Non Sequitur:Volume00 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 02. [Reunion Is Just Another Word For Repeated Problem]

Page.08.1

Hari ini adalah hari Sabtu.

Di SMA Nishi tempat Shinra bersekolah, Sabtu adalah hari di mana sekolah hanya berlangsung hingga jam 11, sehingga banyak murid yang merasa malas datang hari ini. Namun banyak juga yang masih melakukan kegiatan klub di hari Sabtu, sehingga sekolah tidak bisa dikatakan sepi dari murid-murid yang melakukan berbagai aktivitas.

Hari ini adalah hari Sabtu. Waktu menunjukkan pukul 5 pagi, dan matahari masih belum terlihat.

Tiga hari yang lalu, tepatnya hari Rabu, Shuutarou memaksa Shinra untuk bergabung dengan klub literatur. Sehari setelahnya, Shinra meminta agar keempat orang temannya juga ikut bergabung dengan klub tersebut (hingga jumlah anggota memenuhi). Dan kemarin, seorang perempuan bernama Nana Sylvetta baru saja pindah ke sekolah (lebih tepatnya, kelas) Shinra dan segera ikut bergabung dengan klub literatur.

Hari ini adalah hari Sabtu, dan waktu menunjukkan pukul 5 lewat beberapa menit. Nobunaga Shinra telah terbangun dari tidurnya, dan kini sedang menuju ke luar rumahnya untuk lari pagi bersama Sasaki Minami.

Minami, salah seorang teman Shinra yang memiliki banyak prestasi di bidang olahraga, kebetulan tinggal di daerah yang dekat rumah Shinra. Setiap hari Sabtu dan Minggu selama setahun terakhir ini, ia dan Shinra memang selalu lari pagi bersama. Shinra bahkan sudah tidak ingat lagi bagaimana awalnya ia dan Minami berlari pagi bersama seperti ini, karena rasanya hal ini sudah menjadi seperti semacam kebiasaan tersendiri. Toh bagi Shinra, tidak ada kerugian yang ia rasakan dengan kegiatan seperti ini.

Saat Shinra berjalan keluar dari rumahnya, ia mendapati sosok Minami, yang kelihatannya sudah menunggunya keluar dari tadi.

“Maaf, membuatmu menunggu. Sudah lama di sini?”

Minami tertegun mendengar Shinra yang tiba-tiba menyapanya dari belakang.

“Oh, Shinra. Tidak, baru saja sampai.”

“Kalau begitu, ayo kita pergi.”

“Ah, Shinra, tunggu sebentar!”

“Ng?”

Shinra menoleh ke arah Minami, yang masih berdiri di depan rumahnya.

“Hari ini, aku datang bukan untuk lari pagi bersamamu.. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan..”

“Eh?”

“Sebenarnya kita tidak harus bicara di sini, sih.. Kau tidak keberatan kan mendengarkan apa yang ingin kubicarakan sambil berjalan-jalan? Aku tidak bisa tenang kalau harus bicara sambil diam di tempat seperti ini..”


Page.08.A Side

Hari ini adalah hari Sabtu, pukul 3 pagi.

Mengapa ia merasa harus bangun lebih awal di pagi ini?

Normalnya, masih ada lebih dari satu setengah jam lagi hingga ia biasanya terbangun dan memulai aktivitasnya di pagi hari. Jadi, kenapa saat ini ia bangun sepagi ini?

Ia berusaha melawan semua rasa kantuk yang ada dan mencoba mengingat apa yang telah ia pikirkan tadi malam.

Ah, benar juga, ujarnya dalam hati.

Aku sudah memutuskan untuk mengatakan ini pada Shinra hari ini juga.. Dan harus pagi ini. Aku tidak bisa menunggu hingga pulang sekolah.. Sudah tidak ada waktu lagi..

Sasaki Minami beranjak dari tempat tidurnya, dan segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Shinra. Dia masih punya cukup banyak waktu hingga jam 5 pagi, waktu di mana ia dan Shinra biasa lari pagi bersama setiap hari Sabtu, namun entah kenapa, ia merasa tidak ingin berlama-lama di kamarnya.

Segera setelah ia berganti pakaian dan keluar dari rumahnya, ia langsung berlari menuju rumah Shinra. Rumah mereka tidak begitu jauh, kira-kira hanya memakan waktu 20 menit dengan berjalan kaki. Tetapi saat ini, Minami tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi.

Mengapa ia harus bergegas seperti itu, apabila orang yang ingin ia temui baru akan menemuinya lebih dari sejam lagi?

Itu karena...


Page.08.1

“Shinra, ada yang ingin kukatakan padamu.”

“Shinra, dengarkan baik-baik..”

“Sebenarnya, aku..”


Page.08.2

“Shinra-kun~! Ayo ke ruang klub~!”

Shinra dibangunkan oleh suara nyaring Kanata Haruka.

“Tidur lagi, Shinra? Aku mulai curiga kau mengidap narcolepsy..”

Kali ini teman masa kecilnya, Nana Sylvetta, yang berbicara.

“Bukan urusanmu.”

Shinra memandangi Nana dengan tatapan sebal, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela kelas.

Hari ini, tak diragukan lagi, adalah hari Sabtu.

Aneh, pikir Shinra. Rasanya, aku baru saja melupakan suatu hal yang penting...

Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Shinra pun beranjak dari tempat duduknya seraya mengikuti Nana dan Haruka menuju ruang klub literatur.


Page.08.1

Gagal.

Tidak kusangka, ternyata kau bukanlah orang yang kucari selama ini..

Aku salah..

Semua salah..

Aku benar-benar malu..

Aku tidak punya muka lagi untuk muncul di hadapanmu..

Ah, mungkin kau tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu.

Tetapi, aku ingin terus menyimpan perasaan ini.

Aku tidak ingin ada yang berubah di antara kita.

Maaf, sudah melibatkanmu dalam hal seperti ini.

Aku sudah tidak punya banyak waktu lagi.

Selamat tinggal.


Page.08.2

“Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini, Haruka-san?” tanya Shinra.

“Hmm.. Sebenarnya, aku juga belum memikirkannya.. Menurutmu, kegiatan apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?”

“Tidur,” jawab Shinra singkat, sambil menenggelamkan kepalanya di atas meja ruang klub literatur.

“Hei! Tidak akan kubiarkan kau, sebagai anggota baru yang belum punya cukup kewenangan, untuk memutuskan segala sesuatunya semaumu!”

Bukankah kau baru saja minta pendapat?

“Kanata-san, aku bergabung hanya karena Shinra ada di klub ini, jadi aku tidak tahu banyak soal kegiatan klub ini. Ke mana empat orang yang kemarin? Bukankah mereka juga anggota?” tanya Nana.

“Mereka anggota klub lain. Kebetulan saja aku mengajak mereka untuk datang ke sini kemarin,” jawab Shinra.

“Untuk apa?”

“Sebelum kau datang, klub ini tidak punya cukup anggota untuk menjadi sebuah klub, jadi aku meminta mereka untuk mengisi kekosongan tersebut untuk sementara waktu..”

“Apa? Jadi saat ini, anggota klub ini hanya kita bertiga?”

“Kalian berdua, lebih tepatnya. Aku hanya setuju untuk mengisi posisi anggota klub ini untuk sementara waktu sampai klub ini memiliki tiga orang anggota.”

“Apa katamu? Jadi kau memanfaatkanku untuk kepentinganmu sendiri?”

“Hei, kau setuju untuk masuk klub ini! Dan apa maksudmu memanfaatkan?Aku bahkan tidak mengajakmu!”

Haruka terlihat kebingungan menyaksikan Shinra dan Nana bertengkar soal status keanggotaan klub mereka.

“Ng.. Shinra-kun, Nana-chan.. Kalian tidak akan meninggalkanku sendiri kan?”

Shinra dan Nana menoleh ke arah Haruka. Haruka pun tersenyum melihat mereka berdua melirik ke arahnya.

Shinra menghela nafas perlahan, kemudian berkata,

“Haruka-san, aku tidak keberatan kalau harus mengisi posisi kosong sebagai anggota klub ini.. Tapi setidaknya, bukankah seharusnya kita memiliki sebuah kegiatan klub? Seperti apa kegiatan klub yang kau lakukan selama tahun pertamamu di sini?”

“Umm.. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku yang ada di sini..”

Shinra pun melihat ke sekeliling ruangan klub. Di dalam ruang klub yang cukup kecil itu, terdapat empat buah rak buku yang terisi penuh dengan berbagai macam buku. Shinra ingat, ketika Shuutarou menyeretnya masuk ke ruang klub ini, Shuutarou bilang kalau Haruka saat itu sedang membaca sebuah buku tebal. Haruskah ia membaca buku-buku tebal seperti itu juga? Shinra bukan tipe orang yang senang membaca, dan ia bahkan malas untuk membayangkannya.

“Selain membaca, apa lagi yang bisa kita kerjakan? Bolehkah aku tidur saja selama kalian membaca?”

“Jangan begitu, Shinra-kun.. Kalau begitu, apa gunanya kau berada di sini? Aku punya kegiatan lain kok selain sekedar membaca..”

“Apa itu?”

“Menulis cerita!”

Pass.”

“Eeeh? Apa maksudmu, Shinra-kun?”

“Aku tidak berminat.”

“Oh, tapi kau harus!”

Terdengar suara sang ketua OSIS, Hanazawa Shuutarou, yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam ruangan itu.

“Uwaa! Oi, sejak kapan kau masuk?!”

“Hm? Baru saja. Kau tidak sadar?”

Kenapa aku bisa tidak sadar orang sebesar dia masuk ke ruangan ini?

“Ada apa, ketua?” tanya Haruka.

“Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin melihat apa yang dikerjakan anggota yang kurekomendasikan ini. Kelihatannya ia masih bingung dengan apa yang harus ia kerjakan, ya?”

“Urus saja urusanmu sendiri. Lagipula, kenapa kau bisa ke sini? Kukira kau sibuk dengan urusan OSISmu.”

“Hahaha, tenang saja Shinra. Kalau seorang teman sepertimu sedang memerlukanku, aku siap meluangkan waktuku kapan saja hanya untukmu.”

“Aku tidak sedang memerlukanmu.”

“Ukh.. Shinra, kenapa sikapmu jadi dingin sekali belakangan ini?”

Sikapku?

“Ah, benar juga.. Shinra-kun, kelihatannya kau sedang menyimpan suatu masalah.. Apa ada sesuatu yang terjadi?”

Sesuatu?

“Hei, hei, Shinra.. Kalau kau memang punya masalah, ceritakanlah pada teman-temanmu ini.. Kau kan tidak sendirian. Jangan menyimpan semuanya sendiri dan tiba-tiba jadi bersikap menjauh seperti itu, dong..”

Kepala Shinra terasa berputar. Kenapa? Kenapa tanpa sadar ia menyimpan perasaan tidak enak seperti ini? Sejak kapan ia merasa seperti ini?

Ada sesuatu yang kulupakan, batin Shinra dalam hati. Tapi apa?

Hari ini adalah hari Sabtu. Shinra mencoba mengingat apa saja yang telah terjadi dari pagi tadi hingga siang ini.

Tiba-tiba kepalanya menjadi sakit.

“..Shinra? Kau tidak apa-apa?”

“Shinra-kun, mukamu pucat sekali! Apa yang terjadi?”

Sambil memegangi kepalanya, Shinra berusaha untuk memerangi rasa sakit tersebut, demi mengingat apa yang menyebabkan ia merasa tidak enak seperti ini.

Dan akhirnya, ia menemukan satu kata di dalam kepalanya.

Minami!

“Oi, Shuutarou, apakah hari ini Minami ada di kelasnya?!”

“Eh? Kenapa tiba-tiba..”

“Dia tidak masuk kelas kan?!”

“Ya, dia tidak masuk hari ini. Hal yang aneh, kupikir, karena biasanya orang sesehat dia tidak mungkin tidak masuk karena sakit, apalagi kemarin dia masih sehat-sehat saja. Apa kau tahu sesuatu, Shinra?”

Shinra tidak mendengarkan perkataan Shuutarou, karena pikirannya sibuk memikirkan hal lain.

“Haruka-san..”

“E-eh? Ada apa, Shinra-kun?”

“Apa kau melihat Nana meninggalkan ruangan ini tadi?”

“Eh?”

Saat ini, di dalam ruangan klub literatur, hanya terdapat tiga orang.

Nana Sylvetta tidak ada di dalam ruangan tersebut.


Page.08.3

Tsukigami Kouji menghela nafas pelan sambil melihat sepucuk surat berwarna pink di tangannya.

Sudah yang keberapa kali sekarang?

Sebenarnya, di SMA Nishi ini, murid yang bisa dikategorikan sebagai seorang yang ‘tampan’ tidaklah sedikit. Namun entah mengapa, sebagian besar perempuan di sekolah ini memiliki jawaban yang sama apabila diberi pertanyaan ‘siapa orang yang paling ingin kau jadikan pacar dari semua murid di sekolah ini?’.

Jawaban mereka semua selalu berujung pada satu nama: Tsukigami Kouji.

Entah perempuan di sekolah ini atau aku yang aneh. Kenapa mereka semua begitu tertarik padaku?

Saat ini, Kouji sedang berjalan menuju ruang klub literatur. Seperti biasa, di saat-saat seperti ini, ia merasa lebih tenang bila ditemani dengan Shinra. Sebelumnya, ia juga sudah beberapa kali meminta tolong Shinra dalam menghadapi surat-surat pernyataan cinta seperti ini, karena menurutnya, Shinra adalah seseorang yang pintar dalam berkata-kata, sehingga ia bisa memberikan penjelasan dengan baik bagaimana membalas pesan dalam surat itu tanpa menyakiti perasaan si pengirim. Dalam beberapa kasus, Shinra bahkan menyarankan agar Kouji menjawab langsung pernyataan cinta seperti itu kepada orang yang bersangkutan.

Dan kenapa pernyataan melalui surat seperti ini masih populer sampai sekarang? Kukira hal seperti itu hanya terjadi di komik-komik..

Sesampainya di depan klub literatur, ia mendapati pintu ruangan itu terbuka. Ia menengok ke dalam dan melihat sosok Shuutarou dan Haruka yang tampak sedang kebingungan.

“Shuutarou? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Shuutarou melirik ke arah Kouji yang berdiri di depan pintu ruang klub literatur, seraya berkata,

“Kouji? Ah, kebetulan sekali! Hei, Kouji, ada yang ingin kutanyakan. Apa kemarin kau melihat ada hal yang aneh di antara Shinra dan teman masa kecilnya itu?”

“Eh? Memangnya ada apa dengan Shinra?”

“Shinra-kun baru saja meloncat dari jendela ruang klub ini begitu mendengar Nana-chan menghilang saat kami mengobrol...” jawab Haruka yang masih memasang muka tak percaya. “Sebenarnya, ada apa dengan Shinra-kun dan Nana-chan?”

“Eh? Shinra? Meloncat? Tapi, ini kan lantai 3?!” ujar Kouji yang tak percaya mendengarnya. “Apa ia baik-baik saja?”

“Makanya kami juga heran. Setelah meloncat, ia langsung berlari entah ke mana. Sebelumnya, Shinra yang kita kenal tidak pernah seperti ini kan? Kenapa dia tak mau menceritakan masalahnya pada kita, ya?” ucap Shuutarou.

Tiba-tiba Kouji teringat akan sesuatu.

“Ah.. Aku baru ingat. Kemarin aku sempat menanyakan tentang Sylvetta-san pada Shinra, karena kulihat ia seperti merasa tak nyaman berada di dekatnya. Tapi waktu itu ia bilang ia tidak apa-apa..”

“Pasti ada sesuatu yang Shinra sembunyikan dari kita! Anak itu, kenapa sih kelihatannya sulit sekali bagi dia untuk membuka diri pada teman-temannya ini? Padahal kan kita sudah bersama-sama dari kelas 1..”

Mendengar perkataan Shuutarou, Kouji pun jadi memikirkan hal yang sama.

Selama tahun pertama mereka di SMA Nishi, Shinra tidak pernah menolak atau terlihat keberatan untuk bergaul dengan empat orang temannya, yang merupakan kumpulan orang-orang terkenal di sekolah ini. Bahkan bila dipikir-pikir lagi, tak jarang pula ia menolong mereka dalam berbagai hal. Namun, Shinra sendiri tidak pernah meminta bantuan apapun pada teman-temannya, dan menujukkan sikap seolah ia tak pernah menyimpan masalah apapun.

“Shinra, kau..”


Ichiro Miroku baru saja berhasil meminjam sebuah kamera digital dari klub fotografi. Sambil bersiul, ia kini berniat untuk mengunjungi klub literatur.

Tujuannya sudah jelas: mengambil foto Nana Sylvetta.

Kemarin, ia gagal membujuk Shinra untuk menolongnya mengambil foto teman masa kecil Shinra tersebut, jadi hari ini, ia membulatkan tekadnya untuk mengambil foto Nana Sylvetta dengan segala cara.

Di dalam kepalanya, sudah ada 3 opsi untuk mencapai tujuan tersebut.

Cara 1: Aku akan meminta tolong pada Shinra sekali lagi. Cara 2: Aku akan mengambil foto itu diam-diam. Cara 3: Sebenarnya aku malu sekali kalau harus memakai cara ini, tapi kalau aku sendiri yang meminta, apa orang secantik itu bersedia untuk kufoto? Aaah, sial..

Sosok murid paling jenius di SMA NIshi, yang selama 3 semester berturut-turut meraih peringkat satu di sekolah ini, kini bertingkah layaknya seorang anak kecil yang sedang memikirkan cara untuk membujuk orangtuanya agar dibelikan sebuah mainan.

Saat sedang dilanda konflik batin yang tidak jelas itulah, Miroku melihat sosok seseorang yang sedang berjalan melintasi halaman sekolah dari jendela gedung sekolah lama.

He? Itu kan..

Sesosok perempuan berpenampilan bak model, dengan wajah orang asing dan rambut panjang tak teratur berwarna kemerahan.

..Nana Sylvetta~~!

Dengan gerakan yang sangat cepat, Miroku segera meraih kamera pinjamannya, membidik ke arah perempuan itu, dan memotretnya dalam hitungan kurang dari 1 detik.

Dengan wajah kegirangan, ia segera melihat hasil jepretannya tersebut. Namun, segera setelah melihatnya, ia malah menunjukkan wajah kebingungan.

“Eh? Kenapa jadi begini?”

Miroku segera melihat ke tempat sosok perempuan yang baru saja ia foto, tetapi ia mendapati sosok itu sudah tidak lagi berada di sana.


Page.08.4

Nobunaga Shinra telah berada di luar SMA Nishi,dan kini sedang berada di depan sebuah halte bus.

Uuh, kenapa aku harus terlibat hal seperti ini lagi, sih?

Entah mengapa, Shinra sama sekali tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang terjadi pagi tadi, namun setidaknya ia tahu bahwa sesuatu pasti terjadi pada Minami. Ia tak bisa menghubungi Minami di nomor handphonenya, dan saat ini ia merasa seperti berlari tanpa petunjuk.

Walau begitu, ia tahu seseorang yang mungkin bisa membantu, atau malah memiliki kaitan dengan hilangnya Minami hari itu.

Nana Sylvetta.

Sebenarnya, ia sudah menduga bahwa [sesuatu] pasti akan terjadi dengan kepindahan Nana ke sekolahnya, tapi ia tak menyangka [sesuatu] tersebut terjadi secepat ini.

Ia hendak menelpon Nana, namun kemudian ia baru sadar kalau ia kemarin belum sempat menanyakan nomor handphone Nana (kalau ia memilikinya).

“...sial! Nana, di mana kau sebenarnya?!”

“Kamu mencariku?”

Tiba-tiba Shinra merasa seseorang memeluknya dari belakang.

Shinra mengenali pemilik suara itu, sehingga ia merasa tidak perlu menoleh ke belakang untuk melihat orang yang memeluknya; Nana.

“..ke mana kau tadi?” tanya Shinra dengan nada kesal.

“Hmm.. Aku tidak ke mana-mana. Aku bahkan sempat melihat kau melompat dari jendela ruang klub. Apa kamu sebegitu mengkhawatirkan diriku, Shinra? Karena itukah kamu begitu panik saat aku hilang dari pandanganmu? Haha, senangnya~”

“Aku mengkhawatirkan Minami, bukan kau,” balas Shinra.

“Ah, jadi selama aku hilang dari kehidupanmu selama ini, kamu sudah menemukan pujaan hati yang baru? Kamu jahat, Shinra. Semudah itukah kamu menduakan seseorang? Sekarang aku tahu kenapa kamu dingin padaku dari kemarin..”

“Berhenti bicara seperti itu. Aku akan langsung saja. Nana, kau tahu sesuatu tentang Sasaki Minami?”

Shinra merasa pelukan Nana menjadi semakin erat.

“..kalau aku tahu, lalu kenapa?” bisik Nana.

“Apa yang kau lakukan padanya?”

“Aku tidak melakukan apa-apa padanya.”

“Jangan bohong! Kau..”

“Dengar baik-baik Shinra. Aku sudah berbicara sedekat ini dengan telingamu, jadi jangan sampai kamu tidak ingat lagi bahwa aku tidak tertarik dengan manusia selain dirimu.”

Seketika sekujur tubuh Shinra terasa dingin saat mendengarnya.

“Aku tahu, kamu masih menyimpan perasaan bersalah karena kejadian di [hari itu]. Atau sebaliknya, kamu masih menyalahkanku soal kejadian itu? Yah, yang manapun itu, aku tahu kamu sulit menerimaku karena hal itu, dan aku sudah minta maaf kepadamu kemarin, jadi berhentilah bersikap seolah kamu membenciku.”

“Aku tidak membencimu,” jawab Shinra. “Hanya saja, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kau kini hadir di hadapanku, setelah kau tiba-tiba menghilang saat kita berhasil melewati [hari itu].”

“Hmph, baiklah. Intinya, tidak ada perasaan negatif di antara kita, kan? Aku senang mendengarnya~,” ujar Nana seraya melepaskan pelukannya dari punggung Shinra, lalu memutar tubuh Shinra menghadap ke arahnya.

“..Nana, bisakah kau lepaskan tanganmu? Kalau ada orang yang melihat kita, mereka pasti akan berpikiran macam-macam..”

Kini Nana melingkarkan tangannya ke pinggang Shinra, lalu bertanya, “Memangnya kenapa?”

Shinra merasa tidak ada gunanya menjelaskan dengan kata-kata, sehingga ia mendorong Nana menjauh darinya.

“Kembali ke permasalahan awal. Nana, apa yang kau tahu tentang Minami? Aku kehilangan ingatanku tentang apa yang terjadi pagi tadi. Kau tahu kenapa?”

Nana menatap Shinra dengan keheranan.

“Kau tidak menyadarinya, Shinra?” tanyanya.

“Eh? Menyadari apa?”

Nana menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata,

“Shinra, siapa orang yang kau temui di tangga saat istirahat kemarin siang?”

“Hah? Apa maksudmu?”

“Jawab saja, Shinra. Apa kau ingat?”

“Ng.. Bukannya itu kau?”

Nana pun tersenyum mendengarnya.

“Shinra, [Day of Idleness] (Taida no Hi) milikku sudah dapat kupakai saat ini kalau kamu benar-benar tidak sadar ada apa dengan Sasaki Minami itu. Kupakai sekarang, ya?”

“Eh?!”

[Day of Idleness].

Shinra segera mengingat bagaimana ia dan Nana terjebak di [hari itu].

“Tidak, terima kasih!” tolak Shinra.

Tetapi ia terlambat.

Nana, yang kini menggenggam erat tangan Shinra, tersenyum seraya berkata,

“Jangan lari dariku, Shinra.. Ehehehe~”

Shinra, menyadari bahwa semua sudah terlambat, segera memejamkan mata. Dunia sesaat terasa berputar, dan Shinra merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Tak lama kemudian, kesadarannya pun terasa mulai menjauh.


Page.09 (Page.06.1)

Ketika Shinra mendapatkan kesadarannya kembali, ia segera melihat ke sekeliling, dan mendapati dirinya kini berada di dalam kelas 2-D, lengkap dengan seluruh teman sekelasnya dan seorang guru di depan kelas. Saat ini masih jam pelajaran, dan semuanya terlihat terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Shinra memejamkan matanya, dan bukan kegelapan yang ia temui, melainkan sekumpulan angka di dalam latar belakang putih.

23:59:50

Ia segera membuka matanya, kemudian menutup matanya sekali lagi.

23:59:49

Nana.. Kau benar-benar melakukannya..

Perasaan Shinra saat ini benar-benar bercampur aduk. Ia merasa sangat kesal, namun juga ada sebuah perasaan nostalgia yang menghampirinya.

Shinra melihat ke seluruh sudut kelas, dan mendapati sosok Nana yang kini sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum, kemudian mengedipkan sebelah matanya. Shinra menghela napas pelan, kemudian menenangkan pikirannya untuk menerima keadaan yang tengah ia alami saat ini.

Tidak salah lagi.. Aku telah kembali ke hari Jumat kemarin..

[Day of Idleness].

Shinra kembali mengingat [hari itu].

Di dalam ingatan Shinra, [hari itu] adalah hari di mana ia dan Nana terjebak di dalam suatu hari yang terus-menerus berulang karena kemampuan yang dimiliki oleh Nana, yang ia sebut dengan [Day of Idleness]. Shinra bahkan ingat ketika Nana menamainya seperti itu karena menurutnya terdengar keren, walaupun Shinra sangat kesal karena bagi Nana, semuanya seolah-olah bagai permainan.

Tapi Shinra tahu, Nana berbuat seperti itu untuk menyelamatkan dirinya dan Shinra, sehingga ia tidak bisa menyalahkan Nana atas terjadinya kejadian [hari itu].

Ah, ini bukan saatnya memikirkan masa lalu!

Shinra segera bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke luar kelas.

“Oi, oi, Nobunaga-kun! Mau ke mana kau di tengah jam pelajaran seperti ini?” tegur sang guru melihat Shinra seenaknya saja keluar dari kelas.

“Ruang UKS,” jawab Shinra seraya menutup pintu kelas 2-D.


5 menit setelah Shinra sampai ke ruang UKS, Nana segera menyusulnya ke tempat yang sama. Entah kebetulan atau bukan, saat ini, ruang UKS sedang kosong, sehingga hanya Shinra dan Nana yang berada di dalamnya.

“Bagaimana kau bisa keluar?” tanya Shinra, yang kini duduk di sebuah ranjang di dalam ruang UKS.

“Izin ke toilet. Untuk apa kamu menanyakan hal seperti itu? Bukannya ada hal yang lebih penting yang ingin kamu tanyakan?”

“Ah, benar.. Jadi, kenapa kau tiba-tiba menyeretku ke <waktu> ini?”

Nana mengunci pintu ruang UKS, kemudian berbaring di ranjang tempat Shinra duduk.

“..dan dari mana kau dapat kunci ruangan ini?”

Nana tersenyum melihat Shinra, kemudian berkata,

“Hmph.. Kamu ini, selalu saja meributkan hal-hal kecil.. Jadi, yang mana dulu yang harus kujawab?”

“Terserah kau saja,” ujar Shinra sebal.

“Hei, jangan marah begitu, Shinra~.. Oke, oke, kau ingin tahu kenapa aku membawamu ke sini? Sebelumnya, biar kutanya sesuatu dulu padamu. Menurutmu, kenapa pada <hari ini> aku pindah ke sekolah ini?”

“Mana kutahu... Oh, jangan bilang semua ini ada hubungannya denganku?”

“Bu-bu~. Salah. Yah, tapi mungkin ada benarnya juga sih, toh sudah lama aku tidak melihatmu. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku memang benar-benar merindukanmu, lho. Aah, andai saja kau tahu betapa kesepiannya aku selama beberapa tahun belakangan ini.. Tapi mau bagaimana lagi, takdir memang mengharuskan kita untuk berpisah..”

“..bisa tidak kau berhenti bicara seperti itu? Kalau boleh jujur, aku merasa sebal mendengarnya.”

“Tapi aku serius, Shinra.”

Kini Nana menatap Shinra dengan wajah serius. Melihat perubahan pada raut muka Nana, Shinra menggaruk-garuk kepalanya, kemudian bertanya,

“Soal apa?”

“Bahwa aku mencarimu selama ini.”

Kali ini Shinra benar-benar terkejut. Ia membalas tatapan Nana dengan wajah keheranan.

“Ah, tapi itu kita bahas nanti saja. Aku belum memberi tahu jawaban yang benar atas pertanyaanku tadi. Kenapa aku pindah ke sekolah ini? Jawabannya adalah, karena di sekolah ini ada seseorang yang memiliki Enigma sepertiku.”

“Enigma?”

“Itu cuma sebutan buatanku untuk ‘kemampuan’ seperti [Day of Idleness] milikku. Toh aku tidak tahu harus menyebutnya apa, lagipula ‘Enigma’ terdengar keren kan? Seperti kemampuan khusus yang ada di game, hehehe.”

“...lalu, dari mana kau tahu bahwa ada pemilik kemampuan, ng, Enigma di sekolah ini? Dan lagi, kenapa kau harus sampai pindah ke sini? Ada urusan apa kau dengan orang itu?”

“Shinra, kamu boleh tidak percaya, tapi aku sudah menggunakan [Day of Idleness] lebih dari ratusan kali sebelum pindah ke sini, jadi kurasa tidak salah lagi, pemilik Enigma itu pasti ada di sini, lebih tepatnya, di antara teman-temanmu, Shinra.”

“Eh?”

Di antara teman-temanku?

“Kamu benar-benar tidak sadar ya? Aku sudah mengulang hari ini sebanyak tiga kali sebelumnya, dan kelihatannya dugaanku benar, jadi...”

“Tunggu dulu! Maksudmu seorang di antara Shuutarou, Minami, Miroku atau Kouji adalah pemilik Enigma?! “

“Ya,” jawab Nana singkat. “Dan tahukah kamu kenapa aku berusaha mencarinya?”

Shinra tidak dapat mempercayai apa yang baru saja Nana katakan, namun ia lebih dikejutkan lagi dengan perkataan Nana berikutnya.

“Karena dunia ini bukan dunia di mana kita seharusnya berada.”


Page.09 (Page.07.1)

Bel tanda sekolah telah usai pun berbunyi.

Shinra masih berada di ruang UKS, namun Nana telah kembali ke ruang kelas 2-D. Menurutnya, seorang perempuan tidak boleh meninggalkan kesan berlama-lama di toilet, jadi dia kembali ke kelas setelah menjelaskan garis besar situasi yang ia ketahui saat ini.

Menurut Nana, [dunia] ini adalah ‘dunia alternatif’ yang telah terbentuk sekitar setahun yang lalu. Sejak setahun yang lalu, ia terus-menerus mengalami mimpi tentang suatu hari yang terlihat normal, namun yang aneh, semua mimpi Nana selalu menunjukkan ‘dunia’ di hari itu. Awalnya Shinra mengira ini mungkin efek dari [Day of Idleness] milik Nana, namun Nana berpendapat lain karena satu hal:

Sejak pertama kali menggunakan [Day of Idleness], Nana tidak pernah sekalipun bermimpi di alam bawah sadarnya.

Nana berpikir bahwa mungkin semua pemilik Enigma memang tidak akan bermimpi dalam tidurnya, walau ia sendiri tidak mengerti mengapa hal ini terjadi. Toh ia bahkan tidak mengerti dengan Enigma miliknya sendiri, dan ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Tapi setelah bertahun-tahun tidak mengalami apa yang disebut sebagai’ mimpi’, dan tiba-tiba mengalaminya lagi setahun yang lalu, Nana pun memikirkan suatu teori:

Saat ini, Nana Sylvetta berada di dalam [dunia] buatan pemilik Enigma yang lain, dan ‘mimpi’ yang ia lihat adalah ‘kesadaran’ miliknya di dunia nyata.

Shinra masih belum dapat menerima apa saja yang dijelaskan oleh Nana tentang [dunia] ini. Batinnya terasa memberontak, dan ia jatuh ke dalam pemikiran yang dalam dari semua pernyataan yang dikemukakan oleh Nana tadi.

Apa itu ‘dunia’?

Kumpulan negara-negara?

Bumi tempat kita berpijak?

Susunan alam semesta?

Tidak, bukan itu semua.

Bagi Shinra, dunia adalah tempat di mana ia dapat hidup di dalamnya, dan di mana dirinya merupakan suatu keberadaan.

Lalu apa yang dimaksud dengan kehidupan?

Kalau benar [dunia] ini bukanlah dunia yang sebenarnya, apa yang akan terjadi bila ia mati di sini?

Dan yang paling penting, apakah semua yang dikatakan Nana itu benar?

“Apa kau berharap aku mempercayaimu begitu saja?” tanya Shinra kepada Nana sebelum ia meninggalkan ruang UKS.

Nana diam sejenak, lalu berkata, “Apa yang bisa kudapat darimu bila ternyata semua yang kukatakan tadi cuma kebohongan belaka?”

“...entahlah..”

“Sama seperti jawabanmu, jawabanku juga ‘entahlah’. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku, toh semua orang punya kemampuan berpikir dan pendapat masing-masing. Tapi kuharap, kamu mengerti bahwa aku membawamu ke <waktu> ini lagi bukan sekedar untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Sasaki Minami, tapi untuk mencari jawaban mengenai [dunia] ini.”

Setelah itu, Nana pun keluar dari ruang UKS, meninggalkan Shinra yang tak bisa berhenti berpikir mengenai [dunia] ini.

Bel tanda usai sekolah telah lama berbunyi.

Dengan berbagai pikiran memenuhi kepalanya, Shinra pun memutuskan untuk pergi ke ruang klub literatur.


Tidak banyak hal yang berubah dari apa yang Shinra rasakan sudah terjadi sebelumnya.

Ia bertemu Nana dan Haruka di jalan menuju klub literatur. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, Haruka terus-menerus menanyakan apakah ia sakit atau tidak, karena tindakannya saat tiba-tiba meninggalkan kelas. Sesampainya di ruang klub literatur, ia mendapati Minami, Miroku, Kouji, dan Shuutarou dalam keadaan yang sama dengan <waktu> sebelumnya. Setelahnya pun kurang lebih sama, tanpa ada kegiatan lain selain obrolan di antara tujuh orang yang berkumpul di ruangan itu. Setelah hujan reda, mereka semua pun pulang bersama seperti sebelumnya.

Rumah Shinra searah dengan Minami, jadi mereka berpisah di tengah jalan dengan yang lainnya.

“Kudengar dari Kanata-san kau pergi ke ruang UKS di jam terakhir tadi. Apa kau baik-baik saja?” tanya Minami yang kini berjalan di samping Shinra.

“Aku tidak apa-apa kok, cuma pusing sedikit saja..” jawab Shinra.

“Hm? Pusing? Memangnya kau sedang memikirkan apa?”

“Memikirkan dunia ini.”

“Eh?”

Seketika Minami menghentikan langkahnya, dan menunjukkan ekspresi terkejut, seakan ia baru saja menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Shinra merasa ada yang aneh dengan ekspresi Minami, karena mukanya terlihat seperti ia sedang menahan sesuatu.

“Ada apa?” tanya Shinra.

“..eh? Ti-tidak! Tidak ada apa-apa kok! Hahaha..” jawab Minami dengan muka memerah.

“Kau baik-baik saja?”

“Te-tentu saja! Aku cuma kaget kau memikirkan hal-hal sedalam itu. Ternyata kau orang yang filosofis ya, Shinra.”

He? Kenapa tiba-tiba aku dibilang filosofis?

“Aah, kalau begitu, kita berpisah di sini, ya.. Sampai nanti, Shinra!” ujar Minami seraya berlari ke arah yang berbeda dari Shinra.

“Minami!”

Minami, yang kini telah berada cukup jauh dari Shinra, menoleh ke belakang saat Shinra memanggil namanya.

“Sampai ketemu lagi besok pagi! Jangan pergi ke mana-mana ya!” ujar Shinra.

Shinra melihat Minami tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arahnya, dan kemudian berlari lagi hingga hilang dari pandangan Shinra.


Page.09 (Page.07.A Side)

Shinra?

Benarkah dia orangnya?

Aaah, aku tidak mengerti! Kenapa? Kenapa harus kau, Shinra?

Kumohon, aku tidak ingin menghadapi kenyataan kalau memang benar kaulah orang yang selama ini kucari..

Tapi aku tahu, kami tidak punya pilihan lain lagi.

Aku tidak punya kebebasan untuk memilih.

Sudah kuputuskan, aku akan melakukannya besok pagi.

Semoga semuanya berjalan baik-baik saja..


Page.09 (Page.08.1)

Hari ini adalah hari Sabtu, pukul 5 lewat beberapa menit. Shinra telah terbangun dari tidurnya, dan kini sedang menuju ke luar rumahnya untuk lari pagi bersama Minami. Saat Shinra berjalan keluar dari rumahnya, ia mendapati sosok Minami, yang kelihatannya sudah menunggunya keluar dari tadi.

“Maaf, membuatmu menunggu. Sudah lama di sini?”

Minami tertegun mendengar Shinra yang tiba-tiba menyapanya dari belakang.

“Oh, Shinra. Tidak, baru saja sampai.”

“Kalau begitu, ayo kita pergi,” ajak Shinra.

“Ah, Shinra, tunggu sebentar!”

“Ng?”

Shinra menoleh ke arah Minami, yang masih berdiri di depan rumahnya.

“Hari ini, aku datang bukan untuk lari pagi bersamamu.. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan..”

“Eh?”

Sesaat, Shinra merasa sesuatu menyerang kepalanya.

Aku bisa mengingatnya! Ini..sama seperti yang sebelumnya..

“Sebenarnya kita tidak harus bicara di sini, sih.. Kau tidak keberatan kan mendengarkan apa yang ingin kubicarakan sambil berjalan-jalan? Aku tidak bisa tenang kalau harus bicara sambil diam di tempat seperti ini..”

Tapi aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah ini.. Kenapa?

“Minami.”

“Ya?”

“Ayo pergi ke taman di dekat sini. Kau bisa menceritakan apa saja yang kau mau nanti, tapi untuk sekarang, bisakah kita berdua pergi ke taman? Kurasa lebih nyaman kalau kita mengobrol di sana ketimbang sambil berjalan.”


Shinra dan Minami kini sampai di sebuah taman di tengah-tengah kota.

Taman ini adalah sebuah taman umum yang cukup luas, dengan sebuah air mancur di tengah-tengah taman dan bangku-bangku yang tersebar di sekeliling taman. Pemandangannya pun tidak buruk, karena taman ini dihiasi dengan berbagai macam pepohonan. Taman ini biasa didatangi oleh pasangan kekasih atau keluarga yang menikmati hari libur, dan biasanya tidak pernah sepi saat hari libur, karena sering sekali ada orang-orang yang menggelar suatu acara di sini.

Tetapi saat ini, di taman ini hanya terdapat dua orang saja, seolah-olah kedua orang itu telah memesan taman ini khusus untuk saat ini.

Shinra memperhatikan Minami, dan entah mengapa, wajah Minami saat ini menunduk ke bawah, namun Shinra dapat melihat kalau wajah Minami saat ini sedang memerah dari telinganya.

“Hei, benarkah kau baik-baik saja? Ayo kita duduk di bangku sebelah sana,” ajak Shinra.

“Eh? Ah, iya, baiklah..” ucap Minami gugup.

Shinra pun duduk di sebuah bangku di pinggir taman, dan Minami duduk di sebelahnya, namun Minami kelihatannya mengambil jarak agar tidak terlalu dekat dengan Shinra.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Shinra.

Minami sesaat tampak ragu untuk mulai berbicara, namun setelah beberapa saat kemudian, ia pun mengumpulkan keberanian untuk menatap ke arah Shinra dan berkata,

“Umm.. Shinra, ingatkah kau bagaimana kita bertemu setahun yang lalu?”

Eh? Kenapa membawa topik tentang setahun yang lalu?

“Ah, tidak apa-apa kalau kau tidak ingat.. Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka kita akan berteman seperti ini. Dulu, saat pertama kali masuk ke SMA Nishi, aku sama sekali tidak punya sesuatu yang ingin aku capai, dan aku juga tidak berpikir untuk menjalani kehidupan SMA ini dengan melakukan hal-hal yang tidak biasa. Namun kemudian, sejak bertemu denganmu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.”

Shinra terdiam mendengar perkataan Minami. Ia pun berpikir, mengapa kelihatannya semua orang menganggap dirinya adalah sesuatu yang istimewa?

“Haha, kau tahu, awalnya aku tidak tertarik untuk bergaul dengan orang-orang seperti Shuutarou, Miroku, atau Kouji. Tapi kau berbeda. Entah mengapa, aku merasa tertarik untuk berada dekat denganmu, jadi aku mencoba untuk membaur dengan kalian. Dan tahukah kau? Aku benar-benar bersyukur bertemu denganmu, dan menghabiskan setahun ini bersama-sama denganmu...”

“Ng, Minami? Sebenarnya, apa yang ingin kau sampaikan padaku?” tanya Shinra keheranan.

Minami pun mendekat ke arah Shinra. Shinra dapat melihat denga jelas muka Minami yang kemerahan, dan ekspresinya yang tampak sangat sedih, seolah ia sedang menahan tangis.

“....Minami? Kau tidak apa-apa?”

“Shinra, sebenarnya, aku..”

Minami tidak melanjutkan kalimatnya. Kali ini, airmata mengalir dari matanya, dan ia benar-benar tampak kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya.

“Minami? Hei, Minami! Ada apa?! Kenapa kau menangis?”

Minami, yang kini wajahnya dibanjiri airmata, berusaha untuk tersenyum. Senyuman itu terlihat menyakitkan di mata Shinra, karena jelas sekali Minami sedang menahan sesuatu. Dan dari mulut yang tersenyum itulah, Minami berusaha mengeluarkan kata-kata selanjutnya.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya dengan suara yang sangat pelan, seolah ia berbisik, namun terdengar dengan jelas di telinga Shinra.

“...aku menyukaimu...”

“Eh?”

Tiba-tiba Minami memeluk erat Shinra, dan sambil menangis, ia membisikkan sesuatu ke telinga Shinra.

“Maaf.. Maafkan aku, Shinra..”


Page.09 (Page.08.A Side)

Nobunaga Shinra berdiri dari tempat ia duduk di bangku taman, dan melihat ke arah Sasaki Minami, yang kini tergeletak tanpa kesadaran di sebelahnya.

Ia pun menggendong tubuh Minami di punggungnya, kemudian berjalan menuju ke luar taman.

Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendapati sosok seseorang di hadapannya.

“Shinra? Apa yang kamu lakukan?”

Nana Sylvetta.

Entah sejak kapan, Nana kini berdiri di hadapan Shinra.

“Ah.. Nana-san.. Sedang apa kau pagi-pagi begini di tempat ini?”

“Justru aku yang seharusnya bertanya padamu! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membawa Sasaki Minami di punggungmu? Shinra, jangan-jangan, kamu..”

“Ah, tidak, tidak! Ini bukan seperti yang kau pikirkan! Aku dan dia memang sering berjalan pagi setiap Sabtu, dan kelihatannya dia kelelahan, jadi sekarang aku ingin mengantarnya ke rumahnya.”

“Oh, begitu.. Boleh kutemani?”

“Ah.. Tidak perlu repot-repot.. Biar aku sendiri saja.. Kau juga masih ada urusan kan? Aku tidak ingin mengganggumu..”

“Hm, begitu ya? Kalau begitu, hati-hati di jalan ya..”

“Iya, sampai nanti, Nana-san..”

Shinra pun berjalan melewati Nana, namun beberapa langkah kemudian, ia merasakan sesuatu menghantam wajahnya.

DUAGH!

Nana baru saja menendangnya tepat di wajah.

Shinra pun terhempas ke tanah, dan tubuh Minami terlepas dari punggungnya. Ia segera bangkit dan menunjukkan wajah yang menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“A-apa yang kau..”

“Siapa kau?” tanya Nana pada Shinra.

Tidak, lebih tepatnya, pada seseorang yang berpenampilan seperti Shinra di hadapannya.

“Eh?”

“Jangan pura-pura bodoh. Pertama, Shinra tidak pernah memanggilku dengan ’Nana-san’. Kedua, aku tidak pernah melihat Shinra menggendong perempuan lain sebelumnya. Dan ketiga, asal kau tahu, aku sudah mengikuti kalian berdua sejak Shinra keluar dari rumahnya.”

“A-apa maksudmu?”

“Kau pemilik kemampuan sepertiku juga ya? Kalau boleh kutebak, apakah kau Sasaki Minami?”

Shinra yang ada di hadapan Nana kini menunjukkan ekspresi kemarahan di wajahnya.

“Dari mana kau tahu?” geramnya.

“Oh, aku cuma sekedar menebak. Dan dari kalimatmu barusan, kelihatannya tebakanku benar ya? Sekarang, bisakah kau lepaskan tubuh Shinra? Kupikir kita bisa membicarakan hal ini baik-baik.”

“Apakah kau yang membuat [dunia] ini?”

“Bukan.”

“Kalau begitu, aku tidak punya urusan denganmu!”

Shinra melompat ke arah Nana, dan melayangkan sejurus tendangan di udara ke arah wajah Nana. Nana menangkisnya dengan sebelah tangan, lalu berlari menuju ke arah tubuh Sasaki Minami.

“Ah!”

“Jangan bergerak,” ujar Nana seraya mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mengarahkannya ke leher Minami. “Kupikir sebaiknya kau lepas tubuh Shinra, atau kau mau tubuhmu yang satu ini kurusak? Sudah kubilang, kita mungkin bisa membicarakan hal ini baik-baik..”

“Cih..”

Tiba-tiba Shinra terjatuh seperti orang pingsan. Nana yang terkejut melihatnya segera berlari ke arah Shinra.

Namun, ia merasakan keberadaan seseorang di belakangnya.

Ketika ia menoleh, tubuh Sasaki Minami kini telah berdiri, dan kemudian melayangkan sebuah tinju ke arah Nana. Nana menunduk untuk menghindarinya, kemudian meraih tubuh Shinra dan melemparnya menjauh dari dirinya.

“Nah, begitu lebih baik..” kata Nana. “Dengan begini, kita tidak saling memegang sandera untuk berbicara kan?”

“Aku tidak punya niat untuk bicara denganmu!” ujar Minami seraya berlari menuju ke luar taman.

“Ah? Hei, tunggu!”

Nana pun mengejar Minami, meninggalkan Shinra yang tergeletak tanpa kesadaran di bawah sebuah pohon besar.


Page.09 (Page.08.1)

Saat Shinra mendapatkan kembali kesadarannya, ia merasakan sesuatu yang bergetar dari sakunya. Handphonenya berbunyi, dan menunjukkan nama Nana Sylvetta. Ia pun segera menjawab panggilan tersebut.

“Halo?”

“Bukan ‘halo?’, bodoh!! Semalam kamu memintaku untuk mengikutimu, tapi sekarang kamu enak-enakan tidur? Bantu aku mengejarnya!” teriak Nana dari handphone Shinra.

“Eh? Mengejar siapa?” tanya Shinra kebingungan. Kelihatannya kesaadarannya belum seutuhnya pulih.

“Sasaki Minami, tentu saja! Bukannya kau ingin tahu ada apa dengannya?”

Minami?

Shinra segera mengingat apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya.

“Nana?! Di mana kau sekarang?!”

“Di jalan menuju ke sekolah. Kamu bisa menyusul? Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti, tapi kelihatannya Sasaki Minami sedang berlari menuju ke arah SMA Nishi.“

Shinra segera menutup handphonenya dan berlari ke luar taman.

Shinra dan Minami sudah sering berjalan mengitari kota ini sejak sekitar setahun yang lalu, jadi mereka tahu jalan-jalan sempit yang tidak biasa dilalui orang untuk menuju ke tempat-tempat tertentu. Berbeda dengan Nana yang baru pindah kemarin. Walaupun saat ini Nana mengejar Minami dari belakang, Shinra ragu Nana bisa mengikutinya, mengingat Minami adalah pelari hebat yang meraih medali emas di cabang lari 100m, estafet, bahkan maraton.

Menghadapi seseorang seperti itu, konfrontasi langsung tidak akan berhasil.

Shinra juga tahu bahwa seandainya ia atau Nana harus melawan Minami dengan tangan kosong, mereka tidak akan punya kesempatan untuk menang.

Shinra kini berlari di suatu gang sempit di antara dua bangunan. Sambil berlari, ia mencoba untuk menghubungi Minami, namun tentu saja tidak diangkat. Ia pun kemudian menghubungi Nana.

“Hei, kenapa tadi tiba-tiba kamu tutup? Di mana kamu sekarang?”

“Nana, apa kau masih bisa melihat Minami di depanmu?” tanya Shinra tanpa mendengarkan perkataan Nana.

“Eh? Yah, jalanan masih kosong, jadi aku bisa melihatnya, tapi cukup jauh.. Memangnya kenapa?”

“Tolong dengarkan arahan dariku dengan baik. Kalau berhasil, mungkin kita berdua dapat mengejarnya. Kau bisa kan?”

“..kamu punya rencana?”

“Tidak, tapi serahkan saja padaku. Setidaknya aku sudah mengenal Minami lebih lama daripada kau, jadi aku sudah bisa mengira-ngira apa yang ia lakukan saat ini.”


Page.09 (Page.08.A Side)

Minami masih terus berlari ke arah SMA Nishi, ketika ia menyadari matahari kini sudah terbit dari timur.

Walau suasana saat ini bisa dikatakan sudah cukup terang, jalanan masih tetap sepi, dan dengan baju olahraga yang dipakainya, orang-orang akan menganggapnya sedang lari pagi. Semua akan tampak wajar, selama ia tidak terlalu dekat dengan seseorang yang kini sedang mengejarnya dari belakang.

Sudah sekitar 10 menit, dan kecepatannya tidak menurun juga? Nana Sylvetta itu pasti bukan orang biasa...

Minami menoleh ke belakang untuk melihat pengejarnya, yang nampaknya kini malah menaikkan kecepatannya.

Dasar keras kepala!

Begitu mendekati perempatan terakhir menuju SMA Nishi, Minami pun berlari memasuki daerah pepohonan di pinggir jalan. Bila dilihat dalam peta, daerah pepohonan ini berhubungan langsung dengan taman kota, namun kebanyakan orang tidak mengetahui hal ini karena tidak ada jalan setapak ataupun jalan umum yang dibuat di daerah ini.

Ia terus berlari, dan ketika ia melihat ke belakang beberapa saat kemudian, sosok Nana Sylvetta sudah tidak lagi terlihat.

...? Kupikir dia akan mengejarku ke sini.. Apa dia tersesat? Atau dia menyerah karena kelelahan? Yah, yang manapun itu, aku berhasil kabur..

Tiba-tiba terdengar bunyi bergetar dari saku celana Minami. Ia terkejut dan segera mengambil handphonenya, yang menunjukkan penggilan dari Nobunaga Shinra.

Eh? Shinra?

Rupanya selama berlari tadi, ia tidak sadar kalau Shinra sudah meneleponnya berkali-kali. Tanpa sempat berpikir panjang, ia segera menjawab panggilan tersebut.

“Ha-halo?”

“Minami? Kau di mana? Kenapa aku ditinggal di sini? Bukankah ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?”

“Eh?”

“Kau yang bilang begitu pagi ini kan? Aku hanya ingat kita berdua pergi ke taman, lalu setelahnya...apa aku tertidur? Aku tak bisa mengingatnya dengan jelas.. Sekarang kau ada di mana?”

Apakah ini kesempatan kedua?

Minami terdiam sesaat. Apakah Shinra benar-benar tidak ingat? Memang, ‘kemampuan’ miliknya akan membuat orang yang ia kendalikan tubuhnya kehilangan kesadaran untuk beberapa saat, tapi sejauh apa yang Shinra ingat?

Apakah Shinra mengingat kata-kata terakhir Minami padanya?

Muka Minami pun memerah mengingatnya.

“...halo? Minami? Kau masih di sana?”

“Ah? Eh, iya, ada apa?”

“Kau tidak apa-apa? Kalau kau mau, kita bisa membicarakannya pulang sekolah nanti saja, bagaimana menurutmu? Lagipula, sebentar lagi sudah jam 6..”

Apakah masih sempat?

Setelah membulatkan niatnya, Minami pun menjawab,

“Shinra... Bisakah kita bertemu lagi di taman?”


Page.09 (Page.08.1)

“Fuhh..”

Shinra menutup handphonenya sambil menghela nafas pelan.

Tidak kusangka, semua akan berjalan semudah ini.

Sebelumnya, Shinra sudah mengecek sekeliling taman untuk memastikan tidak ada orang di sekitar taman, dari jalanan hingga gang-gang. Menurut cerita Nana, Minami sempat bertarung dengannya, dan bila itu harus terjadi untuk yang kedua kalinya, Shinra tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Selain itu, ia ingin menghadapi Minami secara langsung, karena jelas ada sesuatu dari dirinya yang diinginkan oleh Minami.

Tapi sejujurnya, ia tak ingin bila harus sampai berkelahi dengan Minami.

Bukan hanya karena ia tak punya kesempatan untuk menang, namun lebih dari itu.

Ia tak ingin berkelahi dengan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupnya.

Seseorang yang telah ia akui sebagai seorang ‘teman’.

Shinra kini menunggu kedatangan Minami, seraya mengingat percakapan terakhirnya dengan Nana.

“Tolong kejar Minami dengan sekuat tenaga. Walau kau sempat berkelahi dengannya, fakta bahwa ia melarikan diri berarti ia tidak ingin terlibat perkelahian yang tidak perlu. Aku tahu sifatnya, jadi kelihatannya ia tidak akan mau lagi berhadapan denganmu.”

“Lalu?”

“Bila dugaanku benar, ia akan sampai di sebuah titik di mana ia berusaha membuatmu tidak dapat mengejarnya. Di saat itu, tinggalkan dia. Selama kau mengejarnya, aku akan mencoba menghubunginya. Dan kalau taruhanku tepat, ia akan mencoba menemuiku sekali lagi.”

“Kenapa kamu berpikir begitu?”

“Di <waktu> sebelumnya, Minami tidak masuk sekolah kan? Kemungkinan besar sesuatu terjadi padaku atau padanya, sehingga ia tak bisa pergi ke sekolah. Dan kalau itu benar, aku ingin memastikan apa yang membuatnya melakukan hal seperti ini.”

“..bukankah lebih mudah kalau kita tunggu hingga siang, lalu gunakan [Day of Idleness] milikku sekali lagi?”

“Bukankah kau yang paling tahu kalau aku tidak suka dengan kemampuanmu itu? Lagipula, tidak ada jaminan kita bisa sampai sejauh ini lagi di <waktu> berikutnya, jadi aku tidak ingin membuang kesempatan yang ada saat ini.”

“..baiklah kalau begitu. Ada lagi yang harus kulakukan?”

“Aku akan mengirimu pesan bila Minami mau menemuiku sekali lagi. Pantau kami dari tempat yang tidak terlihat, dan selanjutnya serahkan saja padaku. Bila situasinya memang berbahaya, baru kau boleh keluar.”

“Shinra, boleh aku berpesan sesuatu padamu?”

“Apa itu?”

“Jangan biarkan ia memelukmu.”

“Eh?”

“Aku tidak mengerti, tapi setelah ia memelukmu, tubuhnya kehilangan kesadaran dan ia mulai menggunakan tubuhmu. Mungkin itu kemampuannya, tapi aku tak bisa memastikan kalau-kalau ada hal lain yang dapat ia lakukan dengan kemampuannya itu.”

“...”

Shinra mengirim sebuah pesan singkat pada Nana untuk memberitahunya agar kembali ke taman. Bersamaan dengan terkirimnya pesan itu, ia melihat sosok Minami di kejauhan. Ia pun memasukkan handphonenya ke saku dan memanggil Minami.

“Hei, Minami!”

Minami menoleh mendengar namanya dipanggil, kemudian berlari ke arah Shinra.

“Maaf Shinra.. Tadi aku mencari toilet.. Kau tahu kan di sekitar sini tidak ada toilet? Tadi kau tertidur karena kelelahan, dan aku merasa tidak enak membangunkanmu. Maaf telat menjawab panggilanmu sebelumnya..”

“Tidak apa-apa.. Jadi, apa yang ingin kau katakan padaku?”

Minami tampak ragu-ragu untuk mulai berbicara.

Sesekali ia melihat wajah Shinra, kemudian menundukkan wajahnya. Tak lama kemudian, ia berkata,

“Shinra, apa yang akan kau lakukan bila ternyata dunia di mana kita berada saat ini bukanlah dunia yang sebenarnya?”

“Eh?”

Shinra tidak ingat apa hal terakhir yang Minami katakan padanya, jadi ia tidak yakin apakah Minami juga menanyakan hal seperti ini sebelumnya.

“Apa maksudmu?”

“Apakah kau tahu sesuatu mengenai [dunia] ini? Jawab sejujurnya, Shinra. Aku tahu bila kau berbohong atau tidak..” ucap Minami, yang kini wajahnya terlihat penuh dengan kesungguhan.

Melihat Minami yang seperti itu, Shinra justru menjadi heran.

Ia tidak bercanda.. Tapi, kenapa aku?

Shinra masih tidak mengerti mengapa Minami mengincar dirinya. Ia berpikir sejenak, kemudian..

Ah, jangan-jangan....!

Seketika Shinra mengerti alasan Minami menemuinya pagi ini.

Mengapa aku tidak menyadarinya? Hal seperti ini...

Raut wajah Shinra pun berubah. Ia tersenyum, kemudian berkata pada Minami,

“Yah, aku tidak bisa bilang kalau aku tidak tahu tentang [dunia] ini.. Kau pemilik kemampuan juga ya? Pantas kau menyadari ada yang aneh dengan dunia ini..”

“....!!! Jadi, kau..”

Shinra melangkah maju ke arah Minami, seraya berkata,

“Lalu, apa yang akan kau lakukan padaku?”

Kedua tangan Minami segera berusaha meraih pundak Shinra, namun di saat yang bersamaan, Shinra segera melangkah ke belakang.

“Apa yang akan kau lakukan padaku, Minami?”

“Shinra...”

Minami kembali berusaha meraih tubuh Shinra, namun Shinra terus menghindarinya.

“Apakah [dunia] ini begitu buruk bagimu, Minami? Kenapa kelihatannya kau berusaha untuk menghancurkan [dunia] ini?” tanya Shinra sambil menghindari serangan dari tangan Minami.

“Kau..kau benar-benar..”

“Minami, ingat bagaimana kita pertama kali bertemu?”

“Eh?”

Minami segera menghentikan gerakannya.

“Aku baru saja mengingatnya. Saat itu, kita berdua sama sekali tidak mengenal satu sama lain, dan kita bahkan sempat terlibat perkelahian.. Namun, hal itu jugalah yang membuat kita sampai hingga saat ini.. Tidakkah kau setuju?”

“Shinra, apa kau sedang berusaha membuatku kembali ke hari itu?” tanya Minami, yang kini mengepalkan tangannya. Wajahnya menunjukkan kesedihan, seolah-olah ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga bagi dirinya.

“Kalau itu bisa memuaskanmu, aku tidak akan keberatan kembali ke hari itu,” jawab Shinra.

Mendengar jawaban Shinra, Minami segera mengangkat wajahnya, dan menyerbu ke arah Shinra. Matanya tertuju ke arah wajah Shinra, sementara kepalan tangannya ia ayunkan ke sana.

Sebuah pukulan.

Shinra tidak berusaha menangkisnya. Alih-alih menangkis serangan Minami, ia justru menghindar dan memelantingkan badannya menuju sisi kiri, membuat tinju Minami hanya menyentuh udara. Namun tanpa ia sadari, Minami ternyata telah menyiapkan serangan berikutnya.

Sebuah tendangan.

Shinra tidak sempat menahan tendangan dari Minami, sehingga tendangan dari Minami masuk dengan telak. Tubuh Shinra terhempas ke arah sebuah bangku taman dengan kecepatan luar biasa. Serpihan kayu sontak berhamburan begitu tubuh Shinra menghantam bangku tersebut.

Shinra mengerang. Rasa sakit mulai menjalari punggungnya, sementara darah segar mulai mengucur dari hidungnya.

Belum sempat ia bangkit dari posisinya, Minami kini telah berada di hadapannya, dengan satu tangan terangkat.

Sebuah pukulan.

Shinra kembali menghindar dengan menggulingkan tubuhnya ke depan. Ia lantas mengambil beberapa langkah ke belakang untuk menjaga jarak dengan Minami. Namun, Minami telah melompat ke udara, dan dengan sebuah gerakan cepat, ia menghujamkan kaki kanannya ke arah Shira.

Sebuah tendangan.

Shinra berhasil menangkis tendangan Minami tersebut dengan kedua tangannya, namun kekuatan tendangan Minami yang sangat besar membuat dirinya kembali terhempas ke tanah karena tak mampu menahan tendangan itu.

“Ukh..”

Shinra berusaha berdiri, namun tubuhnya bergetar hebat.

Dengan mengumpulkan semua tenaganya, ia kembali bangkit dan melihat ke arah Minami.

Kini, Shinra dapat melihat dengan jelas airmata di wajah Minami.

“Shinra.. Kenapa kau harus...?”

Minami kembali melayangkan sebuah tinju ke arah wajah Shinra, namun kali ini, Shinra menangkap pergelangan tangan Minami tepat sebelum tinju itu mendarat di wajahnya.

“!!!”

“KARENA KITA TEMAN KAN?!”

“....!!”

Minami tersentak mendengar teriakan Shinra.

“Aku tidak mengerti kenapa kau tidak menyukai dunia ini! Bukankah kau bilang kau bersyukur bisa bertemu denganku? Bukankah selama setahun ini kita telah melewati banyak hal bersama? Tidak masalah siapa yang membuat dunia ini, SEBUAH DUNIA ADA AGAR KITA DAPAT HIDUP DI DALAMNYA!”

Minami tak dapat lagi menahan tangisannya. Shinra pun dapat merasakan tinju Minami telah kehilangan kekuatannya, sehingga ia melepas genggamannya dari tangan Minami.

“Minami, aku bukanlah pemilik [dunia] ini.”

“Eh?!”

Minami menunjukkan wajah tak percaya dalam tangisannya. Shinra membalasnya dengan sebuah senyuman.

“Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi bila [dunia] ini hancur. Apakah kita akan mati? Benarkah [dunia] ini bukanlah dunia yang sebenarnya? Apa yang terjadi kalau semua yang kita yakini tentang [dunia] selama ini ternyata salah?”

“..Shinra..”

Shinra menghela nafas pelan, kemudian berkata,

“Aku tidak mau kalau orang-orang sepertimu harus menghilang dari duniaku..”

Benar, ujar Shinra dalam hati. Sudah kuputuskan...

Shinra menatap ke arah langit, seraya membulatkan tekadnya dalam hati.

Aku, akan melindungi ‘dunia’ku.

Dunia di mana aku adalah sebuah keberadaan, dan keberadaanku adalah sebuah dunia..

Shinra melihat ke arah Minami, yang kini mukanya merah padam dan dibanjiri airmata.

“Shinra..”

“Eh?”

Tiba-tiba Minami memeluk Shinra.

Sangat erat, hingga Shinra tak bisa melepaskan diri.

!!! Sial! Aku lengah!

“Ingatkah kau apa yang kukatakan pagi ini padamu?”

Apa aku gagal?

“Shinra, aku benar-benar menyukaimu...”

“EEEEEEEEEEHHHHH???”


Di balik pepohonan, terlihat sosok seseorang yang sedang memandangi Shinra dan Minami, yang kini kelihatannya tenggelam di dalam dunia mereka sendiri.

Sambil menggerutu, orang itu keluar dari persembunyiannya, dan berjalan menuju ke arah mereka.

“Ck.. Padahal sudah kubilang, jangan biarkan perempuan itu memelukmu...”


Page.10

00:01:00

Shinra membuka matanya, kemudian menutupnya sekali lagi.

00:00:59

Sebentar lagi, ya?

Saat ini, Shinra berada di dalam klub literatur bersama dengan Nana dan Haruka. Haruka baru saja memutuskan untuk mengadakan ‘temu anggota baru’ di perpustakaan umum besok pagi, dan ia memaksa agar Shinra dan Nana tidak merencanakan apapun besok (Shinra bahkan ragu apakah perpustakaan itu tetap buka di hari Minggu).

Saat ini, semua telah kembali seperti biasa.

Minami berjanji akan menceritakan semuanya setelah pulang dari sekolah nanti, sehingga Shinra memutuskan untuk menghabiskan waktu di ruang klub literatur.

Saat ini, Shinra tengah membaringkan kepalanya di atas meja klub literatur. Ia berusaha untuk tidur, namun usahanya tersebut dihancurkan oleh suara nyaring Haruka.

“Shinra-kun! Ada tamu untukmu~”

“Hah?”

Shinra melihat sosok kedua orang temannya, Miroku dan Kouji, yang kini berdiri di depan pintu ruang klub literatur.

Orang-orang ini...

Sedikit demi sedikit, Shinra menyadari bahwa ia sebenarnya menikmati keadaannya saat ini. Sejujurnya, ia merasa enggan melepas kehidupannya saat ini, namun ia belum membicarakannya dengan Nana karena tidak yakin apa yang akan Nana katakan bila mengetahui pendapatnya ini.

“Hai, Shinra. Sedang sibuk?” tanya Kouji sambil melambaikan sepucuk surat berwarna merah muda.

“Tidak juga..”

Sementara Miroku mendekati Shinra dengan gelagat mencurigakan, seraya berkata setengah berbisik, “Shinra... Aku...”

“Kalian berdua, aku tahu apa yang kalian berdua inginkan dariku, tapi untuk kali ini saja, maukah kalian mendengarkan permintaanku terlebih dahulu?” ujar Shinra.

“Huh?” sahut Miroku dan Kouji, nyaris bersamaan.

Shinra pun bangkit dari tempat duduknya, kemudian berkata,

“Aku ingin kalian bergabung dengan klub literatur, sebagai anggota tetap.”

“Aku setuju!”

Yang menjawab bukanlah Miroku ataupun Kouji, melainkan Shuutarou, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

“Uwaa, sejak kapan kau di situ?” ujar Shinra yang terkejut melihat Shuutarou.

“Hahaha, yang namanya teman itu selalu ada di saat saling membutuhkan kan? Baiklah, aku ikut! Biarkan aku bergabung dengan klub ini!” kata Shuutarou dengan suara lantang.

“....aku bahkan tidak mengajakmu.. Bukankah kau sibuk dengan urusan OSIS?”

“Shinra, kau mengkhawatirkan hal yang sebetulnya tak perlu kau khawatirkan,” jawab Shuutarou sambil tersenyum.

Aku penasaran, hal apa yang pernah kau khawatirkan..

“Oh. Sampai Shuutarou juga ikut? Hmm.. Aku jadi cukup tertarik..” ujar Kouji.

“Kalau aku bergabung, Nana Sylvetta..” gumam Miroku.

Tiba-tiba Shinra mendengar derap langkah kaki seseorang yang tengah berlari di koridor.

“Shinraaaaa!!”

Minami segera menyerbu masuk ke dalam ruang klub literatur dengan wajah berseri-seri.

“Shinra, dengar! Aku baru saja keluar dari klub komputer! Sudah kuputuskan, aku akan bergabung denganmu di klub literatur!”

“Eeeeehh?”

Kenapa jadi begini?

Shinra hanya bermaksud melepaskan diri dari klub literatur, namun kini semua temannya malah bergabung dengan klub ini.

“Waaaiii~~ Shinra-kun, kau memang hebat! Sudah kusangka, keberadaanmu di sini bukan hal yang salah!” ucap Haruka dengan wajah gembira.

“Mau apa cewek berotot ini di sini?” sindir Nana dari tempat duduknya.

“Ng? Kau keberatan, orang asing?” balas Minami.

Haruka melirik ke arah Nana dan Minami, kemudian sambil menyunggingkan sebuah senyum, ia mendekati Shinra seraya berkata,

“Asal kau tahu saja, rute-ku itu Secret Route lho, Shinra-kun! Bahkan kau belum sampai ke flag untuk rute-ku!”

“Hah?”


Page.11

Bagi kebanyakan orang, memilih tempat duduk di suatu restoran fast food bukanlah hal yang menjadi masalah besar.

Seramai apapun suatu restoran fast food di kota ini, jarang sekali terdengar adanya kasus di mana seorang pelanggan kesulitan mendapatkan tempat duduk. Bahkan seandainya saja restoran itu benar-benar penuh hingga kehabisan tempat duduk, para pelanggan bisa memesan makanan mereka untuk dibawa pulang, sehingga tidak ada masalah di mana mereka menyantap makanan mereka.

Saat ini, di sebuah restoran fast food yang cukup ramai, Nobunaga Shinra sedang dilanda masalah memikirkan di mana ia harus duduk.

Bukan karena ia tidak dapat menemukan tempat duduk, melainkan karena dua orang perempuan yang menempati sebuah tempat duduk di dekat jendela kini duduk saling berhadapan, dan masing-masing dari mereka membiarkan tempat duduk di sebelahnya kosong.

Dengan kata lain, Shinra saat ini kesulitan memikirkan di sebelah siapa ia harus duduk.

Ini bukan situasi yang biasa muncul di komik-komik, sialan! Kenapa aku harus merasa seperti sedang berada di dalam sebuah cerita komedi romantis? Ini benar-benar konyol..

“Hei Shinra, cepatlah duduk.. Kita tidak bisa memulai pembicaraan kita kalau kamu terus-terusan bengong begitu. Apa sih yang sedang kamu pikirkan?” tanya Nana sambil mengunyah sepotong kentang goreng di mulutnya.

Kau ini...

Entah mengapa, Shinra merasa Nana sengaja mendesaknya untuk segera duduk saat melihat tatapan matanya. Shinra pun mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

“Hm? Ada apa di luar sana?” tanya Minami ketika melihat Shinra mengalihkan pandangannya.

Ah, itu dia!

“Hei kalian berdua, restoran ini menyediakan meja di luar juga kan? Kurasa kita sebaiknya berbicara di luar saja. Di sini terlalu ramai, jadi aku merasa tidak enak..” kata Shinra.

“Apa sih masalahmu kalau kita makan di sini? Memangnya bakal ada seseorang yang mencuri dengar pembicaraan kita? Atau kamu phobia dengan keramaian, sehingga harus menjauh dari orang-orang seperti ini?” tanya Nana sambil terus mengunyah potongan kentang goreng selanjutnya.

“Ah.. Aku setuju dengan Shinra. Mungin ada baiknya kita pindah ke luar,” ujar Minami seraya bangkit dari tempat duduknya. “Lagipula, kurasa kita akan berbicara cukup lama, jadi aku merasa tidak enak kalau tetap berada di dalam padahal yang kita lakukan cuma mengobrol tanpa memesan makanan lagi.”

Nana terdiam sesaat, kemudian beranjak dari tempat duduknya.

“Terserah kalian sajalah..”


Tidak seperti di dalam, meja di luar restoran ini berbentuk lingkaran, sehingga tidak membagi tempat duduk menjadi dua sisi.

Shinra menaruh makanannya di meja sambil melihat makanan yang dipesan dua orang di hadapannya. Nana hanya memesan kentang goreng dan soft drink, sementara di depan Minami, kini terdapat tumpukan hamburger yang tak dapat Shinra hitung berapa jumlahnya. Sambil mulai menyantap hamburger pertamanya, Minami pun mulai berbicara.

“Jadi.. Dari mana harus kumulai?”

“Aku penasaran dengan Enigma milikmu. Jelaskan padaku apa yang mampu kau lakukan dan kau sebut apa kemampuanmu itu,” jawab Nana

“Eh? Enigma?” tanya Minami keheranan.

“Ah.. Itu cuma sebutan kami terhadap kemampuan seperti yang kau miliki..” jawab Shinra. “Tidak usah terlalu dipikirkan.”

“Ng.. Apa kalian berdua juga memiliki kemampuan yang kalian sebut Enigma ini?”

Nana melirik ke arah Minami, kemudian menjawab,

“Bukankah tadi pagi aku sempat bilang kalau aku juga pemilik kemampuan sepertimu? Ah, mungkin kau tidak ingat ya.. Ya sudahlah.. Enigma milikku kusebut [Day of Idleness]. Aku bisa kembali ke waktu 24 jam yang lalu. Sekian,” jelas Nana. “Sekarang jelaskan kemampuanmu.”

“Bagaimana denganmu, Shinra?” tanya Minami.

Shinra tidak yakin bagaimana harus menjawab pertanyaan Minami. Ia pun menggaruk-garuk kepalanya, menghela nafas pelan, kemudian berkata,

“Ya, aku juga memiliki Enigma..” ujarnya. “..setidaknya, dulu. Tapi aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh kemampuanku ini, karena sudah lama sekali sejak aku pertama kali memakainya ketika aku masih kecil. Aku bahkan tidak yakin apakah aku masih memilikinya saat ini.”

“Eh? Kenapa bisa begitu?”

“Trauma,” jawab Nana. “Dulu aku dan Shinra sempat terjebak di dalam suatu hari yang terus-menerus berulang karena kemampuanku, dan kelihatannya sejak saat itu dia jadi membenci kemampuan seperti ini.”

Shinra tidak membalas perkataan Nana, karena ia tidak ingin membicarakan tentang dirinya lebih jauh. Ia hanya diam dan kembali menyantap makanannya.

“Ah..Eh, begitu ya? Maaf, kalau aku membuatmu merasa tidak nyaman..” kata Minami, seraya mengambil hamburgernya yang kedua. “Umm.. Sekarang tentang diriku.. Mungkin bila harus kuberi nama, kemampuan milikku bisa disebut [Parasite Heart] (Kiseichuu no Kokoro). Seperti yang sudah kalian ketahui, aku bisa mengambil alih tubuh orang lain yang melakukan kontak fisik denganku. Selain itu, aku juga dapat menelusuri dan memanipulasi ingatannya. Selama dalam tubuh orang lain, tubuhku kehilangan kesadaran, tapi semua inderaku tetap berfungsi, sehingga aku bisa tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Oh, aku juga bisa...”

“Sebentar,” potong Nana. “Menelusuri dan memanipulasi ingatan? Lalu, apa yang hendak kau lakukan pada Shinra tadi pagi?”

“Eh, itu..” Minami sesaat tampak ragu-ragu. Ia melihat ke arah Shinra, kemudian dengan wajah memerah, ia berkata; “Tadinya kupikir, Shinra adalah pemilik [dunia] ini.. Karena itu, tadinya aku ingin memastikannya, dan mencari tahu kalau-kalau ada suatu cara untuk menghentikan [dunia] ini. Bahkan tadinya aku sempat berpikir, mungkin dunia ini akan berakhir bila pemiliknya mati..”

“Tunggu dulu,” Nana sekali lagi menyela perkataan Minami. “Seandainya kau membunuh Shinra, padahal ternyata ia bukan pemilik [dunia] ini, apa yang akan kau lakukan? Atau seandainya [dunia] ini ternyata tidak berhenti walau kau membunuh pemiliknya, apa yang akan kau lakukan?”

“Me-membunuh? A-aku tidak punya pikiran seperti itu.. Ng, tapi mungkin aku akan sangat malu kalau itu terjadi.. Mungkin, aku tak akan berhenti mengutuki diriku sendiri..”

Minami kini menundukkan wajahnya. Melihatnya, Shinra pun menghentikan makannya dan bergabung kembali dengan pembicaraan.

“Oi Nana, kita di sini bukan untuk menginterogasi Minami kan? Yang lalu biarlah berlalu. Kurasa Enigma milikmu jadi berpengaruh juga terhadap kepribadianmu..”

Mendengar perkataan Shinra, Nana pun menunjukkan wajah cemberut, seperti seorang anak ketika dimarahi orangtuanya karena mendapat nilai jelek.

“Ada hal yang lebih membuatku penasaran daripada pembicaraan tentang Enigma ini,” kata Shinra. “Nana, kau belum menjelaskan mengapa kau bisa menyimpulkan pemilik [dunia] ini ada di sekitarku. Aku juga tidak mengerti kenapa Minami bisa sampai mengira akulah pemilik [dunia] ini. Bisakah kalian berdua menjelaskan alasannya padaku?”

Baik Nana maupun Minami terlihat terkejut saat Shinra menanyakan hal ini.

“Ng? Kenapa kalian berdua jadi diam begitu?” tanya Shinra heran.

Untuk beberapa saat, Minami dan Nana saling bertukar pandangan. Kelihatannya masing-masing dari mereka tampak enggan untuk menjawab pertanyaan dari Shinra.

“Kau duluan,” kata Nana pada Minami, yang baru saja menghabiskan hamburger keduanya.

“Ah.. Uh, baiklah..” ujarnya ragu. “Sebenarnya aku dilarang mengatakan ini, tapi kupikir, kalau sekarang mungkin tidak masalah... Shinra, percayakah kau kalau kukatakan Miroku juga pemilik Enigma?”

“Eh?! Miroku?!”

“Ya, Miroku.. Kalau tidak salah 2 hari yang lalu, sebelum Nana-san pindah ke sekolah kita, Miroku mengatakan padaku kalau ia juga mengalami mimpi yang sama denganku. Aku tak tahu dari mana ia tahu kalau aku juga merupakan pemilik kemampuan, dan ia menjelaskan dengan sangat detil mengapa menurutnya [dunia] ini bukanlah dunia yang sebenarnya. Aku tidak ingat garis besarnya, tetapi yang kutangkap dari perkataannya adalah bahwa bila [dunia] ini tidak segera diakhiri, lama-kelamaan kesadaran kita akan terperangkap di dalamnya.”

“Kemudian, ia mengatakan padamu bahwa Shinra adalah pemilik [dunia] ini?” tanya Nana.

“Tidak, dia tidak mengatakannya secara langsung. Menurutnya, dengan Enigma miliknya, ia melihat bahwa Shinra adalah orang dengan kemungkinan tertinggi sebagai pemilik [dunia] ini. Ia memintaku untuk memastikannya hari ini, dan bila tidak, ia mengancam akan merusak hubunganku dengan Shinra..” jawab Minami, yang kini menundukkan wajahnya ke bawah.

Di lain pihak, Shinra kini menatap Minami dengan mulut menganga dan menunjukkan wajah tak percaya.

Dugaan Nana benar.. Minami, lalu Miroku.. Apa jangan-jangan, Kouji dan Shuutarou juga merupakan pemilik Enigma? Kenapa hal ini tidak pernah terlihat olehku selama setahun sebelumnya?

“Sekarang semuanya masuk akal,” kata Nana, yang baru saja menghabiskan kentang gorengnya. “Entah kenapa aku malah berpikir kalau justru ada kemungkinan Ichiro Miroku inilah pemilik [dunia] ini yang sebenarnya.”

“Eh?” sahut Shinra dan Minami bersamaan.

“Coba pikir kalau begini ceritanya: Satu-satunya orang yang mungkin dapat memastikan dengan tepat kalau seseorang adalah pemilik [dunia] ini adalah kau, Sasaki Minami, karena kau mampu melihat isi pikiran orang lain. Kalau kau sampai melihat ingatan Shinra, mungkin seperti katamu sebelumnya, kau akan dihantui perasaan bersalah begitu kau melihat trauma Shinra, kemudian kau akan berusaha untuk menghilang dari hadapannya. Dengan begitu, tidak ada orang lain yang bisa memastikan siapa pemilik [dunia] ini, dan Ichiro Miroku pun aman dari ancaman pemilik Enigma yang lain.”

“Teorimu justru tidak berdasar,” balas Shinra. “Kalau ia bisa tahu bahwa Minami adalah pemilik Enigma, mengapa ia tidak tahu kalau kau juga pemilik Enigma seperti mereka? Kau juga mengabaikan kemungkinan kalau Kouji dan Shuutarou mungkin saja merupakan pemilik Enigma, seperti yang kau katakan padaku kemarin.”

“Aku cuma mengatakan sebuah kemungkinan. Masalah mana yang benar atau mana yang salah, kita bisa membuktikannya belakangan. Toh dengan kemampuanku, kita punya waktu nyaris tak terbatas di [dunia] ini, selama aku memakainya terus menerus..”

Nana menghentikan perkataannya ketika menyadari tatapan tajam Shinra kini tertuju padanya.

“Ah, maaf.. Lupakan saja..”

“Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Minami.

“Yang jelas, kita perlu berbicara langsung dengan Ichiro Miroku itu. Aku yakin kita bisa mendapatkan petunjuk mengenai [dunia] ini darinya. Bagaimana, Shinra?”

“Sebelumnya, aku ingin mendengar dulu penjelasan darimu tentang pertanyaanku tadi.” jawab Shinra. “Bagaimana kau tahu pemilik [dunia] ini ada di sekitarku?”

Raut muka Nana berubah mendengar pertanyaan Shinra. Dengan wajah kesal, ia pun berkata, “Kau tidak akan mau mendengarnya...”

“Tapi kau harus!” ujar Shinra. “Minami telah menceritakan semuanya pada kita, dan sekarang, kau malah ingin menutupi sesuatu tentang dirimu. Biarkan kami mendengar alasanmu, Nana.”

Melihat desakan dari Shinra, Nana pun mengernyitkan bibir, seraya berkata, “Menurutmu, apakah Enigma seseorang akan berakhir ketika ia mati?”

“Hah? Kenapa tiba-tiba..”

“Gunakan akalmu, Shinra. Secara logika, kamu juga pasti mengakui kalau kemungkinan itu ada kan?”

“..lalu kenapa?”

“Shinra, ingatkah kamu ketika kukatakan kalau aku sudah menggunakan [Day of Idleness] ratusan, bahkan hampir ribuan kali sebelum pindah ke sini?”

“Aku tidak mengerti apa yang kau...”

“Aku telah mencoba melakukannya. Membunuh pemilik Enigma.” jawab Nana.

“!!!”

Baik Shinra maupun Minami segera memandang ke arah Nana dengan tatapan tak percaya.

Me.. Membunuh?

“Tidak perlu khawatir, tentu saja aku memutar kembali waktu setiap kali aku salah. Namun lama-kelamaan, aku merasa lelah. Aku tidak punya petunjuk apapun. Aku lelah mendekati setiap orang yang kucurigai, mengorek-ngorek informasi tentang mereka, dan berusaha untuk membunuh mereka. Aku lelah, Shinra. Bisakah kamu bayangkan betapa lelahnya diriku?”

Shinra tidak dapat membalas perkataan Nana. Pikirannya tak menentu. Ia tidak yakin apakah Nana mengatakan kebenaran atau kebohongan, yang jelas, ia tidak bisa menerima fakta bahwa Nana sampai membunuh seseorang untuk hal seperti ini.

“Setelah melewati waktu sekian lama, akhirnya aku nyaris menyerah. Namun kemudian, aku teringat alasanku menghentikan [dunia] ini. Dan kamu tahu, kamulah alasannya, Shinra. Kamu adalah alasan mengapa aku berusaha meraih kembali dunia kita yang sebenarnya, dan aku tahu, kamu pasti bisa menolongku keluar dari dunia ini.”

“Kau...”

“Maaf, aku berbohong soal pemilik Enigma berada di dekatmu. Sejujurnya, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah menemuimu, dan ternyata perasaanku tidak salah. Dengan berada di dekatmu, rasanya, aku percaya kalau kita bisa kembali ke dunia kita yang sebenarnya.”

“Kau membunuh orang-orang untuk mendapatkan kembali dunia kita?”

“Ya, tapi kan sudah kubilang, aku memutar kembali waktu setiap kali aku salah..”

“Kau anggap apa nyawa manusia!?”

Kali ini Shinra berteriak. Teriakan yang cukup keras, sehingga tidak hanya mengagetkan Minami dan Nana, beberapa orang di sekitar mereka juga ikut melirik ke arah Shinra.

“Jangan hanya karena kau memiliki kemampuan seperti itu, kau jadi menganggap rendah nyawa manusia! Apa yang terjadi kalau kau tidak memiliki kemampuan itu?! Apakah kau memikirkan bagaimana perasaan orang yang kau bunuh?” lanjut Shinra tanpa mempedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya.

“Aku tidak punya pilihan lain, Shinra.. Lagipula, kenapa kau harus mempermasalahkan hal seperti itu?”

“Kalau aku adalah pemilik [dunia] ini, apakah kau lantas akan membunuhku juga?”

“!!!”

Nana terkejut mendengar perkataan Shinra.

“Kau dan Minami sama-sama mengatakan kalau kalian mengalami mimpi yang sama dan berulang-ulang kan? Aku sama sekali tidak mengalaminya. Bukankah dari situ kita mendapatkan dua kemungkinan? Pertama, mungkin saja aku memang bukan pemilik Enigma seperti kalian. Atau kedua, mungkin saja akulah pemilik [dunia] ini yang sebenarnya.”

“...tapi itu tidak mungkin!” seru Nana.

“Mungkin saja!” balas Shinra. “Kau tahu, aku sebenarnya tidak mengharapkan [dunia] ini berubah! Aku bahkan tidak yakin mengapa kalian begitu merasa kalau [dunia] ini bukan dunia yang sebenarnya! Apa buktinya? Mimpi kalian? Bagaimana kalian bisa membuktikannya pada seluruh dunia ini, bahwa [dunia] ini tidak nyata, hanya karena sebuah mimpi dan perasaan kuat kalian?!”

“Shinra, tenanglah..” ujar Minami yang berusaha menenangkan Shinra. “Kau jadi terlihat tidak seperti Shinra yang kukenal.. Lihat, orang-orang jadi melihat ke kita karena teriakan kalian berdua tadi..”

“.....”

“.....”

Baik Nana maupun Shinra kini saling memandang satu sama lain dengan tatapan tajam. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, sehingga Minami tidak yakin bagaimana ia harus bersikap menghadapi 2 orang ini.

“Umm.. Bukankah kalian teman sejak kecil? Sebaiknya kita tidak mempermasalahkan hal ini lebih jauh.. Aku jadi merasa tidak enak kalau kalian bertengkar..” Minami mencoba melerai mereka berdua.

Nana bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan meninggalkan Shinra dan Minami.

“Oi,” panggil Shinra. “Mau ke mana kau? Lari ke waktu sebelumnya lagi untuk mengubah apa yang terjadi saat ini?”

Nana membalikkan badannya. Dengan wajah yang menunjukkan kekecewaan, ia berkata,

“Tidak. Untuk saat ini, mungkin itu sudah tidak ada gunanya lagi. Aku salah menilaimu, Shinra. Selamat tinggal.”