Hiren Hitam dan Laskar Sembilan Nyawa:Volume01 Chapter 04

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

04—Boleh Kuelus-elus bulumu?

Mereka berdua kemudian sepakat untuk mengubah arah, menuju taman kota yang memang sepi pada jam segitu. Gelap menjelang. Gandis bersembunyi di balik semak-semak, di belakang bangku taman. Sementara Hiren, dengan santainya menunggu tepat di tengah taman, dengan berdiri di atas patung pendiri Kota Taruma, yang mana patung tersebut menjulang berhiaskan air mancur. Kemudian yang dinanti pun datang!

Terdengar kepakan-kepakan sayap, bersamaan dengan munculnya sosok-sosok hewan iblis di udara. Mata mereka menyala di kegelapan, begitu pula dengan mata kucing Hiren. Bagi Gandis, yang terlihat hanyalah mata-mata itu, karena memang sudah sangat gelap.

“Kalian lambat, miaw! Aku sudah menunggu dari tadi!” lagak Hiren.

Yang menjawab adalah si anjing setan, masih sambil terbang, “Nggrrr...! Kau berhenti lari? Berani juga! Dan kau pikir bisa menyembunyikan gadis itu, grr? Hidungku bisa mencium kalau dia ada di sini. Di balik semak itu!”

Jantung Gandis berdetak kencang, seolah mau lepas. Dalam hati dia memaki si kucing hitam. Buat apa bersembunyi seperti ini kalau semudah itu dirinya ditemukan?

“Nyahaha!” tawa Hiren. “Kalian mungkin memang tahu, tapi kalian tidak akan bisa menyentuh Nona Kecil itu. Karena aku, Hiren, sudah ada di sini!”

Tubuh Hiren bersinar seketika. Dan tanpa berbasa-basi lagi, dia langsung melompat. Kucing surgawi itulah yang ternyata memulai serangan pertama.

Hewan-hewan iblis itu terkejut! Yang tak terduga adalah gerakan Hiren yang sangat cepat. Kegesitan seperti itu tidak ditunjukkan sewaktu si kucing hitam di sekolah tadi. Rupanya, sihir surgawinya sudah bekerja. Ini berkat Pahala tambahan yang baru saja diterimanya.

Satu kucing iblis ditabraknya. Kemudian dengan menjadikan kucing tadi sebagai tolakan, Hiren melompat menerjang kucing lain. Kali ini ekor lebat Hiren kembali menyambar, bersamaan dengan sengatan petir. Langit terang seketika oleh cahaya kilat, yang hanya sekejab. Setelah itu Hiren bersalto ke belakang, untuk mendarat di tanah. Sesosok hewan iblis pun ikut jatuh, tapi hanya sebagai tubuh hangus yang langsung memudar menjadi asap.

Seekor kucing iblis, yang tadi ditabrak Hiren di udara, tampak goyah dan oleng. Tetapi rupanya dia masih bisa melayang dengan kembali mengepakkan sayap.

“Mwwr, sialan!” makinya. “Aku tidak akan kalah semudah itu. Aku adalah Panglima Nyarang!” Kemudian dia menoleh ke samping kiri. “Hei, ini giliran kalian! Serang dia!”

Sejumlah hewan iblis berbentuk gagak berseru kencang, “Kaaaaak!!”

Tanpa diduga, tubuh mereka langsung berkobar oleh nyala api hitam. Seolah-olah bulu-bulu hitam itu hidup dan meronta-ronta. Dipimpin salah satu gagak, kerumunan burung iblis itu menerjang turun. Sementara itu, hewan-hewan iblis lain masih bersiaga di udara.

“Miuu,” keluh Hiren. “Aku tidak suka burung gagak.”

Gagak-gagak itu menukik dalam satu formasi, kemudian menyebar ke segala arah. Sebentar saja, Hiren tahu-tahu sudah terkepung. Gagak-gagak itu terus berputar kencang, mengelilingi Hiren, memagarinya. Mereka tak memberikan jalan kabur.

“Kaaakkk!”

Satu per satu gagak-gagak itu menerkam Hiren dengan paruh tajam. Si kucing masih gesit menghindar. Satu, dua, tiga, dan empat masih dapat dielakkan. Tetapi sergapan yang kelima berhasil menggoresnya sewaktu Hiren mencoba menghindar dengan melompat. Kucing hitam itu terjatuh.

Darah merah menetes.

Ya, sewaktu berada di dunia manusia, kucing surgawi pun bisa terluka seperti kucing biasa. Dan tentunya, mereka juga bisa mati. Jika kucing surgawi mati untuk kedua kalinya, keberadaan mereka akan lenyap selamanya. Tak akan kembali ke Surga Kucing, atau ke surga manapun. Itulah resiko dari misi setiap prajurit. Adapun untuk misi yang satu ini, kematian kedua tampaknya bisa sangat mudah diraih. Gagak-gagak itu bersiap kembali. Kini serentak mereka menyerbu. Tetapi Hiren segera bangkit. Ditabraknya salah satu gagak iblis itu hingga terpental. Formasi gagak itu terpecah. Namun apa yang terjadi?

“NYAAW!”

Hiren meronta kepanasan. Bulu api hitam si gagak membakar kulit hitam si Hiren ... yah, memang tidak begitu terlihat karena sama-sama hitam. Tetapi begitulah kejadiannya. Dengan berguling-guling di tanah, api hitam itu padam juga. Di udara, tampak Nyarang menggeram-geram, seolah sudah tidak sabar lagi untuk ikut menyerbu.

“Kau mau ikut, graaw?” tanya anjing iblis yang terbang tepat di sisinya.

Nyarang menoleh, “Mogaw. Kau lihat sendiri, dia cukup lihai untuk ukuran kucing surgawi!”

“Ngrr...! Ya! Aku, Panglima Mogaw, juga tertarik untuk mencoba,” balas Mogaw.

Sementara dua panglima itu bercakap-cakap, rupanya pertarungan Hiren dan para gagak sudah sampai pada puncaknya. Karena menyentuh bulu-bulu gagak itu terbukti berbahaya, Hiren hanya bisa menghindar. Satu-satunya serangan yang terpikirkan adalah sihir jarak jauh. Sayangnya Pahala Hiren terbatas. Dia butuh sedikit persiapan.

Tanpa disadari oleh gagak-gagak itu, si kucing surgawi memancing pergerakan mereka. Sambil melompat-lompat dan mengelak, Hiren membawa gagak-gagak itu agar mereka tidak terpencar ke segala arah melainkan terkumpul dalam satu tempat.

Luka goresan kucing itu pun bertambah karena tersayat oleh paruh ataupun cakar tajam gagak-gagak iblis tersebut. Setidaknya bulu-bulu api itu masih bisa dihindari.

Dan kesempatan itu pun datang, semua gagak itu terhimpun pada satu sudut taman!

Langsung saja Hiren mengaktifkan sihir tingkat tinggi. Dia membusungkan dada sambil menarik nafas begitu dalam, bersamaan dengan berkas-berkas cahaya yang mulai berkumpul di celah mulutnya.

Yang terjadi selanjutnya adalah apa yang biasa terlihat dalam film fiksi-ilmiah. Hiren menghembuskan semacam tembakan sinar dari mulutnya. Sewaktu kucing surgawi itu mengayunkan kepalanya ke samping, berkas sinar itu juga ikut bergerak. Kembali malam menjadi lebih terang, bersamaan dengan bunyi rentetan ledakan yang ditimbulkan oleh jurus tadi.

Tak ada lagi gagak yang tersisa.

“Uhuk, uhuk!” si kucing terbatuk. “Myawh! Aku terlalu bersemangat.”

Merasa musuhnya masih ada, Hiren langsung menoleh dan menengadah. Namun, tidak terlihat adanya Mogaw ataupun Nyarang di udara. Di mana mereka? Hiren menengok kanan-kiri, sebelum dikejutkan oleh jeritan seorang gadis.

“Kyaaaaaa! Lepaskan!!”

Muncul dari balik semak-semak, tampak Gandis sedang bergelut dengan sepasang anjing-kucing neraka. Gadis itu mengayun-ayunkan tasnya untuk mengusir kedua hewan iblis tadi, sekalipun yang terjadi malah tas itulah yang dirobek-robek oleh taring maupun cakar Nyarang dan Mogaw.

Satu ketika, gigitan Mogaw menancap begitu kuat pada tas Gandis. Dalam sekali tarik, tas itu pun terlepas dari pegangan Gandis. Melihat tak ada perlawanan yang bisa dilakukan oleh gadis itu, Nyarang berinisiatif menerkam. Dia melompat mengincar leher Gandis. Hampir saja kena!

Untungnya Hiren sudah mengantisipasi. Dalam waktu nyaris bersamaan dengan Nyarang, Hiren juga ikut melompat. Keduanya bertubrukan di udara, tepat sebelum taring Nyarang melahap Gandis.

Nyarang terdorong ke belakang sejauh lima meter, sementara Hiren langsung mendarat dengan indah di sisi sang Nona Kecil. Akan tetapi, pada saat itulah Mogaw turun tangan.

Gandis hanya bisa terpukau. Sudah sekian lama sejak dia mengalami sesuatu yang luar biasa seperti ini. Dan terakhir kali dia marasakan itu, settingnya adalah di alam mimpi. Saat ini, sambil kembali mencari posisi berlindung, dia menyaksikan Hiren bertarung sengit dengan Nyarang dan Mogaw.

Kucing hitam itu memanfaatkan kelincahannya untuk meladeni sergapan dua Panglima hewan iblis. Meskipun tubuhnya jauh lebih kecil, Hiren masih punya kesempatan menang dengan teknik bertarung seperti itu. Masalahnya, stok Pahalanya semakin berkurang. Terutama setelah melakukan sihir surgawi tingkat tinggi seperti saat memusnahkan kawanan gagak tadi.

Tetapi Hiren bisa tersenyum. Sebagai gantinya, dalam pertarungan ini saja dia telah melakukan sejumlah kebaikan. Sebut saja, memusnahkan kekuatan iblis, ataupun tadi, menolong Gandis yang hampir dimangsa. Dan itu berarti tambahan Pahala. Malahan, dalam hati Hiren mulai menikmati misi kali ini. Sudah lama dia tidak bertarung mati-matian seperti ini sejak dia menjadi Kucing Prajurit Surgawi.

Nyarang dan Mogaw menyerang dari dua arah, secara bersamaan. Tetapi Hiren menyingkir dengan cerdik, tepat saat dia hampir terkena. Hasilnya, kedua hewan iblis tadilah yang kini bertabrakan satu sama lain. Mereka terhuyung. Dan Hiren memanfaatkan kesempatan itu!

Sekali lagi badan hitamnya bercahaya, sebelum dia menyabetkan ekor lebatnya yang diperkuat sihir sengatan petir. Kedua hewan iblis itu terkena telak. Tersungkur, tapi segera bangkit. Masih ada bekas gosong di badan mereka.

“Nyaawr,” geram Hiren. “Kalian alot sekali!”

Meskipun sambil sempoyongan, Nyarang membalas perkataan musuhnya, “Mwwwr! Aku Panglima Nyarang! Tak akan kalah semudah itu, Kucing Surgawi!”

“Begitu juga dengan aku, sang Panglima Mogaw! Grraww!!” seru rekan Nyarang, yang badannya juga tampak masih gemetar.

“Jadi kalian berdua adalah Panglima, miaw?” ujar Hiren.

Tapi tak ada jawaban kata-kata lagi. Kedua panglima itu malah melompat mundur untuk mengambil jarak. Mereka mengambil nafas, mengumpulkan api di dalam mulut mereka.

“Nyahaha! Mau menyerangku dengan sihir neraka ‘Nafas Api’, miaw?” tawa Hiren. “Apa kalian masih meragukan kecepatanku?”

Nyarang dan Mogaw tidak menggubris. Keduanya saling melirik, seolah sudah memikirkan suatu strategi. Apakah itu? Semua menjadi jelas ketika keduanya mengubah posisi, mengganti arah. Dan mereka menembakkan sihir itu, tetapi bukan mengincar Hiren!

Semua mengarah pada Gandis. Dua bola api yang besar, siap melumat gadis itu, bersama dengan semak-semak tempat dia bersembunyi. Hiren langsung bergerak mengikuti insting.

“Mwwr, sialan! Andai aku bisa sihir perlindungan—”

Tapi Hiren tidak mengusai sihir surgawi semacam itu. Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah ...


Ledakan besar pun menggelora. Asap menggumpal bersamaan dengan percikan api. Suasana berubah mencekam.

“Hi-Hitaaaam!!” Gandis berseru panik.

Ternyata si kucing hitam menggunakan tubuhnya untuk menahan kedua bola api itu. Tentu saja itu berbahaya. Namun tak ada jalan lain. Kali ini, Nyarang dan Mogaw telah selangkah lebih unggul dalam bertaktik. Namun, kedua panglima itu pun tampak begitu kelelahan setelah mengerahkan sihir neraka yang tadi. Dan mereka belum memastikan apa hasilnya.

Kepulan asap menipis, dan terus menipis.

Dari balik gumpalan kelabu, sosok kecil itu masih berdiri tegak di keempat kakinya yang kokoh. Merah darah mengucur membasahi hitam bulunya. Tetapi kucing surgawi itu masih hidup.

Hiren menatap garang kedua musuhnya. Nafasnya sudah hampir habis, sekujur badannya pun nyeri tak terkira. Tetapi kondisi Nyarang dan Mogaw pun tak jauh beda.

Sekarang pertanyaannya, apakah pertarungan akan dilanjutkan kembali?

“Mwwr! Boleh juga, kalian berdua!” lagak Hiren. “Aku sudah lama tidak menikmati pertarungan hidup-mati seperti ini, nyaw!”

Rasa percaya diri yang ditunjukkan Hiren, sekalipun mungkin itu hanya pura-pura, tetap mampu menggentarkan kedua lawannya. Nyarang dan Mogaw pelan-pelan membuka sayapnya. Kaki mereka melangkah mundur secara naluriah.

“Sial, mwarrrr!” Nyarang meraung. “Akan kuhabisi kau di sini!”

Kucing iblis itu berniat maju dan melanjutkan pertempuran, tetapi rekannya, si Mogaw, langsung menghalangi.

“Tunggu, Nyarang!”

“Apa?!”

“Untuk sekarang, lebih baik kita mundur, graw,” saran Mogaw. “Kita sudah kehilangan begitu banyak pasukan yang dipercayakan Kaisar Dhiwala kepada kita.”

Dan memang benar, saat itu, pasukan hewan iblis yang tadinya ada belasan hanya tinggal tersisa dua saja. Nyarang menelan ludah. Dia bisa membayangkan semurka apa sang Kaisar jika mendengar misi pengintaian malah berakhir dengan lenyapnya seluruh pasukan.

“Ayo maju, nyaw! Apa kalian takut?” gertak Hiren. “Jangan bilang kalian mau kabur? Aku, Hiren, masih bisa melayani kalian sampai pagi kalau kalian mau, myan.”

Nyarang mendengus kesal, “Mwrr! Hiren! Akan kuingat itu, kucing surgawi!”

Mogaw mengangguk kepada Nyarang, kemudian dibalas dengan anggukan yang sama. Keduanya melompat tinggi, membentangkan sayap mereka lebar-lebar, mengepak-ngepakkannya. Tak lama, keduanya sudah terbang menjauh bersama hawa sinis yang mereka bawa.

Hanya semenit berselang, sosok kedua hewan iblis itu sudah tidak terlihat lagi. Keempat kaki Hiren pun lemas, dan dia terjatuh juga.

“H-Hitam!”

Gandis langsung berlari menghampiri si kucing. Wajah gadis itu antara panik tapi juga lega. Sambil berjongkok, Gandis memperhatikan kondisi kucing hitam itu.

“Hei, kau tidak apa-apa, Hitam?”

Hiren langsung bangkit, sedikit memaksakan diri. “Sudah kubilang, myan,” katanya, “namaku Hiren! Buluku memang hitam legam, tetapi namaku Hiren, bukan Hitam!”

“Kalau begitu,” Gandis tersenyum, “kupanggil Hiren Hitam saja, gimana?”

“Nya?”

Tanpa meminta persetujuan si kucing, Gandis sudah memeluk. Saat itu, gelang leher yang berwarna keemasan milik Hiren pun terjatuh. Tampak kalau pengaitnya rusak.

“Oh, gelang apa ini?” Gandis memungut benda itu.

Hiren berusaha berontak, “Hei, jangan sentuh sembarangan, miuu! Itu aksesoris penting setiap Kucing Prajurit Surgawi.”

Tangan kecil si kucing berusaha merebut kembali gelang miliknya, tetapi dengan gesit Gandis menjauhkan benda itu dari jangkauan Hiren. Berkali-kali kucing hitam itu mencoba mengambilnya, tetapi Gandis malah menikmati sikap jahilnya itu.

“Ini kayaknya rusak, deh,” kata siswi itu. “Pengaitnya hancur lebur begitu.”

Sewaktu Gandis memandangi kucing hitam di pangkuannya, senyuman nona kecil itu merekah lebar. Itu membuat Hiren jengah.

“Apa, nyaw?”

“Hehehe, kau tahu?” ujar Gandis. “Sudah lama aku ingin memelihara seekor kucing.”

Mata kucing Hiren melebar, “Wanyaaw? Apa kuping kucingku tak salah dengar?? Coba kau ulangi!”

Gandis lalu mengangkat badan Hiren tinggi-tinggi, di depannya. Kembali gadis itu tersenyum, seolah-olah kacamatanya bercahaya.

“Apa makanan kesukaanmu? Ikan bandeng? Anak tikus? Ayam goreng? Haha, aku bisa mencarikan semuanya!”

Gadis itu hanya bisa tertawa senang. Seolah dia sudah melupakan rangkaian kejadian menegangkan yang baru saja dialaminya. Dan sepertinya, kucing hitam yang bisa berbicara sudah tidak tampak aneh lagi baginya.

Keduanya bisa bernafas lega untuk sekarang.

“Hei, Hitam.”

“Apa, nya?”

“Boleh kuelus-elus bulumu setiap hari?”