Hikari no Monogatari:Volume01 Prolog

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

True_Prologue

Kegelapan.

Itulah hal yang dapat kurasakan di sekelilingku saat ini. Mungkin karena aku menutup mataku, jadi aku tidak bisa melihat apa-apa. Kucoba membuka mataku, tapi hasilnya sama saja.

Aku diselimuti kegelapan.

Rasanya memang menyeramkan. Rasanya seperti engkau sedang menutup matamu di ruangan yang gelap. Kalau kau membuka matamu pun hasilnya sama saja. Kau tidak bisa melihat apa-apa.

Sayup-sayup terdengar suara angin berhembus. Jadi apapun tempat ini punya jalan keluar ya? Baiklah, akan kucoba perhatikan sumber angin ini. Kurentangkan tanganku sehingga aku bisa merasakan arah angin ini.

Dari sebelah kiriku ke sebelah kananku ya, baiklah. Aku berjalan mengikuti tujuan arah angin ini. Angin muncul karena adanya perbedaan tekanan udara, dan sekarang udara disini dingin, tidak, sangat dingin. Maka cara mencari jalan keluarnya adalah mengikuti arah angin ini menuju karena udara di luar tempat ini kemungkinan besar lebih hangat dari disini.

Setelah kukira beberapa menit berjalan mengikuti arah tujuan angin ini, usahaku berbuah manis.

Aku melihat setitik cahaya putih!

Seharusnya aku merasa senang, karena aku sudah berhasil menemukan jalan keluar dari tempat ini. Tapi aku kembali memikirkan tujuan awalku masuk ke sini. Ya, tujuan awalku masuk sini adalah untuk menghindari kontak dengan dunia luar.

Bagaimana rasanya, jika seseorang yang kau cintai pergi dari dunia ini?

Pasti sakit bukan kepalang rasanya kan?

Tapi bukan itu saja alasanku untuk menghindari kontak dengan dunia luar. Masih ada banyak alasan lainnya. Kalau kuceritakan seluruhnya, akan memakan banyak waktu.

Maka kupelototilah cahaya putih itu dengan mata seramku yang seolah-olah mengatakan ‘Walau godaanmu benar-benar menggiurkan, aku tidak akan mengingkari janjiku sendiri. Seorang pria tidak pernah mencabut kata-katanya walaupun itu akan menyakitkan baginya.’

Titik cahaya putih itu bergerak sedikit. Seolah-olah mengolok-olokku yang pecundang ini.

“Aku tetap tidak mau keluar dari sini!” Aku berteriak. Seolah-olah aku dan cahaya itu sedang berkomunikasi. Aku tahu hal itu tidak mungkin, tapi setelah pengalamanku dengan hal-hal aneh, aku jadi yakin apapun bisa terjadi.

Suaraku terdengar sangat parau. Mungkin karena sudah tidak dipakai bertahun-tahun. Kapan terakhir kali aku memakainya? Oh iya, saat aku mengucapkan selamat tinggal pada orang itu.

Cahaya itu bergerak lagi. Aku bisa bersumpah aku baru saja mendengar cahaya itu mengeluarkan suara tawa. Bagaimana caranya, aku tidak tahu. Akupun tak mau peduli dengan hal itu.

Tiba-tiba cahaya itu membesar. Awalnya hanya seukuran titik kecil, aku bisa tahu karena pemandangan di sekelilingku sangat gelap, sampai-sampai cahaya sekecil itu dapat terlihat dengan jelas. Lalu cahaya itu membesar sedikit saat ia mengeluarkan suara tawa tadi. Sekarang cahaya itu seukuran kepalan tanganku bertahun-tahun lalu yang ukurannya masih dapat kuingat.

Cahaya itu terus membesar, membesar dan membesar hingga ukurannya melebihi ukuran tubuhku bertahun-tahun lalu. Intensitas cahayanya pun semakin terang. Bahkan aku terpaksa menutup mataku. Rasanya seperti menatap matahari dari jarak beberapa meter. Matahari dari jauh saja sudah terang, apalagi dari dekat.

Perlahan-lahan cahayanya menghilang.

Ini tidak mungkin kan? Cahaya itu tidak mungkin pergi begitu saja. Satu-satunya alasan kenapa cahaya itu bisa pergi hanya karena mataku sudah terbiasa dengan cahaya itu. Cahaya itu tidak mungkin membawa tubuhku keluar. Aku sudah berjanji untuk menghindari seluruh kontak dengan dunia luar.

Sedikit demi sedikit aku memberanikan diri untuk membuka mataku. Biarlah, yang penting aku tidak mengingkari janjiku. Cahaya itu yang membawa tubuhku keluar. Aku sendiri tidak mau keluar dari tempat ini. Apa boleh buat. Tak ada gunanya menangisi air yang tumpah.

Hijau.

Itulah hal pertama yang dapat kulihat sesaat setelah aku membuka mataku. Hijaunya rumput-rumput liar sejauh mata memandang, hijaunya daun-daun pepohonan yang rimbun di sekelilingku. Ah... sudah lama aku tidak melihat pemandangan sehijau ini. Dulu aku selalu berpikir kalau bumi akan semakin tandus di masa depan. Tapi sekarang aku masih dapat melihat hijaunya bumi ini.

Kutadahkan kepalaku ke atas. Birunya langit masih indah, seperti bertahun-tahun lalu. Dihiasi dengan putihnya awan dan burung-burung yang berterbangan di atasku.

Kukembalikan pandanganku ke depan. Coklatnya tanah dan abu-abu batuan, aku benar-benar sangat merindukan pemandangan ini. Aku tersenyum, tapi bukan senyum sinis atau sarkastik yang biasa aku berikan pada orang-orang di sekitarku dulu. Senyumku ini adalah senyum tulus dari dalam hati yang sangat jarang kutampilkan pada orang-orang di sekitarku, terutama setelah ‘dia’ pergi dari dunia ini.

Setelah bertahun-tahun mengasingkan diri di gua di kaki gunung ini, aku akhirnya keluar juga. Gunung ini adalah Gunung Arashiyama di Kyoto. Tempat tinggalku adalah di kota Narukami, sangat jauh dari tempatku sekarang. Jaraknya jauh sekali bukan? Tapi itulah aku, apapun yang kuniatkan, maka akan kulakukan dengan sepenuh hati.

Aku cuma bercanda. Tempat ini direkomendasikan oleh seseorang yang mengetahui tujuan sebenarnya aku mengasingkan diri. Aku yang sebenarnya tidak suka bekerja keras, tapi kalau ada motivasi maka aku bisa bekerja lebih keras dari perdana menteri Jepang.

Setelah puas mengamati pemandangan yang indah ini, aku memeriksa keadaan diriku sendiri. Aku masih memakai baju seragam sekolah SMA Namatami. Itu adalah sekolahku dulu, sebelum aku terjerumus ke awal masalah yang membuatku ingin mengasingkan diri disini.

Aku tersenyum, “Walau sudah lama, seragam milikku ini masih bagus.”

Bagus disini berarti masih layak dipakai. Sebenarnya di baju seragamku ini sudah ada banyak tambalan. Mulai dari tulisan katakana ‘Mastaa faitto’; padahal aku tidak mahir sama sekali dalam urusan bertarung, sampai lambang hati berwarna merah muda yang letaknya tepat di posisi dimana jantungku berada.

Aku yang menjahit baju ini sampai seperti ini. Tapi bukan aku yang menjahit lambang hati tepat di posisi jantungku itu. Itu merupakan ulah iseng seseorang.

Tapi walaupun keadaannya begitu, baju ini tetap merupakan baju favoritku. Baju inilah yang menemaniku bertahun-tahun lalu. Setiap detik yang kujalani, baju inipun menjalaninya bersamaku.

...

Tidak seluruhnya sih, ada beberapa keadaan dimana aku harus memakai baju selain baju ini. Saat-saat itu bisa dibilang merupakan saat-saat terbaikku. Saat-saat dimana aku harus memakai baju zirah, atau saat aku harus memakai baju yang mewah, atau saat aku dipaksa memakai jubah; tapi didalam jubahnya aku tetap memakai baju ini. Itu semua merupakan saat-saat yang paling kurindukan dalam hidupku.

Tapi tidak ada yang lebih kurindukan daripada kehadiran ‘dia’ di sisiku

Dia adalah gadis yang paling cantik yang pernah kutemui. Banyak gadis cantik yang kutemui, tapi dialah yang paling cantik. Tidak ada yang dapat melebihi kecantikannya, bahkan bisa dibilang kecantikannya itu diluar batas kewajaran manusia.

Wajar sih. Dia kan bukan manusia.

Tiada sedetikpun aku tidak merindukan kehadirannya.

Kalian pasti bingung kenapa aku bilang dia bukan manusia kan? Lebih baik aku memberitahumu secara lengkap apa yang terjadi padaku bertahun-tahun lalu.

Mungkin akan sangat lama, jadi duduklah dan dengarkan aku. Cerita ini adalah sebuah cerita yang penuh dengan drama, tensi, dibumbui dengan humor dan romansa, dan lain-lainnya.

Judulnya? Hmm, aku belum memikirkan itu, mungkin Cerita Cahaya cocok. Ya, kupikir cerita ini kuberi nama Hikari no Monogatari saja.