Hikari no Monogatari:Volume01 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

The (Incomplete) Truth – The Important Decision For Them

Part I

Raito membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah warna coklat. Saat ia memfokuskan pandangannya, ternyata warna coklat itu adalah warna dari langit-langit sebuah ruangan.

Dimana ini...

Itulah yang ingin Raito katakan, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Yang ada hanya rasa sakit di tenggorokannya.

“Aaaa...”

“Oh? Kau sudah bangun?”

Perhatiannya segera terpusat pada suara yang memanggilnya. Yang ia lihat adalah sesosok gadis berambut hitam panjang yang mengenakan tank-top hitam dan hotpants. Sebuah ekspresi khawatir dapat terlihat dengan jelas di wajahnya.

Di tangannya, gadis itu membawa segelas air putih yang ia sodorkan pada Raito. Dengan tangannya, Raito segera menerima gelas itu dan meminum isinya sampai habis. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, Raito bertanya.

“Dimana ini?”

“Ini adalah tempat peristirahatanku.”

“Dimana?”

“Di tengah hutan tanpa nama ini.”

Lalu sebelum Raito dapat menanyakan yang lainnya, ia teringat akan penyebab dari hilangnya kesadaran dirinya, dan kondisi sebelum ia kehilangan kesadarannya. Matanya terbuka lebar.

“Lukaku–

“Sudah tidak apa-apa.”

Raito tidak percaya ucapan gadis itu. Ia segera memeriksa kondisi tubuhnya. Matanya bergerak ke dadanya. Di dadanya yang tidak mengenakan sehelai benangpun, tidak ada luka sama sekali. Bahkan bekasnya pun tidak ada. Kondisi dadanya persis seperti ketika ia belum dicakar oleh hewan buas itu.

Lalu matanya pindah ke perutnya. Di perutnya, yang juga tidak tertutup sehelai benangpun, kondisinya sama dengan dadanya. Bersih, tidak ada darah maupun luka sama sekali. Dahi Raito mengerinyit. Bagaimana itu bisa terjadi?

“Pakaianku...”

“Di meja di sebelahmu. Tapi aku harus berkomentar, pakaian aneh seperti itu... darimana asalmu?”

Raito yang ketika menemukan pakaiannya segera menggunakannya, hanya bisa mengatakan “Eh?” ketika gadis yang ada di ruangan ini bilang bahwa pakaian yang ia kenakan aneh.

Apanya yang aneh? Ini adalah seragam musim dingin standar SMA Namatami. Apa gadis itu belum pernah melihatnya?

“Kota Namatami.”

“Dimana itu?”

“Eh? Kau belum pernah dengan Kota Namatami? Narukami?”

“Apa itu juga nama kota?”

Ini aneh, tidak mungkin ada yang tidak mengenal kota Narukami. Kota dimana rumahnya berada itu adalah kota industri terbesar di Jepang, jadi orang yang tidak mengenal Kota Narukami adalah termasuk aneh.

Raito memperhatikan gadis yang ada di samping tempat tidur yang sedang ia duduki dengan lebih seksama. Wajahnya putih, bahkan bisa dibilang putih pucat, seperti kekurangan matahari. Mata berwarna ungu violet, sesuatu yang baru pertama kali ia lihat. Rambut hitamnya mengkilap memantulkan cahaya lampu. Dan yang membuatnya membuka mulutnya karena terkejut, adalah saat ia menyadari, bahwa gadis yang ada di depannya ini, tidak memiliki wajah khas orang-orang Asia, terutama Jepang. Wajah gadis yang ada di depannya ini lebih mirip dengan wajah orang-orang Eropa.

“Hm? Ada apa?”

“Tidak. Jadi, sekali lagi. Dimana ini.”

“Sudah kubilang kan, ini adalah tempat peristirahatanku.”

“Tapi dimana?”

“Di tengah hutan.”

“Di tengah hutan?!”

Gadis itu mengangguk, lalu mengulangi ucapannya. “Di tengah hutan.”

Raito segera bangun dari posisinya dan bergerak menuju jendela terdekat. Apa yang ia lihat dibalik jendela itu adalah hijaunya pepohonan rimbun yang besar. Gadis itu tidak berbohong, ini benar-benar di hutan.

“Pakaianmu...”

“Ya? Ada apa dengan pakaianku?”

“Aku belum pernah melihatnya. Darimana asalmu?”

“Sudah kubilang, aku berasal dari Kota Namatami.”

“Aku belum pernah mendengar tentang Kota Namatami. Pasti itu daerah yang sangat terpencil.”

Raito dapat mendengar nada mengejek yang diucapkan oleh gadis itu. “Enak saja, Namatami adalah kota masa depan Jepang! Memang, aku belum tinggal disana, tapi itu karena aku masih punya rumah di Kota Narukami.”

“Jepang?”

“Apa kau akan bilang kau belum pernah mendengar tentang Jepang juga?”

“Huh? Hebat, kau bisa membaca pikiranku. Sihir apa yang kau gunakan?”

“Hah? Jangan bercanda denganku, menebak itu adalah hal yang sangat mudah. Tapi... serius kau belum pernah mendengar tentang Jepang?” Gadis itu mengangguk.

“Omong kosong. Kita sedang berbicara dalam bahasa Jepang.”

“Bahasa Jepang? Ini Bahasa Rule.”

“Rule?”

“Hmph, tempat terpencil seperti apa asalmu itu, bahkan penduduknya tidak tahu Rule sama sekali.”

“Tempat terpencil seperti apa ini, bahkan orang yang berbicara bahasa Jepang tidak tahu Jepang atau Namatami.”

“Bahasa Jepang? Sudah kubilang ini bahasa Rule!”

“Omong kosong, ini bahasa Jepang!”

“Rule? Jadi tempat ini namanya Rule? Ha! Tempat dimana orang yang berbicara bahasa Jepang dan menganggapnya sebagai bahasanya sendiri adalah tempat yang bodoh!”

Raito memperhatikan gadis di depannya itu menggertakkan giginya.

“Tch, tempat terpencil dimana orangnya bodoh dan keras kepala adalah tempat yang sangat bodoh! Tidak layak untuk ditinggali!”

Raito tidak membalas. Otaknya sedang berputar memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh gadis yang ada di depannya dan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Rule?

“Ha?! Tidak bisa membalas? Apa ini berarti aku menang dan kau mengakui kalau tempatmu itu terpencil?”

Sepengetahuan Raito, tidak ada negara yang menggunakan bahasa Jepang selain Jepang. Lagipula, melihat dari bentuk wajah gadis lawan bicaranya yang mirip wajah orang-orang Eropa, ada kemungkinan bahwa Rule ada di sekitar Eropa. Bagaimana mungkin ada orang yang fasih berbicara bahasa Jepang dan mengakuinya sebagai bahasanya sendiri?

“Hmph, kuanggap sebagai ‘ya’.”

Lupakan itu! Meskipun sudah berusaha mengingat peta Eropa, Raito tidak pernah melihat ada negara bernama Rule. Apakah Rule ini merupakan negara yang baru saja merdeka? Baru saja didirikan?

“Hei...”

Tidak. Otaknya tidak salah ingat. Memang tidak ada negara bernama Rule di peta Eropa. Ia yakin itu. Kemampuan otaknya tidak pernah mengecewakannya. Malah, ketika kelas satu, nilai Raito ada di peringkat lima dari seluruh murid SMA Namatami.

“Hei!”

Jadi... sebenarnya, dimana ini?

“HEI!”

“Aw!”

Raito mengusap-usap dahinya yang kesakitan karena disentil oleh gadis di depannya.

“Hei, apa kau baik-baik saja? Kulihat kau sedang melamun...”

“Aku bukannya melamun, aku sedang memikirkan sesuatu.”

“Dan?”

“Aku telah sampai pada satu kesimpulan.”

“Ho? Kesimpulan apa itu? Bahwa tempat asalmu memang terpencil?”

“Bukan itu, apa kau bisa menjawab pertanyaanku?”

“Kalau aku mampu.”

“Baiklah. Sebenarnya, dimana Rule ini?”

Raito bertanya dengan serius. Tidak ada nada mengejek atau apapun. Tapi reaksi dari gadis yang ada di depannya itu membuat emosinya naik.

Dengan tangannya, gadis itu berusaha menutupi mulutnya. Samar-samar terdengar suara tawa yang coba ditahan. Gadis itu mencoba menahan tawanya ketika mendengar pertanyaan Raito.

“Pfft, ternyata tempatmu berasal memang terpencil. Kau bertanya dimana Rule ini? Apa kau bercanda? Rule adalah semua tanah ini! Rule adalah semua langit ini! Rule adalah semua laut disana! Jadi, jawaban dari pertanyaanmu adalah, Rule adalah semua tempat ini, dengan begitu, tempat ini adalah Rule!”

“Aku bertanya baik-baik dan kau tertawa.”

“Habisnya, pertanyaanmu itu sangat bodoh.”

Raito menarik nafasnya dalam-dalam. Tidak ada gunanya marah, Raito.

“Baiklah, mungkin akan kuubah pertanyaannya. Apa kau punya peta?”

“Hm? Untuk apa? Untuk melihat tempat terpencil dimana kau berasal? Silahkan saja,” ucap gadis itu sambil berjalan keluar dari ruangan dimana Raito berdiri.

“Sebenarnya, ada apa dengan gadis itu? Benar-benar keras kepala tentang tempat terpencil.”

Sekembalinya gadis itu ke ruangan dimana Raito menunggu, di tangannya ada sebuah gulungan. Lalu gulungan itu diberikan pada Raito.

Raito membuka gulungan itu dengan perlahan. Inilah dia. Ini adalah pembuktian kebenaran dari kemampuan otaknya. Apabila di peta Eropa ini ada Rule, maka otaknya-lah yang salah dan ia harus merevisi ulang peta dunia yang ada di kepalanya. Apabila di peta Eropa ini tidak ada Rule, maka otaknya benar, yang berarti kepercayaan diri dari gadis yang memberikannya peta ini didasari oleh sesuatu yang tak pasti.

Namun, apa yang Raito lihat dalam gulungan itu membuatnya mempertanyakan kondisi kejiwaannya.

“Apa-apaan ini?!”

“Huh?”

“Peta ini... aku belum pernah melihat peta seperti ini sebelumnya!”

“Berarti kau memang benar-benar dari tempat yang terpencil.”

“Bukan itu! Maksudku, aku belum pernah melihat peta seperti ini. Kau bilang ini peta Rule?”

Gadis itu mengangguk. “Ya, itu peta Rule yang baru saja kubeli seminggu yang lalu.”

Raito menelan ludahnya ketika ia mendengar konfirmasi dari gadis yang ada di depannya ini. Hal aneh apa yang terjadi padanya? Pertama, bangun di tengah hutan, diserang hewan buas, pingsan, lalu bangun di dalam ruangan yang terletak di tengah hutan, sekarang ini?!

“A-a-aku tidak tahu harus bilang apa.”

“Ya itu karena tempatmu berasal memang sangat terpencil kan? Aku bisa membayangkan, tempatmu berasal itu terletak di pulau terluar dari Shalkania, sangat jauh dari peradaban.”

“Bukan itu juga! Ada apa denganmu?! Kenapa kau sangat ingin menjelek-jelekkan tempat asalku?!”

Nada bicara Raito mulai naik. Emosinya mulai tidak bisa ditahan lagi olehnya.

“Y-ya... itu karena kau keras kepala. Sudah berasal dari tempat terpencil, keras kepala lagi,” gadis itu berkata sambil memalingkan wajahnya.

“Hah?! Maaf, tapi dengan terus mengejekku, kau lebih keras kepala dariku.”

Untuk sesaat, keheningan menghampiri ruangan itu. Lalu tarikan nafas dari Raito memecahkan keheningan itu.

“Mari kita mulai dari awal.... hei, aku bahkan belum mengenal namamu.”

“Airi.”

“Raito. Jadi, mari kita mulai dari awal, Airi-san.”

“Kau membawaku kemari dan merawatku dari luka-lukaku. Aku berterimakasih padamu.”

Airi kembali memalingkan wajahnya. Raito tidak melihatnya, tapi ada setitik rona merah di wajah Airi. Ini adalah pertama kalinya ada orang yang berterimakasih padanya. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa.

“Ah... i-iya...”

“Sekarang, aku melihat sebuah peta. Sebuah peta yang mana belum pernah kulihat sama sekali padahal aku hafal semua peta dunia. Ini berarti dua kemungkinan, entah aku gila atau aku berada di dunia yang jauh berbeda dengan dunia tempatku berasal.”

“...”

Airi tidak mengatakan apapun. Mulutnya hanya terbuka sedikit, tapi tidak ada suara yang keluar.

“Aku sendiri berpikir kalau kemungkinan kedua-lah yang lebih benar. Airi-san, kau bilang semua tempat ini adalah Rule. Bisa kau sebutkan negara apa yang sedang kita pijaki ini?”

“Shalkania,” jawab Airi singkat.

“Shalkania. Sebuah negara yang belum pernah kudengar sama sekali. Sama sepertimu yang tidak pernah mendengar tentang Jepang sama sekali.”

Mata Airi menyipit ketika ia telah sampai pada kesimpulan yang sama dengan Raito.

“Benar. Seperti yang dikatakan Dorothy, ‘Toto, aku rasa kita tidak lagi di Kansas’.”


Part II

Jika dikatakan bahwa Airi terkejut, itu salah. Apa yang Airi rasakan kali ini adalah lebih dari sebuah rasa terkejut biasa. Awalnya ia hanya tidak sengaja menemukan tubuh tergeletak yang ia kira mayat, lalu kini orang tersebut berkata bahwa ia berasal dari dunia lain?

Memang, dari petunjuk yang ada, semua mengarah pada satu kesimpulan. Raito, orang yang ada di depannya, berasal dari dunia lain. Tapi, apakah Airi akan mempercayainya begitu saja? Ia pikir tidak.

“Raito-san, meskipun semua bukti menunjukkan bahwa kau mungkin berasal dari dunia lain, sepertinya itu adalah hal yang tidak mungkin.”

“Hm? Bagaimana bisa itu tidak mungkin? Buktinya, aku ada disini, sedang memegang peta yang sama sekali berbeda dengan peta yang kukenal.”

“Sihir Dimensi... sudah tidak ada lagi yang menguasai Sihir Dimensi.”

Raito hanya memandangi Airi dengan tatapan kosong. Ia menggelengkan kepalanya, lalu bertanya, “Uh, apa tadi kau bilang? Sihir?”

“Ya, sihir. Ada apa dengan itu?”

“Tidak. Hanya saja, di duniaku, sihir itu hanya fiksi belaka.”

“Begitukah?”

Raito mengangguk. “Tapi duniaku punya teknologi yang maju.”

“Hmm, begitu ya.”

“Salah satu contohnya adalah ini,” Raito menyodorkan sebuah benda berbentuk balok yang sepertinya terbuat dari... besi? Atau kaca?

“Ini namanya ponsel. Dengan ini, kau bisa berkomunikasi dengan orang yang jauh secara langsung.”

“Ah, Rule juga punya yang seperti itu. Namanya Crystachs, bentuknya bola kristal, dan bisa digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh juga.”

“Begitu ya...”

“Jelas, Crystachs lebih baik dari apapun benda yang ada di tanganmu.”

“Ya, terserah kau saja. Aku bahkan tidak peduli lagi apakah duniaku lebih baik dari duniamu atau tidak.”

Sebuah perasaan bangga muncul di hati Airi. Entah kenapa ia sangat senang mendengar kata-kata dari Raito barusan. Mungkin karena Raito kalah adu mulut dengannya.

“Jadi sihir memang ada ya di dunia ini. Heh, aku tidak pernah menyangkanya.”

“Tentu saja! Semuanya menggunakan sihir di Rule.”

“Tapi bukankah kalau kalian bergantung pada sihir, keadaan dimana tidak ada sihir akan sangat menakutkan?”

Mata Airi melebar ketika menyadari adanya kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Raito. Dunia tanpa sihir... Airi merinding membayangkannya.

“Jadi, duniamu sangatlah kuno?”

“Enak saja. Sudah kubilang, dunia kami punya teknologi.”

“Tapi apapun benda yang ada di tanganmu itu, masih lebih baik Crystachs.”

“Sudahlah, terserah kau saja,” ucap Raito. “Hei, Airi-san. Kalau di Rule ini ada sihir, maka mungkinkah ada penyihir yang bisa membawaku pulang?”

“Eh? Kau mau pulang?”

“Tentu saja. Apa yang akan kau lakukan bila kau terdampar di dunia lain?”

“K-kau benar,” Airi memalingkan wajahnya. “Ada legenda,” ucap Airi pelan.

“Eh? Aku tidak bisa mendengarmu.”

Wajah Airi menatap wajah Raito. “Ada legenda, aku sendiri tidak tahu kejelasannya. Tapi ada legenda, bahwa di Rule hidup seorang penyihir tua yang menguasai semua sihir yang ada. Orang-orang menyebut penyihir tersebut sebagai Yoru no Mahoutsukai. Tidak ada yang tahu tempat pastinya, bahkan banyak orang yang menganggap legenda tersebut hanyalah buatan dan sosok Yoru no Mahoutsukai tidak ada sama sekali.”

“Hoh, begitu ya... Baiklah. Kalau begitu aku akan mencari Yoru no Mahoutsukai ini.”

“T-tidak boleh!”

“Eh?”

“Kau tidak boleh melakukannya!”

“Kenapa?”

“K-kau... kau harus m-m-menikah denganku....” bisik Airi.

“Eh? Aku tidak bisa mendengarmu.”

“Kau harus menikah denganku!”

Reaksi Raito adalah seperti yang dibayangkan oleh Airi.

“EEEEEHHHHHH?!”

Airi dapat melihat Raito menarik nafasnya dalam-dalam. “Airi-san, apa aku tidak salah dengar? aku harus menikah denganmu?” Airi mengangguk mendengar pertanyaan Raito. “Haa, dimana kata ‘boleh’ ketika kau membutuhkannya. Maksudku, kalau ‘boleh’, maka aku bisa menolak. Kalau ‘harus’, aku menolak pun rasanya tidak enak. Airi-san, kau yakin? Bisa kau jelaskan?”

Kali ini giliran Airi yang menarik nafasnya dalam-dalam, lalu ia menghembuskannya perlahan-lahan. “Aku berasal dari klan Varaviel. Di klan kami, ada hukum adat. ‘Setiap yang meminum darah dari lawan jenis yang masih hidup, diharuskan menikahinya. Setiap yang meminum darah dari sesama jenis yang masih hidup, diharuskan menjadikannya saudara’. Aku meminum darahmu, maka dari itu aku harus menikahimu.”

“Tunggu, tunggu, tunggu!”

“Ya?”

“Itu penjelasan yang terlalu cepat! Mana mungkin ada orang yang mengerti!”

“Oh? Oh!” Airi baru menyadari apa maksud Raito.

“Aku bukan berasal dari Rule! Bahkan aku tidak tahu klan Varaviel itu apa!” Raito menghela nafasnya, lalu melanjutkan. “Airi-san, bisakah kau menjelaskannya secara lebih detail?”

Airi menganggukkan kepalanya. “Varaviel adalah sebuah klan, mereka memiliki daerah sendiri di sebelah utara Shalkania. Var– “Shalkania? Disini dimana?”

“Disini di sebelah barat daya Shalkania.”

“Hm... lanjutkan penjelasanmu.”

Mata Airi menatap Raito dengan tajam. “Jangan memerintahku.”

Raito hanya menghela nafasnya. “Ya, ya. Terserah.”

“Hmph. Varaviel adalah klan yang bertahan hidup dengan makanan utama mayat dan minuman utama darah. Kami bisa makan makanan biasa, tapi hal itu tidak akan menghilangkan nafsu makan kami.”

“M-m-minum darah?! Vampir!”

“Vampir?”

“Ah, maaf. Di duniaku, ada makhluk penghisap darah yang disebut vampir.”

“Hm? Baiklah. Jadi, kebetulan tiga minggu yang lalu aku sangat haus. Kebetulan aku menemukanmu ketika aku berjalan, jadi kuminum saja darahmu. Aku mengira tubuhmu yang penuh luka itu sudah menjadi mayat. Tapi saat kugigit bagian lengan atasmu, kau tiba-tiba berteriak. Dari situ aku sadar, kau masih hidup, dan aku harus menikahimu.”

Airi mengakhiri penjelasannya disitu. Ia menatap Raito yang menatap dirinya dalam-dalam. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran Raito. Apakah Raito akan marah? Akan takut? Atau ia merespon dengan tenang? Airi tidak tahu.

“Airi-san.”

Nada bicara yang Airi dengar terdengar serius. Sangat berbeda dari nada yang digunakan Raito saat berbicara dengannya sebelumnya. Entah kenapa jantung Airi berdegup kencang.

“Apa yang kau lakukan di sebelah barat daya Shalkania sendirian.”

Airi tidak menyangka pria yang ada di depannya ini akan menangkap hal itu dari pembicaraan barusan. Pikirannya cukup tajam, pikir Airi.

“A-aku... a-aku...”

“Aku tidak tahu kenapa kau ada disini, dan hal itulah yang terasa sangat janggal dari penjelasanmu. Jadi, jawablah aku dengan jujur.”

“A-aku...” Airi menundukkan kepalanya. Ia tidak ingin melihat ekspresi wajah Raito saat ia mengatakannya. “Aku... aku telah dibuang oleh klanku.”

“Hoh, begitu ya...” merupakan jawaban singkat Raito. Lalu tak lama kemudian Raito tertawa.

“Apanya yang lucu?! Kau menganggap terbuangnya aku lucu?! Hah?!”

“Ahahaha, bukan, ahaha.”

“Lalu apa?!” kali ini Airi berteriak, matanya mulai berkaca-kaca. “Orang yang tidak pernah dibuang tidak akan pernah merasakan sakitnya dibuang oleh keluarga sendiri!”

Tawa Raito berhenti. Lalu ia berteriak.

“Kau yang tidak tahu apa-apa!”

Untuk sesaat, keduanya tidak mengatakan apapun.

“Orangtuaku membuangku ketika aku masih kecil. Meninggalkanku sendirian. Tumbuh berkembang tanpa panduan orang dewasa itu sulit!”

Airi tidak mengatakan apapun, ia tidak bisa mengatakan apapun. Jujur saja, ia tidak menyangka orang yang ada di depannya memiliki nasib yang lebih tragis daripada dirinya. Ia dibuang baru beberapa tahun yang lalu, akibat kejadian ‘itu’.

“Tapi, kau tahu bagaimana aku bisa melewati semua itu?Aku berusaha mencari kebahagiaan, dan aku menemukannya dalam keseharianku yang biasa saja. Aku merasakan nyaman, hatiku tenang. Rasa sakit itu telah tertambal, dan kekosongan yang disebabkan oleh luka itu telah terisi oleh tekad, sebuah tekad untuk membuktikan pada diriku sendiri dan terutama kedua orang yang telah membuangku bahwa mereka telah salah,” Raito mengakhiri ucapannya.

Ketegangan masih dapat terasa di ruangan itu. Kedua orang yang berada di dalamnya masih tidak mengatakan apapun setelah Raito mengakhiri ucapannya. Lalu, ketegangan itu dipecahkan oleh Raito yang menghela nafasnya.

“Aku pikir aku harus minta maaf. Tawaku lah yang membuatmu marah. Tapi, jujur maksudku tertawa bukan untuk mengolok-olokmu yang dibuang.”

“Lalu kenapa kau tertawa?”

“Maaf, aku hanya tidak bisa menahannya ketika mendengar bahwa kau telah dibuang. Maksudku, kau telah dibuang oleh klanmu, untuk apa kau masih mengikuti hukum adat mereka? Itu hal yang sangat konyol.”

Airi tidak bisa membalas pertanyaan Raito, karena ini merupakan pertama kalinya ia sadar bahwa jalan keluar seperti itu ada. Selama tiga minggu sejak ia membawa Raito ke tempat tinggal sementara buatannya sendiri yang terletak di tengah hutan, ia terus memikirkan jalan keluar yang lain selain harus menikah dengan Raito, tapi ia tidak bisa menemukannya. Sekarang, pria yang ternyata nasibnya lebih tragis darinya itu memberikan solusinya hanya dengan sekali mendengar permasalahannya.

Tanpa sadar, Airi tersenyum.

“Kau benar.”

Senyum Airi berubah menjadi tawa.

“Ahahaha, kenapa aku tidak pernah memikirkannya?! Ahahaha!”

Airi terus menertawai dirinya sendiri. Hingga akhirnya ia tidak kuat lagi.

Ia pun menangis.

“Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?!” Airi berteriak. Air mata mengalir di pipinya.

“Aku pikir aku bisa melakukan sesuatu saat aku menikahimu nanti! Tapi kau tidak ingin menikahiku sama sekali kan? Kau bahkan memberikanku jalan keluar yang benar! Memang benar, aku juga tidak ingin menikahimu! Tapi, lalu apa?! Apa yang harus kulakukan sekarang?!”

Raito tidak membalas apapun. Ia membiarkan Airi menumpahkan segala isi hatinya.

“Hidupku ini adalah sampah! Sejak dibuang, aku telah menjadi sampah. Apa yang dapat kulakukan sekarang?!”

Isak tangis Airi dapat terdengar di telinga Raito. Ia sempat membuka mulutnya, namun tidak ada suara yang keluar.

“Hei, Raito, beritahu aku!”

Raito menarik nafasnya dalam-dalam.

“Carilah kebahagiaan. Tambal-lah luka di hatimu dengan sesuatu yang membuatmu nyaman dan tenang. Isilah hatimu dengan tekad.”

Airi yang mendengar Raito mengatakan itu terdiam. Tangisannya pun berhenti.

“Hei...”

“Ya?” balas Raito dengan lembut.

“Bisakah kau memberiku kebahagiaan? Bisakah kau menambal luka di hatiku? Bisakah kau mengisi hatiku?”

“Aku tidak bisa melakukan satupun dari yang kau sebutkan,” ujar Raito memulai ucapannya. Lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menghembuskannya secara perlahan dan tersenyum. “Tapi kalau ada yang bisa kubantu, akan kulakukan.”

Airi memalingkan wajahnya. “Kalau begitu...”

“Hm?”

“Kalau begitu, bolehkah aku ikut denganmu?” bisik Airi pelan.

“Hm? Aku tidak dapat mendengarmu.”

“KAU HANYA INGIN MEMBUATKU MALU YA?!”

Teriakan Airi membuat telinga Raito sakit. “Bisakah kau kecilkan sedikit suaramu? Aku benar-benar tidak dapat mendengarmu!”

“Baka.”

“Kau mengatai aku bodoh?!”

“Sekarang kau bisa mendengarku?!”

Raito menatap mata Airi. Airi menatap balik Raito.

Secara tidak sadar, ujung bibir Raito naik. “Hei, bagaimana kalau kau ikut denganku mencari Yoru no Mahoutsukai ini. Bantuanmu akan sangat vital untukku.”

“ITU YANG KUKATAKAN DARI AWAL, DASAR BODOH!!”

Senyum Raito berubah menjadi tawa. Airi pun menyadari apa yang baru saja Raito lakukan.

“KAU SENGAJA MELAKUKANNYA YA?!”

Dan Raito pun tidak bisa mengehentikan tawanya. Sebuah pukulan dari Airi menyusul, mengenai perut Raito.

“GUH!”

Ketika Airi menyadari apa yang baru saja ia lakukan, sudah terlambat. “Ah! Raito-san?! Uh, kuharap aku tidak menggunakan tenaga lebih.”

Hanya itulah yang dapat diutarakan oleh Airi ketika tubuh Raito terkulai tak berdaya di kasur akibat pukulannya.