Hiren Hitam dan Laskar Sembilan Nyawa:Volume01 Chapter 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

01—Gandis dan Buku

Perpustakaan sudah seperti suaka bagi Gandis Ayunandar. Menjadi tempat di mana dia paling banyak menghabiskan waktu istirahat di sela-sela pelajaran sekolahnya, ataupun setelah pelajaran sekolah berakhir sebelum pulang. Saat ini, baru saja dia memasuki semester keduanya di kelas IX, di SMPN 1 Kota Taruma. Bagaimanapun, kebiasaan serta rutinitasnya tidak akan pernah hilang. Sayangnya, gadis berkacamata ini bukanlah tipe kutu buku yang tenang seperti kebanyakan stereotip mengatakan.

“Wooaaaaah! Buku baru! Buku baru!! Iyeei!!”

Tanpa menahan diri, Gandis langsung melompat-lompat begitu memeriksa ada judul yang tak dikenalnya di rak buku dongeng, di sudut perpustakaan sekolahnya itu. Tentu saja ini berhadiah tatapan tajam dari penghuni lain di suaka itu. Mau tak mau, pengawas suaka, atau petugas perpustakaan, datang menghampiri gadis itu.

“Maaf, Gandis,” sapanya. “Tolong jaga ketenangan di perpus, ya?”

Dari nada bicaranya, sebenarnya sudah terdengar semacam kepasrahan si petugas perpustakaan. Bagaimana tidak? Gandis sudah jadi pelanggan tetap perpustakaan itu selama tiga tahun belakangan ini. Dan sampai sekarang, tak ada yang bisa dilakukan petugas itu untuk membendung antusiasme si pelanggan.

“Ah, Bu Fatma! Aku mau baca buku-buku baru ini!!” seru Gandis, sembari membetulkan posisi kacamatanya.

Bu Fatma, si petugas perpustakaan, hanya mengisyaratkan dengan tangan kanannya, menunjuk ke arah tempat untuk membaca. Bergaya lesehan, siswa-siswi bisa duduk bersantai di atas karpet nyaman, sembari menikmati bacaan mereka. Tanpa banyak berlama-lama, Gandis sudah melesat.

“Ups, maaf. Permisi,” celetuknya, sewaktu dia melompati pengunjung perpustakaan yang lain. Tentu saja itu mengejutkan, terutama bagi mereka-mereka yang belum mengenal Gandis. Mereka pun protes, tetapi antusiasme si gadis berkacamata seolah membuat telinganya tuli. Si gadis mengambil posisi favoritnya di pojok dekat jendela.

Ditaruhnya 3-4 buku yang tadi dibawanya, kemudian diambil salah satu untuk dibacanya. Tangan siswi itu bergerak cepat memonopoli sebuah bantal kecil, sebelum diambil pengungjung lainnya. Dia duduk bersila dengan meletakkan bantal itu di pangkuannya, kemudian buku itu dibentangkan di atas bantal.

Kenyamanan akan menambah kepuasan dalam membaca, membuatnya lebih mudah memindahkan cerita-cerita di buku ke dalam dunia imajinasinya. Kemudian imajinasi itu akan dibiarkannya liar, sampai-sampai sering sekali muncul perkembangan plot yang sebenarnya tidak ada di dalam cerita aslinya. Itulah khayalan Gandis. Dan dia suka itu.


Hari sudah sore dan perpustakaan akan segera tutup.

Gandis adalah satu-satunya pengunjung yang masih betah di sana. Dan sebenarnya dia masih betah untuk tinggal lebih lama lagi. Toh, ini adalah suaka miliknya. Namun peraturan adalah peraturan.

Bu Fatma melemparkan senyuman diplomatisnya, “Ayo, Gandis. Kamu bisa baca lanjutannya di rumah.”

“Yaah ...,” rengut siswi itu, “padahal tinggal satu buku lagi.”

“Makanya, seperti yang kubilang, baca di rumah! Mungkin kamu lupa kalau yang namanya perpustakaan itu juga melayani peminjaman buku?”

Dengan berat hati, Gandis bangkit dari tempat nyamannya. Sementara itu, Bu Fatma sudah mulai mengunci jendela dan menutup gordennya. Gandis membawa satu buku yang belum sempat dilahapnya, kemudian menaruhnya di meja resepsionis.

Sembari menunggu Bu Fatma kembali ke belakang meja, gadis itu melirik-lirik tumpukan buku yang ada di sampingnya. Sepertinya merupakan kumpulan buku yang selesai dipinjam, ataupun buku-buku baru yang belum dimasukkan ke katalog, dan ada juga satu buku lama yang tampak butuh perawatan. Dan mata Gandis terpaku pada buku lama itu.

Dibacanya judul buku itu.

“Hmm ... ‘Legenda Kucing Sembilan Nyawa’? Kok aku nggak pernah lihat buku itu sebelumnya?!”

Meskipun sebenarnya itu adalah perkataannya kepada diri sendiri, suara Gandis cukup keras untuk terdengar oleh Bu Fatma yang ada di sisi ruang perpustakaan yang lain. Serta-merta ibu penjaga perpustakaan itu mendekat.

“Apa?” katanya, sambil memperhatikan buku yang dilihat-lihat oleh Gandis. “Oh, itu ... buku yang cukup lama, Gandis.”

“Kupikir aku sudah membaca semua buku dongeng di sini,” balas Gandis, sambil matanya tetap berfokus pada buku itu. Sampulnya, jika diamati, ternyata terbuat dari kulit kayu asli!

“Err ... aku sendiri tidak tahu berapa umur buku itu, Gandis. Gosipnya, bahkan buku itu lebih tua dari sekolahan kita sendiri!”

Di balik kacamatanya, Gandis terbelalak. “Serius, Bu Fatma?! Berarti usianya lebih dari 100 tahun, dong?!”

Bu Fatma spontan menutup telinga, “T-tolong jangan teriak, Gandis. Jarak kita cuma tiga puluh senti.”

“Ups, maaf,” balas Gandis. “Tapi apa aku bisa pinjam buku ini sekaligus untuk dibaca di rumah, Bu Fatma?”

Yang ditanya pun menggelengkan kepala. “Tidak bisa dibaca sekarang. Mungkin besok atau lusa baru bisa kamu baca. Aku harus memperbaiki jahitan jilidnya yang sudah mulai lepas, ataupun membersihkan sampul kayunya.” Kemudian Bu Fatma tampak berpikir-pikir. “Ah, lupa. Karena ini adalah buku tua yang sangat langka, kamu hanya bisa membacanya di tempat. Maaf. Bukan untuk dipinjam.”

Gandis mengerutkan dahinya, setengah kecewa. Tapi toh dia bisa menunggu. Kemudian setelah menulisi kartu perpustakaan Gandis untuk administrasi peminjaman, Bu Fatma bergegas pulang. Berhati-hati dia membungkus buku tua tadi dengan koran, lalu dimasukkan ke dalam tasnya.

Mereka keluar bersama-sama. Tetapi setelah pintu depan perpustakaan itu dikunci oleh Bu Fatma, keduanya berpisah arah. Bu Fatma berjalan ke arah parkiran di belakang sekolah, karena dia mengendarai sepeda motor. Sedangkan Gandis menyusuri halaman sekolah untuk menuju gerbang depan.

Tampak sejumlah siswa telah mengakhiri kegiatan ekstrakurikuler mereka. Tidak banyak murid yang Gandis kenal, karena umumnya murid-murid yang sudah kelas IX tidak akan banyak aktif di ekstrakurikuler lagi. Ujian Nasional tinggal beberapa bulan lagi.

“Seperti biasa, pulangnya selalu sore ya, Non?” sapa satpam penjaga sekolah. Badannya cukup gemuk, kalau tidak bisa disebut gendut. Apakah posturnya itu cocok sebagai seorang penjaga keamanan, sepertinya manajemen sekolah tidak begitu peduli.

“Ya,” jawab Gandis. Kemudian dengan senyuman terkembang, dia menambahkan, “Aku ini kan ikut ‘Ekstrakurikuler Membaca’! Itu yang kubilang ke Ibu di rumah.”

Satpam itu merespon, “Hahaha! Mana ada yang seperti itu, Non?”

“Yah ... sudahlah,” Gandis akhirnya melambaikan salam perpisahan.

“Hati-hati di jalan.”

“Oke.”

Sore sudah mulai berganti malam sewaktu Gandis berjalan pulang ke rumahnya. Ya, rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya terpaut sekitar beberapa blok saja, sehingga gadis itu bisa pergi-pulang dengan berjalan kaki, ataupun sesekali dengan bersepeda.

Bagaimanapun, di dalam perjalanan, entah mengapa buku tua itu yang selalu muncul di benak Gandis. Dia begitu tertarik karena dua hal. Pertama adalah karena jenis buku itu, yang sepertinya merupakan buku cerita dongeng, kesukaan Gandis. Yang kedua adalah karena buku itu tidak seperti buku-buku sekarang. Dari sampulnya saja sudah terasa kesan klasiknya. Lalu bagaimana dengan kertas yang digunakan? Membayangkan itu saja sudah membuat Gandis kembali antusias. Sampai-sampai dia berteriak sendiri di tengah jalan, yang membuat tetangga kebingungan. Tetapi hanya balik dibalas oleh siswi itu dengan senyum ceria.


Rumah Gandis Ayunandar seperti rumah-rumah lain di kompleks perumahan itu, kecuali pada satu perbedaan mencolok. Di samping rumahnya, terdapat semacam menara jam tua, yang dikatakan memiliki sejarah panjang yang berhubungan dengan Kota Taruma itu sendiri.

Atas himbauan dari Pemerintah Kota Taruma, keluarga Ayunandar tidak merobohkan menara jam tua itu sewaktu membangun rumah di sana, sekitar 40 tahun lalu. Bahkan sampai sekarang, keluarga Ayunandar tetap rajin merawat jam yang menjadi ciri menara tua itu, dengan mendatangkan teknisi jam untuk pengecekan rutin sebulan sekali. Terkadang dengan biaya sendiri.

Menara itu kira-kira setinggi bangunan empat lantai. Dindingnya adalah bata yang disusun cukup rapih, dipadu dengan kayu yang tahan cuaca. Ada satu pintu masuk di bagian bawah, yang terhubung dengan satu ruang dengan tangga berputar, langsung menuju ruang perawatan jam itu.

Yang bisa ditebak, ruang itu penuh rangkaian mesin mekanis dengan gerigi-gerigi berbagai ukuran yang saling terpaut dan berputar selaras. Gandis pernah beberapa kali bermain di ruang mesin menara jam itu, dan setiap kali ke sana, dia hanya bisa terpukau. Namun belakangan ini, dia sudah tidak pernah mengunjungi bagian dalam menara itu seperti dulu. Bagi Gandis sekarang, menara jam tua itu hanyalah sumber kebisingan.

Gandis memang menyukai sesuatu yang klasik, seperti menara jam tua itu. Tetapi dia terganggu dengan bunyi berisik yang dihasilkan oleh jam tadi, setiap harinya. Terutama karena posisi kamarnya tepat bersebelahan dengan menara jam itu, sehingga menara jam itu langsung terlihat sewaktu dia membuka jendela kamarnya. Jika jarum panjangnya mencapai angka XII tepat, maka bising lonceng yang menandakan pergantian jam akan bergema. Butuh sedikit pengorbanan memang, untuk memelihara bangunan bersejarah seperti menara jam tua itu.

Seperti pada malam itu, sekalipun Gandis telah menggunakan headset sambil mendengarkan musik, suara lonceng pergantian jam tetap saja tak terbendung. Bisingnya mengalahkan bunyi musik yang sedang didengarnya. Dan bunyi dentang lonceng itu berlangsung selama sekitar semenit.

“Hhh ...,” keluh Gandis menghela nafas, “setidaknya itu cuma satu jam sekali.”

Kemudian dia merebahkan diri di kasur empuknya yang bernuansa krem, tidur tengkurap sambil membuka buku yang tadi dipinjamnya. Sewaktu dirinya terhanyut, satu lagi suara kencang mengejutkannya, bersumber dari sekitar menara jam. Sama berisiknya, tetapi itu bukanlah suara jam.

Terdengar seperti jeritan hewan liar. Kucing berkelahi, mungkin? Tak ada yang bisa mengalahkan ributnya suara kucing berkelahi. Tapi ada juga suara-suara hewan lainnya. Yang tentunya semua itu membuat Gandis tak bisa konsentrasi lagi untuk membaca.

“Rrrrgh! Sial! Suara apa sih itu?!”

Setelah melepas headset-nya, buru-buru Gandis melesat bangkit untuk membuka jendela. Kepalanya melongok keluar, meneliti situasi di sekitar menara jam. Terlihat sejumlah bayangan kecil berkelebat.

“Kucing jangan berisik!!” teriak Gandis sambil melempar sesuatu yang bisa dilemparnya, yaitu botol plastik produk teh hijau.

Timpukan Gandis hanya mengenai dinding bata menara. Tapi bersamaan dengan itu, berangsur-angsur sosok-sosok kecil itu menghilang pergi, membawa suara berisik mereka menjauh.

“Ng? Sudah hilang? Kucing-kucing dari mana sih itu?”

Gandis pun menutup kembali jendelanya, untuk lanjut membaca.