Niringar ch0 5

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Aku tidak tahu mengapa Pangeran_Tjinta mengatainya ‘parah’, Dearno mengecapnya sebagai ajaran sesat, Yulin bilang ngaco, dan banyak orang lain yang tampak marah kepada penulis blog [World of Coin] ini.

Karena bagiku, apa yang ada di dalamnya adalah apa yang selalu terjadi di masyarakat kita.

Seperti contohnya, di dalam sebuah perusahaan seorang atasan memarahi habis-habisan bawahannya karena suatu kesalahan yang membuat kinerja sebuah proyek menurun. Tapi bawahan tersebut terus meminta maaf seolah itu adalah kesalahannya sendiri, padahal sebenarnya atasannya lah yang melakukan kesalahan.

Ada lagi ketika seseorang yang buruk dalam menggambar melihatkan karyanya pada orang yang pandai. Si pandai pasti akan mencari cara untuk setidaknya memuji karya tersebut, padahal sebenarnya tidak ada yang bisa dipuji dari itu. Atau orang yang tengah dirundung oleh teman-temannya, tapi diam saja karena takut.

Dalam tulisan blog ini, disebutkan bahwa manusia seperti halnya koin, seperti halnya kalimat kecil yang telah dituliskan di halaman depan, ketika satu sisi ditampakkan sisi yang lain pasti disembunyikan. Manusia berusaha tidak menunjukkannya karena berbagai alasan seperti tidak ingin melukai orang lain, ingin menghormati yang lebih tua, atau menjaga harga dan nilai diri untuk tetap tinggi.

Yang sering kali sisi tersebut justru bukanlah diri kita yang sebenarnya.

Penyembunyi keinginan.

Penampilan palsu.

Sebuah topeng diri.

[Manusia selalu hidup di dunia dengan membawa satu kebohongan besar dalam dirinya.]

Sekalipun aku ingin mengelak, ingatanku yang telah membaca kalimat itu terus memaksa diriku untuk tidak melupakannya. Bahkan aku harus mengakuinya. Ya, meskipun aku tidak mengatakan apa-apa, justru diam juga termasuk dalam berbohong. Apa yang tidak dijelaskan secara jujur akan menjadi kebohongan.

Apa yang kita rasakan. Apa yang kita inginkan. Apa yang kita kehendaki.

Sudah semestinya kita rasakan, tanpa disembunyikan. Sudah semestinya kita dapatkan, tanpa meragukannya. Sudah semestinya kita lakukan, tanpa mempertanyakannya kembali.

Sesederhana itu.

Isi dalam blog ini sesederhana itu.

[Jadilah dirimu apa adanya, sebebas mungkin, seleluasa mungkin, kembangkan sayapmu, tunjukkan pada dunia siapa dirimu yang sebenarnya.]

Kalimat yang sangat menginspirasiku.

Aku yang selalu diam, aku yang selalu takut, aku yang selalu ragu… rasanya sekarang aku bisa melakukan apapun yang kumau. Rasanya aku bisa berubah menjadi seseorang yang lebih baik dari ini. Rasanya…

… rasanya, aku bisa berteman kembali dengan Elvi.

[Lilin: Aku udah baca.]

[Dearno: Eeeeh? Jangan dibaca! Sesat gitu, ngajarin pembunuh supaya membunuh sebebas mungkin, ngikutin keinginannya. Parah abis!]

[Lilin: Tapi aku kan bukan pembunuh.]

[Yulin: Ngaco kamu Darno!]

[Pangeran_Tjinta: Jadi gimana pendapat Lo?]

[Jajang: Iya nih Darno ngaco!]

[Lilin: Bagus. Rasanya aku bisa balikan lagi sama Elvi besok.]

[Yulin: ng…Lin? Kok kedengerennya rada aneh gitu… balikan.]

[Lilin: Emang ada apa?]

[Yulin: eh, engga, gapapa kok!]

[Jajang: Tapi bagus deh kalo bisa temenan lagi! Toh, emang seharusnya kalian ini temenan sampe tua nanti, hahahahha!]

[Dearno: Iya sih. Rasanya udah kayak takdir aja ya?]

[Yulin: Setuju~! Pokoknya semangat Lin!]

[Pangeran_Tjinta: (y)]

[Dearno: Semangka!]

[Jajang: Semangat Lin! \(^v^)/]

[Lilin: Makasih semuanya~ :D ]

Tak lama kemudian aku menutup aplikasi mengobrol daring tersebut.

Lalu aku mulai memantapkan diri. Meyakinkan diriku kalau berteman dengan Elvi bukanlah sebuah kesalahan. Memaksa diriku untuk selalu melakukan apa yang kuinginkan. Sekalipun seisi kelas akan memusuhi kami.

Karena aku tahu pasti, ya, aku sangat yakin kalau tak ada yang salah dariku yang ingin berteman dengan Elvi.

Sama sekali tidak.

Aku yakin dengan hal itu.

Aku bisa melakukannya!

Dengan semua itu terbenam dalam hati dan pikiranku, hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ya, tidak perlu kutunda-tunda lagi. Sekarang atau tidak untuk selamanya. Semuanya harus kuselesaikan sekarang juga!

Saat itu suasana kelas yang belum dimulai masih seperti biasanya. Di setiap sudut ada anak-anak kelas yang tengah membicarakan hal yang berbeda. Ekspresi merekapun berbeda-beda. Ada yang tampak lemas, ada yang bersemangat, ada yang mengantuk, ada yang tenang, bahkan ada yang tertawa-tawa sejak pagi.

Tapi itu sama sekali tak berarti apa-apa bagiku.

Ya, semuanya tak kupedulikan lagi ketika kakiku melangkah ke depan kelas.

Berdiri membelakangi papan tulis, menghadapi 35 murid—termasuk Elvi yang tampak terkejut.

Karena…

“Selamat pagi teman-teman!”

… aku berteriak demikian. Atau aku merasa berteriak demikian, walau sebenarnya aku tak tahu suara apa yang muncul dari mulutku. Akurat atau tidak, benar atau salah, aku tidak peduli.

“Di sini aku ingin bilang kalau aku—“

Ya, aku tak peduli. Sebab, aku hanya ingin…

“—adalah teman Elvi sejak kecil!”

Aku bisa melihat wajah bengong dari kebanyakan murid. Mereka semua tampak terkejut, kebingungan, atau mungkin tidak tahu dengan apa yang baru saja terjadi. Wajar saja, anak yang tidak pernah berbicara tiba-tiba saja berteriak di hadapan mereka, mengatakan sesuatu yang sangat canggung dan memalukan.

Bahkan bisa kulihat, anak-anak yang dulunya sering bersama dengan Surya seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, dan mereka dengar.

Karenanya aku ulang sekali lagi.

“Aku ingin berteman lagi dengan Elvi!”

Lalu kutambahi.

“Elvi, maukah kamu berteman lagi denganku?!”

Kemudian semuanya mengalihkan pandangan ke Elvi, membuatku tersenyum puas. Elvi yang ditatap oleh banyak mata mulai menggigit bibir dengan tangan mengepal seraya menatapku tajam. Tak lama kemudian Elvi berdiri, dengan agak kaku mendatangiku, menampakkan taringnya seolah ingin balas meneriakiku.

“…”

Namun tidak. Saat dia sudah berhadapan denganku, Elvi mengambil kapur dan kemudian menuliskan sesuatu dengan kasarnya.

[Bukannya kamu sendiri yang nggak mau temenan sama aku? Bukannya kamu benci aku? Maksudmu apa, hah?!]

Setelah membaca itu, aku melakukan hal yang sama seperti Elvi. Dengan kasar dan cepat, aku menulis di papan tulis.

[Maaf! Aku bohong pas itu! Aku pikir karena kamu temenan sama aku, kamu dijauhi sama temen kelas lain. Tapi sekarang aku nggak peduli lagi! Aku ingin temenan lagi sama kamu!]

Tampak semakin geram, Elvi menghapuss tulisan awalnya tadi lalu menulis kembali yang baru dengan lebih kasar dan cepat.

[Egois banget kamu! Dan lagi, keras kepala! Lagipula, nggak harus kayak gini juga kan caranya?!]

[Terserah aku! Bebas dong aku pilih cara yang kumau! Aku ingin supaya semuanya tahu kalau kamu temanku yang paling berharga! Kalau kita adalah teman baik!]

[Sekalipun aku dimusuhi semua orang lagi?!]

[Sekalipun kamu dimusuhi setiap orang!]

Elvi mulai tidak bisa membalas lagi argumenku. Tapi dia masih tampak ingin mengatakan sesuatu. Karena itu… karena itulah aku berusaha merangkai kalimat, mengutarakan sebuah kalimat untuk meyakinkan hartaku yang paling berharga ini.

Dengan mencengkeram lembut kedua bahunya, dengan menampakkan senyum terbaik yang kumiliki, aku berkata.

“Jadi, sekalipun dunia memusuhi kita… aku masih ingin berteman denganmu, Elvi.”

Dan dengan itu pula, aku mampu mendapatkan teman baikku kembali.