Loki: Vi Er Her

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

“Pitaku! Kembalikan pitaku!”

“Enak saja! Ambil sendiri kalau kau bisa! Hahaha…”

Anak-anak.

“Hei, lihat! Itu dia si pecundang!”

“Berani juga pecundang seperti kau menampakkan diri di depan kami? Cuih! Pergi sana!”

Remaja.

“Pencuri! Pencuri! Tangkap pencuri itu!”

“Heh! Tangkap aku kalau kau bisa! Pokoknya semua emas ini milikku!”

Orang dewasa.

Berabad-abad berlalu, surga dan dewa-dewa kini tinggal legenda, bualan para pendongeng untuk mengundang tangis dan gelak tawa. Dari khayalan manusia, dewa-dewa dan tuhan-tuhan baru muncul dan hancur, tapi peradaban tak mengenal kata mundur. Ya, banyak yang berubah, tapi toh pada dasarnya semua sama saja. Baik dalam diri anak-anak, remaja, dewasa, bahkan mereka yang hanya terpisah beberapa langkah dari pembaringan terakhir mereka,,, Kepicikan dan kejahatan masih ada, tak jarang diawali oleh kebencian dan amarah.

“Hei, anak muda, kau sedang dalam perjalanan ke kota, bukan?”

“Benar, Tuan. Tapi langit mendung dan sudah hampir gelap, sepertinya aku harus bermalam di hutan ini sebelum melanjutkan perjalanan.”

“Keberatan kalau aku dan anak-anakku bergabung? Dua kepala tentunya lebih baik dari satu.”

“Anak-anakmu? Uh… Maksud Tuan… Serigala… dan ular itu?”

“Haha… Kau benar. Mereka selalu bersamaku, kau tahu? Sampai-sampai rasanya mereka seperti anakku sendiri. Tenang saja, mereka tidak menggigitu!”

“Eh… Baiklah, Tuan.”

Mungkin karena semua perasaan itu tak pernah benar-benar sirna, Fenrir, Jormungand, dan aku masih ada di sini, mengawasi gerak-gerik kehidupan dari balik bayang-bayang abadi, menghantui dataran Midgard yang kini seutuhnya menjadi milik para manusia tanpa tujuan yang pasti.

“Gawat! Sudah mulai gerimis... Apa tidak ada tempat berteduh di sekitar sini?”

“Bagaimana kalau kita tunggu di bawah pohon sebelah sana?”

Terkadang ketika kami berpapasan dengan jiwa-jiwa yang baru saja beranjak pergi, aku bisa melihat sosok Hel tersenyum ke arah kami sebelum memudar bersama jiwa-jiwa itu. Sayangnya ada terlalu banyak orang yang mati setiap detik saking sesaknya dunia ini, dan pewarta maut tidak punya waktu untuk duduk-duduk menunggui hujan dengan bocah manusia yang kebetulan lewat seperti kami, ‘dewa’ yang memang sudah dilupakan dan mati.

Berabad-abad sudah lewat, masa-masa para Aesir mempermainkan para penghuni Midgard dari atas singgasana mereka juga sudah tamat. Tinggal sosok-sosok tak bernama yang menyaksikan dunia tanpa mereka yang mendiktekan apa yang putih atau hitam, benar atau salah, mulia atau dosa.

Tinggal legenda, omong kosong rekaan orang dewasa untuk menidurkan anak-anak mereka.

“Mengaku saja, kau mengambil pita bocah tengil itu karena kau suka padanya, kan?”

“…A-Apa-apaan kau? Mana mungkin! Dasar pembual! Lagipula siapa yang butuh pita jelek ini?”

Tapi selama apa yang dulu mereka jaga masih tersisa, seperti cinta…

“Kenapa aku harus takut muncul di depan kalian? Toh bukan aku yang menyelipkan koin emas ke pengawas waktu ujian negara.”

…Keberanian dan kejujuran.

“—dijatuhi hukuman 5 tahun pengabdian di tambang untuk menebus kejahatan merampas emas milik penduduk kota.”

Keadilan.

Selama yang seperti itu masih ada, mungkin suatu saat nanti kami akan berpapasan dengan mereka.

“Wah, kau hebat sekali, Tuan! Bagaimana kau bisa menyalakan api unggun di tengah hujan seperti ini?”

“Ah, itu bukan apa-apa. Hei, boleh kulihat liontin yang kaupakai itu? Sepertinya antik sekali…”

“Tentu, Tuan. Ini dia… Itu warisan dari nenekku.”

“Ukiran apa ini? Bentuknya seperti… mata?”

“Kata nenekku itu ukiran mata sakti Heimdall, dewa penjaga jembatan yang menghubungkan bumi dengan istana para dewa. Konon matanya begitu sakti dan bisa melihat apa pun yang terjadi di seluruh penjuru, dari yang nyata sampai hal-hal abstrak seperti pikiran manusia, sampai-sampai Odin—raja para dewa—memerintahkan Loki—yang satu ini dewa kelicikan sekaligus penguasa api—untuk mengambil mata itu untuknya. Dulu orang-orang menganggap ukiran mata itu sebagai lambang penunjuk jalan, jimat agar tidak tersesat dan kehilangan arah.”

“…Kau percaya semua itu?”

“Tentu saja tidak. Itu kan hanya mitos! Bahkan nenekku yang menceritakannya saja tidak percaya. Tapi itu sudah diwariskan turun temurun di keluargaku, jadi kami tetap menyimpannya.”

“Cerita yang menarik. Ayo bangun, Fenrir! Jormungand, kau cari kelinci lain saja untuk makan malammu nanti!”

“…Eh? Anda mau ke mana, Tuan?”

Setelah ratusan tahun berlalu, dan hingga ratusan, bahkan ribuan tahun berikutnya, selama perasaan dan nilai-nilai itu masih ada, sosok-sosok yang mereka sebut mitos itu selalu memiliki cara mereka sendiri untuk berkata seperti ini.

“Tuan! Jangan pergi! Kembalikan kalungku! Hei! …Eh? Ke mana hilangnya orang itu? …Sial!”

Kami ada di sini.