buru pulang!

Aku memeriksa GPS dan melihat kalau dia belum keluar dari rumah. Bagus, sesuai dengan yang kubayangkan.

Ketika aku meninggalkan kamarku sendiri, barulah aku menyadari kalau aku melupakan sesuatu yang penting.

...aku bahkan belum membuat cokelat untuk diberikan.


Karena alasan kepraktisan, aku terpaksa memuji usaha industri cokelat untuk menjual cokelat di mana-mana dalam rangka menyambut hari ini. Tidak pernah kubayangkan aku akan menjadi salah satu korban iklan...tapi ya sudahlah. Yang penting, aku sudah membawa cokelat di tangan – senjata kaum perempuan khusus untuk hari ini!

Perjalanan dari tempatku tinggal menuju rumahnya memerlukan satu kali naik kereta, tapi itu bukan masalah. Selama di kereta, aku bisa memikirkan banyak kemungkinan untuk diaplikasikan nantinya.

Aku selalu senang berpikir dalam perjalanan, karena itu memberiku kesempatan untuk membuat simulasi dalam pikiran.

Kereta tiba. Aku masuk. Aku duduk. Lalu aku mulai meninggalkan dunia ini untuk berfantasi...maksudku, berkonsentrasi.

“........”

Hm?

Aku merasakan seseorang tengah memperhatikanku entah dari mana.

Aku melihat ke sekitar. Tidak, kereta ini terlalu ramai. Aku tidak mengerti kenapa kereta ramai di hari Sabtu seperti ini, tapi dengan posisiku yang duduk di bangku, aku tidak begitu leluasa untuk melihat dari mana aku merasakan pandangan ini.

Apa cuma perasaanku saja?

...aku bukanlah orang yang sering mendapat perhatian. Sebaliknya, aku lebih ahli memperhatikan seseorang, terutama dari kejauhan tanpa orang itu sadari.

Dan karena itulah, aku yakin sekali kalau aku tahu ketika aku sendiri sedang diawasi.

Tapi aku tidak bisa memastikannya.

...yah, siapapun dia, aku tidak punya keinginan untuk berurusan dengan seorang stalker[2] sekarang.

Meski aku tidak keberatan diikuti, tapi ini bisa menjadi masalah kalau melibatkan <orang itu>. Dia bisa merasa tidak nyaman, dan aku sendiri bisa memikirkan beberapa kemungkinan kalau orang yang mengikutiku ini punya urusan berkaitan dengan kedatanganku ke tempat <orang itu>.

Membuat gosip? Tapi aku dan dia bukan orang yang terkenal untuk menarik perhatian di sekolah dengan 5000 siswa.

Mencari kelemahanku? Bisa jadi, mungkin dia ingin memanfaatku untuk sesuatu yang berhubungan dengan Sakuya.

Menggagalkan rencanaku untuk memberi cokelat? ...ini kemungkinan yang aneh, tapi aku tidak merasa ada orang yang suka denganku atau dengannya sampai ingin menghentikanku hari ini.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk pura-pura tidak menyadari keberadaan si orang misterius ini, dan menunggu untuk menyerang balik begitu turun dari kereta nanti.


Oke. Aku sudah turun dari kereta dan berjalan sampai ke kompleks perumahan di mana <orang itu> tinggal....dan aku masih merasakan ada yang mengikutiku di belakang.

Apapun tujuan si penguntit ini, aku merasa terganggu.

Di areal perumahan di mana terdapat banyak belokan di sana-sini, akupun mencoba untuk mengulurnya ke satu titik di mana aku bisa langsung berbalik dan melihat siapa dia.

Kalau bukan karena hari ini, aku mungkin hanya perlu sekedar menghilangkan jejak dan pergi beberapa langkah lebih depan sehingga tak bisa dilacak lagi....tapi melihat aku baru diikuti hari ini, dan tepat di saat aku ingin mengunjungi <orang itu>, maka kurasa si penguntit yang satu ini sudah tahu tempat yang menjadi tujuan akhirku. Jadi rasanya percuma kalau kalau hanya menghilangkan jejak.

Aku berjalan untuk beberapa saat, melakukan beberapa belokan di setiap persimpangan, memutar jalan, dan pada akhirnya aku berbalik dan menemukan....

Oh, hello there, missy. Could you please be so kind to help me a bit?

...seorang pria asing berotot dengan rambut pirang yang entah kenapa nada bicaranya terdengar seperti banci.

Tidak. Bukan orang ini. Aku tidak tahu ke mana si penguntit itu pergi, tapi intuisiku tahu kalau bukan orang bule ini yang mengikutiku sejak tadi.

Sorry, I can’t speak Engrish...”

Aku berusaha sesopan mungkin menolak untuk terlibat dengan bule berotot ini, ketika tiba-tiba saja ia memohon,

Oh please dear, it won’t take long! I just need to know where the post office is. I’m not a suspicious guy, see? No need to be afraid of me, so please show me the way, missy!

“.....”

Aku menghela napas pelan.

Beberapa menit kemudian, aku selesai mengantar si pria berotot ke kantor pos, dan dihadiahi ucapan terima kasih. Setelahnya, aku bergegas kembali menuju ke rumah <orang itu>.

Namun kemudian, aku merasakan diriku kembali diikuti.

Heh. Kau tidak akan lolos kali ini!

Tanpa ragu aku membalikkan badan tepat di saat aku merasakan hawa keberadaan seseorang di belakangku, dan menemukan....

“Oh...anak muda...bolehkah aku meminta tolong, sebentaaar sajaaaaa....”

....seorang nenek tua yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkat dan tampak seolah bisa mati setiap saat.

Aku melihat ke sekitar, dan lagi-lagi tidak menemukan siapapun yang bisa kulihat sebagai identitas sebenarnya dari penguntitku. Ini juga berarti aku tidak bisa menemukan orang lain untuk membantu si nenek, dan aku bukan orang yang sebegitu teganya untuk meninggalkan nenek tua sendirian di tempat kosong seperti ini.

“Apa yang bisa kubantu, nek?”

“Ooh...kau ramah sekali...kau mengingatkanku padaku cucuku yang....”

“....”

Aku menghela napas pelan.

Beberapa menit kuhabiskan untuk mendengar ocehan si nenek tentang cucunya, sebelum kemudian aku tahu dia hanya sedang jalan-jalan dan terpisah dengan cucunya. Aku mengantarnya ke jalan utama, dan sekali lagi dihadiahi ucapan terima kasih oleh sang cucu (cucunya adalah seorang anak lelaki gendut yang sama sekali tidak mirip denganku) ketika mereka berdua berhasil bertemu kembali.

Aku sudah membuang banyak waktu melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Hari semakin siang, dan aku perlu segera kembali menuju ke rumah <orang itu>!

Seperti yang sudah kuduga, selesai membantu sang nenek, si penguntit ini kembali terasa hawa keberadaannya di belakangku.

Aku tidak sedang berurusan dengan hantu, kan?

Mengabaikan pikiran konyol dan mengabaikan pula si penguntit yang entah apa maunya, aku berjalan menuju rumah <orang itu>.....

...sebelum kemudian dihentikan oleh suara tangisan anak kecil.

“Huwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!! Mamaaaaaaaa!!”

Ugh. Kenapa di kompleks perumahan ini tidak ada orang di jalanan sama sekali selain aku?

Pada akhirnya aku tidak bisa mengabaikan anak yang kelihatannya tersesat ini. Untunglah aku tipe orang yang ramah dan mudah didekati anak kecil, jadi si anak yang menangis menurut ketika kutawari pertolongan dan tidak banyak memberiku masalah.

Aku mengantarnya ke pos polisi terdekat, dan dihadiahi ucapan terima kasih. Aku membalasnya dengan tersenyum kecil.


Baiklah. Aku sudah menolong banyak orang hari ini.

Kalau dunia ini adil, seharusnya setelah semua perbuatan baik yang kulakukan, aku pantas diberi balasan yang layak dengan sebuah kesempatan untuk melakukan apa yang kuinginkan, bukan?

Tapi kenyataan tidak pernah ideal. Seharusnya aku tahu sejak awal kalau takdir sedang menguji kesabaranku hari ini.

Ujian terakhirku hari ini segera kutemui ketika aku mencapai rumah <orang itu>.

Ketika aku hampir sampai di depan rumahnya, kulihat sosok seseorang yang tampak berdiri di depan pagar.

Sesaat kukira <orang itu> kebetulan hendak keluar rumah, dan mungkin pas sekali aku datang sebelum ia pergi.

Namun ternyata bukan dia yang kubayangkan sepanjang hari ini yang menyambutku...melainkan seorang laki-laki berambut pendek yang tidak kukenal, yang menerima kedatanganku dengan tersenyum lebar.

“Selamat sore. Hasuragi Mahiru-san, benar? Aku sudah menunggumu.”

Mataku mengernyit secara spontan sebagai respon dari kalimat pertama yang keluar dari mulut pria berjaket hijau ini.

Menungguku? Bicara apa dia?

“Ah, kalau <orang itu> yang kau cari, beberapa menit lalu dia baru saja kuminta pergi keluar untuk suatu keperluan. Lebih tepatnya, aku memintanya keluar karena ingin bicara empat mata denganmu.”

....serius, aku bahkan tidak mengenal orang ini, dan dia sudah bicara seolah kami bukan sepasang orang yang baru saja bertemu.

Apa yang dia inginkan dariku?

“Haha, kau pasti punya banyak tanda tanya di kepalamu sekarang. Itu bagus, karena memang itulah yang kuperlukan untuk memenuhi kepalamu selama kita masih bicara satu sama lain seperti ini. Biar kutebak, pertanyaan yang ada di kepalamu saat ini antara lain pastilah ‘Siapa orang ini?’, ‘Apa maunya orang ini?’, ‘Ke mana <orang itu> pergi?’, dan yang paling penting... ‘Apakah orang ini yang mengikutiku sejak tadi?’”

Aku tersentak sesaat mendengar apa yang ia katakan.

“Oh? Ternyata ada satu dari yang kusebutkan yang tidak kau pikirkan? Hmm, kau pasti begitu ingin cepat-cepat bertemu dengan <orang itu>, sampai lupa kalau sejak tadi kau diikuti.”

“Apa itu kau?”

Aku akhirnya bertanya, tidak tahan dengan pembicaraan sepihak yang terus dilangsungkan orang asing ini seolah ia tahu segalanya tentangku.

“Entahlah. Mungkin itu aku, mungkin itu orang asing yang kau tolong, mungkin itu nenek-nenek yang kau tolong, atau mungkin itu anak kecil yang kau tolong. Yang manapun itu, kau sekarang sudah tidak lagi merasa diikuti bukan? Lagipula pikiran itu sudah hilang dari pikiranmu sampai aku membawanya kembali tadi, jadi untuk apa kau pusingkan lagi?”

“.....”

Dia tahu. Sudah jelas, dia orang yang mengikutiku sejak aku turun dari kereta!

Aku sulit mengikuti apa maunya orang yang tidak jelas asal-usulnya ini. Aku hanya punya satu kepentingan, dan kepentingan itu tidak ada hubungannya dengan pria ini.

“Kapan <orang itu> kembali? Ada yang ingin kuberikan padanya, jadi—“

“Tidak bisakah kau titipkan saja padaku?”

Aku memicingkan mata.

Mencurigakan. Dari gaya bicaranya sejak ia pertama membuka mulut, aku tahu pribadinya menyebalkan, namun lebih menyebalkan lagi karena sikapnya jelas menunjukkan kalau ia ingin menghalangi apapun yang ingin kulakukan hari ini.

“Apa hubunganmu dengan <orang itu>?”

Aku bertanya dengan nada yang menujukkan ketidaksenangan terhadapnya, dan dia masih saja menanggapiku dengan senyuman.

Benar-benar orang yang senang berpura-pura – tipe orang yang tidak kusuka.

“Hm, bagaimana mengatakannya ya... Temanku kebetulan kenalan dekat dengannya, dan aku kebetulan saja berkenalan dengannya lewat temanku itu hari ini. Cukup menjawab pertanyaanmu?”

“Tidak.”

Sejujurnya dia tidak menjelaskan apapun bagiku. Tapi dari setiap kalimat yang ia ucapkan, aku tahu kalau aku tidak akan beranjak ke mana-mana kalau begini terus.

Aku tidak mau pulang begitu saja sebelum niatku datang ke sini tercapai, jadi pertama-tama...

...aku perlu memastikan apakah <orang itu> memang benar-benar tidak ada di dalam.

“Permisi. Aku ingin masuk.”

“Kenapa tidak tunggu <orang itu> kembali dan bicara dulu denganku di sini?”

“Aku tidak mengenalmu, aku tidak tahu apa kau berbohong dengan semua omong kosongmu sejak tadi, dan aku tidak ingin berurusan denganmu. Aku sudah bilang permisi, haruskah kuganti dengan ‘minggir’?”

Aku mengeluarkan sesuatu dari tas pinggangku, dan menghunuskannya ke arah si pria berambut pendek.

“—!?”

Tanganku terhenti sebelum benda yang kupegang menyentuh tubuhnya.

Stun gun, eh. Aku tahu benda seperti ini dilegalkan untuk alat pertahanan diri perempuan, tapi itu hanya berlaku untuk bela diri. Aku belum melakukan tindakan ofensif apapun sejak tadi yang membuatmu pantas untuk menggunakan benda itu padaku. Kau ingin kutuntut atas kekerasan tidak beralasan?”

Pria menyebalkan ini menangkap pergelangan tanganku yang terulur ke arahnya. Dia memang pandai bicara, namun sikap arogan di balik senyumannya itu semakin lama membuatku semakin frustasi.

Tanpa menarik tangan kananku yang tertangkap olehnya, aku memakai tangan kiriku untuk mengeluarkan senjata kedua dari tasku.

Namun belum sempat aku mengarahkan benda tersebut padanya, pria itu memutar tanganku sehingga stun gun yang kupegang kini terarah ke leherku sendiri.

“....kau—!?”

“Sekarang spray...semprotan apa ini? Gas mata, atau gas bau busuk? Ah, tapi sebaiknya kau tidak berusaha menyemprotkannya – aku sekedar bertanya, bukan ingin tahu jawabannya, hahaha.”

“Kuh!”

Dengan paksa aku melepaskan diriku dari cengkeramannya dan mengambil langkah mundur.

Kini tercipta jarak di antara kami, dan aku memandang matanya yang besar dengan tatapan geram.

“Sebenarnya apa maumu!?”

Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Seharusnya aku sudah terlatih untuk menahan diri dan bersikap tenang setiap saat...tapi entah kenapa sulit bagiku melakukannya dalam keadaan ini.

Keadaan di mana aku berhadapan dengan orang yang hanya menghadirkan tanda tanya yang menyebalkan.

Melihat seluruh emosi yang tampak dalam ekspresiku, pria itu tampak puas. Ia kemudian kembali berujar,

“Kau tahu Mahiru-san, informasi adalah senjata terkuat manusia. Ketiadaan informasi berarti ketidaktahuan. Dalam ketidaktahuan, akan tumbuh keraguan, dan dengan keraguan akan lahir ketakutan. Ketika ketakutan menguasai manusia, mereka tidak akan bisa melawan apa yang ada di depan mereka, dan mereka akan menjadi lebih mudah untuk dikontrol.”

“Berhenti bicara bertele-tele dan katakan saja siapa kau sebenarnya!”

“Lihat, kau sudah tidak bisa menyembunyikan dirimu di balik topeng lagi hanya karena sedikit pemicu dariku. Orang bilang mereka yang senang memburu seringkali justru tidak bisa melakukan apa-apa ketika berubah posisi menjadi yang diburu, dan kurasa hal itu benar. Kau datang ke sini dengan satu tujuan, dan di sinilah aku, orang tak dikenal yang membuatmu tak bisa melakukan apapun selain menggeram dan bertanya. “

Aku baru saja hendak menyerbunya lagi, ketika ia mengangkat tangannya dengan gestur yang memintaku untuk berhenti – bahkan sebelum aku bergerak, seolah ia tahu kalau aku hendak menyerangnya saat itu juga.

“Sudah kubilang, aku hanya ingin berbicara. Karena kelihatannya kau tidak ingin berlama-lama, maka akan kupersingkat saja. Tolong menjauhlah dari <orang itu>, karena dia tidak akan tertarik denganmu.”

“....”

Untuk sesaat aku terdiam. Atau lebih tepat kalau kukatakan, tertegun?

Ketika aku sepenuhnya mencerna kalimat barusan, aku kembali bertanya,

“Apa yang kau maksud dengan itu?”

“Oh, kukira sudah cukup jelas. Atau kau perlu penjelasan ‘apa’ dan ‘mengapa’?”

Aku tidak perlu mengangguk untuk memberikan jawaban ‘ya’ dari wajahku.

“Kukira kau tipe orang yang mencari tahu segalanya tentang <orang itu>, tapi ternyata di level personal, informasi yang kumiliki masih lebih unggul ya. Baiklah, ‘apa’. Masalahnya adalah, <orang itu> sudah punya perempuan yang ia sukai. Kalaupun kau menyatakan apapun hari ini, skenario terburuk bagimu adalah penolakan – maka kusarankan sebaiknya jangan melukai dirimu sendiri, karena kau bisa membawanya ikut serta dengan lukamu itu.”

“Ap—“

Aku tidak bisa melanjutkan kata-kata yang hendak keluar dari ujung lidahku – tak percaya dengan apa yang ia katakan, namun tak tahu apa yang harus kukatakan untuk menanggapinya.

Dan ia sudah terlebih dahulu melanjutkan,

“Sekarang ‘mengapa’. Ada banyak alasan bagiku untuk mencegahmu. Aku – dan beberapa orang lain – punya kepentingan yang memerlukan <orang itu> tidak berakhir sebagai pasanganmu. Itu alasan pertama dari pihakku. Dari dirimu sendiri juga ada alasan kuat, yaitu fakta bahwa kau sudah membuat trauma tiga laki-laki malang yang kau kencani selama masa SMP. Dari situ saja, kita bisa sepakat kalau kau belum siap membuat seorang laki-laki bahagia.”

“Ka—“

Lagi-lagi suaraku tertahan.

Aku tidak kehilangan kata-kata. Aku bahkan tidak memilikinya sejak awal.

Terlalu banyak yang ingin kukatakan hingga tak satupun pada akhirnya bersedia untuk keluar dari mulutku.

Dari mana orang ini tahu tentang ‘tiga orang laki-laki’ itu? Bahkan Sakuya tidak pernah tahu!

“Informasi selalu bisa didapat dari banyak sumber, dan apa yang kusebutkan adalah contoh yang kudapat tanpa melihat dirimu secara fisik. Sekarang setelah aku berhadapan langsung denganmu, aku merasa bisa membacamu seperti membaca sebuah buku cerita. Gaya pakaian dan rambutmu menampilkan kesan sederhana, berusaha tidak menarik perhatian namun memiliki aura yang tampak tenang. Sebelum sikapmu berubah karena provokasiku, pribadimu pastilah ramah di luar, tapi memendam banyak masalah di dalam – tergambar jelas dari banyaknya ekspresi yang mampu ditunjukkan dari raut wajahmu.”

Aku tidak mendengarnya.

“Masalah itu tampak begitu dipicu, seperti kayu yang terbakar ketika disulut api. Dan kalau dugaanku benar, ketertarikanmu pada <orang itu> bukanlah atas dasar cinta – namun hanya pembenaran bahwa ‘kau punya seseorang yang disukai, maka kau adalah seorang siswi SMA normal’....walau kurasa menyadap dan menguntit seseorang secara berlebihan bukan bagian dari seorang perempuan normal.”

Aku tidak mendengar apa yang orang ini katakan.

“Pada kenyataannya, bila <orang itu> menjadi milikmu, yang ada di kepalamu hanyalah memaksakan dirinya untuk menjadi sarana pelampiasan apa yang tidak bisa kau tunjukkan di hari-hari biasa kehidupanmu – dan itu sudah terjadi pada tiga orang selama kau duduk di bangku SMP. Sikap posesif ini bisa jadi racun kalau tidak kau perbaiki terlebih dahulu sebelum kau mencari hubungan dengan orang lain.”

Aku tidak ingin mendengar apapun yang orang ini katakan!

“Kelihatannya aku terlalu cepat, ya. Apa ada sesuatu yang terlewat?”

“.....................”

“Mahiru-san?”

“DIIIIIIIIIIIIAAAAAAAAAAAAAAAAAAAMMMMMMMMMM!!”

Aku berteriak.

Pertama kali dalam hidupku aku mengeluarkan suara sebesar ini.

“Kau...kau hanya orang yang muncul entah dari mana! Apa yang memberimu hak untuk menentukan apa yang benar dan apa yang salah?! Untuk apa kau menunjukkan padaku apa yang kau tentang dia dan diriku?! Ah ya, kau pasti berbohong....berusaha mencari-cari kelemahanku untuk kepentinganmu sendiri, bukan!? Hah! Kau kira aku tipe perempuan yang mudah dikelabui dengan kata-kata dan akan menurut padamu begitu saja?!”

Kedua tanganku – masih menggenggam dua buah benda yang bisa kugunakan sebagai senjata – kini nyaris terkepal seandainya tidak ada sesuatu di kedua telapak tanganku.

Di luar dugaan....pria itu justru menunjukkan senyum puas melihat reaksi kerasku.

“Sebaiknya kau berikan cokelatmu padaku sekarang, dan aku akan memberikannya pada <orang itu> untukmu. Bagaimanapun juga, aku merasa tidak enak kau sudah jauh-jauh datang ke sini untuk melakukan sesuatu yang pantas dipuji untuk ukuran ‘seorang anak perempuan yang sedang jatuh cinta’.”

...tidak masuk akal. Apapun yang dikatakan orang ini sama sekali tidak masuk akal.

Ya. Bicara dengannya pun percuma saja. Aku tidak punya urusan dengannya, aku tidak perlu bicara dengannya atau mendengarnya berbicara!

Tanpa peringatan apapun, aku maju dan menggerakkan tanganku lebih cepat daripada sebuah kedipan.

Langkahku menyambar. Mataku membelalak. Mulutku menyeringai lebar.

Aku bahkan tidak tahu tangan yang mana yang sebenarnya kupakai, ataupun sadar ketika seranganku ditepis oleh pria dengan jaket hijaunya yang berkelebat di depan mataku.

Ketika tidak lagi memegang apa-apa, kedua tanganku yang sudah dalam posisi genggaman segera berubah menjadi sepasang cengkeraman.

Tanpa kuperintahkan, kedua tanganku bergerak dengan sendirinya mengincar leher sebuah kepala berambut pendek seperti ular hendak menggigit mangsanya.

Dan sekali lagi aku tidak sadar ketika entah bagaimana tanganku justru mengarah ke belakang, dengan bagian depan tubuhku kini bertemu dengan aspal jalanan.

Aku tidak bisa bergerak.

Punggungku ditindih, dan tanganku sama sekali tidak bebas.

Hanya kepalaku yang bisa bergerak ke depan, dan di depanku sudah ada sebuah benda kecil yang bergerak ke kiri dan ke kanan, ke kiri dan ke kanan, ke kiri dan kanan............

“Aku sudah menduga cepat atau lambat akhirnya akan seperti ini...tapi setidaknya aku akan berbaik hati padamu. Tenanglah, ini tidak akan lama. Sekarang lihat baik-baik koin bertali ini....”


“...dan kau akan melupakan segala bentuk perasaan yang kau simpan pada <--------->.”



  1. Malu-malu tapi mau. Kasar di luar, lembut di dalam.
  2. Penguntit, biasanya dengan konotasi yang bermakna maniak.

Part 3

“Lihat, lihat di sana!”

“Oh, idola sekolah kita!”

“Sumeragi Sakuya-san!”

“Ah..hari ini Sakuya-san cantik seperti biasanya...”

“Selamat pagi, Sakuya-san!”

“Selamat pagi!”

“Selamat pagi!”


Berdiri di samping sang idola sekolah, aku bisa mendengar kalimat-kalimat dengan kekaguman di dalamnya yang terus digumamkan oleh nyaris setiap pasang mata sejauh kami melintas menuju gedung sekolah.

Hari inipun, Sakuya selalu menjadi pusat perhatian seperti biasanya.

Bisa berdiri di sampingnya saja jadi membuatku ikut bangga.

Aku mungkin bukan pusat perhatian – dan tidak pernah ingin menjadi pusat perhatian –, tapi melihat orang yang kuanggap saudara sekaligus sahabat terdekatku disayangi oleh banyak orang ikut membuatku bahagia. Bagiku, itu menandakan kalau semua orang di sekolah ini peduli dengannya, dan tidak akan ada hal buruk yang dapat menimpanya.

Sambil membalas setiap orang yang menyapa dalam perjalanan kami, Sakuya berbicara kepadaku,

“Jadi....bagaimana Valentine kemarin? Kau jadi memberikannya pada <orang itu>?”

“...? Memberikan apa?”

“Fufufu, pura-pura tidak tahu begitu... Tapi ya sudahlah. Kalau memang Mahiru lebih senang menyimpan rahasia sampai tiba waktunya, aku akan menunggu~.”

Sejujurnya aku tidak begitu mengerti apa yang Sakuya katakan. Tapi aku tidak menunjukkannya karena tidak ingin merusak senyum Sakuya pagi ini.

Aku mencoba mengingat kembali.

Hari ini adalah hari Senin tanggal 16. 14 Februari jatuh pada hari Sabtu, yang berarti dua hari lalu. Apa yang kulakukan di hari itu?

“......”

Ingatanku terasa kabur. Aku ingat aku bepergian dengan kereta....namun tidak begitu ingat untuk keperluan apa.

Dipikirkan seperti apapun rasanya percuma saja. Toh tidak semua orang bisa mengingat persis apa yang mereka lakukan beberapa hari lalu, bukan?

Ketika aku berpikir seperti itu, langkah Sakuya berhenti sejenak.

“Siapa itu?”

Aku melihat ke mana Sakuya melihat, dan mendapati seorang pria dengan jaket hijau yang berdiri di depan gedung sekolah. Ia kelihatan lebih tua daripada murid pada umumnya, dan jelas bukan seragam sekolah yang ia kenakan. Penampilannya cukup mencolok bagi siapapun murid yang melintas pagi itu, namun karena sebentar lagi bel masuk, tidak banyak yang menghiraukannya.

Tiba-tiba saja tubuhku bergerak sendiri menuju ke arah orang itu, yang tersenyum ketika melihatku berjalan ke arahnya.



PLAK!


Kemudian aku menamparnya.

Menamparnya dengan sekuat tenaga, hingga bekas tamparanku membuat pipinya memerah.

Aku masih belum sepenuhnya sadar mengapa aku melakukan itu, namun perasaanku sangat puas.

Aneh, memang. Aku bahkan tidak ingat mengenal orang yang baru saja kutampar ini.

“Mahiru? Apa yang kau—“

“Maaf, Sakuya. Bisakah kau masuk lebih dulu? Aku akan menyusulmu nanti.”

Tanpa melihat pun aku tahu kalau ekspresi Sakuya saat ini pasti menunjukkan keheranan. Aku bisa menebaknya, karena aku juga sama herannya.

Pria yang baru saja menerima tamparanku tersenyum ramah ke arah Sakuya, dan dengannya Sakuya memutuskan untuk mengikuti keinginanku, meninggalkan kami berdua di depan pintu masuk gedung.


“Baik, aku tidak mau terlambat untuk menjawab absen, jadi ceritakanlah.”

Masih di depan pintu masuk gedung, aku dan orang yang tak kukenal ini berdiri. Bel masuk sudah berbunyi, namun badanku menolak untuk meninggalkan tempat ini sebelum mendengarnya berbicara.

Samar-samar, aku mengingatnya.

Apapun yang kulakukan di hari Sabtu lalu, orang ini adalah bagian darinya, dan sesuatu membuatku luar biasa benci padanya.

Meski aku tidak tahu apa itu.

Masih tersenyum kepadaku, sang laki-laki berambut pendek mulai berbicara,

“Ceritakan apa?”

“jangan pura-pura bodoh. Aku tidak tahu siapa kau, tapi aku langsung tahu kalau kita pernah bertemu. Dan apapun yang terjadi dalam pertemuan kita, kau sekarang ke sini untuk melihat keaadanku.”

“Hebat. Gaya bicaramu sekarang terdengar lebih menyenangkan untuk menjadi teman mengobrolku. Sayang kita terbatas oleh waktu. Jadi kutanya lagi, apa yang kau ingin aku ceritakan?”

Aku tidak perlu bertanya kenapa dia ke sini, karena yang ia inginkan pastilah hanya untuk melihat reaksiku, dan dengannya dia sudah mendapat apapun yang ia ingin ketahui. Aku tidak perlu bertanya siapa dia, karena firasatku mengatakan aku tahu pernah bertemu dengannya meski tidak tahu siapa dia – dan itu berarti menanyakan identitas terbukti tak berguna pada pertemuan pertama kami. Jadi yang perlu kutanyakan sekarang adalah....

“Apa yang kau lakukan padaku di hari Sabtu?”

Hari Sabtu, 14 Februari. Hari Valentine.

Begitu melihat wajah laki-laki di hadapanku ini, aku merasakan dengan pasti kalau ingatanku yang samar seolah kembali ke permukaan – dan dia adalah pemicunya. Dia adalah bagian dari ingatan itu. Apapun yang ada di dalamnya, aku ingin tahu.

Senyum laki-laki ini semakin lama semakin memuakkan, seolah-olah hanya itu ekspresi yang bisa ditunjukkan oleh wajahnya.

“Apa yang kulakukan padamu? Apakah pertanyaanmu tidak seharusnya dibalik menjadi, apa yang kau – Mahiru-san – lakukan padaku? Kejam sekali kau melupakanku, setelah memberiku ini.”

Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya.

Sebuah cokelat batang.

“.....!”

Sesaat aku tidak mengenalinya, namun kemudian kembali ingatanku sedikit terbuka.

Aku mengenali cokelat itu.

Ya. Aku datang jauh-jauh ke satu tempat hingga menaiki kereta dengan satu tujuan. Cokelat, hari Valentine....

Apakah aku...memberikan cokelat pada orang ini?

Tapi kenapa?

Bagaimana mungkin aku tidak mengingatnya?

Bagaimana mungkin respon pertamaku saat melihat wajahnya adalah dengan menamparnya?

Lagipula, siapa dia?

“Haha, ekspresi itu lagi.”

Pria itu tertawa melihatku.

“Kau menunjukkan wajah aslimu ketika kau sedang keheranan. Itu bagus. Kau terlihat lebih jujur. Aku yakin bahkan Sumeragi Sakuya tidak memiliki banyak kesempatan untuk melihatmu tanpa topeng begini.”

“....apa yang kau maksud?”

“Kudengar perempuan senang menyimpan satu-dua rahasia, benar? Kebetulan aku tahu kalau kau termasuk perempuan yang menyimpan satu, dua, mungkin tiga atau lebih rahasia, dan tidak banyak yang tahu tentangnya. Tapi bergembiralah! Untung saja orang yang tahu tentang rahasiamu adalah orang yang senang menjadi bagian dari sebuah rahasia, senang dengan adanya tanda tanya di kepala. Jadi, biarkan aku dan cokelat ini menjadi bagian dari rahasia kecilmu, Hasuragi Mahiru-san.”

“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau katakan.”

“Dan kau memang tidak perlu mengerti, setidaknya untuk saat ini. Sudah ya. Aku merasa tidak enak sudah menahanmu. Cepatlah masuk ke kelasmu sebelum pelajaran pertama dimulai.”

“Tunggu! Setelah kupikirkan lagi, aku harus tahu siapa kau!”

“Oh, aku tahu kau punya kemampuan untuk mencari tahu sendiri. Dalam sebulan, mungkin kau sudah mendapatkan siapa namaku, di mana aku tinggal, siapa orangtuaku, dan mungkin hingga makanan kesukaanku. Kalau memang berjodoh, mungkin kapan-kapan kau bisa menraktirku makanan yang kusuka.”


Si laki-laki berjaket hijau berlalu meninggalkanku, seraya melambaikan cokelat batang di tangannya.

“Tenang saja~! Bulan depan, aku pasti akan memberikan balasanku untukmu di White Day, hahaha~.”