Hikari no Monogatari:Volume01 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Look Back to the Start – The Fateful Day When It All Began

Part I

KRRRRRIIIIIINNNNGGGGGG

Suara jam alarm berbunyi keras ketika telah sampai pada waktunya dapat terdengar dengan sangat nyaring. Sebuah tangan berusaha menggapainya dengan setengah hati. Setengah hatinya ingin suara nyaring dari jam alarmnya berhenti, sementara setengah hatinya yang lain ingin kembali tidur tanpa menghiraukan suara nyaring dari jam alarm tersebut.

Akhirnya usaha setengah hatinya membuahkan hasil. Jam alarm miliknya berhenti berbunyi. Namun walau begitu jam alarm tersebut berhenti dengan perasaan puas, karena sang pemilik kini sudah terbangun dari tidurnya.

“Uggh...”

Sosok orang yang baru bangun tersebut mengusap-usap matanya. Dengan penglihatannya yang masih belum terfokus, ia menatap jam alarmnya, berusaha melihat angka berwarna merah yang tertera di layar digital milik jam tersebut.

“Jam enam lewat lima...”

Perlahan-lahan ia bangun dari tempat tidurnya, dan merapikan kembali kasurnya seperti sebelum ia tidur diatasnya. Hasilnya bisa dibilang sempurna, karena ia sudah terbiasa melakukannya sejak kecil.

Ia melangkah menuju kamar mandi untuk menyegarkan dirinya. Setelah mencuci mukanya dan merasa segar kembali, ia berjalan menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia merasa pandangannya masih belum terfokus. Mungkin sebaiknya ia kembali ke kamar mandi dan mencuci mukanya lagi.

“Oh? Raito-kun, sudah bangun?”

Yang ada di pandangannya adalah sebuah pemandangan yang sangat... spektakuler. Tidak ada lagi kata yang dapat mendeskripsikannya dengan tepat. Sosok yang dikenal sebagai Raito ini menyipitkan matanya. Mencoba memfokuskan pandangannya dan mensugestikan dirinya sendiri bahwa hal yang ada di depannya ini hanya sebuah ilusi.

“Ada apa dengan pandangan seperti itu? Apa ada yang aneh?”

Suara ini, Raito mengenalnya. Suara ini adalah suara milik orang yang entah bagaimana selalu dapat masuk ke rumahnya. Suara milik orang yang sejak sebulan yang lalu mulai sering mengunjunginya dan masuk ke rumahnya. Suara milik seorang yang mengaku dikirim oleh orangtua Raito, meskipun ia tahu itu bohong. Suara milik seorang yang mulai mengurus Raito, meskipun kenyataanya adalah sebaliknya.

“Kau!”

Ya, suara ini adalah suara milik wanita yang ia bahkan belum kenal namanya.

“Pagi, Raito-kun~”

“Apa yang kau lakukan di pagi hari seperti ini?”

“Tentu saja membuatkanmu sarapan~”

Raito menghela nafasnya. Matanya memperhatikan sekilas tubuh sosok wanita yang ada di depannya yang sedang memasak sesuatu. Yang dapat Raito perhatikan hanya punggung dari wanita itu yang tidak mengenakan apa-apa karena sedang membelakanginya.

Eh? Tidak mengenakan apa-apa?

Sedikit terkejut dengan apa yang matanya lihat, Raito mencoba memperhatikan punggung wanita yang sedang memasak itu dengan seksama. Benar saja, wanita itu tidak mengenakan apa-apa. Raito dapat melihat dengan jelas kulitnya yang putih halus. Pindaian matanya turun, dan ia tidak dapat menahan darah yang mengalir menuju wajahnya. Dengan segera ia memalingkan wajahnya.

“Lalu mengapa kau tidak mengenakan apa-apa?!”

“Hm? Aku tidak mengerti apa maksudmu. Tidak mengenakan apa-apa? Jelas-jelas aku mengenakan celemek. Lihat baik-baik.”

Dan Raito menurutinya. Ia memfokuskan pandangannya pada tubuh wanita itu yang kini menghadap ke arahnya. Dan memang benar, Raito tidak bisa melihat tubuh telanjang wanita itu lebih jelas karena tertutup oleh celemek berwarna merah muda dengan rumbai-rumbai.

“Ada apa, Raito-kun? Kecewa karena Onee-san tidak memperlihatkannya padamu?~”

Ujung bibir Raito turun, menandakan ketidaksukaannya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh wanita yang hanya mengenakan celemek itu.

“Kalau kau mau, tinggal bilang saja~. Onee-san akan menurutinya~.”

“Tidak.”

Raito menjawab dengan sigap.

“Mou~, Raito-kun~.”

Raito menghela nafasnya. Entah kenapa ia merasa ia lebih banyak menghela nafasnya setelah ia mengenal wanita ini.

“Lanjutkan saja memasakmu, aku akan kembali sebentar.”

Raito mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Ia membuka lemarinya dan mengambil sembarang pakaian. Lalu ia kembali ke dapur dan memanggil wanita itu.

“Oi!”

“Hm? Ada apa Ra–”

Wanita itu tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena Raito melemparkan pakaian yang sudah ia bentuk menjadi bola ke wajahnya.

“Ah... kupikir aku pantas mendapatkannya.”

Wanita itu berdiri dan mengenakan baju putih polos yang baru saja dilempar oleh Raito. Baju itu ukurannya terlalu besar baginya, akibatnya penampilannya tidak berbeda jauh dengan sebelum mengenakan bajunya. Sama-sama membuat jantung Raito berdetak lebih cepat.

“Haaaah...” Raito menghela nafasnya lagi. “Dari semua baju yang ada di lemariku, mengapa aku harus memilih yang itu?”

“Mungkin karena kau menyayangiku~?”

“Tidak mungkin, aku bahkan tidak tahu namamu.”

“Sudah kubilang sejak awal, panggil saja aku Onee-san, atau Onee-sama juga boleh.”

“Tidak akan. Kau bahkan bukan kakak perempuanku.”

“Eeeh~? Bukankah anak muda jaman sekarang sangat menyukai karakter seperti itu? Gadis tipe-tipe onee-san yang agresif.”

“Darimana kau dapat delusi seperti itu?”

“...”

“Haaah, sudah kuduga. Kau hanya asal mengatakan itu kan? Lagipula, kalau banyak orang yang menyukai gadis tipe-tipe onee-san yang agresif, dunia ini akan dikuasai oleh wanita. Wanita lah yang akan ada di tingkat paling atas rantai makanan, bukan manusia.”

“Jadi kau berpendapat bahwa wanita itu bukan manusia?”

“Tidak seperti itu juga, aku hanya mengatakan beberapa tipe wanita akan sangat berbahaya bila ada lebih banyak dari yang lain. Untuk itulah diperlukan keseimbangan antar tipe. Tipe-tipe onee-san harus seimbang dengan tipe-tipe imouto. Lalu tipe-tipe agresif harus seimbang dengan tipe-tipe pasif. Semua butuh keseimbangan.”

Untuk sesaat tidak ada yang mengatakan apapun. Lalu keheningan itu dipecahkan oleh Raito.

“Aku tidak percaya aku baru saja mengatakan itu.”

Sebuah senyum muncul di bibir Onee-san. “Raito-kun, itulah mengapa aku sangat menyukaimu.”

“Omong kosong,” sela Raito. “Lagipula kalaupun itu benar, aku seharusnya tidak seperti ini...” Raito menundukkan kepalanya. Ia tidak ingin wanita yang ada di depannya ini mengetahui ekspresi wajahnya sekarang.

“Raito-kun...” ada nada kasihan ketika Onee-san menyebut nama Raito.

Tanpa Raito perlu sembunyikan pun, sebenarnya ia tahu bahwa Raito tidak punya teman sama sekali di sekolahnya. Tidak, Raito bukannya tidak populer atau apa, tapi entah kenapa ia tidak merasa bahwa murid-murid yang satu kelas dengannya adalah teman.

Secara normal, ketika siswa-siswa ditempatkan dalam satu kelas, mereka akan melakukan interaksi sosial. Berbincang-bincang membicarakan berbagai macam hal, bercanda tawa dengan ekspresi bahagia, dan lain-lainnya.

Tapi Raito tidak mengalami hal itu sama sekali di kelas satu SMA-nya tahun lalu, dan Raito berusaha menyembunyikan hal itu dari wanita yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya.

Jujur, ia merasa kesal ketika wanita itu masuk tanpa memberitahunya terlebih dahulu, selalu mengganggunya ketika ia belajar, dan berbagai hal menjengkelkan lainnya, terutama bagaimana wanita itu selalu mengatakan hal-hal yang tidak jelas.

“Raito-kun, sebentar lagi sarapannya jadi.”

“A-ah, iya.” Raito segera menuju kamar mandi dan mandi. Hari ini adalah 1 September, hari pertama masuk setelah libur musim panas. Ia tidak ingin terlambat.

Setelah mandi, ia segera mengenakan seragam musim dingin yang terdiri dari kemeja putih, jas hitam, dan celana panjang hitam. Raito pikir seragam musim dingin SMA Namatami, tempatnya bersekolah cukup keren. Siswa-siswa sekolah lain yang ia lihat tidak punya seragam musim dingin sekeren SMA Namatami.

Raito segera turun ke meja makan setelah selesai mengenakan seragamnya. Di meja makan, ia sudah ditunggu oleh wanita itu yang sedang membereskan meja makan masih dalam baju putih polos yang kebesaran.

“Masih pakai baju itu? Kupikir kau akan ganti.”

“Aku hanya membawa celemek kesini.” Butuh waktu beberapa detik bagi Raito untuk menyerap kata-kata dari wanita itu dengan sempurna. Lalu setelah ia menyadari apa yang wanita itu maksud, ia menarik nafasnya.

“APA KAU GILA?! KEMARI HANYA MEMBAWA CELEMEK ITU?”

Wanita itu mengangguk.

Untuk yang kesekian kalinya di pagi itu, Raito menghela nafas. “Lalu dalam perjalanan kesini, kau mengenakan apa?”

“Tentu saja celemek itu.”

“APA?!”

“Kubilang tentu saja celemek itu.”

“Lalu, tidak ada yang melihatmu?”

Raito mulai berpikir bahwa wanita yang entah bagaimana mampu masuk ke rumahnya hanya dengan mengenakan celemek yang ada di depannya ini punya sedikit kelainan.

“Tentu saja ada.”

Setelah mendengar itu, Raito ingin sekali menjedukkan kepalanya ke meja makan yang ada di depannya. Sudah jelas dan pasti, reputasinya akan hancur. Tempat tinggalnya, Kota Narukami, adalah pusat industri di Jepang. Semua orang datang ke kota ini karena kota ini adalah kota tempat mereka bekerja. Beberapa tahun yang lalu diisukan bahwa kota ini tidak layak tinggal karena polusi yang dihasilkan oleh pabrik pabrik di kota Narukami bisa membuat penghuninya meninggal. Orang-orang ketakutan dan segera pindah dari kota ini.

Tapi Raito tahu yang sebenarnya. Isu itu keluar karena para perusahaan yang mendirikan pabriknya di kota Narukami ingin memperluas pabrik mereka. Itulah mengapa Raito tetap tinggal di Kota Narukami meskipun ia bersekolah di kota sebelah, Namatami.

Berbeda dengan Narukami, kota Namatami adalah kota masa depan Jepang, dimana struktur kotanya tertata rapi. Ada Area Perumahan, dimana semua orang di kota Namatami tinggal, ada Area Edukasi, dimana sekolah-sekolah didirikan, ada Area Rekreasi dimana semua yang dibutuhkan untuk bersantai dibangun, seperti taman bermain dan mall. Dan yang terakhir, Area Hijau Namatami, yang sebenarnya adalah hutan murni yang sengaja tidak disentuh oleh pemerintah kota.

“Tapi sepasang manula yang melihatku hanya menaikkan alisnya lalu berkata, ‘Ah, pemuda sekarang.’”

Raito hanya memandangi wanita itu dengan ekspresi kagum. Bagaimana wanita itu bisa menghindar dari pandangan orang-orang yang berlalu lalang dari dan ke tempat kerja mereka, Raito tidak tahu. Mungkin itu berhubungan dengan bagaimana wanita itu bisa masuk ke rumah Raito ketika ia tahu bahwa semua jendela dan pintu telah ia kunci dengan kunci gembok yang untuk membukanya harus membuka kunci gembok kedua, yang untuk membukanya harus membuka kunci gembok ketiga.

Raito sangat bangga dengan hasil karyanya sendiri. Namun rasa bangga itu hilang seketika saat ia menyadari bagaimanapun juga, wanita itu akan tetap bisa masuk ke rumahnya.

“Kau tahu, aku tidak mengerti bagaimana tetangga di sekitar tidak melaporkanmu pada polisi.”

“Kau lupa, tempat tinggalmu ini hampir tidak ditinggali oleh siapapun selain kau dan sepasang manula yang kutemui tadi.”

“Dan?”

“Aku mengatakan pada mereka bahwa aku adalah kakak perempuanmu.”

“Heh, seperti ada yang mau percaya saja.”

Wanita itu tertawa sedikit. “Kedua manula itu percaya.”

Raito tidak bisa mengatakan apapun. “Bagaimana mereka bisa percaya kalau kita adalah saudara?”

Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya. “Kita tidak akan mengerti pola pikir orang tua sampai kita mengalaminya sendiri.”

“Apakah itu tadi salah satu kata-kata tidak jelas penuh misteri yang biasa kau keluarkan?”

“Bisa kau bilang seperti itu. Dan tentu saja mereka akan percaya, Raito-kun. Kita sangatlah mirip.”

“Mirip darimana? Apa kau buta? Kalau aku tidak salah lihat, Rambutmu pirang, rambutku hitam. Matamu biru, mataku hitam.”

“Hijau emerald.”

“Mataku Hitam. Kau tinggi namun ramping sementara aku tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu ramping. Apa aku perlu menunjukkan yang lainnya?”

“Bentuk wajahku dan bentuk wajahmu hampir sama. Kalau kau mencat rambutmu menjadi pirang dan menggunakan lensa kontak biru, kau akan sangat cocok menjadi adikku.”

“Seperti ada yang mau menjadi adikmu saja.”

“Bukankah kau mau?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa kau membiarkanku masuk dan memasak sarapan di rumahmu hanya dengan mengenakan celemek?”

Kalimat itu berhasil membuat Raito diam. Kali ini Raito benar-benar tidak punya balasan untuk pertanyaan wanita itu.

“Ah, bukankah sebaiknya kau makan sarapannya, Raito-kun. Kau harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai di sekolahmu.”

Memang benar. Untuk sampai di SMA Namatami, Raito harus naik kereta bawah tanah menuju Stasiun Sentral Namatami. Dari sana, ia harus naik kereta bawah tanah lagi sampai Stasiun Barat Namatami. Dari Stasiun Barat, ia harus berjalan kaki karena Area Edukasi Namatami tidak mau ada kebisingan sama sekali.

Dengan cepat, Raito melahap apa yang ada di piringnya. Setelah selesai, ia segera mengambil tasnya dan berangkat.

“Aku berangkat!”

“Hati-hati, dan satu nasihat untukmu. Kehidupan adalah kebahagiaan yang paling sering terjadi.”

“Aku akan berpura-pura mengerti maksudmu!”

Dengan itu, Raito berangkat menuju sekolahnya.

Satu jam perjalanan tidak terasa begitu lama bagi Raito. Ia juga tidak mengerti mengapa. Mungkin karena ia sudah terbiasa melakukannya. Saat ini ia sudah tiba di gerbang depan SMA Namatami.

Raito menatap gedung sekolahnya yang bertingkat empat. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.

“Inilah dia, sekolah. Tenang saja, Raito.” Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau hanya perlu bertahan di sekolah ini satu setengah tahun lagi.”

Ia tahu, ia mengatakan itu hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri, hal itu tidak akan merubah keadaan apapun. Tapi secara jujur, ia merasa ia membutuhkannya. Ia melangkah dalam keheningan menuju tempat belajarnya.


Part II

Ketika Raito sampai di kelasnya, ia dapat mendengar murid-murid sekelasnya mengobrol, membicarakan berbagai hal. Mulai dari siswi-siswi yang bercerita tentang pengalaman liburan musim panas mereka.

Namun Raito tidak peduli dengan itu semua. Ia hanya duduk di bangkunya, paling depan ujung kiri. Kebetulan di sampingnya ada jendela yang memperlihatkan pemandangan indah.

Raito menarik nafasnya dalam-dalam. Daripada mengobrol dengan murid-murid sekelasnya, Raito lebih memilih untuk memandangi pemandangan yang disediakan oleh jendela di sampingnya. SMA Namatami kebetulan terletak di bagian luar Area Edukasi, jadi pemandangan yang disediakan oleh jendela di kelasnya bukanlah gedung-gedung tinggi, melainkan atap-atap rumah dari Area Perumahan Namatami.

Kebetulan kelas 2-1, kelas dimana Raito berada, terletak di lantai tiga. Jadi dari tempat yang cukup tinggi seperti itu, pemandangannya sangatlah indah.

Setelah mempertimbangkan selama beberapa detik, akhirnya Raito memutuskan untuk mengurangi kebisingan yang ia dengar dengan menyumbat telinganya dengan headset dan mendengarkan lagu. Namun, baru saja ia memutar lagu sebentar, Wakamoto-sensei, guru wali kelasnya telah tiba.

Terpaksa ia mencabut penyumbat telinganya dan mendengarkan Wakamoto-sensei bicara.

“....Saya harap kalian telah menikmati liburan kalian. Sekarang....”

Raito hanya mendengar setengah kalimat dari Wakamoto-sensei sebelum ia memutuskan untuk tidak memperhatikannya sama sekali. Ia kembali memandangi pemandangan di jendela di sampingnya.

Setelah Wakamoto-sensei selesai bicara, pelajaran berlangsung dengan biasa.


Part III

Sepulang sekolah, Raito langsung menuju ke rumahnya. Ia khawatir dengan keadaan rumahnya yang ditinggal sendirian bersama wanita itu.

Namun entah kenapa, ia merasa ia sedang diawasi. Karena itu setiap ia berjalan beberapa meter, ia berhenti dan menengok ke kanan, kiri, dan belakang, berusaha mencari darimana perasaan diawasinya berasal. Tapi ia belum menemukannya juga.

Ia baru saja naik kereta bawah tanah menuju Stasiun Selatan Narukami, ketika menyadari bahwa ia tidak bisa apa-apa bila terjadi sesuatu dalam kereta ini. Raito menarik nafasnya dalam-dalam, sesaat sebelum pintu kereta ditutup, Raito melompat keluar kereta.

“Hei!”

Ia tidak menghiraukan orang-orang yang merasa terganggu karena perbuatannya. Yang ia hiraukan adalah perasaan diawasi yang sangat tidak enak. Jantungnya berdetak dengan cepat. Adrenalin mengalir ke seluruh tubuhnya.

Dengan penuh rasa waspada, Raito keluar dari Stasiun Sentral Namatami. Ia terus memperhatikan sekelilingnya, namun tidak menemukan hal-hal mencurigakan. Entah yang mengawasinya sangatlah pandai, atau tidak ada yang mengawasinya sama sekali. Tapi Raito lebih setuju dengan pilihan pertama. Siapapun yang mengawasinya sangatlah pandai.

DEG DEG. DEG DEG. DEG DEG.

Jantung Raito berdetak dengan sangat cepat, sampai-sampai ia mampu mendengarnya dengan jelas. Ia terus berjalan menuju perbatasan kota Namatami dan Narukami. Namun perasaan tidak enak dan diawasi itu bukannya berkurang, tapi malah bertambah.

Raito terus mencoba mencari penyebab dari perasaan tidak enak dan diawasi ini di sekelilingya, namun ia tidak menemukan apapun. Kini bukan hanya perasaan tidak enak dan diawasi yang ia rasakan. Kini, ketakutan menyelimuti dirinya.

Ketidaktahuan selalu menyebabkan ketakutan. Raito tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya merasa diawasi, maka dari itu ia merasakan takut. Takut akan keberadaan seseorang yang sangat mahir dalam mengawasi, takut akan bahaya yang sedang mengintainya. Dan yang pasti, takut akan kemungkinan dimana nyawanya bisa hilang.

Ketika ia sampai di dekat sebuah rumah mewah bergaya eropa, jantungnya semakin berdetak dengan sangat cepat. Raito tidak bisa menahannya lagi, ia sangat ingin berteriak.

“AAAAAAAAAAARRRRRRRRGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!”

Ia melupakan tasnya dan berlari sekuat tenaga menuju rumahnya yang masih terletak sangat jauh.

DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG

Meskipun terengah-engah, Raito terus berlari. Meskipun nafasnya habis dan tubuhnya tidak kuat lagi, ia terus berlari.

Oksigen yang masuk ke otaknya lebih sedikit dari oksigen yang dibutuhkan oleh otaknya. akibatnya, Raito merasa ia mulai kehilangan kesadarannya.

Terpaksa ia berhenti. Ia beristirahat dan menstabilkan nafasnya di dekat sebuah tiang listrik. Tapi perasaan diawasi itu terus ada, dan ketakutan mengikutinya dibelakang. Setelah merasa bisa berlari lagi, Raito memutuskan untuk melakukannya.

Namun, baru dua langkah ia ambil, ia terjatuh. Kepalanya terbentur tanah, dan kesadarannya hilang seketika.


Part IV

Onee-san sedang membereskan rumah Raito ketika ia menyadari satu hal yang sangat penting.

“Oh iya, aku baru sadar. Hari ini adalah hari yang ditakdirkan bagi Raito. Heh, aku terlalu sering mengalami hari ini sehingga aku lupa.”


Part V

“Ugh...”

Raito terbangun. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengingat kembali apa yang terakhir ia ingat.

Oh iya...

Raito merasa diawasi dan ketakutan karena itu. Mata Raito terbuka lebar.

Ada yang mengawasinya!

Dengan segera kepalanya bergerak melihat setiap sudut pandangannya, tapi usahanya masih belum berhasil. Malah, ia menyadari sesuatu yang sangat penting. Di sekelilingnya, yang dapat ia lihat hanyalah pohon.

Matanya menyipit. Bukankah terakhir kali ia ada di pinggir jalan? Bagaimana bisa ia ada di tempat seperti ini? Lagipula dimana ini? Hutan? Tidak ada hutan di dekat Kota Narukami maupun Kota Namatam... tentu saja! Ini adalah Area Hijau Namatami yang katanya tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali petugas.

Karena tidak boleh dimasuki oleh siapapun, tidak ada yang tahu dalamnya seperti apa. Yang orang-orang tahu, Area Hijau Namatami hanyalah sebuah hutan yang dibiarkan terus tumbuh oleh pemerintah. Tidak ada yang boleh masuk ke dalamnya apalagi menebang pohon-pohon didalamnya. Tapi karena itulah, muncul berbagai teori konspirasi mengapa Area Hijau Namatami tidak boleh dimasuki oleh siapapun.

Tidak. Tidak perlu dijelaskan teori macam apa yang bisa dipikirkan oleh orang-orang yang gemar dengan hal-hal seperti itu.

Raito memutuskan untuk berjalan mengikuti ‘bekas jejak di jalan’. Di sekeliling Area Hijau Namatami ada pagar beton tinggi yang membatasi Area Hijau Namatami dan Area Rekreasi dan Area Perumahan Namatami. Kalau ia terus berjalan, nanti juga ia akan tiba pada pinggiran Area Hijau Namatami dan dari situ ia bisa menyusuri pagar beton agar tiba di pintu masuk atau keluar.

Itulah rencana awal Raito setelah ia bangun dan berasumsi bahwa ia ada di Area Hijau Namatami. Tapi kini, setelah ia berjalan selama kurang lebih satu jam, setidaknya itulah kesimpulan yang ia dapat dari jam di ponselnya, ia masih belum menemukan apapun.

Eh? Sejak kapan baterai ponselnya tinggal sepuluh persen? Dan, dan, sejak kapan hari ini adalah 4 September?!

Hari ini, menurut Raito, adalah 1 September karena hari ini merupakan hari pertama masuk setelah libur musim panas. Jadi, kenapa ponselnya menampilkan tanggal 4 September? Raito menarik nafasnya dalam-dalam, sebuah hal yang sering ia lakukan saat ia ingin menentukan sesuatu.

Baiklah, pikirnya. Ada dua kemungkinan, satu, siapapun yang membawanya kesini mengutak-atik ponselnya sehingga tanggal di ponselnya berubah menjadi tanggal 4 September atau sekarang memang tanggal 4 September, yang mana berarti bahwa Raito telah tidak sadar dan ada di Area Hijau Namatami selama tiga hari.

Ini aneh. Kalau teori kedua yang benar, harusnya ada orang yang menyadari bahwa ia telah menghilang, dan polisi seharusnya sibuk mencarinya. Tapi secara logis, pilihan membawanya ke Area Hijau Namatami adalah pilihan yang tepat, karena tidak ada yang bisa masuk selain petugas. Tapi sekali lagi, tidak mungkin dalam selang waktu tiga hari tidak ada petugas yang mengecek keseluruhan Area Hijau Namatami.

Analisis itu membawanya kembali pada pertanyaan yang muncul di kepalanya satu jam yang lalu. Dimana ini?

Benih-benih keraguan mulai tertanam di pikiran Raito. Benarkah ini Area Hijau Namatami? Ia curiga kalau ini bukan. Sambil terus berjalan, ia meneruskan analisisnya.

Tapi kalau ini bukan Area Hijau Namatami, dimana ini? Mungkinkah hutan ini bukanlah di sekitar Namatami maupun Narukami? Selang waktu tiga hari tidaklah pendek, siapapun yang membawanya kemari bisa membawanya ke tempat yang jauh sekalipun.

Jadi, sekali lagi. “Dimana ini?”

Raito merasa harus mengatakannya, entah ia berharap ada yang menjawabnya atau apa.

SRKSRK

Tiba-tiba ada yang bergerak di semak dekat Raito. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Tapi kali ini ia tidak merasakan perasaan tidak enak, hanya ketakutan dan rasa diawasi saja. Namun, jelas itu bukan berarti Raito dapat menurunkan perhatiannya.

SRKSRK

Kali ini semak lainnya yang jaraknya cukup jauh dari semak pertama bergerak.

SRKSRK

Lalu semak berikutnya yang letaknya juga cukup jauh dari semak pertama dan kedua.

SRKSRK

Raito sangat ingin mengumpat. Ada kemungkinan besar apapun yang ada di semak-semak itu bergerombol atau setidaknya bersama-sama.

SRKSRK

Panik mulai merasuki tubuh Raito yang masih berdiri tegak. Dari sudut pandangannya, Raito melihat ada sebuah pohon besar yang mampu menutup seluruh titik buta pandangannya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan segera berlari menuju pohon besar itu dan menempelkan punggungnya ke pohon itu. Dengan melakukan itu, ia menutup kemungkinan ada yang menyerangnya dari titik butanya.

SRKSRK

Semak yang berada di dekat pohon besar dimana Raito sedang melakukan mekanisme pertahanannya tiba-tiba bergerak. Secara spontan Raito melepaskan sentuhannya dari pohon besar yang ia punggungi.

Namun itu adalah kesalahan besar.

Kurang dari sedetik setelah gerakan refleks Raito, dari semak tersebut melompatlah sebuah hewan. Raito tidak punya waktu untuk memperhatikan hewan yang baru keluar itu karena mulut terbuka penuh taring milik hewan itu sedang mengincar kepalanya.

“Arrrgh!”

Dengan sekuat tenaga Raito mencekik leher hewan itu dan menjauhkan kepalanya dari mulut hewan itu. Namun posisi Raito kurang menguntungkan karena ia sedang terbaring sementara hewan yang menyerangnya ada di atasnya.

Setelah berusaha cukup keras, Raito yang masih tidak mampu menjauhkan mulut hewan itu membanting hewan itu ke sisi kanannya. Raito segera bangun dan mengambil langkah mundur.

“Grrrrrrr.”

Hewan itu tampak marah. Ia membuka mulutnya dan memperlihatkan koleksi taringnya pada Raito, berusaha untuk mengintimidasi Raito. Dan hewan itu berhasil.

Raito yang baru pertama kali dalam tujuhbelas tahun hidupnya berhadapan dengan hewan liar, merasakan ketakutan.

Hewan itu melompat lagi, kali ini tujuannya bukan untuk melahap kepala Raito. Kali ini hewan itu merentangkan kaki depannya yang memiliki cakar yang tajam kedepan. Raito berusaha menghindar dengan memiringkan tubuhnya menghadap kanan, namun hewan itu secara mengejutkan menggunakan kaki depan yang satunya lagi untuk menggapai Raito.

Dan hewan itu berhasil. Cakarnya yang tajam setajam cakar harimau mampu mengenai dada Raito.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHHHHHHHHH!!!!!!!”

Raito merasakan sakit. Malah, hanya itulah yang ia rasakan sekarang. Sakit, sakit, sakit. Tidak ada yang lain.

Jas hitam yang ia kenakan robek, kemeja yang ada di dalamnya juga robek, begitu juga dengan kulit di dadanya. Cakaran hewan itu cukup dalam sampai Raito tidak dapat merasakan apapun selain sakit, namun tidak terlalu dalam sampai Raito merasa sakit saat bernafas.

Syukurlah, pikir Raito. Tulang rusuknya tidak ada yang patah dan menembus paru-paru. Akan sangat berbahaya bila hal itu terjadi. Setelah berhasil melukai mangsanya, hewan bercakar dan bertaring tajam itu kembali mencoba melukai mangsanya lagi. Raito yang masih kesakitan tidak punya waktu untuk berpikir untuk menghindar.

Cakaran hewan itu menusuk perutnya. Darah segar muncrat ketika hewan itu melepaskan tusukan cakarnya. Raito yang merasakan kesakitan yang melebihi apapun kehilangan keseimbangannya dan terjatuh.

“Grrrrrr.”

Hewan itu berjalan-jalan di sekitar tubuh Raito yang tergeletak tidak bisa apa-apa, bagaikan bermain-main dengan mangsa yang sudah putus asa.

Raito sendiri hampir putus asa. Dengan luka tusuk di perut yang masih mengeluarkan darah dan luka cakaran di dada yang juga mengeluarkan darah, ia sudah tidak mampu melakukan apapun lagi.

Kalau sudah begitu, untuk mendapatkan kesempatan sekecil apapun untuk keluar dari sini tanpa menjadi mangsa hewan itu, ia butuh waktu yang pas. Untuk mampu keluar dari sini sendiri, ia mulai meragukannya. Di sudut pandangannya, ia melihat sebuah ranting yang cukup besar. Rencana mulai terbentuk di kepalanya.

Akhirnya, setelah mengitari tubuh Raito yang tergeletak selama beberapa kali, hewan itu menggigit kaki kirinya, hendak menyeretnya.

Sekarang!

Raito menendang kepala hewan itu dengan sisa tenaga yang ia punya. Meskipun hewan itu tidak terpental sejauh yang ia perkirakan, namun itu memberi Raito kesempatan untuk menggulingkan badannya menjauh dari hewan itu dan mendekati ranting yang cukup besar yang tergeletak di sebelah kirinya.

“Grrrrrr.”

Hewan itu kembali menunjukkan sisi agresifnya dan melompat ke tubuh Raito, namun Raito yang sudah siap dengan serangan itu mengayunkan tangan kanannya yang kini telah memegang ranting.

“AUUUUUUUUUUUUUFFFFFFFF!!!!!!!!!”

Hewan itu berteriak kesakitan ketika ranting yang diayunkan oleh Raito tertancap di matanya. Raito yang sudah benar-benar tidak punya tenaga lagi tidak melakukan apapun. Perlahan-lahan kesadarannya menghilang.

Ia tidak percaya, baru saja ia sadar dan kini ia hampir tidak sadarkan diri lagi.

Hewan yang terluka matanya itu mengerang-erang kesakitan selama beberapa saat sebelum hewan itu berlari meninggalkan Raito yang terluka.

Heh, setidaknya hewan itu pergi.

Itulah hal yang ada di pikiran Raito sebelum ia kehilangan kesadarannya.


Part VI

Di depan pintu masuk ke sebuah kota, terlihat sesosok orang. ‘Selamat datang di Shalte’ adalah tulisan yang ada tepat beberapa meter diatas kepala sosok itu, tulisan itu terpampang dengan jelas di sebuah papan kayu yang sekilas terlihat sudah tua.

Sosok itu mengenakan jubah hitam kelam yang mentupi seluruh tubuhnya; dari ujung kepala hingga ujung kaki, sehingga memberinya kesan misterius. Tapi sosok itu tahu, jika memasuki kota; baik kota besar maupun kota kecil seperti Shalte ini ia harus melepas seluruh perlindungan yang ada, termasuk jubah hitamnya ini.

Tapi jika ia melepaskan jubahnya sekarang, ia tidak akan ragu jika akan ada orang yang tahu kalau ia adalah salah satu dari ‘mereka’. Dan ia tidak suka, jika ada orang yang mengenalnya. Hampir semua orang yang nantinya mengetahui kalau ia adalah salah satu dari ‘mereka’ selalu berusaha menghindarinya bagaimanapun caranya. Itu selalu membuat ia frustasi. ‘Mereka’ benar-benar menyebalkan.

Akhirnya ia memutuskan untuk masuk tanpa melepas jubahnya. Biarkan saja; apapun denda yang akan ia dapat, ia tidak peduli. Mereka bisa saja menjatuhkan denda satu Rul, tapi ia tetap tidak akan melepaskan jubah ini.

Setelah berjalan beberapa menit, sosok itu berhenti di depan sebuah pintu masuk. ‘Bar Shalte’, tulisannya terpampang di atas pintu masuk tersebut. Untuk sesaat ia berpikir untuk masuk; tangannya bergerak menggapai pintu bar tersebut, tapi ia paling tidak suka dengan jenis orang-orang yang ada di dalam bar seperti ini. Tangannya kembali turun seraya ia mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam.

Tapi panas yang terasa di tenggorokannya tidak bisa diajak berkompromi. Mau apalagi, tidak ada tempat untuk mendapatkan air selain disini. Shalte merupakan kota kecil, wajar kalau hanya ada satu bar. Akhirnya ia masuk ke dalam bar tersebut. Matanya sigap dalam mencari tempat yang kosong, dan tidak lama setelah ia mencari, ia langsung menemukannya. Tanpa buang waktu, ia segera memesan minuman paling murah yang ada di bar ini. Air mineral.

Ia tidak sedang dalam kesulitan keuangan atau apapun, sebenarnya simpanan uangnya masih cukup banyak. Ia hanya berhemat. Sosok itu menganggukkan kepalanya, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Hanya berhemat dan tidak ada alasan lain seperti tidak kuat minum wine atau bir atau minuman yang biasa ada di bar lainnya.

Setelah menunggu beberapa menit, air mineral yang dipesannya tiba. Dengan cepat ia meminum satu gelas langsung, sudah hampir seharian penuh ia tidak minum apapun karena persediaan minuman yang ia bawa sudah habis.

Sosok itu segera membayar minumannya dan beranjak keluar dari bar itu. Tapi baru beberapa langkah dari tempat duduknya, ia menabrak seseorang.

“Hei? Lihat-lihat kalau jalan!” seseorang yang ditabrak oleh sosok berjubah itu bertubuh besar dan terlihat kekar. Dilihat dari ekspresinya, orang yang ditabrak itu marah. Marah kepadanya karena menabrak dia. Dari tatapan matanya saja sudah jelas terbaca ‘berani sekali kau menabrakku’. Padahal sosok itu tidak sengaja menabraknya.

“Sekarang urusannya akan kacau.” Sosok berjubah itu menghela nafas. Ia lalu kembali berjalan ke arah pintu keluar bar tersebut. “Brengsek! Mau kemana kau?!” terdengar panggilan orang yang baru saja ditabraknya. Saat sosok berjubah itu menengokkan kepalanya ke arah orang itu, dalam sekejap ia menghindar ke arah kanannya.

“Kau bisa juga ya, menghindariku. Tapi tenang saja, tidak ada yang bisa menghindariku; Albrum Stilium, selamanya.”

Setelah selesai memuji dirinya sendiri, orang yang bernama Albrum itu langsung maju kearah sosok berjubah itu sambil melayangkan pukulan dari tangan kekarnya. Sosok itu tidak bergerak sama sekali, membuat sebuah senyum muncul di bibir Albrum. Ia adalah mangsa mudah, pikir Albrum.

Albrum terus maju tanpa keraguan kearah sosok itu, tapi disaat jarak mereka tinggal dua meter, sosok itu tiba-tiba menghilang dari pandangan Albrum. “Kemana ia per–URK”

Albrum tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena sosok bejubah itu muncul dengan tiba-tiba di sebelah kirinya dan melayangkan sebuah pukulan ke arah rusuk kiri dadanya.

“URK!” Albrum meringis kesakitan. Tapi walau begitu, ia tetap bangkit dan kembali mengayunkan tangannya ke arah sosok itu. Sayangnya usahanya tidak berhasil karena sekali lagi, sosok itu menghilang.

Sosok itu muncul kembali dibelakang Albrum, tapi saat ini Albrum tidak menyadari keberadaan sosok berjubah itu dibelakangnya. Sosok itu berhenti sebentar. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ada beberapa pilihan yang bisa ia lakukan, tapi ia lebih memilih untuk menendang bokong orang ini keluar. Kebetulan posisinya pas. Dan dalam sekali tendang, Albrum yang masih tidak sadar akan keberadaan sosok berjubah itu, langsung terlempar keluar bar ini.


...

Keheningan melanda bar tersebut. Seluruh orang yang ada di bar ini tanpa sadar menyaksikan secara langsung bagaimana salah satu orang yang terkuat yang ada di bar itu bisa ditendang keluar dengan mudahnya oleh sesosok orang berjubah hitam yang baru masuk beberapa menit yang lalu.

Keheningan itu terus berlangsung sampai akhirnya dipecahkan oleh suara tepuk tangan seseorang. Sosok berjubah itu mengalihkan perhatiannya pada orang yang sekarang sedang memberinya tepuk tangan. Orang itu tampak memakai baju yang terlihat mewah. Sepertinya orang yang satu ini dari kalangan bangsawan, menyebalkan.

“Hebat, hebat sekali kau bisa mengalahkan Al dengan sekali tendang.”

Tapi sosok berjubah itu tidak membalas perkataan bangsawan tadi. Dari pengalamannya, ia paling malas kalau sudah berhadapan dengan orang yang berstatus bangsawan. Ia pun disini tidak mau mengambil langkah yang salah dengan berbicara, jadi ia memutuskan untuk diam.

“Sepertinya kau sangat kuat, bagaimana kalau kau jadi pengawalku?” tanya bangsawan itu. Tapi sosok berjubah itu masih tetap diam. “Tenang saja, aku tahu bayarannya tidak murah.”

Disinilah mengapa sosok itu paling malas berurusan dengan orang dari kalangan bangsawan. Mereka selalu berpikir kalau mereka dapat membeli semuanya dengan uang, termasuk manusia. Belum lagi melihat gelagat bangsawan yang satu ini, nampaknya orang ini merupakan bangsawan korup. Sosok itu tidak terkejut. Bangsawan yang memiliki ketidakberuntungan untuk bertemu dengannya semuanya termasuk bangsawan yang korup.

“Hei-hei, jawablah pertanyaaanku,” bangsawan itu maju dan berusaha menggapai jubah sosok itu. Tanpa buang waktu bangsawan itu menarik jubah sosok itu.

SREEK

Terdengar bunyi kain robek. Dari balik jubah itu muncullah sesosok wanita. Bentuk tubuhnya yang sempurna, wajahnya yang sangat cantik, ditambah lagi ia cuma mengenakan tank-top hitam dan hotpants dengan sepatu boots yang tingginya sepaha. Semua orang di bar tesebut tidak bisa melepaskan pandangan mereka dari wanita itu.

Mata wanita itu tertutup, ia tidak mau melihat wajah bangsawan korup itu. Lagipula kalau ia membuka matanya...

“Ihihihihi, aku tidak pernah menyangka, sungguh tubuh yang indah. Seperti kataku, bayarannya tidak akan murah kok. 100 Rul,” orang itu mengayun-ayunkan sebuah kantung berisi uang yang sepertinya isinya 100 Rul.

“Tidak,” sosok berjubah yang ternyata seorang wanita itu menjawab masih sambil menutup matanya. Ia sudah bisa memikirkan apa yang akan dilakukan oleh orang itu jikalau ia menyetujui tawarannya. Tanpa sadar bulu kuduk wanita itu berdiri.

“5 Ril.”

Seluruh orang di bar tersebut terkejut. Bagaimana tidak, dengan 3 Ril saja kau sudah bisa membeli sebuah rumah besar di kota besar seperti Shalke, apalagi 5 Ril. Tapi orang-orang di bar itu lebih kaget ketika wanita itu mengatakan “Tidak.”

Tapi bangsawan itu belum menyerah, ia tetap bersikeras menawar harga wanita itu, “15 Ril. Titik. Tidak ada penawaran lagi, bagaimana?”

Wanita itu menarik nafasnya, lalu berteriak, “Sudah kubilang tidak mungkin aku dibeli dengan uang!” wanita itu membuka matanya yang tertutup. Biarkan saja kalau orang mengenalnya, persetan dengan mereka, ia tidak peduli lagi. Bangsawan brengsek itu benar-benar membuat emosinya naik.

Dengan sekejap seluruh orang-orang di bar itu menjadi semakin kaget. Satu pikiran muncul di kepala mereka semua, tapi tidak ada satu orangpun yang berani mengatakan apa yang ada di pikiran mereka.

“A-a-apa y-yang d-dilak-kukan oleh seorang V-v-va-varaviel di sini?!” akhirnya bangsawan itu mengutarakan apa yang ada di pikiran semua pengunjung bar saat itu. Benar, apa yang dilakukan oleh seorang Varaviel disini?

Sayangnya wanita yang dipanggil Varaviel itu tidak memperhatikan wajah orang-orang lainnya disana. Mata merahnya hanya terfokus pada satu orang, bangsawan yang dari tadi berusaha untuk membelinya dengan uang. Padahal kalau wanita itu melihat wajah pengunjung bar yang lain, ia akan dapat melihat wajah pucat penuh ketakutan dengan mulut mereka yang sedikit terbuka. Bahkan beberapa dari mereka ada yang langsung berusaha pergi dari bar itu.

Tentu saja wanita itu tidak membiarkan orang lain keluar. Ia bukan sadis, tapi ia tahu kalau ia membiarkan satu orang saja berhasil keluar, maka rencananya untuk mengintimidasi seluruh orang di bar ini bisa gagal.

“K-k-kau tidak akan memangsaku k-kan... ?” bangsawan itu mulai merasa ketakutan. Secara insting ia mundur beberapa langkah. Ia tahu kalau sebentar lagi ia akan meninggalkan kehidupan mewahnya. Kalau saja ia tidak berlagak sok, maka hal ini tidak akan terjadi.

Wanita itu terus menatap bangsawan tadi. Beberapa pilihan muncul di kepalanya. Yang pertama muncul di kepalanya adalah ‘akting jahat’, wajar, karena ini adalah pilihan yang paling sering ia gunakan dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Yang kedua adalah ‘taktik mundur’ alias kabur. Pilihan ini jarang ia gunakan dalam keadaan tidak menguntungkan karena ia punya harga diri. Lagipula kalau ia gunakan sekarang, orang-orang disinipun sudah terlanjur melihat mata merahnya. Yang ketiga... kali ini tidak terpikirkan pilihan selain kedua pilihan tadi.

Dalam waktu kurang dari satu detik, ia memutuskan pilihan mana yang akan ia gunakan. Sudah jelas kan, ia adalah anggota klan Varaviel. Ia punya harga diri.

“Tentu saja.”

Hanya dengan dua kata itu, seisi bar langsung dalam keadaan kacau. Orang-orang berlarian mencoba untuk keluar dari tempat ini. Suara gelas pecah dapat terdengar dimana-mana. Sementara bangsawan tadi tetap diam di tempat; tidak dapat bergerak.

“Kebetulan tadi aku cuma memesan minuman, aku masih lapar,” wanita itu melanjutkan jawabannya, kali ini sambil memperlihatkan senyum jahatnya.

“HIIIIEEE!!! Menyingkir dari sini!!!” teriak bangsawan itu. “Cuprum! Argum! Bantu aku mengusir makhluk ini! Lexium! Kau pun tidak mau kan kalau bar milikmu ini dipenuhi mayat?!” bangsawan itu mencoba memanggil dua pengawalnya. Mendengar ucapan bangsawan itu, mayoritas pengunjung bar ini pun langsung berteriak ‘Ya benar!’ dan ‘Pergi dari sini’.

“Satu melawan banyak, siapa yang kau pikir akan menang?” sekarang bangsawan itu sudah mulai mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Terdengar dari nada bicaranya.

Wanita itu menundukkan kepalanya, sehingga matanya tidak dapat terlihat. Lalu wanita itu mulai mengeluarkan suara tawa yang terdengar sangat jahat. Suara tawanya ini berhasil membuat semua orang dalam bar itu memikirkan kembali aksi mereka dalam melawan seseorang dari klan Varaviel. Apa keputusan mereka itu benar? Apa makhluk itu akan pergi? Bagaimana jika ia melawan?

“Biasanya aku bukanlah orang yang suka melepaskan mangsa yang sudah kudapatkan. Tapi aku bukan orang bodoh. Seberapa besarpun harga diriku, yang banyaklah...”

Lalu tanpa salam atau apapun, wanita itu langsung keluar bar tersebut.

Beberapa detik terlewati dengan keheningan. Setelah lebih dari satu menit wanita itu tidak kembali, semua orang dalam bar tersebut mengeluarkan nafas yang selama ini mereka tahan tanpa sadar. Satu pikiran yang sama terlintas dalam kepala mereka.

Kita selamat.


Part VII

Setelah keluar dari bar tersebut, wanita itu terus berjalan meninggalkan kota kecil yang bernama Shalte itu. Setelah beberapa ratus meter dari kota itu, ia berhenti. Ia lalu menutup matanya selama beberapa detik, dan menghela nafas.

“Aku lelah memainkan peran jahat.”

Wanita itu lalu membuka matanya kembali. Iris matanya yang tadinya berwarna merah berubah warna menjadi violet.

“Bangsawan bodoh, merobek jubah favoritku, aku jadi harus membeli jubah baru. Belum lagi uangku sisa tinggal sedikit. Benar-benar sial,” ucap wanita itu. Wanita itu lalu berjalan hingga memasuki daerah hutan. Setelah masuk cukup jauh ke hutan, wanita itu berhenti lagi.

“Bau ini...” wanita itu lalu mengendus-endus udara yang ada di sekitarnya. “Tidak salah lagi,” ia segera berlari kearah dimana bau tersebut sangat kuat tercium. Setelah beberapa menit berlari dan mengendus, akhirnya ia sampai pada tempat tujuannya. Tempat dimana ia mencium bau sangat kuat dari minuman favoritnya.

“Darah...” wanita itu tersenyum. Setelah ia perhatikan, darah itu berasal dari sebuah mayat pria yang mengenakan pakaian aneh. Senyum wanita itu semakin lebar. Ada sebuah mayat dari orang dewasa, dan ia bisa menikmatinya sepenuhnya.

Wanita itu lalu maju mendekati tubuh pria itu, dan mulai memegang kepala pria itu. Ia memiringkan kepalanya. Ia lalu membuka mulutnya, memperlihatkan gigi taringnya yang tajam pada tubuh pria itu. Tentu saja tubuh itu tidak merespon apapun.

Tanpa buang waktu, ia menggigit leher pria itu dan mulai menghisap darahnya.

“Sllrrrp slrrp, Nggh~”

Seperti biasanya, darah memang terasa sangat nikmat.

Setelah puas meminum darah mayat itu, wanita itu mengusap bibirnya, lalu memandangi dengan cermat bagian tubuh pria itu.

“Kaki... tidak, kakinya terlalu kecil. Tidak ada banyak daging disana. Tapi betisnya...” wanita itu menjilat bibirnya membayangkan tebalnya daging di kaki mayat itu. “Bagaimana dengan tangan... tidak. Tangannya juga kecil. Sial, ketika aku menemukan mayat, mengapa dagingya sedikit?”

Perlahan-lahan, ia melepaskan pakaian aneh yang mayat itu kenakan dari tubuhnya. Ia tidak ingin pakaian yang dikenakan oleh mayat itu menjadi penghalang baginya. Setelah berhasil melepas pakaian mayat itu, matanya tidak bisa terlepas dari lengan atas mayat itu.

“Aku lupa, bagian lengan atas selalu yang terbaik. Pakaian mayat ini menutupinya sih.”

Wanita itu segera mendekati lengan mayat tersebut, mengangkatnya, lalu menggigitnya.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAUUUUUUUUUUUUUWWWWWWWWWWWWWW!!!!!!”

Secara reflex wanita itu melepaskan gigitannya dan melompat mundur.

A-a-apa yang baru saja terjadi? Suara teriakan apa tadi?

Saat ia memusatkan perhatiannya pada mayat yang ada di depannya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Karena apa yang ia lihat, sangatlah menyakitkan untuk dilihat.

Mayat... tidak, kalau masih hidup, maka namanya bukan mayat. Pria itu terbaring di tanah, mengeluarkan suara kesakitan yang tidak karuan. Lengannya berusaha bergerak, namun hanya dapat terangkat sedikit.

“Aaaaaaaa....”

Hanya itu yang dapat keluar dari mulut pria itu sebelum badannya terkulai lemas dan pria itu kehilangan kesadarannya.

“Apa...” apa yang baru saja terjadi? Perhatiannya kembali pada tubuh yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lalu ia menyadari sesuatu yang sangat penting.

Pria itu masih hidup...

Pria itu masih hidup!

“A-a-apa yang harus kulakukan sekarang?! Aku telah melanggar aturan klan Varaviel!” Matanya kembali memperhatikan tubuh pria itu.

Dadanya terluka, sepertinya karena dicakar hewan. Ditambah dengan luka tusuk di perutnya, seharusnya sudah tidak mungkin ia hidup. Tapi tidak mungkin pandangannya membohonginya. Pria itu jelas-jelas masih hidup.

Setelah memikirkannya selama beberapa saat, wanita itu membuat keputusan. Sebuah keputusan yang mungkin akan ia sesali selamanya. Namun aturan tetaplah aturan, dan ia telah melanggarnya. Sebagai seorang dewasa yang memiliki rasa tanggung jawab, sudah seharusnya wanita itu menanggung konsekuensi atas aksinya sendiri.

Dengan pikiran itu di kepalanya, ia memungut pakaian aneh yang dikenakan oleh pria itu lalu mengangkut tubuhnya dan membawanya pergi ke tempat peristirahatannya.