Hiren Hitam dan Laskar Sembilan Nyawa:Volume01 Chapter 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

02—Gandis, Buku, dan Kucing Iblis

Ketika hari berganti, Gandis mendapatkan apa yang diinginkannya. Begitu memasuki ruang perpustakaan, Bu Fatma langsung tersenyum sambil tangannya menunjukkan buku tua yang dipajang di rak koleksi khusus.

“Ingat, Gandis, ini cuma boleh dibaca di perpustakaan ini saja. Tidak boleh dibawa keluar,” kata Bu Fatma dengan tegas.

“Aku mengerti,” Gandis mengangguk.

Bu Fatma ternyata telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, dan cepat. Buku tua itu sudah bisa dibaca Gandis hari ini juga, karena sudah beres diperbaiki. Memanfaatkan jeda istirahat ataupun waktu setelah pulang sekolah, buku dongeng “Legenda Kucing Sembilan Nyawa” sudah habis dibacanya dalam waktu singkat saja. Bahkan Gandis langsung menulis ringkasan cerita dari buku itu, dengan bahasanya sendiri, sebagai berikut:


“Legenda Kucing Sembilan Nyawa”


Kisah ini terjadi di suatu kerajaan, dahulu kala. Tiba-tiba saja, tanpa ada yang tahu sebabnya, seluruh negeri dibanjiri oleh ratusan, ribuan, bahkan jutaan kucing.

Awalnya, penduduk negeri bergembira menyambut itu. Mereka menjadikan kucing-kucing itu peliharan mereka.

Akan tetapi, kucing-kucing itu terus berbuat onar. Mereka tak bisa diatur. Mereka merusak peralatan bertani, memakan hasil panen dengan rakus, bahkan menyerang ternak dan hewan-hewan lain.

Sewaktu penduduk negeri mencoba untuk mengatasi kucing-kucing itu, barulah mereka tahu. Kucing-kucing itu adalah perwujudan iblis. Mereka sangat kuat. Jauh lebih kuat dari manusia. Bahkan tentara kerajaan pun bertekuk-lutut di hadapan para kucing iblis itu.

Situasi berbalik. Manusialah yang menjadi peliharaan.

Tak bisa membiarkan kekacauan terjadi di muka bumi, langit mengutus seekor kucing. Dibantu oleh pangeran kerajaan, sang kucing langit mengumpulkan kucing-kucing lain yang berhati bersih. Sembilan kucing. Masing-masing mewakili warna-warna yang berbeda.

Merah, perkasa dan berani.

Jingga, lembut namun sakti.

Kuning, bersahabat dan banyak akal.

Hijau, taat dan berwibawa.

Biru, cemerlang, menyejukkan mata.

Nila, terampil dan gesit.

Ungu, anggun dan sopan.

Putih, cerdas dan murni.

Hitam, elegan dan berjiwa pemimpin.

Ketika kesembilannya bersatu, akan lahir seekor kucing dalam legenda. Kucing pahlawan yang memiliki sembilan nyawa.

Kucing sembilan nyawa memimpin manusia untuk berperang mengusir kucing-kucing iblis. Satu demi satu kota terbebaskan dari cengkeraman kejahatan. Akhirnya hanya tersisa satu tempat. Kastil Kegelapan. Tempat kaisar kucing iblis bertakhta.

Peperangan berlangsung dahsyat. Pasukan kerajaan menyerbu Kastil Kegelapan. Kucing bernyawa sembilan berhasil menerobos gerbang kastil, mengincar kaisar kucing iblis. Pertempuran tidaklah mudah. Kaisar kucing iblis dan panglima-panglimanya sangatlah tangguh. Satu demi satu nyawa sang kucing pahlawan menghilang. Pada akhirnya, hanya tersisa satu nyawa saja.

Sang kucing pahlawan jatuh tak berdaya, sementara kaisar kucing iblis bersiap untuk menghabisi nyawa terakhir sang kucing pahlawan. Saat itu, pasukan kerajaan yang dipimpin pangeran pun datang menyelamatkan sang kucing pahlawan.

Akan tetapi, kaisar kucing iblis adalah monster abadi yang tak bisa dikalahkan. Pedang, tombak, dan panah, tak akan bisa membunuhnya. Pasukan kerajaan pun kewalahan, hanya oleh seekor kucing yang tak bisa mati.

Hanya tersisa satu cara.

Sang kucing pahlawan bangkit. Sewaktu lawannya disibukkan oleh pasukan kerajaan, dia melancarkan jurus. Dengan mengorbankan nyawa terakhirnya, sang kucing pahlawan mengurung jiwa dari kaisar kucing iblis dalam penjara abadi di balik awan.

Sang kucing pahlawan pun mati.

Suatu saat, jiwa dari kaisar kucing iblis akan lepas dari penjara. Bersamaan dengan itu, kucing-kucing iblis lainnya akan muncul kembali. Tetapi, manusia tidak khawatir. Mereka percaya, jika kucing-kucing iblis kembali membuat kekacauan, maka langit akan mengutus seekor kucing pahlawan lainnya.

Dengan sembilan nyawanya, sang kucing pahlawan akan mengusir kucing-kucing iblis kembali ke kegelapan.


Gandis tersenyum sendiri membaca ulang hasil kerjanya. “Waw! Kurasa ini saduranku yang paling bagus, hah? Ahahahahaha!!”

Karena suara gembiranya terlalu kencang, Gandis kembali dipelototi pengunjung yang lain. Bu Fatma pun tak bosan-bosannya mengingatkan. “Gandis, suaramu!”

Hari itu berjalan begitu cepat. Tak terasa, sore sudah kembali menjelang. Karena itu adalah buku koleksi yang berharga, Gandis hanya bisa mengembalikannya ke Bu Fatma, untuk kemudian guru itu menaruhnya di rak kaca bertuliskan “Koleksi Khusus Perpustakaan SMPN 1 Taruma—Untuk Dibaca di Tempat, Bukan Untuk Dipinjam!”.

Padahal, Gandis masih ingin membacanya lagi berulang-ulang. Dia cukup suka dengan kisah fabel itu. Ilustrasinya pun menarik. Andai saja buku itu dijual di toko buku, Gandis akan membelinya sendiri dengan uang jajannya, sebagai pelengkap perpustakaan kecil pribadinya di kamarnya.

Gandis pulang dengan gembira. Terlalu gembira malahan, sampai-sampai dia lupa kalau hari itu dia berangkat sekolah dengan bersepeda. Kalau satpam penjaga sekolah tidak mengingatkannya, Gandis pasti sudah menelantarkan sepedanya di lapangan parkir. Gadis itu berlari kembali ke belakang sekolah untuk menjemput sepedanya.


Lapangan parkir sudah sepi. Tidak ada sepeda lain yang terlihat, selain milik Gandis.

“Ahaha! Hampir saja kelupaan!”

Dengan langkah yang riang, siswi itu menghampiri tempat dia memarkir sepedanya tadi pagi. Letaknya agak di pojok, dekat dengan pohon mangga. Tetapi begitu Gandis mendekat, sepasang mata tampak dari balik dedaunan pohon itu. Lalu sepasang mata lainnya terlihat. Sepasang lagi. Terus hingga akhirnya ada beberapa pasang mata. Kemudian secara bersamaan beberapa sosok kecil melompat turun.

Ternyata kumpulan kucing kampung. Tapi sikap mereka aneh. Kontak mata, terus saja mereka menatap Gandis. Ketika gadis itu bergeser ke kiri, tatapan mereka ikut bergeser. Gandis ke kanan, sama saja. Tak bisa lepas dia dari pandangan kucing-kucing aneh itu.

“Umm ... helo? A-ada yang bisa kubantu?”

Mungkin karena habis membaca dongeng tentang kucing yang bisa bicara, maka spontan terpikir oleh gadis itu untuk menyapa duluan. Dan itu ternyata tidak sia-sia. Dia mendapat balasan!

“Kau Nona, mwwrr, adalah penjaga menara jam itu? Kami sudah menunggumu!” Mata Gandis membesar, langsung menyangsikan pendengarannya. Tapi kucing lain juga ternyata ikut bicara.

“Ya! Tak salah lagi! Dia yang melempar kita kemarin dengan botol, mwwr!”

“Jadi harus kita apakan? Kita harus mengamankan menara itu. Andai saja tidak ada keluarga yang menempati lokasi itu, wrrrr...”

“Mudah, mwwrrr, tinggal kita singkirkan saja mereka semua. Mulai dari yang satu ini!”

Perlahan-lahan Gandis melangkah mundur, jauh dan menjauh, mencari jarak aman. Kakinya tak bisa berhenti gemetar. Dia tersenyum kaku, mencoba menghapus kegugupannya. Masih ada sedikit keberanian di dirinya untuk melanjutkan obrolan.

“Oh, kalian yang k-kemarin itu, yak?” katanya. “M-maaf sudah kulempar pakai botol. H-habisnya kalian terlalu berisik ...”

Tak ada jawaban.

Namun Gandis melihat ada perubahan. Tubuh kucing-kucing itu mengejang, kemudian bulu-bulu mereka pun berdiri tegak. Bukan hanya itu, mereka juga mulai membesar. Dan terakhir, mencuatlah sepasang tanduk di dahi mereka, serta muncul juga sepasang sayap yang mirip sayap kelelawar, di punggung mereka. Barulah Gandis sadar.

“Kucing iblis!”

Salah satu kucing itu menyeringai, “Nyahahar! Bukan cuma kami kok. Keluarlah kalian juga!”

Dan benar saja, setelah aba-aba dari kucing tadi, muncul sejumlah binatang lain dari balik pagar, seperti anjing, maupun burung gagak, yang mana rupa mereka sudah bukan seperti binatang yang ada di dunia. Anjing iblis berbadan besar itu melompat ke atas sepeda Gandis, kemudian sepeda itu pun remuk seketika.

“Hiii!!”

Gadis itu menjerit ngeri, akhirnya. Sekarang yang ada di pikirannya hanyalah melarikan diri. Kemudian lapor ke satpam penjaga sekolah, mungkin? Meskipun Gandis ragu kalau satpam gemuk itu bisa berbuat banyak.

Saat itu pun tiba.

Semua hewan-hewan iblis itu serentak maju menerjang Gandis!

Siswi itu lari, tetapi karena bergerak secara tiba-tiba, keseimbangannya jadi buruk. Belum apa-apa, dia sudah terjatuh ke depan membentur tanah. Kacamatanya pun terlepas.

Hanya satu yang bisa dilakukan Gandis kini. Berteriak.

“TOLOOOOONG!!!”

Sementara itu, kawanan hewan iblis itu sudah semakin mendekat. Gandis melirik ke belakang. Pandangannya buram, tapi tetap saja dia merasa ngeri. Sekali lagi dia berteriak.

“T-TOOLOO—”

“Berisik!”

Tanpa disadari Gandis, ternyata ada seekor kucing hitam, besar tubuhnya normal, sudah berdiri di samping siswi tersebut. Dan diakah tadi yang berkata ‘berisik’? Kucing hitam itu menatap Gandis, lalu berkata, “Tenang, gadis kecil! Jika Hiren sudah di sini, kau bisa duduk santai di sana sambil menikmati tontonan, nyaw.”

Kemudian kucing hitam itu pun melesat maju, menghadang terjangan dari hewan-hewan iblis tadi. Mau tak mau Gandis bertanya dalam hati. Dengan tubuh kecil itu, apa yang bisa dilakukan si kucing hitam?