Palatial Palover:Volume00 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 02 – Mizumiya Aya (March)

Part 1

“Kumohon, jadilah pacarku!”

Ini adalah hari Jumat di minggu ketiga bulan Maret. Tepat seminggu sebelum semester genap berakhir.

Dan di sinilah aku, menerima pernyataan cinta dari seorang anak laki-laki yang tidak kukenal sebelumnya.

“Uh, ah....”

Uuuh..apa yang harus kukatakan dalam situasi seperti ini? Aku jarang membaca komik atau menonton film drama, jadi aku tidak pernah tahu apa yang biasanya orang lakukan kalau ada yang menyatakan cinta..

Kulihat mata laki-laki itu masih menatapku dengan serius, tak ingin melepaskan pandangannya dariku sebelum aku memberinya sebuah jawaban.

Tapi apa yang harus kujawab?

Kalau aku menolaknya, apa aku akan menyakiti hatinya? Aku takut kalau dia sampai depresi, tidak masuk sekolah, atau bunuh diri hanya karena aku tidak menerimanya...

Tapi aku juga belum begitu mengenalnya. Dia kelihatannya orang yang baik, tetapi...apakah aku mau berhubungan dengan seseorang yang baru hari ini kukenal?

Aku perlu waktu untuk berpikir..

“Be, beri aku waktu...satu minggu.”

Entah kenapa hanya itu yang bisa kupikirkan. Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, jadi kurasa aku harus belajar lebih dulu soal hubungan seperti ini sebelum bisa memberinya jawaban yang layak. Di luar dugaanku, laki-laki memperlihatkan ekspresi tidak setuju.

“Satu minggu itu terlalu lama!” katanya, masih mengunci matanya ke arahku. “Saat hari Jumat minggu depan berakhir, kita sudah tidak akan sekelas lagi! Dan mulai minggu depan kita sudah ulangan akhir semester...aku tidak akan bisa berkonsentrasi belajar untuk ulangan kalau masih memikirkan jawaban apa yang akan kau berikan!”

....eh?

Ka, kalau kau sebegitu keberatan dengan permintaanku, kenapa kau memilih waktu sekarang untuk menyatakan cinta?!

“A-aku...”

“Satu hari. Kuberi kau satu hari, dan berikan jawabannya besok. Besok kita masih bersekolah sampai siang, dan kurasa---“

“Tu-tunggu! Kenapa kau jadi memutuskan seperti itu? Kumohon, ini adalah yang pertama dalam hidupku, setidaknya biarkan aku---“

“Ini juga yang pertama bagiku,” kali ini mukanya sedikit memerah. “Aku sudah mengumpulkan semua keberanian untuk saat ini, dan aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kalau memang aku harus hancur, lebih baik aku hancur dengan segera daripada dibunuh perlahan-lahan!”

“....”

Uuuuh... Apa yang orang ini bicarakan?

Aku sedikit merasa simpati padanya. Aku mengerti kalau dia juga sudah berusaha untuk menciptakan kesempatan ini, dan rasanya tidak sopan kalau aku tidak menghargai apa yang sudah ia lakukan...

“Lima hari,” tawarku. “Hari Rabu minggu depan, aku akan memberikan jawabanku padamu, jadi---“

“Dua hari,” balasnya. “Hari Minggu, kau bisa memberikanku jawabanmu sebelum hari Senin dan ulangan akhir semester dimulai, ba—“

“E, empat hari!” Aku tak mau mengalah. “Hari Selasa! Biarkan aku setidaknya melewati dua hari libur dan dua hari sekolah!”

“Tiga atau tidak sama sekali!” Laki-laki itu mengeluarkan penawaran terakhir. “Hari Senin! Apapun jawabanmu, aku akan siap menerimanya dan tidak lari!”

Setelah berkata begitu, laki-laki kemudian berbalik dan melarikan diri.

“......eh?”

Di bawah pohon sakura yang mekar menjelang musim semi, aku hanya bisa terdiam mencerna apa yang baru saja terjadi.


Part 2

“Fuwaaaah...”

Ini adalah pagi menjelang siang di hari Sabtu, dan aku tidak sedang berada di sekolah.

Kalau ditanya kenapa aku tidak ke sekolah...kurasa karena aku belum siap kalau sampai bertemu dengan laki-laki itu lagi seandainya aku masuk sekolah hari ini. Lagipula hari ini tidak ada banyak kegiatan selain persiapan untuk ulangan akhir semester yang dimulai lusa, jadi kurasa tidak akan terlalu berpengaruh kalaupun aku tidak masuk sekolah.

Dan kini, di sinilah aku, di tengah-tengah kota Kaminokuni.

Aku bukan penduduk asli kota ini. Baru sejak awal tahun ini aku dan keluarga kakakku pindah ke kota ini, karena alasan pekerjaan suami dari kakakku. Aku menumpang tinggal dengan mereka, jadi mau tak mau aku harus ikut pindah ketika mereka pindah ke sini.

Meskipun aku tidak keberatan dengan suasana baru yang kudapat di kota Kaminokuni, tapi sejujurnya, aku mengalami kesulitan beradaptasi.

Sebagai contoh, kurasa aku bisa dibilang tidak punya teman dekat sama sekali hingga akhir kelas satu ini.

Sebagai contoh, aku tidak bisa mengingat setengah wajah dan nama dari teman-teman sekelasku.

Sebagai contoh, aku masih sering tersesat bila berjalan terlalu jauh ke pusat kota.

Seperti saat ini.

Ya, saat ini aku sedang tersesat.

Seperti seorang anak yang kehilangan ibunya di pusat perbelanjaan, aku hanya bisa melirik ke sana kemari tanpa arah dan tujuan yang jelas sejak aku sadar kalau aku tersesat. Ugh, kenapa aku malah pergi ke tengah kota kalau sejak awal aku ingin membolos? Kenapa aku tidak diam saja di rumah?

Berpikir seperti apapun, penyesalan tidak akan pernah ada gunanya.

Um. Anggap saja aku sedang berusaha mengganti suasana hati. Mungkin berkeliling menuju tempat baru yang tidak pernah kulewati sebelumnya bisa memberi perubahan pada isi kepalaku saat ini.

Sambil berpikir demikian, akupun menyusuri pusat kota Kaminokuni yang ramai dengan para penduduknya berlalu-lalang.

Kota Kaminokuni bukanlah sebuah kota besar. Setidaknya, karena aku belum melihat satupun gedung tinggi yang lebih dari 5 lantai ataupun jalan raya yang lebar, maka kusimpulkan kota ini tidak begitu besar. Kota ini lebih dipadati dengan bangunan-bangunan yang berdempetan satu sama lain, meski harus kuakui hijaunya kota ini adalah sesuatu yang harus kuacungi jempol.

Dan yang paling menarik perhatianku sejak tadi adalah sebuah gerbang yang berdiri tegak di pusat kota.

Aku sempat mengobrol dengan kakakku mengenai kota ini, dan dia memang sempat mengatakan kalau kota ini punya semacam monumen khusus tepat di tengah-tengah kota. Monumen yang dimaksud – setelah aku sampai tepat di depannya – ternyata adalah sebuah gerbang raksasa yang menjulang tinggi hingga mengungguli bangunan tertinggi manapun yang bisa kau temukan di kota ini.

Namun yang paling aneh dari gerbang raksasa ini adalah letaknya.

Gerbang ini bukanlah sebuah penghubung suatu bangunan dengan dunia luar. Bisa diibaratkan bagai sebuah pintu yang berdiri begitu saja, tanpa menempel pada dinding rumah atau apapun.

Kalau kuperhatikan, memang nyaris tidak ada yang istimewa dari gerbang ini, selain tinggi dan letaknya yang absurd.

Seharusnya bentukan monumen aneh ini merupakan sesuatu dengan nilai sejarah, kan... Tapi kenapa aku tidak merasa ada nilai sejarah yang terkandung di gerbang ini? Lagipula, untuk apa gerbang ini diciptakan?

“Gerbang ini dulunya dianggap sebagai penghubung antara dunia dewa dan dunia manusia. Kota ini diyakini merupakan tempat para dewa pertama kali berpijak di bumi, dan membangun kehidupan hingga menjadi sebuah kota, sampai manusia datang dan para dewa kembali ke dunia mereka. Karena itulah kota ini dinamai ‘Kami-no-kuni’*.”

“Hee.. Ternyata ada cerita seperti itu...”

Aku benar-benar baru tahu soal cerita ini. Jadi gerbang ini merupakan penghubung antar dunia?

“Ya, dan legenda ini masih diturunkan turun-temurun dari generasi ke generasi. Kalau kau tidak tahu, kurasa jelas kalau kau bukan penduduk asli sini.”

“Aku memang bukan penduduk asli kota i---“

Tunggu.

Tunggutunggutunggu. Sejak kapan aku berbicara – dengan siapa?

Aku segera menoleh ke belakang dan mendapati sekelompok pria berdiri di balakangku.

“....?”

Mereka berjumlah lima orang dan tidak mengenakan seragam sekolah sepertiku. Tampang mereka juga lebih tua daripada anak lelaki seumuranku, jadi kelihatannya mereka sudah bukan anak sekolahan lagi (kuliah?).

Dan mereka semua tampak melihat ke arahku dengan tatapan antusias (?).

“Si, siapa kalian?!”

Terkejut, aku mengambil langkah mundur hingga punggungku menabrak gerbang raksasa di belakangku.

“Ah, tolong tenang dulu. Kami bukan orang yang mencurigakan, kok...”

Salah seorang di antara mereka yang mengenakan jaket bertudung abu-abu maju dan berusaha bersikap ramah, namun kemudian disela oleh temannya yang mengenakan jaket hijau.

“Sebenarnya, kita cukup mencurigakan. Sejauh radius 1 km dari gerbang ini dikelilingi oleh dinding, dan tidak ada pengunjung selain kita berenam di dalam sini.”

...dinding?

Aku melihat ke sekitar, dan baru menyadari kalau kata-kata pria itu ada benarnya. Gerbang raksasa ini berdiri di tengah-tengah daerah lapang yang kosong, dan dikelilingi oleh dinding tinggi yang berbentuk lingkaran. Sejak kapan aku masuk ke sini – dan kenapa aku tidak sadar sejak tadi?

Dan di dalam sini, hanya ada aku – seorang perempuan lemah – dikelilingi oleh lima orang lelaki yang tidak jelas dari mana munculnya.

“Ka, kalian mau apa?”

Mereka saling memandang satu sama lain, sebelum si jaket abu-abu kembali berbicara,

“Sudah kubilang, kita seharusnya tidak mendekatinya tanpa memperkenalkan diri seperti ini! Lihat, dia pasti sekarang berpikir kalau kita ini sekelompok preman yang ingin berbuat macam-macam di tempat sepi begini! Kalau sampai terjadi sesuatu, aku tidak mau terlibat!”

“Oh? Berbuat macam-macam? Seperti apa maksudmu?”

“...jangan memancingnya, Aoi. Kau membuat perempuan ini takut nanti...”

“Kenapa kita tidak langsung minta dia menyentuh gerbang itu saja sih? Rasanya masalah bakal lebih cepat selesai kalau kita tidak berputar-putar seperti ini.”

“Bodoh! Dia itu Dewi! Sosok yang harus kita lindungi! Bukan posisi kita untuk memerintah seenaknya!”

“.....”

Aku hanya bisa menonton mereka berlima berdebat satu sama lain tanpa mengerti apa yang mereka bicarakan.

Mereka bahkan tidak menjawab satupun pertanyaanku dari tadi.

Tidak kusadari kalau tanganku menyentuh gerbang di belakangku, dan saat itu pula---


“!?”

---sesuatu yang luar biasa terjadi.


“---!? Dia benar-benar menyentuhnya?”


“Wahahaha, inilah saat yang kita tunggu-tunggu!”

“...oooh, lebih heboh dari bayanganku....”

Apa yang saat ini terjadi adalah sebagai berikut.

Gerbang di belakangku entah bagaimana membuka dengan sendirinya, dan entah bagaimana pula lima buah bola cahaya keluar dari gerbang tersebut dan meluncur ke arah kelima lelaki di depanku.

“A, apa ini?”

Tak mengerti apa yang terjadi, aku segera menjauhi gerbang itu dengan panik. Sebisa mungkin aku menjauh hingga ke sisi-sisi dinding yang mengelilingi gerbang ini, kemudian melihat apa yang terjadi pada kelima pria tersebut.

Segera setelah aku menjauh, rupanya gerbang itu kembali menutup...sementara kelima pria itu sesaat disinari oleh cahaya yang keluar dari gerbang, hingga kemudian cahaya itu padam dengan sendirinya.

“Luar biasa...”

Salah satu di antara mereka berlima mengangkat tangannya ke udara, seolah tengah menggenggam sesuatu yang tak dapat dilihat dengan mata. Ia tersenyum puas, sebelum kemudian melirik ke arahku.

“Terima kasih atas kekuatannya, Dewi! Akan kami pastikan kedamaian dunia ini tidak dihancurkan oleh serangan alien jahat!”

....aku tak tahu harus berkomentar apa.

Semuanya terjadi terlalu cepat untuk otakku memproses apa yang bisa ditangkap logika.

Tapi aku tidak punya ruang untuk memikirkan hal itu. Satu-satunya yang ada di kepalaku saat ini hanyalah bagaimana aku bisa segera pergi jauh dari tempat ini dan tidak terlibat dengan orang-orang aneh ini lagi.

Maka aku segera membalikkan badan dan berlari mengitari dinding, berusaha mencari di mana pintu keluar.

“---? Tunggu, kau mau ke mana?!”

Aku tidak mengindahkan keheranan mereka karena toh mereka juga tidak menjawab apa-apa saat aku bertanya sebelumnya. Segera setelah aku menemukan bagian dari dinding yang terlihat seperti sebuah pintu masuk tanpa pintu (ya, hanya ada ruang kosong berlubang di dinding tanpa pintu), aku segera keluar dari tempat tersebut dan tidak menengok ke belakang lagi.

Kupikir semuanya sudah berakhir saat aku menginjakkan kaki di luar perimeter dinding yang mengelilingi gerbang raksasa itu.

Tapi ternyata tidak.

“Tunggu! Kami belum menjelaskan apa-apa padamu!”

“---hiiiiiiii?!!”

Kelima laki-laki aneh itu mengejarku dari belakang dengan penuh gairah (setidaknya di mataku mereka terlihat bersemangat sekali mengejarku), membuatku benar-benar takut setengah mati. Apa yang mereka inginkan dariku? Kenapa aku harus terlibat kejadian seperti ini cuma karena membolos sekolah satu hari?

Aku berlari menyusuri daerah perkotaan, seraya berteriak meminta pertolongan.

“Tolooooooong!! Ada sekumpulan pria aneh yang mengejarkuuuuuuuuu!!”

Rupanya aku tidak benar-benar sial. Kulihat beberapa orang yang kulalui bahu-membahu menghentikan kelima lelaki itu sambil berteriak ‘Beraninya mengejar seorang gadis di siang bolong!’, ‘Preman dari mana kalian?!’, ‘Hajar, hajar!’, dan lain sebagainya.

Terima kasih, penduduk kota yang tidak kukenal! Aku tidak akan melupakan budi baik kalian hari ini!


Perjalananku ke pusat kota Kaminokuni hari itu ditutup dengan memesan taksi dan langsung pulang menuju rumahku. Harusnya aku melakukan ini sejak awal aku tersesat....


Part 3

Ini adalah malam di hari Sabtu, di mana aku sudah sampai di rumah dan sedang beristirahat dengan tenang.

Walau tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi tadi siang, kurasa aku agaknya terlalu panik juga. Kalau dipikir lagi, mungkin seharusnya aku berusaha untuk berbicara dulu dengan mereka alih-alih langsung lari dan tidak mendapat jawaban apa-apa dari apa yang terjadi.

Poin yang bisa kuingat kurang lebih seperti ini :

- Aku sampai di depan gerbang raksasa Kaminokuni

- Ada 5 orang pria aneh yang menyebutku sebagai ‘Dewi’

- Gerbang itu membuka dan menyinari kelima orang itu dengan cahaya, yang kelihatannya memberi mereka sebuah kekuatan atau semacamnya

“....”

Plot film fantasi macam apa ini?

Aaaah, aku tidak mengerti... Kenapa belakangan ini aku jadi terlibat banyak hal tak terduga, sih?

“Sedang melamunkan apa, adikku yang manis?”

“Umpf!”

Seseorang menaruh kedua tangannya di pipiku dan menariknya lebar-lebar, membuatku terkejut. Aku menoleh ke belakang dan mendapati sosok seorang ibu muda berparas cantik yang tengah menggendong anaknya di punggung.

Ibu muda ini adalah kakakku, Mizumiya Saya. Sementara anak perempuan yang belum mencapai usia sekolah dan menempel dengan manja di punggung ibunya adalah keponakanku, Mizumiya Emiri.

Mungkin terdengar mengherankan kenapa nama keluarga kami bertiga masih sama sementara kakakku sudah menikah. Hal ini dikarenakan suami kakakku tidak memiliki nama marga, jadi kakakku tetap memiliki nama keluarganya, dan mereka memutuskan untuk menggunakannya juga pada anak mereka.

...hidup yang aneh. Setidaknya selama dia bahagia, aku tidak merasa punya hak untuk mengeluhkan hidup orang lain. Toh aku juga punya masalahku sendiri.

“Aya-neetan sedang apa?”

Kepala Emiri muncul dari balik pundak kakakku, bertanya hal yang sama dengan apa yang kakakku tanyakan. Kalau soal ingin tahu masalah orang lain, sifat kedua ibu-anak ini memang mirip.

“Ah, tidak apa-apa. Aku cuma sedang beristirahat setelah tersesat di kota tadi siang. Huuh, kalau aku tahu hanya akan mendapat lelahnya saja, mestinya seharian ini aku di rumah saja, ya.”

Telsesat itu apa?” tanya Emiri lagi.

“Tersesat itu, kalau kamu ditinggal sendirian di luar rumah dan tidak ada ibu atau ayah di sampingmu. Terbayang tidak?” jawab kakakku sambil menaruh dua jarinya melebarkan mulut Emiri, seperti apa yang baru saja dia lakukan padaku. Kebiasaan jelek.

“Aya-neetan juga tidak ada?”

“Ya, Aya-neetan juga tidak ada.”

Belalti Emiri sendilian?”

“Ya, Emiri cuma sendirian.”

“....uuung, uuuu—UWAAAAAAAAAAA!!”

Mendadak Emiri menangis seperti bom meledak tanpa pemberitahuan dari teroris.

“Kakak!”

“Ahahaha, maaf, maaf. Cup cup sayang, yuk, memang sudah waktunya kamu tidur jam segini.”

Tanpa memedulikan tangisan Emiri yang menjadi-jadi, kakakku membawanya ke kamar. Entah apa yang dilakukannya, namun dalam hitungan menit, suara tangisan Emiri lenyap begitu saja. Tak lama kemudian ia muncul kembali di ruang keluarga dan langsung mengambil tempat duduk di sebelahku.

“Maaf menunggu~,” ujarnya tanpa rasa bersalah. “Karena sekarang sudah tidak ada orang ketiga, yuk lanjutkan cerita yang sebenarnya.”

“Kau membuat anakmu sendiri menangis cuma agar dia cepat tidur? Ibu macam apa kau ini?”

“Kasih ibu pada anaknya itu tidak bisa dipandang hanya dengan apa yang dilihat mata. Kalau kasih kakak ke adiknya sih beda lagi~.”

Aku heran seseorang seperti ini bisa menjadi seorang ibu.

“Jadi, kamu mau cerita atau tidak?” tanya kakakku meraih setoples cemilan di meja.

Kurasa aku memang tidak berbakat menyembunyikan sesuatu. Mungkin salah satu alasan kenapa aku keluar dan pergi ke kota adalah karena tidak ingin kakak melihat ada yang aneh denganku sejak pernyataan cinta kemarin...tapi ternyata memang sia-sia, ya.

Aku menghela napas, mencoba mengatur alur cerita yang perlu kusampaikan pada perempuan yang paling dekat dengan hidupku selama ini.

“...........................kemarin.....”

“Kemarin?”

Oke, itu langkah bagus. Ayo, Aya! Sekarang keluarkan lanjutannya!

“.......................seoranglakilakidisekolahmenyatakancintapadaku.”


BUM!

Mendadak sesuatu meledak dalam diriku.

Tidaaaaaaaak! Aaaaah! Aku sudah mengatakannya, tidak bisa kutarik lagi!

Mukaku pasti luar biasa merah padam saat ini. Aku merasa panas, begitu panas sampai rasanya mataku dan kepalaku beruap. Ugh, kenapa cuma karena mengatakan sebuah kalimat begini efeknya begitu besar?!

“Heeee~.”

Kakakku masih menyantap cemilannya dengan mata menyipit. Sial, ini dia. Apapun yang setelah ini keluar dari mulutnya harus bisa kutahan sampai arah pembicaraan tenang lagi!

“Selamat ya, Aya~! Uwaaa, tahu tidak, kakakmu ini ketika seumuranmu juga didatangi banyak cowok lho. Ooh, betapa aku sempat khawatir karena sampai SMA ini gelagatmu seperti perempuan yang tidak pernah mengenal romansa masa remaja. Aku terharu! Ternyata adikku punya kisah cinta dalam lembaran hidupnya untuk diceritakan ke anak cucunya di masa depan! Ah, aku harus bilang ini ke Asta—“

“STOOOOOOOP!! Jangan beritahu ini ke suami kakak! Biarkan ini jadi pembicaraan antar perempuan saja!”

“Eeeh, kenapa? Kan lumayan, siapa tahu kita bisa dengar pendapat dari sudut pandang laki-laki. Oh, siapa tahu juga ini bisa jadi bahan agar kamu didekati lebih banyak laki-laki lagi.”

“Tidaktidaktidak, aku sudah cukup didatangi lima laki-laki aneh siang ini, jadi....”

Ah.

“....lima? Selain yang kemarin, hari ini ada lima?” tanya kakak dengan wajah tak percaya.

“Ng, bukan, maksudku...”

“Kyaaaaaaaaaaa~~!” mendadak ia menjerit girang. “Aaaaah, sudah kuduga, kau memang punya bakat populer sepertiku! Oh, kenapa aku sampai meragukan ini padahal kita memiliki darah yang sama? Aku benar-benar kakak yang jahat...tapi tenang saja, Aya! Setelah ini, aku akan membimbingmu agar kehidupan remajamu menjadi lebih berwarna---ubh!?“

Entah cemilan apa yang dari tadi kakakku makan, tapi aku menyumpal mulutnya dengan cemilan itu supaya dia berhenti mengoceh lebih lanjut.

“Tolong. Dengarkan. Dulu. Biarkan aku, yang sudah memutuskan untuk bercerita padamu, menyelesaikan kata-kataku dulu, oke? Sekarang kunyah dan habiskan cemilan itu sambil mendengarkan orang berbicara.”

Kakak hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku pun kemudian mulai bercerita...


“...jadi begitu ceritanya,” ujarku menutup rangkaian kisah yang terjadi dari Jumat kemarin hingga siang ini. “Nah, kau boleh berkomentar sekarang.”

Kakak – yang entah sejak kapan sudah menyiapkan kopi untuk kami berdua – meminum kopi di cangkirnya. Kelihatannya kopi yang ia buat sedikit pahit, karena ia kemudian menambahkan beberapa gula kubus sebelum tegukan kedua.

“Hmm hmm,” gumamnya dengan nada menggoda. “Jadi cowok yang kemarin ini, mau kau terima atau kau tolak?”

“...aku belum tahu. Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu bakal ada skenario seperti apa kalau aku menerimanya dan kalau aku menolaknya. Apalagi setelah kejadian tadi siang – rasanya seolah ada kekuatan yang lebih besar sedang bermain-main dengan takdirku sekarang.”

“Adikku sayang, tolong jangan jadi delusional cuma karena mendapat tantangan hidup bernama cinta.”

“Tapi setidaknya cerita soal lima laki-laki tadi siang itu benar,” kataku berusaha meyakinkan kakak. “Mereka muncul entah dari mana, dan dari gerbang itu juga keluar cahaya-cahaya aneh entah bagaimana. Kecuali mataku menipuku, yang rasanya aneh sekali kalau aku mendadak mendapat kelainan melihat apa yang seharusnya tidak bisa kulihat.”

“Cahaya aneh, lima orang laki-laki, gerbang kota, dan ‘Dewi’, ya..” sekali lagi kakak menyeruput kopinya. “Kalau kau tanya pendapatku sih, aku tidak tertarik.”

Ugh. Untuk apa aku bercerita kalau begitu?

“Tapi aku lebih tertarik pada laki-laki yang tertarik padamu. Coba kau punya namanya, pasti aku bisa mencari satu-dua hal tentang dia agar kau bisa menimbang-nimbang lebih baik menerimanya atau menolaknya.”

“Eeeh...”

Kakak memang seram. Aku tidak tahu bagaimana, tapi terkadang kakak bisa tahu seluk-beluk tentang seseorang hanya bermodalkan nama. Mungkinkah ini kekuatan dari ‘gosip’? Kemampuan seseorang yang sudah menjadi ibu-ibu ternyata tidak bisa dianggap remeh...

“Jangan memasang wajah seperti itu, ah. Aku kan cuma bercanda!”

“...kalau kakak yang bilang begitu, kadang aku tidak bisa menebak kau memang bercanda atau serius...”

Aku meneguk kopi yang sedari tadi belum kuminum.

Pahit, tapi cukup hangat.

Perasaanku kini cukup lega. Harus kuakui, kelihatannya aku memang bukan tipe orang yang bisa memendam sebuah masalah sendirian terlalu lama...dan aku merasa lebih lega bila sudah berbagi dengan orang lain seperti ini.

“Oh iya, a---“

Kakak kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, namun ucapannya terpotong oleh dering telepon yang berbunyi dari lorong di pintu depan.

“...? Telepon? Siapa yang menelepon kita malam-malam begini?”

“Mungkin suami kakak. Angkat saja.”

Dengan malas kakak menghilang dari balik pintu ruang makan menuju ke lorong depan dan mengangkat telepon. Selang beberapa detik kemudian, dia muncul lagi sambil tersenyum.

“Siapa kak?”

“Fufufu~. Entah ya... Tapi yang jelas dari suaranya sepertinya laki-laki, remaja....dan mencarimu.”

“---!?”

Nyaris aku menyemburkan kopi yang sedang kuminum karena terkejut.

“Ara? Tidak perlu sebegitunya, Aya~,” kakak menyindirku dengan nada menggoda. “Tapi laki-laki ini kelihatannya gigih sekali ya...sampai menelepon malam-malam begini.”

“Kenapa kakak tidak tutup saja teleponnya dan bilang aku sudah tidur?!”

“Oh, tidak, tidak. Kalau ini medan tempur, kau tidak boleh lari! Seseorang yang masih remaja tidak boleh menyia-nyiakan gairah masa mudanya!”

Kakak mendorongku keluar ruangan, membuatku tidak punya pilihan selain mengangkat telepon yang menunggu jawab di depanku.

Aku menghela napas sebelum menyapa,

“Selamat malam?”

“Malam, Mizumiya Aya-san,” ujar suara di seberang sana.

Hm? Rasanya ini bukan suara yang sama dengan laki-laki hari Jumat kemarin...

“...maaf, siapa ini?”

“Oh? Benar juga. Kami memang tidak sempat mengenalkan diri tadi siang, ya. Perkenalkan, namaku Nakahara Aoi.”

‘Kami’. ‘Tadi siang’.

Mendengar kalimat itu, aku langsung bisa menebak siapa orang ini meski tidak mengenalnya.

Orang ini...dia salah satu dari lima orang yang ada di depan gerbang raksasa Kaminokuni tadi siang?

“Ng, maaf, ada perlu apa denganku?”

“Tolong jangan tegang begitu. Percayalah, kami bukan orang yang mencurigakan...ah, tapi kau pasti sudah dengar ucapan seperti ini sebelumnya, ya?”

Aku tidak tahu harus menganggap mereka apa karena memang tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku.

“Sederhana saja; aku ingin bicara empat mata denganmu soal posisimu di mata kami berlima saat ini. Ah, dan juga soal laki-laki bernama Rairumu Danzo yang menyatakan cinta padamu kemarin.”

“---!?”

Tunggu.

Dari mana dia---?

“Aku tidak punya apa-apa untuk memaksamu datang menemuiku sih...tapi rasanya rasa ingin tahu yang memenuhi kepalamu saja sudah cukup untuk jadi alasan bertemu denganku, kan? Tolong temui aku di restoran ‘Rambargo’ di pusat kota. Untuk waktunya...mungkin sekitar jam 1 siang aku sudah ada di sana. Kutunggu, ya. Trims, dan sampai jumpa besok!”

Sambungan kemudian terputus, meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong dan kakak yang mengintip sambil memandang heran dari balik ruang makan.

“Orang tadi bukan laki-laki yang kau ceritakan?” tanya kakak menghampiriku.

“Bukan...,” aku menggaruk-garuk kepala. “Dan justru karena bukan dia, aku merasa ada semakin banyak pertanyaan di sini...”


Part 4

Ini adalah siang hari di hari Minggu, dan saat ini aku sedang berada di sebuah restoran di pusat kota---

---bersama dengan seorang pria muda berambut pendek dengan jaket hijau yang terus tersenyum tanpa lelah sejak bertemu denganku.

Setelah datang ke restoran kecil ini, bertemu dengan seseorang yang menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai penelepon semalam, kemudian dipersilakan untuk memesan makanan yang aku mau karena kebetulan sekarang jam makan siang, akhirnya aku dan orang di depanku duduk berhadapan di sebuah meja di sudut restoran. Dia menjelaskan bahwa dia sengaja mengundangku untuk berbicara berdua saja, karena mempertimbangkan kemungkinan aku tidak akan mau datang kalau mereka datang berlima sekaligus seperti kemarin. Tak lama kemudian makanan yang kami pesan datang, dan orang di hadapanku ini menyambutnya dengan menikmati santapan yang ia pesan dengan lahap.

Tunggu, kau ini mengundangku untuk makan atau untuk bicara?

“Bisa kita mulai berbicara?” tanyaku tak sabar. “Aku ada ujian akhir semester besok, dan kuharap aku masih punya waktu untuk belajar...”

Sejujurnya aku sendiri heran kenapa aku menurut saja untuk datang ke tempat ini. Kalau dipikir lagi, perempuan bodoh mana yang akan mendatngi laki-laki tak dikenal di siang bolong hanya karena mendapat sebuah telepon di tengah malam?

Ah. Perempuan bodoh itu aku sendiri.

Aku baru saja ingin mengutuki diri sendiri lagi, ketika mengingat hal serupa juga terjadi kemarin saat aku tersesat di kota. Kenapa kelihatannya aku hanya berbakat dalam hal mengeluh?

“Oh? Boleh aku mulai berbicara?” pria bernama Nakahara Aoi itu balas bertanya, kelihatannya sadar sedang ada monolog internal dalam batinku sedari tadi.

“...silakan.”

Dia berhenti menyantap makan siangnya, kemudian melakukan gestur menaruh tangan di dagu.

“Hmmm, dari mana harus kumulai... Mungkin pertama-tama, aku perlu memperkenalkan padamu siapa kami terlebih dahulu. Gampangnya, kami ini utusan dewa pelindung kota ini.”

Sampai di sini dia kemudian melanjutkan makan siangnya untuk beberapa suapan, membiarkanku keheranan beberapa detik dengan pernyataannya barusan.

Utusan dewa katanya? Antara orang ini delusional atau sebentar lagi aku akan ditarik ke dalam sebuah cerita bertema fantasi.

“Haha, wajahmu sepertinya mengatakan kalau aku baru saja mengatakan sesuatu yang aneh,” ujar pria itu menebak isi pikiranku. “Kalau mau jujur, aku juga sebelumnya tidak yakin kalau kami adalah utusan dewa. Pada malam tahun baru, aku dan keempat rekanku dituntun oleh gerbang raksasa itu ke dalam sebuah mimpi, di mana dikatakan kalau kami adalah utusan dewa yang ditugaskan untuk berperang melawan alien jahat demi melindungi kota Kaminokuni dan seorang Dewi yang menjadi sumber kekuatan kami...ng, kau masih mendengarkan?”

Aku ingin berhenti mendengarkan, tapi aku sudah terlanjur mendengarnya.

Dipikirkan seperti apapun...ini terasa seperti plot film super sentai[1]!

“I, ini benar-benar bukan syuting film kan? Kalian tidak sedang mengerjaiku untuk sebuah proyek klub atau film indie, kan?”

“.....mpfh, hahahahaha!”

Lelaki dengan jaket hijau di depanku mendadak tertawa lepas mendengar pertanyaanku.

“Tidak, tidak! Maafkan aku karena tertawa,” katanya, masih sambil berusaha menahan diri untuk tidak tertawa lagi. “Tapi aku serius di sini. Kalau kau tanya pendapatku, aku juga merasa apa yang terjadi pada kami – dan juga dirimu – adalah sesuatu yang kelihatannya hanya muncul dalam plot film super sentai atau fantasi sederhana. Namun kenyataannya tidak. Seperti yang kau lihat sendiri kemarin, gerbang kota yang tidak pernah diketahui untuk apa fungsinya selama ratusan tahun terbuka sendiri saat kau menyentuhnya – dan jelas itu bukan efek film atau apapun.”

“...”

Kalau kupikirkan lagi, perkataan orang ini ada benarnya juga.

“Sekarang terserah padamu percaya atau tidak – karena sebenarnya kami tidak akan meminta apa-apa darimu selain membiarkan kami melindungimu dari kemungkinan serangan alien yang mengincarmu.”

“...melindungiku?”

“Ya, melindungimu. Tadi sudah kubilang kan, kalau sumber kekuatan kami adalah dirimu, representasi dari Dewi dan seluruh isi kota Kaminokuni. Secara teknis kalau dari apa yang kutangkap, keberadaanmu saja setara dengan gerbang di tengah kota yang disebut-sebut sebagai penghubung antara dua dunia. Kalau sampai sesuatu yang berbahaya menimpa dirimu, ada kemungkinan kami tidak bisa menjalankan peran kami untuk menumpas para alien jahat. Sampai di sini, kau menangkap apa yang kusampaikan, kan?”

Antara ya dan tidak.

Di satu sisi, aku sedikit banyak terpaksa menerima setting cerita aneh ini. Oke, semua yang terjadi kemarin mungkin memang tidak ada hubungannya dengan pernyataan cinta kemarinnya lagi...tapi aku tidak pernah menyangka kisah hidupku yang kukira akan menjadi komedi romatis ternyata malah menjadi fantasiyah begini.

Namun di sisi lain---

“Kenapa aku?”

---aku tidak mengerti kenapa harus seseorang seperti diriku yang kelihatannya menjadi pusat dari semua ini. Aku bukanlah seseorang yang istimewa. Selain perjuangan kakakku untuk menghidupi kami berdua selepas kematian kedua orangtuaku, kurasa tidak ada hal yang benar-benar berbeda antara kehidupanku dengan orang biasa. Aku bahkan tidak punya teman, tidak punya banyak kenalan, dan bukan penduduk asli kota ini.

Aku bukan siapa-siapa.

Jadi, kenapa justru aku yang dipilih?

“Tidakkah pertanyaan yang sama terlintas di kepalamu ketika Rairumu Danzo menyatakan cinta padamu dua hari yang lalu?”

“...?”

Rairumu Danzo?

Ah...apakah itu nama laki-laki hari Jumat kemarin?

“Sebentar. Dari mana kau tahu namanya? Bahkan aku saja tidak tahu apa-apa soal dia...”

“Kebetulan salah satu dari kami berlima mengenalnya, itu saja,” katanya sambil memasukkan beberapa suap sup hangat ke mulutnya. “Tapi , di sini aku ingin meminta sesuatu padamu.”

“Meminta sesuatu?”

“Ya,” laki-laki di hadapanku kembali tersenyum dan menatapku lurus, seraya berkata, “tolong terima pernyataan cintanya.”

“.....”

Tunggu.

Tunggutunggutunggutunggu!

Kenapa pembicaraan ini malah berujung ke sana?!

“Tunggu sebentar! Apa hubungannya laki-laki bernama Rairumu Dnazo ini dengan alien, Dewi, dan segala setting super sentai barusan?!”

“Oh, ada hubungannya,” Nakahara Aoi menyeruput sisa supnya hingga habis. “Kalau kau punya seorang pacar, maka kau secara tidak langsung sudah punya sosok laki-laki yang bisa diandalkan di luar kami berlima. Dengan demikian, selain kau tidak akan merasa tidak enak dilindungi orang asing seperti kami, kami sendiri juga akan dapat lebih fokus dalam menjalani peran kami menghabisi para alien tanpa perlu mengkhawatirkan keadaanmu setiap saat. Situasi menang-menang, kan?”

“Tidak tidak, ada yang salah dengan alasanmu. Lagipula, aku tidak pernah mengenal siapa Rairumu Danzo ini---“

“---dia teman sekelasmu selama kelas satu ini. Kau hanya tidak pernah sadar dia ada di sana karena kau tidak pernah melihat siapapun sebagai teman.”


JLEB

Entah mengapa aku merasa sesuatu seperti menancap di dadaku saat dia berkata seperti itu.

Dia...teman sekelasku?

“Be, benarkah itu?”

“Lihat, kau benar-benar tidak sadar, kan? Inilah hal yang paling mengkhawatirkan darimu, Mizumiya Aya-san – kau tidak pernah sadar dengan apa yang terjadi di sekitarmu. Seolah kau terpisah dari dunia ini. Mungkin karena itukah kau sosok sang Dewi yang memang sudah sepantasnya tidak terikat dengan apa yang bersifat duniawi? Ah, tapi mari lupakan masalah itu sejenak – yang ingin kukatakan adalah, ini bisa menjadi awalan yang bagus untukmu merasakan hal-hal normal yang perempuan seumurmu rasakan. Seperti roman, misalnya.”

...kenapa orang ini jadi bicara hal yang sama seperti kakak semalam?

“Intinya, kau ingin bilang kalau aku sebaiknya berhenti jadi orang yang antisosial dan lebih terbuka pada hal-hal baru, begitu?”

“Nah, ternyata kau sendiri mengerti apa yang kumaksud.”

Memangnya ini sesi konseling?

Rasanya sebal kehidupanku dikuliahi oleh orang yang baru saja kukenal....tapi sialnya, apa yang dia katakan dari tadi ada benarnya juga.

Aku tidak ingat sejak kapan aku merasa seperti itu.

Dia benar. Aku yang selama ini memang selalu tertutup.

Sangat berbeda jauh dengan kakak yang selalu tampak cerah dan ceria, sekalipun nasib buruk menimpa kami berdua.

Seolah-olah, akulah yang menanggung semua beban emosional yang tidak pernah kakak tunjukkan dalam setiap kesulitan yang kami hadapi semenjak aku kecil.

Aku dan kakakku memiliki perbedaan umur yang cukup jauh. Ketika aku bahkan masih terlalu kecil untuk mengingat berbagai hal, kedua orangtua kami meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan – meninggalkan kami tanpa sanak kerabat sama sekali. Sejak hari itu, kakak membanting tulang untuk bertahan hidup, memastikan bahwa kami berdua bisa tetap hidup layaknya orang biasa dengan segala ketebatasan yang kami miliki.

Tentu saja, kalau kuingat lagi, itu adalah hari-hari yang sulit. Begitu sulit hingga pada suatu saat aku meminta untuk berpisah sementara dengan kakak dan bersekolah di sekolah khusus putri yang memiliki asrama supaya tidak memberatkan kakak.

Kemudian kakak menikah, dan semuanya kelihatan menjadi lebih baik sejak saat itu.

Namun....aku dan kakak tidak pernah berubah.

Aku tetap menjadi diriku yang tidak pernah mandiri, dan kakak tetap menjadi seseorang yang kelihatannya dapat melakukan apapun seorang diri.

Kenapa?

Kenapa aku menjadi seperti itu tanpa kusadari?

Kenapa kemudian aku kembali meminta untuk bersamanya setelah ia berkeluarga?

Ah.

Setelah kupikirkan lagi, alasannya begitu sederhana.

Aku tidak pernah ingin sendiri.

Aku lemah. Aku tidak pernah melihat diriku sendiri selain sebagai sosok yang lemah dan hanya bisa mengeluh.

Terlebih lagi, aku tidak pernah mengubah apapun dari diriku sendiri, dan karena itulah aku akan selalu mejadi orang yang lemah.

“...aku mengerti.”

Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian membungkukkan badan.

“Terima kasih untuk hari ini, Nakahara Aoi-san. Akan kupikirkan jawaban atas permintaanmu – dan permintaan Rairumu Danzo itu – malam ini.”

“Um, silakan saja~,” balasnya sambil menatapku hangat. “Aku juga berterimakasih kau sudah mau datang hari ini, dan aku tidak pernah ingin membebanimu dengan pikiran soal plot super sentai yang tengah kita hadapi saat ini, hahaha. Kuharap ujianmu besok lancar, Mizumiya Aya-san~.”

“Sama-sama. Sampai jumpa lagi.”


Siang itu,

Entah mengapa,

Aku merasa bisa tersenyum lagi setelah sekian lama.



  1. Sekelompok manusia muda pelindung bumi yang biasanya memakai kostum warna-warni

Part 5

Ini adalah malam hari yang belum begitu larut di hari Minggu.

Aku sudah selesai belajar untuk ujian besok, dan saat ini hatiku terasa lega sekali.

Semua masalah yang selama ini tidak terlihat olehku menjadi terlihat dengan jelas sejak pembicaraan siang tadi.

Kalau memang seperti itu masalah yang terjadi saat ini, kurasa aku perlu memulai dengan menjadi pribadi yang baru.

Dan untuk menjadi seseorang yang baru, aku perlu melakukan hal-hal baru yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.


Terdengar sebuah suara ketukan dari pintu kamarku, dan masuklah sosok kakak tanpa perlu aku menjawab ketukannya .(Jadi untuk apa tadi dia mengetuk?)

“Sudah selesai belajarnya? Aku bawa teh dan cemilan nih, ayo istirahat dulu.”

Kakak menaruh sebuah nampan berisi teko, beberapa toples aneka cemilan, dan dua buah gelas ke sebuah meja di tengah kamarku, kemudian duduk di lantai dan mengisyaratkan agar aku juga berhenti belajar dan duduk bersamanya.

Aku tersenyum melihat kakak. Meskipun sudah memiliki keluarga sendiri, dia tidak juga melupakan aku yang menjadi satu-satunya keluarganya selama ini...

“Aya? Rasanya sejak pulang tadi raut wajahmu berubah...apa sesuatu yang menyenangkan baru saja terjadi?”

“Hmm? Memangnya seperti apa wajahku di matamu sekarang?” tanyaku mengambil sendiri teh untuk kuminum.

“Bagaimana mengatakannya, ya... Kau terlihat lebih cerah dibanding sebelumnya?”

“...eeh, jadi sebelumnya wajahku tidak pernah terlihat cerah, begitu?”

Kakak tertawa.

Entah mengapa, akupun ikut tertawa bersama kakak.

“Kau berubah ya, Aya...”

Aku menggeleng pelan.

“Tidak, aku belum berubah. Tetapi aku akan berubah mulai sekarang. Setidaknya, aku berniat demikian.”

Aku dan kakak bertukar senyuman.

Di saat-saat seperti ini...tidak, mungkin baru kali ini, aku merasa sedikit kata-kata sudah cukup untuk menyampaikan segala hal yang ingin kusampaikan pada kakak.

Rasanya seperti kami tidak lagi memerlukan kata-kata untuk saling mengerti isi pikiran masing-masing.

Yah, mungkin perumpamaan itu terlalu melebih-lebihkan sih.

Tapi setidaknya aku benar-benar merasa seperti itu saat ini.

“Um. Baguslah kalau begitu.”

Kakak mengelus kepalaku, sebelum bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan kamarku.

“Sudah ya~. Kalau memang perubahan yang kau bicarakan ini sesuatu yang patut untuk kutunggu...maka aku akan menunggu jawaban darimu besok~,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata penuh arti.


Part 6

Ini adalah hari Senin di minggu keempat bulan Maret, sekaligus juga hari pertama dalam minggu ujian akhir semester genap di SMA Kaminokuni.

Kalau ditanya seperti apa suasana yang mendominasi SMA Kaminokuni di pagi ini...mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah ‘ketegangan’. Ya, itu adalah hal yang wajar melihat sebagai satu-satunya SMA di kota ini, nasib akademismu akan selalu dipertaruhkan di ujian akhir semester. Aku cukup salut karena ternyata tekanan seperti ini justru berhasil membuat para siswa di SMA Kaminokuni (yang artinya seluruh siswa SMA di kota ini) tidak ada yang pernah mendapat nilai benar-benar jauh di bawah rata-rata.

Tapi untuk laki-laki yang ada di depanku, ketegangan yang ia rasakan mungkin bukan berasal dari ujian akhir semester.

Ya. Sumber ketegangannya tak lain dan tak bukan adalah perempuan yang berdiri di depannya, yaitu aku.

Mungkin baru kali ini dalam seumur hidupku aku melihat orang setegang ini karena diriku. Mukanya terlihat berkeringat meskipun udara relatif sejuk, dan dia terus menundukkan kepala menunggu aku membuka mulut dan mengucapkan kata-kata.

Sejujurnya, aku sendiri tidak bisa dibilang benar-benar tenang saat ini.

Bagaimanapun juga, ini adalah pengalaman pertama dalam hidupku.

Setiap hal pertama yang kau alami dalam hidup adalah hal yang tidak akan dapat kau rasakan untuk yang kedua kalinya.

Karena itulah...meski kepalaku dipenuhi dengan berbagai macam pikiran...

---aku berusaha untuk menikmati setiap detik yang berlalu dalam momen ini.

---aku berusaha untuk mengingat setiap detik yang berlalu dalam momen ini.

...dan saat aku telah berubah menjadi aku yang baru, aku akan bisa melihat diriku yang tengah berdiri di sini dengan senyuman.


“Kenapa kau menyukaiku?”

Adalah kalimat pertama yang kutanyakan sebelum aku memutuskan jawaban apa yang akan kuberikan pada laki-laki bernama Rairumu Danzo.


“Karena aku sudah memperhatikanmu selama setahun ini.”

Adalah jawaban yang tidak pernah kukira akan kudengar dari mulut seorang laki-laki seumuranku.


“Apa yang membuatku istimewa di matamu?”

Aku mencari pembenaran. Aku tak pernah merasa diriku seorang yang istimewa. Apa yang orang ini lihat dariku?


“----------------------------“

Aku mendengar apa yang ia katakan dengan jelas, namun di saat yang sama, aku merasa seperti tidak pantas untuk menerima perkataan seperti itu.


“...benarkah tidak apa-apa? ....apakah kau tidak akan menyesal bersama seseorang sepertiku?”

Entah mengapa aku tidak bisa menilai diriku sendiri setinggi yang laki-laki ini katakan, dan aku menjadi ragu karenanya.


“----------------------------“

Entah mengapa aku tidak bisa mengingat jelas apa yang ia katakan, namun seketika itu pula keraguanku hilang.


Aku dapat merasakan mukaku memerah, dan mungkin aku juga mengeluarkan air mata.

Aku dapat melihat muka lelaki bernama Rairumu Danzo itu juga memerah, walau jelas dia tidak selemah diriku yang tak mampu menahan air mata ini.

Kenapa aku menangis?

Apa yang kutangisi?


“---maukah kau menerimaku apa adanya?”

“Aku gagal sejak awal bila tidak sanggup melakukan itu.”

“Apakah kau akan ada di saat aku membutuhkanmu?”

“Kau bisa meminta apapun yang bisa kulakukan untukmu.”

“Tetapi aku lemah...”

“Dan karena itulah aku akan melindungimu bila perlu.”

Paraparo02.jpg


Sungguh, semua pertukaran ucapan yang terjadi dalam momen ini adalah hal yang pasti terdengar begitu memalukan bagi siapapun selain aku – Mizumiya Aya – dan dia – Rairumu Danzo -.

Namun semua itulah yang menghantarkan kami berdua pada apa yang terjadi selanjutnya.


Aku menerimanya.

Aku menerima Rairumu Danzo sebagai bagian baru dari kehidupanku.

Di bawah pohon sakura yang bermekaran menyambut musim semi, lembaran baru dalam kehidupanku dimulai sejak saat ini.