Niringar ch0 1

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Halo perkenalkan~

Namaku Arlina Dwicahya, 18 tahun. Aku seorang mahasiswi dan aku gemar melukis. Aku suka sekali pemandangan di mana langit sangat biru dengan sedikit awan yang terbentuk rapi. Aku juga suka laut luas yang sesekali ada kapal lewat dengan pelannya. Aku mungkin agak sedikit canggung tapi, salam kenal~ Mohon bimbingannya~

“…”

… atau itu yang ingin kukatakan di saat perkenalan mahasiswa baru—jika saja aku bisa berbicara.

Umm, bukan berarti aku tidak bisa mengeluarkan suara, sih. Mungkin lebih tepatnya, aku tak bisa mendengar apapun. Ingar bingar hanyalah televisi tanpa volume suara di hadapanku. Aku tidak bisa membedakan mana suara kucing mana suara anjing, bel tamu pun tak pernah kujawab. Mungkin sesederhana itu.

Karenanya aku kurang percaya diri dengan suaraku. Aku lupa sejak kapan telingaku tidak bisa mendengar. Aku bahkan lupa seperti apa suaraku, ayahku, atau ibuku. Nyaring? Lantang? Serak? Aku sudah tak bisa mengingatnya lagi. Oleh sebab itulah aku tak pernah mencoba untuk bersuara lagi. Aku takut kalau suaraku mengganggu orang lain.

Ya, menyusahkan orang lain itu tidak baik.

Itulah mengapa yang kulakukan pada setiap perkenalan di kelas baru hanyalah menulis namaku di papan tulis, lalu menunduk sopan. Aku masih ragu kalau itu semua cukup santun atau tidak. Tapi di suatu negara, menunduk itu adalah semacam penghormatan. Jadi kurasa cukup? Semoga cukup!

Meski begitu, kadang aku merasa ragu. Sekalipun aku bertingkah sopan, sekalipun aku santun, sekalipun aku berusaha tidak menyusahkan orang, namun entah mengapa jarang ada yang mau bicara denganku.

Ah! Bukan maksudku meminta imbalan, sih. Tapi kukira kalau aku ramah ke orang lain, orang lain juga akan ramah padaku. Di mana letak kesalahanku ya?

… Apa karena aku tidak bisa mendengar mereka, tidak bisa berbicara dengan mereka?

Ya, pasti itu, dari awal semua memang salahku.

Aku ingin minta maaf pada semua orang untuk itu.

Namun nyatanya, aku tak pernah melakukannya. Aku selalu ragu-ragu dan takut untuk meminta maaf. Aku selalu canggung setelah menarik lengan kemeja salah satu temanku hingga akhirnya dia meninggalkanku dalam raut bingung. Aku tak tahu harus berkata apa agar mereka mau memaafkanku. Aku tak pintar merangkai kata yang baik dan sopan.

Ahhh, lagi-lagi salahku!

Aku jadi makin kesulitan meminta maaf yang dua kali lipat lebih baik dari sebelumnya.

“Apa yang harus kulakukan?” adalah apa yang selalu kupikirkan hingga pertengahan semester saat aku duduk di kelas satu SMP. Aku tidak punya teman untuk konsultasi. Dari awal, tindakanku selalu membuatku tidak memiliki teman.

Aku juga tidak mau menyusahkan Ayah dan Ibu karena aku telah membuat seisi kelas tidak ingin menjadi temanku. Dulu pernah aku bilang kepada Ayah sewaktu masih duduk di kelas dua SD. Alhasil, Ayah datang ke sekolah dan marah-marah di depan kelas hingga Kepala Sekolah datang dan menenangkan Ayah. Kejadian itu menyusahkan banyak orang, ditambah semua jadi menjauhiku.

Aku tidak ingin menambah masalah lagi, karenanya aku harus menyelesaikan ini sendiri.

Tapi meski aku sudah memantapkan diri… bagaimana caranya?

Aku tak tahu! Sampai sorepun aku tidak tahu. Sampai seisi kelas kosongpun aku masih tidak tahu.

Ahhh, kenapa aku tidak tahu?

[Anu… kamu kenapa?]

Eh?

Aku yang tengah menggaruk kepala dengan kedua tangan dalam kebingungan, tiba-tiba mendapati secarik kertas yang bertuliskan demikian tepat di depan wajahku.

Siapa?

Saat aku memiringkan kepala ke samping, aku menemukan raut khawatir dari seseorang yang wajahnya kukenali. Kalau tidak salah, namanya Elvi Sirina. Dia anak cantik yang selalu duduk di depan kelas. Aku sangat menghafal rambutnya yang berombak kecoklatan itu. Sepertinya dia cukup pintar karena selalu mengangkat tangan ketika Pak Guru menuliskan soal di papan tulis, dan tentu dia bisa mengerjakannya.

Ah, ah! Apa yang kupikirkan?! Aku harus cepat-cepat membalas pertanyaannya!

[Enggak kenapa-kenapa kok.]

Setelah membaca, Elvi tampak tak yakin. Lalu kemudian membalasku.

[Beneran gapapa? Kok kayak lagi stres gitu?]

Aku menggelengkan kepala berkali-kali, membuat Elvi menghela napas.

[Tapi tingkahmu malah kelihatan berkata sebaliknya.]

Eh? Iyakah?

Sebelum aku sempat menemukan jawaban untuk membalasnya, Elvi mengangkat sebuah kursi dan meletakkannya di depan mejaku. Lalu duduk dan menuliskan sesuatu.

[Aku perhatiin tiap hari kamu selalu kayak orang bingung gitu. Kayak orang stres.]

Se-setiap hari? Seperti orang stres? Pantas aja tidak ada yang mau bicara denganku, aduduuuh!

[Karena itu, boleh aku tahu ada apa? Mungkin aku bisa bantu. Yah, gini-gini aku pendengar yang baik loh!]

“…”

Membaca lanjutan dari kertas Elvi, aku rasanya ingin menangis.

Ah, air mata sudah keluar.

Ah ah… apa yang harus kulakukan?

[Hei, hei! Kenapa kamu jadi menangis?!]

Ah, ahaha, ahahahahahah!

Aku bisa melihat raut kebingungan Elvi yang lucu itu. Aku tidak tahu kalau aku ini sedang menangis atau tertawa. Yang jelas, tiba-tiba aku merasa lega saja setelah Elvi mengatakan hal itu. Rasanya lebih ringan dan nyaman.

Rasanya ini pertama kali, pertama kalinya bagiku.

Di depanku, datang orang baik yang berniat membantuku. Lihat, bahkan dia tampak khawatir denganku, ah, wajahnya jadi pucat.

Meskipun aku tak pernah bicara dengannya, meskipun aku punya banyak salah padanya, meskipun kami sama-sama tidak saling mengenal.

Apakah ini reaksiku ketika menerima kebaikan orang lain?

Apakah ini rasanya berbicara dengan seseorang?

Ataukah ini perasaan di mana aku akhirnya menemukan seorang… teman?

Dengan hati yang bercampur aduk, dengan pikiranku yang sedang terombang-ambing oleh emosi tiba-tiba ini, aku menjawab kecemasan Elvi. [Boleh aku berteman denganmu?]

Aku tak begitu ingat ekspresi apa saja yang ditampilkan Elvi pada waktu yang sangat singkat itu. Bahkan aku tak begitu memedulikannya. Yang ada di dalam pikiranku pada saat itu adalah satu kenyataan berharga bahwa…

[Apa yang kamu bicarakan? Itulah alasan kenapa aku datang padamu.]

… aku baru saja mendapatkan seorang teman.