Palatial Palover:Volume00 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 01 – Rairumu Danzo (November)

Part 1

Musim gugur menjadi lebih dingin seiring berjalannya waktu. Hal yang wajar, mengingat penghujung bulan ini adalah transisi dari musim gugur ke musim dingin, jadi tentu saja suhu akan semakin rendah dari hari ke hari. Sebagai seseorang yang telah menjalani seluruh kehidupan selama 17 tahun di dalam negara dengan empat musim, saat-saat seperti ini seharusnya menjadi sesuatu yang sudah kuantisipasi setiap tahun. Jadi, tidak aneh kalau suhu relatif semakin dingin ketika musim gugur mendekati akhirnya.

Aku mengerti itu, tetapi—

---kenapa aku bangun dalam keadaan menggigil?

Saat mataku terbuka sepenuhnya, barulah aku sadar penyebab utama dari masalah ini.

Selimutku tidak ada.

Bukan, lebih tepatnya, sesosok tubuh mungil yang tidur di sebelahku kini tampak terlelap sambil memonopoli selimut yang seharusnya bisa dipakai oleh dua orang untuk dirinya sendiri.

“.....”

“Zzzz..”

Aaah, mahluk yang satu ini tidak pernah berhenti menghantuiku dengan nasib buruk sejak aku pertama bertemu dengannya...dan yang lebih buruk lagi, dia tidak pernah merasa kalau dirinya selalu menjadi sumber masalah. Rasanya aku harus memberinya pelajaran.

“OOORYAAA!!”

Dengan segenap tenaga (dan kekesalan) kutarik selimut itu darinya, membuatnya seketika terpelanting jatuh dari kasur saking kuatnya tarikanku. Wow, aku tidak menyangka diriku sekuat ini di pagi hari.

Baru saja aku ingin tertawa, mulutku berhenti terbuka lebih lebar saat sebuah benda tajam berkilau diterpa sinar matahari pagi teracung tepat di depan batang hidungku.

Sebuah pisau lipat.

Oi, oi! Perkembangan macam apa ini!? Apa dosaku sampai harus terancam kehilangan nyawa semenit setelah bangun tidur!?

Sosok bertubuh pendek dengan rambut hitam berkilauan memandangku dengan matanya yang jernih, seolah berusaha mengenali mahluk hidup jenis baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Dan tentu saja, tangannya menggenggam pisau lipat yang siap menggores kulitku kalau ia maju sedikit saja.

“Ng...bisa tolong singkirkan benda berbahaya itu? Zork Nateromancer-sama?”

Mendengar namanya (yang absurd) dipanggil, si pemilik pisau lipat menarik tangannya menjauhi wajahku dan mengusap matanya, kelihatannya berusaha meyakinkan diri kalau ini sudah pagi.

“Pagi, Danzo. Pukul berapa sekarang?” katanya dengan nada tak acuh.

“Enam lebih lima..,” jawabku melihat ke arah jam dinding di salah satu sudut kamar tanpa berubah posisi.

Seketika itu juga pisau lipat yang sebelumnya sudah hilang dari pandanganku muncul lagi bagaikan sulap.

“Kenapa membangunkanku?” tanya bocah bernama aneh ini dengan nada sebal, walau raut mukanya datar seolah tidak punya fungsi untuk menunjukkan ekspresi selain ekspresi datar. “Jangan bangunkan aku sepagi ini lagi. Mengerti?”

“Ah, yah, baiklah, terserah apa kata---“

Detik berikutnya, sosok Zork Nateromancer telah menghilang ditelan selimut dengan suara dengkuran nyaring.

“.....”

Pelajaran baru pagi ini : jangan membangunkan anak ini sebelum jam delapan pagi.


Aku bukan tipe yang percaya dengan sesuatu yang sifatnya abstrak, tetapi kelihatannya aku harus mengakui kalau hidup selalu membuat segalanya seimbang.

Kehidupanku adalah salah satu contohnya. Aku terlibat kontrak aneh dengan seseorang yang mengaku alien dan hendak menguasai bumi, yang kemudian menitipkan apa yang ia sebut sebagai ‘pecahan dirinya’ kepadaku dan menyuruhku untuk menjaganya 24/7. Ya, pecahan yang ‘alien’ itu maksud adalah bocah laki-laki dengan nama aneh (tapi setelah sekian lama akhirnya aku bisa menyebutkan namanya tanpa salah mengeja). Awalnya kukira ini hanya akan jadi pekerjaan seperti menjaga peliharaan, tapi ternyata aku salah. Yang ada malah sebaliknya, aku diperlakukan bagai budak oleh bocah asing yang hari ini genap 7 bulan sejak dia menumpang tinggal di tempatku. Kalau saja aku tidak diancam akan dibunuh kalau menelantarkannya, aku pasti sudah melapor ke polisi untuk mengusir anak ini sejak lama.

Benar-benar sebuah kesialan. Bahkan protagonis novel ringan dengan cerita seperti ini biasanya punya setting ‘boy meets girl’, yang kemudian berubah jadi cerita harem! Kenapa yang ada malah aku diberi bocah shota,[1] begini? Orientasiku masih normal!

...walau aku tidak bisa mengeluh juga, sebenarnya. Setelah kurenungi lagi, mungkin memang adalah hal baik bahwa ‘alien’ yang menumpang tinggal di rumahku ini laki-laki dan bukan perempuan.

Alasannya sederhana. Aku sudah memiliki pacar.

Ya, aku sudah memiliki pacar.

Kalian dengar itu, para siswa SMA single yang masih mengharapkan ada perempuan cantik jatuh dari langit di hari modern ini? Kasta[2]-ku sudah lebih tinggi daripada kalian yang tenggelam di dunia delusi!

Wahahahahahahahahahahahahaha!!!

...ugh. Harusnya aku senang. Bukan, maksudku, aku memang senang, tetapi aku tidak puas.

Ah, tidak tidak. Aku bukan tidak puas dengan perempuan yang sudah begitu baik bersedia menjadi kekasihku. Aku hanya tidak puas dengan kenapa kenikmatan masa SMA ini harus diseimbangkan dengan kesialan berupa alien yang menumpang tinggal di rumahku. Dengan keterbatasan hidup begini, aku tidak bebas bergerak karenanya!

Oh, manusia. Memang sudah sifat dasar kita untuk meminta lebih ketika diberi sesuatu.


Waktu menunjukkan pukul delapan kurang lima. Pagi ini aku sudah mandi dan sarapan, jadi aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah di pagi yang cerah (walau cukup dingin) ini. Yang jadi masalah, si alien freeloader[3] ini juga entah kenapa bersekolah di tempat yang sama denganku, jadi aku punya semacam kewajiban untuk membangunkannya dan berangkat ke sekolah bersama setiap hari.

Siapapun pasti mengerti kan derita ini? Kalau saja posisi si alien ini bisa ditukar dengan pacarku, kita sudah punya setting cerita eroge[4] di sini. Sayangnya ini kenyataan, jadi cerita dengan penuh hasrat remaja sehat seperti itu tidak akan menjadi realita...(mungkin).

“Oi Zork, bangun,” kataku menendang gumpalan selimut di kasur kamarku. “Jam delapan. Bangun dan bergegas.”

Perlahan tapi pasti sosok bocah pendek berambut hitam dengan mata tajam keluar dari selimutnya, dengan gerakan meliuk persis seperti ular kobra yang dipanggil bunyi seruling dari dalam guci. Dengan gontai Zork menyikat gigi, mengganti pakaian, kemudian mengambil roti yang sudah kubuat untuk sarapan dan menuju ke pintu keluar.

Semua itu dia lakukan dalam waktu kurang dari 5 menit.

Tanpa menungguku sama sekali.

“...wow.”

...jadi, peranku memang sebenarnya tak lebih dari sekedar alarm di pagi hari. Oke. Toh aku juga tidak begitu ingin sering-sering berangkat bareng setiap hari, jadi kadang-kadang hari-hari seperti ini di mana aku berangkat sendiri adalah sesuatu yang wajar.

Sambil menghela nafas, aku pun keluar dari rumahku untuk berangkat ke sekolah.

Apa yang kutemui di depan pagar rumahku seketika itu juga menghapus semua rasa sebal yang ada di kepalaku pagi ini.

“Pagi, Danzo-kun.”

Uooooooooooooohhhh!! Ini diaaaaaaaaaaaaaa!!

...ups, maafkan suara batinku yang begitu jujur. Tentu saja sebenarnya aku tetap terlihat tenang dan tidak bersikap memalukan di depan perempuan yang ada di depanku pagi ini.

Sosok yang berdiri di depanku ini bernama Mizumiya Aya. Seorang perempuan manis yang telah menyelamatkan hidupku dari keseharian yang menyesakkan.

Ya, tak perlu kusebutkan juga sudah jelas sekali kalau perempuan inilah yang menjadi pendamping hari-hari penuh warnaku di kehidupan SMA ini.

“Ou, pagi, Aya,” balasku sambil membuka pagar. “Maaf membuatmu menunggu.”

“Ah, tidak. Lagipula rumah Danzo-kun searah dengan arah ke sekolah dari rumahku, jadi rasanya lebih baik kalau kita berangkat bersama. Syukurlah kau belum berangkat...”

“Kalau aku tahu kau datang tiap pagi seperti ini, aku pasti akan selalu menunggu,” kataku mantap. “Kenapa tidak kirim e-mail saja setiap pagi? Jadi aku tahu kapan kau berangkat dan kapan kau tiba di sini.”

Sambil berjalan bersebelahan, kulihat Aya memalingkan mukanya. Eh? Apa aku sudah membuatnya marah?

Telinganya terlihat merah...gawat, jadi dia benar-benar marah?

“...ng...ra, rasanya...kalau setiap pagi itu agak...”

“...ah.”

Mendengarnya berkata malu-malu dengan suara manis seperti itu, telingaku seperti tertusuk.

Oke, itu bukan perumpamaan yang bagus. Tapi setidaknya jawaban Aya menyadarkanku tentang seperti apa hubungan kami selama ini.

Kalau harus kugambarkan dengan satu kata, sifat yang mewakili karakter seorang Mizumiya Aya memang ‘pemalu’. Entah kenapa aku merasa dia punya aura seperti minta untuk dilindungi setiap saat, seperti binatang kecil yang tidak bisa hidup sendiri di alam liar. Tapi karena dia seorang perempuan, justru itu membuatnya sangat manis di mataku.

Dan sifat pemalu ini jugalah yang membuat Aya tidak begitu ingin hubungan kami terlihat terlalu menonjol di mata publik. Yah, bisa dibilang hubungan kami seperti skandal seorang idol yang diam-diam ternyata mengkhianati seluruh fans-nya dengan memiliki kekasih.[5]

“Maafkan aku, Danzo-kun...”

“Tidak masalah,” kataku santai, berusaha untuk membuatnya juga bersikap biasa dan ceria. “Selama kita masih punya banyak hari untuk dihabiskan bersama, aku sudah merasa cukup, kok.”

“Tapi aku mengerti!” balasnya dengan penuh semangat. “Kata kakakku, anak laki-laki di umur segini memang punya banyak keinginan untuk dituruti...dan karena hal itu sesuatu yang wajar, kurasa aku tidak bisa menyalahkan Danzo-kun kalau kau begitu ingin berangkat sekolah bersamaku setiap pagi...”

Aku sungguh kagum.

Di mana lagi di zaman yang hancur ini kau bisa menemukan perempuan yang merupakan personifikasi dari kata ‘manis’ seperti ini?

Sebagai seorang pacar yang baik, aku menjawab kekhawatiran Aya dengan mengusap kepalanya pelan.

“Sudah kubilang tidak masalah, kan? Jangan memaksakan diri, toh aku suka Aya apa adanya.”

“-----!!!”

Wajah Aya semakin memerah, dan langkah kakinya semakin cepat hingga meninggalkanku di belakangnya.

Aku hanya tersenyum seraya bergumam pada diriku sendiri,

“Hari ini pasti hari yang baik~.”



  1. Anak laki-laki yang masih tampak bocah. Lawan dari loli (silakan menelusur Google bila informasi kurang memadai)
  2. Status sosial digambarkan dengan piramid berdasarkan kedudukan dan pencapaian. Istilah yang berasal dari sistem kepercayaan agama Hindu, meski sebenarnya disalahgunakan oleh Danzo di sini.
  3. Menumpang tinggal tanpa bayar. Secara prinsip, semua anak adalah freeloader bagi orangtuanya sampai mereka punya penghasilan sendiri.
  4. Ero-game. Buah imajinasi pasar kreatif produsen game di Jepang.
  5. Dikatakan bahwa seorang idola pantang memiliki kekasih, karena idola adalah objek kekaguman yang tidak boleh ternoda oleh hubungan cinta.


Part 2

Satu-satunya SMA di kota Kaminokuni tempatku tinggal adalah SMA Kaminokuni.

Ya, satu-satunya. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti kenapa hanya ada satu SMA di kota ini, sekalipun sekolah di tingkat lain seperti TK, SD, SMP, atau bahkan universitas tidak hanya berjumlah satu seperti SMA Kaminokuni ini.

Meski demikian, menjadi satu-satunya SMA di sebuah kota juga punya arti tersendiri.

Sebagai SMA tunggal, tentu saja SMA ini harus menjawab kebutuhan pendidikan remaja di kota ini dengan menyediakan kapasitas dan fasilitas yang memadai. Jadilah sekolah ini menampung lebih dari 5000 siswa dengan luas SMA sebesar sebuah desa. Sesuatu yang luar biasa, menurutku. Maksudku, biasanya institusi sebesar ini cuma terbatas pada beberapa golongan atas, tetapi karena ini adalah sekolah yang dikhususkan untuk menampung semua siswa SMA di kota tanpa terkecuali, status sosial atau ekonomi jadi tidak berlaku, dan sebagai hasilnya, kaum pelajar SMA seperti memiliki ‘negara’ sendiri selama berada di dalam sekolah.

Aku menyebutnya demikian karena pemegang kuasa tertinggi di sekolah ini adalah siswa.

Setelah ‘kenapa hanya ada satu SMA di kota ini?’, inilah misteri kedua dari SMA Kaminokuni : ‘kenapa siswa menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di sekolah?’.

Untuk yang satu ini, kebetulan aku punya jawabannya. Sekolah ini didirikan oleh dua keluarga besar yang mempunyai sejarah dan pengaruh panjang di kota : keluarga Sumeragi dan keluarga Shiroyanagi. Secara turun temurun, kekuasaan atas segala kebijakan internal dan eksternal sekolah selalu dipegang oleh kedua keluarga tersebut. Dan saat ada bagian dari kedua keluarga itu yang mencapai usia untuk bersekolah di SMA, sudah barang tentu mereka jadi pemegang kekuasaan.

Jadi singkatnya, bahkan urusan mengenai aturan sekolah, jadwal pelajaran, sampai pendaftaran murid baru sekalipun dipegang oleh para siswa. Peran guru tak lebih seperti orang sewaan yang dibayar untuk mengajar di jam yang ditentukan, dan di luar itu tidak punya kewenangan untuk mengatur siswa sama sekali.

Terdengar seperti sebuah sekolah yang kacau, ya?

Tapi tentu saja, di mana sebuah aturan berlaku, maka di sana selalu harus ada pihak yang menjadi penegak hukum.

Laki-laki pemegang shinai[1] yang berdiri di depan gerbang sekolah ini adalah salah satunya.

Kebetulan aku dan Aya berpapasan dengan laki-laki itu pagi ini, meski aku cuma melirik sebentar dan kemudian berlalu menuju gedung sekolah.

“Danzo-kun...,” Aya menarik lengan bajuku dan bertanya dengan ragu, “tidak apa-apa kita meninggalkan Zork-san menghadapi Shion-san seperti itu?”

“Tidak masalah,” jawabku menggenggam tangan Aya dan menariknya menjauhi gerbang sekolah. “Toh ini bukan yang pertama kali, jadi biarkan mereka mengurus kepentingan mereka sendiri.”

Laki-laki pemegang shinai yang bernama Shiroyanagi Shion tersebut adalah pemegang kekuasaan nomor satu di sekolah ini. Dia adalah aturan, dan apapun kebijakan yang ia keluarkan adalah absolut. Tidak ada satupun siswa, seberandalan apapun mereka, yang berani menentangnya. Bukan hanya karena dia bagai polisi yang siap menggunakan paksaan bila diperlukan, namun juga karena kau bisa dikeluarkan kalau melanggar aturan.

Mengingat SMA Kaminokuni adalah satu-satunya SMA di kota ini, maka menentang kehendak seorang Shiroyanagi Shion sama saja dengan meminta karir pendidikanmu berhenti di jenjang SMA (kecuali kau pindah ke luar kota).

Dan pagi ini, Shiroyanagi Shion dengan shinainya tengah berhadapan satu lawan satu dengan Zork Nateromancer dan pisau lipatnya.

Oh, tenang saja. Kalau kau sudah melihat adegan ini puluhan kali, maka kau akan terbiasa, seperti menghafal sebuah lagu hanya dengan sering-sering mendengarnya. Bahkan para siswa yang pagi ini datang di waktu yang sama dengan aku dan Aya juga tidak begitu menghiraukan apa yang sedang terjadi saat ini saking sudah biasanya.

“Tapi salah satu dari mereka bisa terluka, atau telat mengikuti jam pelajaran pertama,” lanjut Aya. “Apa tidak apa-apa?”

“Masih ada sekitar 15 menit sebelum bel masuk. Kurasa mereka bisa selesai dalam 5 menit, istirahat 5 menit, dan ke kelas masing-masing dalam 5 menit.”

“...kalau kau bilang seperti itu...”

Aya akhirnya menerima alasanku dan ikut berlalu. Sementara di belakang kami, teriakan dan suara gemuruh pertarungan terdengar membuka hari di pagi ini.


Biar kujelaskan kenapa Zork punya rutinitas bertarung (secara fisik) dengan Shion setiap mereka bertemu di sekolah.

Ini sebenarnya sedikit konyol, tapi kupikir tidak begitu membingungkan.

Seperti yang sudah kusebutkan sebelumnya, pemegang kekuasaan tertinggi di sekolah saat ini adalah representasi siswa – dalam generasiku, seorang dari keluarga Shiroyanagi dan seorang dari keluarga Sumeragi. Nah, kebetulan Shion sejak kecil berteman dengan putri dari keluarga Sumeragi, jadi bisa dibilang hubungan mereka sudah terjalin sejak lama.

Dan seluruh siswa satu sekolah sudah tahu kalau Shion menaruh perasaan pada Sumeragi Sakuya, sang putri dari keluarga Sumeragi.

Di atas kertas Sakuya adalah pemegang kuasa tertinggi kedua (ibarat wakil presiden) setelah Shion. Tapi pada kenyataannya, Shion selalu mengikuti apapun kata Sakuya karena dibutakan oleh cinta. Benar-benar pria menyedihkan.

Kisahnya semakin menyedihkan lagi ketika (bocah yang mengaku sebagai) alien bernama Zork Nateromacer pindah ke sekolahku di bulan Mei lalu.

Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana, tapi kelihatannya Sumeragi Sakuya jatuh hati pada Zork Nateromancer, dan kisah cinta segitiga ini memicu perseteruan panas (sepihak) di antara Shion dan Zork. Normalnya tidak ada yang bisa menentang Shion, tapi karena Zork ‘dilindungi’ oleh eksistensi Sakuya, bahkan seorang Shiroyanagi Shion sekalipun tidak bisa berbuat apa-apa.

Begitulah ceritanya kenapa alien itu menjadi sosok yang spesial di sekolahku. Bisa dibilang dia adalah satu-satunya pengecualian yang tidak terikat dengan aturan.

Dan untuk Shion sendiri...

...tidak banyak yang bisa ia lakukan selain berusaha menyingkirkan Zork dengan tantangan duel[2] yang menyedihkan.

Dari kaca jendela kelasku, bisa kulihat kalau hari ini lagi-lagi Zork menang atas Shion. Setelah menaruh pisau lipatnya ke saku, sosok bocah alien itu meninggalkan Shion yang terkapar di depan gerbang tanpa berkata sepatah kata apapun. Kalau kau bisa membayangkan penutup dari aksi duel antar koboi, kira-kira seperti itulah yang terjadi di depan gerbang sana.

Tetaplah kuat, Shion. Aku mengerti kalau menangani Zork itu memang sulit, jadi setidaknya kau mendapat sedikit simpatiku.


Jam istirahat.

Guru yang mengajar keluar dari ruangan kelas, dan setiap murid bangkit dari kursinya masing-masing. Aku sendiri juga beranjak meninggalkan tempat dudukku karena ini waktunya makan siang.

Namun langkahku segera terhenti oleh sesosok perempuan berambut panjang dengan dada besar yang menarik kerah belakang bajuku.

“Guh!?”

“Danzo, kau mau ke mana sih?” tanyanya dengan nada enerjik. “Ayo makan bersama kami!”

...kukira hari ini aku akan bisa makan berdua saja dengan Aya, tapi kelihatannya tidak, ya...

Biar kuperkenalkan. Perempuan yang menarik kerah bajuku dari belakang seperti seorang pemilik anjing menarik tali leher anjingnya adalah sang primadona sekolah ini, Sumeragi Sakuya. Dari sudut pandang orang luar, aku terlihat cukup beruntung karena dekat dengan orang penting seperti ini, walau setelah mengenalnya selama setahun lebih, membuatku tahu persis kalau orang yang diagungkan di sekolahan ini tak lebih dari sekedar perempuan yang kelebihan energi untuk disalurkan ke hal-hal tidak penting.

Seperti makan siang bersama dengan orang tak bernama[3] sepertiku.

Sebuah suara lain kemudian terdengar menengahi.

“Kami tidak memaksa kok, Danzo-kun. Tapi...kurasa lebih baik kalau kita semua bersama-sama, kan?”

Sang pemilik suara yang berdiri di samping Sumeragi Sakuya adalah seorang perempuan berambut pendek bernama Hasuragi Mahiru.

Mereka berdua adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan selama mereka terlihat ada di sekolah ini. Mahiru adalah sepupu dari Sakuya, namun kedekatan mereka berdua nyaris membuat siapapun yang melihatnya mereka lebih dari sekedar teman atau sepupu, melainkan ibarat saudara kandung.

Walau baik dari sifat dan penampilan, mereka sangat bertolak belakang.

“Danzo tidak akan menolak. Aku sudah memanggil Shion dan Zork-san ke sini, jadi kau tidak boleh pergi!”

“Sebentar. Kau tidak memanggil Aya?”

“Ah, aku lupa.”

Justru itu yang paling penting! Ugh, apa artinya makan siang bersama orang lain kalau kau sudah punya pacar? Dengan cepat kukeluarkan handphoneku dari saku dan meminta Aya datang ke kelas kami sekarang. Kuharap ia tidak sedang ada kepentingan lain.

Meski sekelas dengan orang terkenal seperti Sakuya dan pendampingnya Mahiru, orang-orang Zork, Shion, dan Aya berbeda kelas dengan kami. Aku sendiri tidak ingat sejak kapan kami jadi kelompok lingkaran teman seperti ini, tapi kalau kuingat lagi, kelihatannya kami semua dekat dengan hubungan yang tidak biasa.

Paraparo01.jpg

Tak lama kemudian, tiga orang lainnya sudah berkumpul di kelas ini.

“Danzo-kun,” Aya mengambil tempat duduk di sebelahku. “Maaf, kalau tahu kita akan makan siang bersama, harusnya tadi pagi aku menyiapkan bento[4], ya...”

“Tidak masalah. Ini juga event dadakan, jadi wajar kalau kita tidak menyiapkan apa-apa sebelumnya. Ah, bicara soal itu, Sakuya, kita akan makan apa siang ini?”

“Shion, apa menu kafetaria siang ini?”

Yang ditanya malah mengalihkan pertanyaan ke pihak lain, namun pihak yang satu ini dengan sigap menjawab layaknya seorang butler[5] pribadi.

“Menu utama hari ini adalah soba, udon, ramen, somen, dan yakisoba dalam berbagai varian yang kau inginkan. Kalau kau ingin sesuatu yang lain, aku bisa pesan dari luar.”

Uwaaa, jadi hari ini hari mi[6], ya?

“Kalian mau pesan apa?” tanya Sakuya seraya melayangkan pandangannya ke arah kami. Di sebelahnya, Mahiru tampak mengeluarkan termos dan menuangkan teh hangat untuk kami, seolah-olah ini adalah restoran di mana minuman pertama gratis.

“Pizza. Yang toppingnya pakai banyak daging.”

“...”

“...”

“...”

Yang menjawab dengan makanan yang tidak disebutkan di menu hari ini adalah Zork Nateromancer – parasit yang menyebut dirinya sendiri sebagai alien.

Aku tidak sempat berkata apa-apa ketika Sakuya sudah terlebih dahulu menaruh tangannya di pundak Shion sambil mengedipkan sebelah mata.

“Tolong, ya~.”

“Ooooh! Serahkan padaku!”

Detik berikutnya, Shiroyanagi Shion menghilang dari pandangan kami.

Kelihatannya dia tidak peduli kalau yang menginginkan pizza itu adalah musuh bebuyutannya, selama Sakuya yang meminta.

Aku tidak habis pikir dari mana Shion akan mendapatkan pizza sebelum bel akhir istirahat berbunyi.

“Padahal kafetaria kan bukan satu-satunya penjaja makanan di sekolah sebesar ini. Kalau aku sih sebenarnya cukup dengan makan roti saja, atau membeli nasi goreng di kios yang kemarin baru bukan di daerah belakang sekolah...”

“Fufufu. Kau naif, Danzo-kun. Kita sudah memegang kendali pemilik kuasa tertinggi di sekolah ini, jadi kenapa kita tidak memanfaatkannya selagi masih bisa?”

Pelajaran kedua hari ini : Shiroyanagi Shion adalah seseorang yang ada untuk dimanfaatkan orang lain.


Kejutan terbesarnya adalah bahwa Shion berhasil membawa pizza di hadapan kami sebelum bel berbunyi, jadi dompetku tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli roti siang ini.


  1. Pedang kayu untuk kendo. Sedikit lebih tidak berbahaya dari bat (pemukul) baseball bila fungsinya hanya untuk sok keren.
  2. Duel antara dua orang pria adalah sesuatu yang tidak bisa kau hindari kecuali kau mengakui 1) dirimu bukan pria, dan/atau 2) pihak yang berseberangan denganmu lebih benar.
  3. Kalau ada yang menanyakan tentang Danzo di sekolah, tidak akan ada yang mengenalnya karena namanya tidak dikenal banyak orang (baca: bukan orang penting).
  4. Kotak bekal makan siang, biasanya dibuat dengan bahan utama cinta.
  5. Biasanya para perempuan kelas atas memiliki semacam pelayan yang siap melakukan apapun hanya dengan jentikan jari. Benar-benar seperti campuran antara jin dan ninja.
  6. Semua menu yang disebutkan berbahan dasar mi.

Part 3

SMA Kaminokuni memiliki sebuah Badan Siswa yang bertugas mengatur seluruh kegiatan siswa di dalam sekolah.

Seperti yang kusebutkan sebelumnya, SMA ini bagaikan negara independen yang dikontrol murid; para siswa mengatur jadwal sekolah hingga ke kapan sebuah ujian atau liburan diadakan.

Sumeragi Sakuya dan Hasuragi Mahiru termasuk di dalam anggota Badan Mahasiswa yang mengatur [Aktivitas Siswa Intra Sekolah].

Dan karena sebentar lagi adalah bulan Desember di mana libur tengah semester diadakan, tentunya kami harus menyelesaikan dahulu paruh pertama dari semester kedua.

Singkat kata, mereka yang mengatur [Aktivitas Siswa Intra Sekolah] sore ini tengah mengadakan rapat dengan para pengajar untuk menentukan tanggal ujian dan tanggal dimulainya liburan.

Kalau kita mengacu ke sistem pendidikan Jepang, seharusnya semua sekolah memiliki penanggalan yang seragam terkait hal-hal seperti ini. Tetapi sekali lagi, SMA Kaminokuni adalah sebuah pengecualian.

SMA ini adalah ‘negara independen’ dalam dunia pendidikan Jepang. Dan kenapa SMA ini sampai bisa seperti itu adalah suatu misteri yang belum terungkap oleh orang biasa sepertiku.

Tapi bukan itu yang penting dari apa yang sedang terjadi sore ini.

Dari sudut pandangku, yang penting adalah Sakuya dan Mahiru hari ini tidak pulang cepat.

Sumeragi Sakuya, pemegang kuasa nomor dua di sekolah ini, bersama sepupu dekatnya, Hasuragi Mahiru, tidak akan mengganggu apa yang akan kulakukann sore ini.

Dan hal itu adalah...


“—maaf menunggu lama.”

Suara seorang perempuan terdengar di telingaku, dan aku mematikan musik yang kusetel melalui handphone.

Aku, yang tengah menunggu kedatangan perempuan ini di depan gerbang sekolah, menyambutnya dengan tersenyum.

Sebelum bel pulang sekolah berbunyi, Aya mengirimiku email yang mengatakan sore ini ia ingin pulang bareng denganku. Sekalipun kami sudah jadian sejak bulan Maret, kami tidak memiliki begitu banyak kesempatan untuk berduaan setiap saat, jadi kesempatan seperti ini adalah sesuatu yang pasti kuterima dengan senang hati.

Kalau ini hari biasa, Sakuya dan Mahiru pasti mengintervensi seperti biasa dengan berbagai alasan. Aku heran kenapa mereka tidak memberiku ruang untuk berdua saja dengan Aya kalau tahu kami sudah berpacaran sejak akhir kelas satu.

Zork juga tidak terlihat membutuhkanku sore ini, jadi kelihatannya aku tidak perlu khawatir akan diganggu.

“Kalau begitu, ayo kita pulang.”

“Ah, sebenarnya...”

“....?”

Aku menghentikan langkahku dan melihat ke arah Aya.

“...sebenarnya, aku tidak ingin langsung pulang hari ini. Ng, bisakah kita berjalan-jalan sebentar ke kota? Kuharap kau tidak sedang buru-buru...”

“Oh? Ada apa tiba-tiba?”

“Ada sesuatu yang penting yang ingin kubicarakan denganmu tentang kita... Tapi aku tidak ingin mengatakannya di sini..”

“....”

Entah kenapa aku mendapat firasat buruk.

Aku dan Aya sudah berpacaran sejak bulan Maret. Mengingat sekarang sudah bulan November, seharusnya kami sudah jadian nyaris selama 8 bulan.

Waktu yang cukup lama, tetapi...

...harus kuakui selama itu pula tidak banyak kemajuan dalam hubungan kami.

Maksudku, kami bahkan belum pernah melakukan kencan selama 8 bulan ini. Jadi bisa dibilang, kami hanya memiliki ‘status’ sebagai pasangan.

Aaaaaaaaargh! Kenapa di kepalaku tidak terbayang hal lain selain permintaan putus!?

Tidak, Danzo! Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan! Percayalah pada Aya!

Percayalah!

Percaya...

“...oh, oke.”

Aku hanya bisa memberikan jawaban singkat seraya berjalan di samping Aya menuju ke pusat kota.


Sepanjang perjalanan kami, aku merasa sangat canggung.

Ini benar-benar aneh. Biasanya aku bisa bersikap normal bahkan main-main kalau berada di dekat Aya. Namun sore ini yang ada di kepalaku tidak pernah jauh-jauh dari kemungkinan kalau Aya sudah lelah berhubungan denganku.

Apa aku selama ini terlalu agresif? Apa dia sebenarnya tidak senang digoda seperti tadi pagi? Apa bento yang dia tawarkan tadi siang sebenarnya hanya bentuk kompromi untuk berpisah denganku?

Rentetan pemikiran negatif terus menyerbu kepalaku satu demi satu seolah mereka adalah barisan tentara yang menyerbu sebuah bangunan bernama ‘kepercayaan’.

Aku berusaha untuk menepis semua itu.

Aku dan Aya sesekali berhenti di beberapa toko di daerah pertokoan, dan Aya akan meninggalkanku sebentar untuk melihat-lihat barang. Kami memang jalan bersama, tapi sepanjang mengitari kota, tidak banyak percakapan yang muncul selain “Ah, tunggu di sini sebentar,” atau “Tolong jangan ikuti aku dulu.”

Hari menjadi semakin sore, dan kegelapan mulai menyelimuti kota.

Di luar kekhawatiranku soal apa yang sedang Aya pikirkan saat ini, aku juga khawatir kalau aku terlambat pulang. Seandainya aku telat menyiapkan makan malam untuk Zork, siapa yang tahu apa yang akan dia lakukan padaku nanti.

Ah. Mengingat bocah alien itu, aku jadi berpikir soal kesialan.

Apakah hari ini aku akan dihujani dengan kesialan? Kalaupun ya, setidaknya aku sudah mengantisipasinya dari detik ini, jadi semoga tidak begitu menyakitkan kalau itu yang akan terjadi nanti.

“Danzo-kun?”

Kalau kupikir lagi, rasanya beberapa bulan ini cukup menyenangkan.

“Danzo-kun?”

Lebih tepatnya, tahun ini sangat menyenangkan. Tidak hanya aku punya pacar seperti Aya, tetapi juga tidak ada hari yang benar-benar membosankan sejak tahun ini dimulai. Berbeda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya di mana tidak banyak hal menarik yang terjadi dalam kehidupanku. Aku---

---kurasa aku tidak ingin kehilangan hari-hari seperti ini.

“Danzo-kun!”

“--!?”

Suara Aya menyadarkanku dari lamunanku.

Ya ampun, jadi dari tadi dia memanggilku?

“Danzo-kun, kau kenapa? Mukamu tampak pucat...”

Aku menaruh jempol dan jari telunjuk kananku di kedua pipi, berusaha mengecek apa aku tampak semuram itu.

Sial. Aku terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak sampai tidak menghiraukan apa yang ada di depan mata.

Aku bahkan tidak sadar kalau kami sekarang berada di sebuah taman kota, dan langit sudah berganti menjadi warna kegelapan. Ternyata pepatah yang mengatakan ‘kelengahan adalah musuh utama’[1] itu ada benarnya, ya...

“Aku tidak apa-apa,” aku tersenyum lemah ke arah Aya. “Ngomong-ngomong, tidak terasa sudah gelap saja, ya. Sebaiknya kita pulang sebelum orang rumahmu khawatir---“

“Danzo-kun.”

Aya menarik bagian belakang seragamku saat aku hendak meninggalkan tempat ini.

“..Aya?”

“Danzo-kun, ada yang ingin kukatakan padamu sebelum hari ini berakhir..”

Glek.

Tanpa sadar aku menelan ludah.

Ini dia.

Dari nada bicaranya, Aya terdengar ingin menyampaikan sesuatu yang serius. Kulihat dia juga tidak menatap langsung mataku...bahkan kelihatannya ia gemetaran. Tunggu. Kenapa, dia harus gemetaran? Dan kenapa dia terlihat setengah menangis seolah sedang mengumpulkan seluruh keberaniannya menghadapi seorang preman galak?[2]

Apa kekhawatiranku benar adanya?

“...Aya.”

“Danzo-kun, aku...”

Dia semakin menunduk, kelihatan sulit untuk mengutarakan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan sejak tadi. Aku tidak tahan melihatnya. Kalau memang semua ini harus diselesaikan, aku lebih ingin menyelesaikannya dengan cepat, jadi tidak ada yang perlu berlarut-larut dengan apa yang akan terjadi setelahnya.

“Aya. Apapun yang ingin kau katakan, ketahuilah kalau waktu yang kuhabiskan denganmu adalah waktu-waktu yang menyenangkan.”

“Eh?”

Aya kelihatan terkejut karena justru aku yang mulai berbicara.

“Aku tidak pernah menyangka kalau aku bisa bertemu dengan seseorang sepertimu... Kau tahu, delapan bulan bukan waktu yang sebentar. Aku bahkan tidak tahu apa yang menarik dari orang sepertiku, sampai kau mau menerimaku ketika aku menyatakan perasaanku dulu.”

Dan aku tidak bisa berhenti bicara.

“Bersamamu, hari-hari terasa lebih menyenangkan...ah, kau pasti sudah berulang kali mendengar ini dariku, dan mungkin kau menganggapku hanya bercanda. Tapi aku serius! Aku bahkan tidak keberatan kita tidak selalu punya waktu untuk bersama, selama aku masih tahu kalau aku...aku...”

Ah, aku pasti tampak menyedihkan sekali sekarang.

Aku menutup mata, berusaha menahan perasaan apapun yang akan muncul di permukaan kalau aku terus berbicara seperti ini.

Dan di saat itulah---

“—mmh?”

---sesuatu yang hangat menyegel mulutku untuk tidak berbicara lagi.

Spontan aku membuka mata.

Di depanku tampak Aya, dengan wajah yang merah menyala, namun sambil tersenyum puas. Ia mundur beberapa langkah dan membalikkan badannya memunggungiku, kelihatannya tidak ingin aku melihat wajahnya saat ini.

“Aya? A, apa yang kau...baru saja..?”

“Ah, hahaha,” Aya tertawa lemah. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Maaf, Danzo-kun.”

Kenapa dia minta maaf? Sebenarnya apa yang sedang kita bicarakan di sini?

“Aku..tidak bisa memilih hadiah yang bagus untukmu. Tapi kata kakakku, laki-laki pasti senang kalau dihadiahi sesuatu yang berbekas di hati seperti ini...apalagi ini yang pertama untukku.”

Eh?

Tunggu, tunggu sebentar. Hadiah? Hadiah apa?

Aya menarik nafas dalam-dalam dan memutar kembali badannya, seraya berkata kepadaku,

“Selamat ulang tahun, Danzo-kun.”

“.............ah?”

...ulang tahun?

Siapa? Aku?

“Aku benar-benar minta maaf! Aku sampai lupa menyiapkan hadiah sebelum hari ini, jadi kupikir sekalian saja jalan denganmu. Tapi ternyata rasanya aneh kalau tidak ada unsur kejutannya, jadi aku memintamu untuk tidak ikut denganku setiap masuk ke toko. Tapi pada akhirnya aku tidak bisa memilih apa-apa, dan malah memberimu sesuatu yang mungkin tidak begitu istimewa, ya... Ah, ahahaha..”

Aya menjadi salah tingkah saat berusaha menjelaskan apa yang baru saja ia lakukan.

“Aya...”

“Y-ya, Danzo-kun?”

“...ulangtahunku bukan hari ini.”

“..................................................................................eh?”

Hening sesaat.

Wajah merah Aya berubah menjadi putih. Tidak, sebenarnya itu hanya arti kiasan. Kalau ini sebuah komik, kira-kira pasti seperti itu yang terlihat saat ini.

“Eh?! Ke----yang benar?! Aku mengeceknya sejak seminggu yang lalu! Bukannya ulangtahunmu tanggal 12 November (11/12)?”

“Ah. Kau pasti salah membacanya[3]. Ulangtahunku tanggal 11 Desember.”

Hening lagi.

Sekarang, dari putih wajah Aya berubah lagi menjadi merah (sekali lagi dalam makna kias).

“A,awawa... Uuuuuh.. Auuuuuuh... Nyaaaaaaaaaaaaaah!”

Dan dia mulai mengeluarkan bunyi-bunyi aneh untuk menutupi rasa malunya.

Rasanya aku benar-benar ingin tertawa (tapi jahat sekali aku kalau benar-benar tertawa sekarang[4]). Jadi semua kekhawatiranku itu bukan apa-apa?

Aya tampak memegangi kepalanya dengan panik. Aku meraih kepalanya dan memutarnya ke arahku.

Lalu,

“---ngh?”

Mulut kami bertemu.

Seketika Aya berhenti mengoceh (tentu saja, dia bahkan tidak bisa berbicara apa-apa dalam kondisi ini) dan kehilangan seluruh tenaganya.

Aku menjauhkan wajah kami, seraya mengusap kepala Aya.

“Dengan begini, kita impas,” ujarku tanpa bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahku. “Tidak ada yang salah, jadi anggap saja ‘kesalahan’mu sudah kubalas dengan ‘kesalahan’ yang sama. Sekarang, tidak ada masalah, kan?”

“Ah...”

Aya mengangguk pelan.

“Bagus. Kalau begitu, kutunggu hadiah yang lebih mengejutkan lagi bulan depan. Kali ini jangan salah mengingatnya, ya?”

Sekali lagi Aya mengangguk pelan.

“Aya? Kau baik-baik saja?”

Aya mengagguk lagi, seolah mengangguk adalah satu-satunya gerakan yang bisa ia lakukan saat ini.

Ah. Dia rusak[5].


Setelah mengantar Aya ke rumahnya, akhirnya aku bisa kembali ke rumahku sendiri saat waktu sudah menunjukkan nyaris pukul 7 malam.

Benar-benar hari yang menyenangkan.

Pelajaran ketiga hari ini : mutiara tidak terlihat dari atas lautan.[6]


  1. Saat seseorang kehilangan fokus, apapun bisa terjadi tanpa disadari, seperti diculik alien atau mendadak sudah berwujud roh karena mati tertabrak truk.
  2. Tangisan tidak terbukti efektif untuk menghentikan seorang preman galak.
  3. 11/12 dapat dibaca sebagai 12 November ataupun 11 Desember, tergantung format penanggalan.
  4. Tidak bisa membaca situasi. Kelemahan yang fatal untuk tokoh utama sebuah cerita romantis.
  5. Seorang gadis tidak bisa menerima stimulasi besar dua kali bila ini merupakan pengalaman pertamanya. Perempuan seperti ini adalah mereka yang pada dasarnya ‘terlalu polos’
  6. Jangan mengambil kesimpulan bila belum melihat lebih dalam (sumber : karangan Rairumu Danzo).


Part 4

“Aku pulang.”

Sesampainya di rumah, aku mendapati sosok Zork Nateromancer yang sudah menungguku di depan pintu utama.

“Mana makan malamku?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Tidak bertanya dari mana aku pergi?”

“Pasti Mizumiya Aya.”

Oh? Tidak kusangka dia cukup tajam soal hal-hal seperti ini tanpa perlu kuberitahu.

“Baiklah, tunggu di ruang tengah seperti biasa,” aku menaruh sepatu di rak dan melewati Zork menuju ke lantai atas tempat kamarku berada. “Biarkan aku menaruh tas dan ganti baju dulu, setelahnya akan kusiapkan makan malam untuk kita. Apa ada sesuatu yang kau inginkan untuk menu malam ini?”

“? Danzo, tidak biasanya kau menawariku pilihan.”

“Ah? Ahahaha, yah, anggap saja aku sedang baik hari ini.”

“Apa sesuatu yang baik terjadi padamu barusan?”

“Aku kagum kau bisa menangkap banyak hal tanpa perlu kukatakan hari ini. Tunggu sebentar.”

Setelah berganti pakaian, aku turun kembali ke bawah dan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.

“Jadi, makan apa kita malam ini?” aku kembali bertanya pada Zork, yang kini duduk di ruang tengah sambil menonton TV.

“Pizza?”

“Kenapa cuma pizza yang ada di kepalamu? Dan kau baru saja makan pizza tadi siang!”

“Kalau begitu terserah kau saja.”

Zork kembali mengalihkan perhatiannya ke arah TV, sementara aku membuat makan malam.


“Jadi, apa yang terjadi sore ini?”

Di tengah acara makan malam kami, Zork tiba-tiba bertanya sesuatu yang tidak kukira akan ditanya oleh orang asing[1] sepertinya.

Apa dia mulai tertarik dengan hal-hal seperti ini juga?

Tapi kelihatannya aku sendiri memang tidak bisa menyembunyikan ekspresi senang dari wajahku.

Bagaimanapun juga, apa yang terjadi sore ini adalah sesuatu yang patut dirayakan.

Ini adalah pencapaian[2] pertama yang sangat berarti dalam cerita antara aku dan Aya setelah 8 bulan! Kalau aku tahu dia hanya menungguku untuk melakukan hal-hal seperti ini, aku tidak akan segan-segan lagi ke depannya!

Coba kita pikirkan...setelah berciuman, berarti kedua pihak sudah sama-sama setuju mereka bisa naik tingkat ke tahap skinship[3] yang lebih lanjut, kan?

“Ehe, uhehehe...”

“? Kenapa kau tertawa?” tanya Zork.

Ah.

Tidak, tidak! Kenapa aku malah memikirkan hal-hal yang tidak senonoh!? Danzo, jangan rusak image Aya yang bersih di kepalamu!

“Uwooooooh!! Dasar mahluk tidak tahu diri!”

“? Kenapa sekarang kau menghantamkan kepalamu ke meja seperti itu?”

“Tidak, tidak apa-apa.. Aku harus berterimakasih karena kau berhasil menarikku kembali sebelum aku melangkah lebih jauh di dunia delusi... Sial, aku sudah punya kenyataan yang ideal! Aku tidak perlu hidup dengan imajinasi seperti mereka yang masih sendiri!”

“Aku tidak mengerti, tapi kau belum menjawab pertanyaanku sejak tadi.”

Aku memandang ke arah Zork, tak yakin apa topik seperti ini adalah sesuatu yang harus kubagi ceritanya dengan orang lain.

Yah, mungkin aku tidak terlihat begitu histeris seperti kebanyakan tokoh komik komedi romantis yang selalu bereaksi berlebihan ketika mereka baru pertama kali berciuman. Bisa dibilang, mungkin karena aku sudah merasa terlalu biasa dekat dengan Aya, jadi aku sudah ‘membayangkan’ kalau cepat atau lambat kami akan melakukan hal seperti ini. Jadi daripada rasa malu, di kepalaku lebih didominasi oleh rasa puas.

“Apa ini sesuatu yang tidak bisa kau ceritakan?”

Zork kembali bertanya. Dan sekali lagi aku heran, karena ini baru pertama kali ia menunjukkan ketertarikan seperti ini sejak aku dan Aya berpacaran.

“Kau.. Aku tidak tahu bagaimana budaya alien (kalau kau memang benar alien), tapi manusia punya sesuatu yang namanya ‘privasi’[4]. Seperti apapun hubungan di antara sesama manusia, selalu ada hal yang ‘bisa kau ceritakan’ dan ‘tidak bisa kau ceritakan’. Meski pada kasus ini, aku lebih condong pada ‘tidak merasa ini sesuatu yang perlu kuceritakan’,” jelasku. “Tapi setidaknya kau sudah menebak kalau yang terjadi adalah hal yang baik, dan tebakanmu benar. Lagipula justru aku yang harusnya penasaran. Kenapa tiba-tiba kau tertarik dengan apa yang kulakukan sore tadi?”

Sejak pertama aku mengenalnya, bocah bernama Zork Nateromancer ini memiliki mental yang sesuai dengan penampilannya yang tampak masih bocah.

Selama ini ia bahkan tidak pernah menggubris perhatian dari Sumeragi Sakuya, perempuan nomor satu di SMA Kaminokuni, jadi aku tidak pernah membayangkan dia akan tertarik dengan topik seperti hal-hal berbau roman.

Dan dia laki-laki. Selama kami tinggal bersama, tidak ada indikasi kalau dia punya kelainan orientasi seksual[5] dan aku juga tidak tertarik untuk melanggar batas itu. Konyol sekali kalau ternyata selama ini ia menyimpan perasaan padaku.

Ugh. Memikirkan skenario seperti itu membuatku ingin muntah.

Zork masih menatapku dengan matanya yang tampak kosong; kelihatannya ia berusaha memberikan respon untuk melanjutkan pembicaraan ini.

“Aku mengerti.”

Ia berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke luar ruangan.

“...? Mau ke mana kau?”

Ia tidak berhenti meski aku memanggilnya, jadi aku ikut berdiri dan mengikuti ke mana ia hendak pergi.

Kulihat ia duduk di depan pintu utama dan mengenakan sepatunya.

“Zork? Oi, kau mau keluar jam segini? Aku harus mengunci pintu rumah, dan aku tidak tahu apa aku masih bangun kalau kau baru kembali larut malam. Mau pegang kunci duplikat?”

Usai mengenakan sepatunya, ia berbalik dan menatapku untuk sekian detik tanpa berkata-kata.

“....?”

Ada apa dengannya malam ini?

Setelah beberapa waktu kemudian, ia merogoh sakunya dan menyodorkan sebuah benda ke arahku.

Dengan gestur wajah yang memintaku untuk menerimanya, akupun maju dan mengambil benda di tangannya.

“..eh? Ini...”

Benda yang kuterima dari Zork adalah sesuatu yang selama ini menjadi ciri khas dari bocah alien tersebut sejak aku pertama kali bertemu dengannya.

Sebuah pisau lipat.

“Kau memberikanku ini? Tapi kenapa?”

Zork membalikkan badan dan meraih gagang pintu, namun aku menahan pundaknya sebelum ia keluar dari rumah.

“Oi! Bicaralah! Masa’ kau marah hanya karena aku tidak bercerita tentangku dan Aya sampai ingin pergi dari rumah seperti ini? Aku masih punya kewajiban untuk menjagamu, tahu!”

Zork menoleh ke arahku, dan akhirnya membuka mulutnya setelah lama bergerak dalam diam.

“Danzo, sebentar lagi semuanya akan berakhir,” ujarnya dengan nada datar, seolah ia sedang membacakan teks sebuah cerita kepadaku. “Dan karena semuanya akan berakhir, aku tidak punya lagi alasan untuk berada di sini lebih lama lagi. Cerita ini sudah tiba di waktu untuk menutupnya.”

“....”

Aku tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.

Berakhir? Apa yang berakhir? Cerita apa yang dia maksud?

“Kau mungkin tidak mengerti, tapi kau tidak perlu mengerti untuk saat ini. Peranmu – dan peran Mizumiya Aya – sudah selesai. Mulai dari sini, ini adalah bagianku, dan kau tidak perlu terlibat lagi.”

“....”

Aku masih tidak mengerti.

Jadi dia ingin mengatakan kalau dia sudah selesai menumpang tinggal di sini? Apa hubungannya dengan apa yang terjadi antara aku dan Aya sore ini?

“Zork, apa---“


DUGH


Ucapanku terpotong saat segalanya tiba-tiba berubah menjadi gelap.


  1. Alien juga dapat berarti ‘sesuatu yang asing’ menurut definisi bahasa Inggris (diambil dari kamus bahasa Inggris).
  2. Achievement unlocked – istilah yang digunakan dalam game ketika seorang pemain berhasil menyelesaikan sebuah kriteria tertentu untuk membuka bagian baru dari game tersebut (diambil dari kamus Rairumu Danzo).
  3. Skinship – meningkatkan hubungan dengan peningkatan frekuensi kontak kulit (diambil dari kamus Rairumu Danzo).
  4. Privacy – konsep di mana manusia tidak perlu sepenuhnya terbuka satu sama lain, sama halnya seperti mengapa manusia berpakaian (diambil dari kamus Rairumu Danzo).
  5. Yaoi – hubungan antara laki-laki dengan laki-laki yang biasanya divisualisasikan sebagai sesuatu yang indah oleh perempuan dengan hati busuk (diambil dari kamus Rairumu Danzo).


Part 5

Saat aku terbangun, matahari telah bersinar dengan cerahnya di luar jendela.

Tidak seperti kemarin, aku tidak bangun dalam keadaan menggigil.

Tidak seperti kemarin, tidak ada lagi sosok bocah aneh yang menumpang tidur di kasur yang sama denganku.

Tidak seperti kemarin, aku tidak perlu menunggu hingga jam delapan pagi untuk berangkat ke sekolah.


Zork Nateromancer telah benar-benar pergi dari rumah ini.

Bohong kalau kukatakan aku tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang ganjil. Karena ini semua dipicu dari apa yang terjadi antara aku dan Aya kemarin sore, aku segera mengkhawatirkan keadaan Aya - meski batinku menolak kemungkinan terburuk seperti Zork melakukan sesuatu yang buruk padanya.

Aku bernafas lega saat masih menemukan Aya di sekolah, yang menyapaku dengan wajah merah padam saat kami bertemu. Aku segera bertanya kepadanya apakah ia melihat Zork, namun kelihatannya Zork tidak mendatanginya.

Aku tidak menemukan sosok Zork Nateromancer di sekolah.

Shion, Sakuya, dan Mahiru juga kelihatannya sama sekali tidak melihat Zork sepanjang hari ini.


Dan hari itu, aku merasa sebuah lembaran dalam kehidupanku menghilang begitu saja.