Hero Syndrome:Volume00 Short02
Sang Wadah
Di sini aku berada, di atas awan duduk bersila menghadap ke bawah, menyaksikan ratusan ribu manusia dan iblis yang dikumpulkan Satan dan dipimpin oleh Lucifer.
Di atas Padang Megiddo ini kami, para malaikat, menunggu penuangan cawan kemurkaan keenam. Tanda bagi Michael untuk memimpin kami turun.
Gugup adalah perasaan yang kurasa saat ini, satu pertempuran besar sebelum pertempuran apokaliptik terakhir. Aku berada di laksa terdepan, laksa yang dianggap terbaik dan dipimpin sendiri oleh sang penghulu malaikat Michael.
Masih ada waktu bertahun-tahun dalam dimensi manusia sampai akhirnya cawan itu tertuang. Kami sedang mempersiapkan segalanya, bagi kami dan itu berarti tinggal beberapa jam lagi.
“Gugup? Aku juga,” seorang malaikat menegurku.
“Maaf?”
“Aku yang harusnya minta maaf, seharusnya aku tidak memulai percakapan seperti tadi. Aku Gabriel!” malaikat itu menyapaku memberikan tangannya untuk berjabat tangan, bahasa tubuh manusia untuk perkenalan.
“Elkan” aku menyambut tangannya, “Gabriel, pengantar pesan tertinggi itu?”
“Hanya nama yang sama, bukan malaikatnya!” dia tertawa bangga.
“Benar. Di antara jutaan malaikat pasti ada yang bernama sama,” Aku tersenyum menyadari faktanya. Gabriel lalu melihat ke seluruh tubuhku dengan seksama, “Apa ceritamu, Elkan?”
“Cerita apa?”
“Kau mantan nephilim, kan? Terlihat dari sayapmu yang hanya sepasang dan sedikit gelap!” dia mendasarkan pengamatanya dari bentuk sayapku, “Mantan nephilim yang bisa masuk ke laksa terdepan bisa dihitung dengan jari. Jadi kau pasti punya cerita khusus saat masih di bawah sana.”
“Aku menunda gelombang kiamat kelima. Kau ingat Desember 2012?” jawabku.
Dia menunggu lanjutan ceritaku, tapi aku tak tahu apa yang harus kutambahkan.
“Hanya itu? Detailnya, dong, detailnya!”
“Ini bukan cerita yang pendek”
“Dan kita menunggu si pembawa cawan yang masih belum jelas kapan datangnya. Jadi, hiburlah aku!”
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum.
Jadi kumulai semua dari awal, seingatku waktu itu adalah bulan Juni, bukan Desember. Aku menundanya sebelum satu dari pembawa kiamat itu mematangkan aksi mereka.
Domisiliku di Jakarta, dan markas nephilim di Jakarta adalah ‘Horn 2 Halo’. Kafe yang bernuansa hitam putih itu menjadi tempat dimana semua peranakan malaikat-manusia berkumpul walaupun tidak semuanya nephal yang baik.
Kadang aku bingung, ada saja malaikat berkorban menjadi iblis hanya karena mencintai wanita manusia. Aku sendiri adalah hasil dari kesalahan ayahku, iblis yang kini mungkin sedang menungguku di bawah sana.
“Aku tahu, aku tahu apa itu nephilim. Ceritakan hal yang hanya engkau yang tahu!”
“Baiklah akan kucoba mengurangi ‘detail’ yang tadi sempat kau minta!”
Aku melihat selintas ke dalam kafe tersebut. Di satu pojok terdapat kursi kosong, tempat yang sangat tepat untuk mengawasi nephilim lain yang berada di kafe ini. Ini adalah awal dari pekerjaanku sehari-hari.
Untuk menjadi malaikat, aku harus berbuat baik. Masalahnya definisi ‘baik’ bagiku bukanlah menuntun manusia agar menyerahkan diri pada Bapa.
Definisiku adalah menghabisi para nephal pembimbing para penjahat, lalu mempertobatkan semua domba sesatnya. Setidaknya itu lebih mudah dilakukan, daripada mengawasi manusia tanpa harus melanggar prinsip ‘keinginan bebas’.
Terdapat beberapa manusia di kafe itu, semua adalah manusia yang diundang oleh pembimbingnya. Mereka dibawa hanya untuk dipertunjukkan kepada nephilim lain, bahwa mereka berhasil membimbing orang menjadi bunda Theresa selanjutnya, atau mungkin Hitler selanjutnya. Kau kenal mereka, kan? Siapa yang tidak?
Aku sedang memperhatikan satu nephal yang seluruh tubuhnya mengeluarkan hawa dosa yang sangat kental. Yang mampu memiliki hawa itu biasanya adalah nephal yang menjadi nabi palsu atau telah memiliki ribuan manusia sesat sebagai bimbingan. Bagiku dia hanya pelancar jalanku untuk menjadi malaikat.
Dia sedang duduk di barisan bar tempat para tamu biasa makan makanan ringan dan minum kilat di sana. Dia membawa satu manusia biasa yang mungkin sedang dibimbingnya. Aku membaca gerakan bibir mereka untuk mengetahui bahwa si nephal sedang mengajarkan bagaimana melakukan kejahatan korporat yang sangat bersih.
Waktu yang kutunggu tiba, mereka menaruh uang pembayaran dan meminta pelayan untuk membawakan tagihan. Segera kutinggalkan mejaku dan berjalan menuju kasir, perhitungan langsung di sana akan memberiku waktu lebih untuk mulai membuntuti target.
“Empat puluh enam ribu rupiah, Elkan,” Kasir di kafe itu adalah salah satu temanku. Gadis itu memanggil nama malaikatku secara langsung, padahal saat itu aku masih tidak menyukai nama itu.
Aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Dia terbiasa memanggil nama nephalku, nama yang diberikan oleh iblis yang menjadi ayahku, dan aku tidak menyukainya apapun tentang iblis itu. Aku menghentakkan uang itu ke mejanya dan ia hanya bereaksi dengan senyum canggung.
“Panggil aku Ronal!” seruku
Aku berjalan menjauhi kafe dan memanggil taksi. sebelum mereka keluar aku sudah di dalam taksi dan menyuruhnya mundur cukup jauh agar tidak tampak mencurigakan, salah satu trik wajib waktu membuntuti seseorang saat di bumi.
Nephal itu keluar dari kafe bersama manusianya dan menaiki mobil yang masih beroda pada jaman itu. Aku mengucapkan sebuah kata yang ditunggu oleh sopir taksi sedunia, “Ikuti mobil itu!” sebuah kalimat yang paling sering keluar di acara-acara TV.
Aku membuntuti kendaraan mereka sepanjang jalanan Jakarta. Ia harus mengantar manusia bimbingannya pulang sebelum ia akhirnya pulang ke rumahnya sendiri. Dengan mudahnya aku Aku meloncati pagarnya dengan sekali loncatan, dan membuka pintu rumahnya hanya dengan menunjuk.
Kau tahu kan tentang kelebihan-kelebihan kami daripada manusia? Gerak tubuh yang melebihi manusia, dan telekinesis sederhana. Kami juga fasih berbahasa roh dan juga Ibrani dan masih ada banyak kemampuan lainnya.
Saat aku masuk, dia sedang duduk di sofanya yang menghadap ke arah pintu, dia sudah menungguku. Dia menenggak lagi anggurnya sampai habis, berdiri dan memberikan beberapa percakapan pembuka yang hanya akan membuatmu bosan mendengar cerita ini.
Intinya sejak awal dia sudah merasa diikuti, dan dia juga mengenal siapa diriku berkat reputasiku sebagai sejenis ‘pemburu’ di kalangan nephilim.
Sebagai nephilim, bilah malaikat maupun bilah iblis kami masih berbentuk belati. Dia sudah mengeluarkan bilah iblisnya dari dimensi malaikat. Sial, aku terlambat beberapa detik, namun aku masih sempat mengeluarkan bilah milikku untuk menangkis serangannya.
Pertarungan waktu itu tidak pantas untuk aku bahas, aku sudah biasa mengalahkan beberapa nephilim yang mampu mengendalikan familiar dan yang satu ini bahkan tidak memilikinya. Gerakannya jelas menunjukkan bahwa ia tidak berpengalaman dalam pertarungan ini.
Pertarungan kuakhiri dengan tusukan ke perutnya sembari menahan tangan yang membuatnya hampir menebasku.
Sebagai nephilim, jiwa kami akan musnah begitu tertebas oleh bilah malaikat ataupun iblis, tidak seperti saat ini. Dari semua lubang di wajahnya ia mengeluarkan cahaya hitam. Pertunjukan kejam tentang pembakaran jiwa. Aku menatap ke arah mayatnya. Bagiku ia hanya seorang di antara sekian banyak nephal yang telah kubunuh.
Sekarang saatnya untuk hadiah tambahanku. Proses menjijikkan yang harus dilakukan ini yang membuatku terkadang selalu berpikir dua kali. Aku mendekati mayatnya, menusuk mayatnya, dan menuliskan huruf ibrani “domba-domba” dengan darahnya di lantai. Tulisan itu adalah ritual agar aku bisa melihat semua manusia yang dituntun oleh Nephal ini.
Aku menekankan telapak tanganku ke tulisan itu. Seluruh korbannya dan dosa mereka terlintas di pikiranku, melihat bagaimana mudahnya seorang manusia dapat digoda melakukan tujuh dosa keji. Setiap korban terlintas di dalam pikiranku. Semuanya kusimpan dalam ingatanku. Namun ada satu korbannya yang membuatku menelan ludah karena ngeri.
Korban itu… Seorang wanita karir dengan nama Karina Rahman Nastia. Dalam penglihatanku, si Nephal telah memberinya tuntunan teratur untuk melakukan ketujuh dosa keji satu per satu. Tidak biasanya seorang nephal memberikan kerja ekstra hanya untuk satu orang…
“Wanita itu satu dari dua belas wadah pembawa kiamat?” Gabriel memotongku, meminta kejelasan identitas si wanita.
“Kau benar.”
“Wadah dari siapa, Abadon, Penunggang putih, atau Lucifer sendiri?”
“Memangnya si Lucy mau wadahnya seorang wanita?” aku memberikan lelucon ringan, “ikuti saja dulu ceritaku”
Kuputar lagi kilasan-kilasan ingatan wanita itu, jauh sampai waktu kelahirannya. Dia lahir tepat di atas kapal laut perairan lepas internasional. Kurasa kau sudah tahu wadah siapa kan?
Jangan menggeleng, kuberikan petunjuk lagi. Gabungkan ini: setiap angka pada namanya, Asal-usul tempat dia lahir, dan ketetapan bahwa ia harus melakukan tujuh dosa sepenuhnya. Yah wadah pembawa kiamat yang melambangkan menyatunya dunia.
Waktu itu, aku masih setengah menyadarinya, kuperiksa lagi kilasan-kilasan itu untuk memastikan bahwa dia memang salah satu wadah. Aku memutar lagi kilasan-kilasan kehidupan sang wanita, terus sampai saat wanita itu dan si nephal melakukan dosa nafsu. Dia memilikinya, sebuah tanda lahir di dada sebelah kiri, tepat di atas jantungnya—tanda lahir yang bentuknya berkaitan dengan pemujaan iblis terkait.
“Dan tepat setelah itu, aku menyadari pertempuran apa yang akan kuhadapi ke depannya.”
“Tampaknya ceritanya mulai seru, ya?” Gabriel menaikkan semangatnya sendiri. Tanpa terasa ternyata bukan hanya Gabriel saja yang mendengarkan ceritaku, Beberapa malaikat: pengantar pesan, para kuasa, bahkan beberapa penghulu juga duduk mendengarkan.
“Seharusnya, sih, namun sebagai nephal yang belum abadi akan sangat riskan bagiku untuk segera menerjang sang wadah secara langsung. Aku harus memiliki cara untuk melemahkannya beserta iblis yang bersarang di dalam tubuhnya.”
Jadi kumulai misi keduaku dengan mendaftarkan diriku ke perusahaan si wanita karir.
“Ronal Hermadi, pengacara!” dengan pekerjaan bumiku dan kemampuan sugesti ringan seorang nephal, memasuki kehidupan karir si wanita merupakan perkara gampang. Begitu juga untuk memperoleh materi untuk bertahan hidup di bumi yang bernama uang.
Kehidupan wanita itu benar-benar sangat kejam. Dengan kecantikan dan kepintaran yang sudah sepantasnya yang dimiliki seorang wadah iblis, dia memang dapat dijuluki ‘si penggoda’. Bahkan dalam tiga hari pengamatanku dia mampu mempromosikan dirinya dan tanpa pikir panjang menghabisi saingannya. Belum lagi dengan segala kehidupan hedonis yang dijalaninya. melakukan tujuh dosa keji sudah seperti makanan ringan untuknya. Entah mengapa kurasa tidak ada yang namanya nurani dalam dirinya.
Setalah mengetahui dimana rumah wanita itu, jam berapa dia pulang, dan apa saja yang dia lakukan sehari-hari, aku siap. Kini yang kuperlukan adalah alat-alat yang ditinggalkan malaikat pengajarku dalam hari-hari pertamaku sebagai nephal.
Buku mantra Ibrani kuno adalah salah satu barang paling penting yang diberikan oleh para pengajar. Di sanalah terdapat cara bagaimana mendoakan air sehingga menjadi air suci, memberkati makanan, dan juga mengusir arwah iblis yang merasuki seseorang.
Tiga hal ini adalah amunisiku untuk penyerangan yang sesungguhnya. Pada siang hari kudekati dia dan kutraktir dia dengan makan-makanan yang diberkati. Sugesti ringan membuatnya menerima ajakanku. Bagi seorang wadah, makan makanan yang terberkati kurasa sama seperti memakan makanan basi dan membuat seluruh tubuh terasa tidak sehat.
Lalu, saat malam tiba, aku menunggu sampai wanita itu memarkir mobilnya di dalam rumah. Aku sudah menunggu di dalam garasinya. Saat garasi terangkat, dia melihatku dan terkejut. Namun dia lebih terkejut saat aku mengucapkan kalimat pertama dari mantra pengusiran.
"בשם אלוהים," dalam nama Yesus. Dia terhenyak di tempat. Insting iblis dalam dirinya mulai beraksi. Dia berlari meninggalkanku menuju ke jalanan di depan rumanhya.
Akibat gerimis tadi, ia tidak mencurigai genangan air di depan rumahnya sama sekali, padahal semua genangan itu dipenuhi air suci yang kubuat. Begitu dia menapakan kakinya ke dalam genangan, dia terjatuh. Pasti karena sengatan listrik yang dirasakan oleh iblis di dalam tubuhnya.
Seluruh tubuhnya sudah mulai mengeluarkan asap. Aku semakin berteriak membacakan lantunan pengusir iblis dari buku Yahudi itu. Terus sampai kuteriakkan dengan lantang kalimat terakhirnya. Waktu melambat seakan terhenti, tanda yang sudah lazim saat terjadi persimpangan antara dimensi malaikat dengan dimensi manusia. Sang iblis keluar dari dalam tubuh sang wadah. Kalian bisa melihat iblis itu dari sini, sedang menunggu di bawah. Bila perlu, biar kulantunkan lagi kalimat dari penyingkapan Rasul Yohanes.
Kemudian aku melihat seekor binatang muncul dari dalam laut. Ia mempunyai sepuluh tanduk dan tujuh kepala. Pada setiap tanduknya terdapat sebuah mahkota dan di setiap kepalanya tertulis sebuah nama penghinaan terhadap Allah. Wahyu 13:1
Seperti yang kalian lihat, itu memang bentuk harafiah dari Leviathan. Walaupun saat itu aku kaget bahwa dia tidak sebesar yang kuperkirakan. Lebih seperti jerapah dengan tujuh leher.
“Apakah kau tidak takut?” tanya salah seorang pendengarku.
“Kuhabiskan empat hari dan lima malam untuk merasa takut, aku tidak boleh merasakan takut saat pertarungan!”
Sebenarnya aku harusnya takut, kesepuluh tanduk miliknya adalah bilah iblis pribadinya, dan tidak seperti sekarang dimana bilah iblisku sudah berubah menjadi bentuk yang kuinginkan—sarung tangan—saat masih menjadi nephal, aku hanya bisa mengandalkan belati sepanjang satu setengah kaki.
“Menyerahlah, Paman, wadahmu sudah ketahuan. Kalaupun aku gagal disini, malaikat sesungguhnya akan langsung menghentikanmu!” kataku. Aku sedikit berbohong waktu itu, sesunguhnya aku lupa memberikan laporan kepada pengajarku tentang hal ini.
Serentetan ancaman ia lontarkan kepadaku, tentang bagaimana ia telah membunuh ratusan nephilim dan juga malaikat yang berniat menunda kiamat sebelum aku, tapi tetap selalu ada yang menghentikan satu dari dua belas pembawa kiamat itu setiap kiamat mendekat, menunda penanggalan kiamat. Hanya kali ini loterenya menunjuk kepadaku.
“Yah aku sendiri pernah mengistirahatkan wadah Lucy suatu waktu!”
Bagus. Kini salah satu pendengarku adalah komandanku sendiri, Michael.
“Lalu bagaimana kau bisa bertahan hidup?” tanyanya.
“Ceritaku belum selesai. Mau kulanjutkan?”
Dia tersenyum, sadar bahwa ia telah memotong ceritaku
Setengah persen, itulah perhitunganku kemungkinan aku bisa menusukkan belati ini ke keenam lehernya, karena seperti yang telah tertulis, leher terendahnya adalah leher yang kebal meski dilukai dengan cara apapun.
Aku pernah bertarung dengan iblis-iblis lain dan mereka semua masih berbentuk seperti rupa Bapa. Satu kepala, dua lengan, dan dua kaki. Dengan wujud seperti itu, gerakan mereka masih mampu kuperkirakan, memudahkanku untuk menghindarinya.
Sayangnya inilah rupa para penggagas, Malaikat yang dibuang. Aku bertarung sekuat tenaga, beberapa seranganku masuk dan menggores tubuhnya. Yang paling penting dari seluruh perhitunganku adalah aku tidak boleh salah hitung.
Sialnya, beberapa detik setelahnya aku sudah terlentang di atas tanah. Ada satu kepala di setiap lengan dan kakiku, menggigit dan menahan gerakanku. Sepasang tanduk menekanku di leher. Aku sampai merasakan panasnya tanduk itu meresap sampai ke jiwaku.
“Serangan ini untuk membalaskan dendam anakku!” kalimat itu membuatku sadar bahwa nephal yang membimbing wadah adalah anak dari Leviathan sendiri. Saat itu aku baru tahu bahwa ada iblis memperdulikan anaknya, dan beberapa detik setelahnya aku mengenal lagi satu iblis yang peduli juga.
“Maaf, Kak, tapi dia anakku!”
Sebuah tombak dengan dua bilah meluncur dari langit menancapkan dirinya ke salah satu kepala Leviathan, satu-satunya kepala yang tidak bisa dibunuh seperti yang tertulis di kitab suci, otomatis memaku tubuh makhluk itu ke tanah. Leviathan menggelepar di tanah dan melepaskan cengkramannya atas diriku. Keabadian seratus duapuluh tahun para nephal membuat luka-luka gigitannya segera pulih begitu dia melepaskan diriku.
Dia terus menggelepar kesakitan. Kesempatan dari bantuan tak terduga ini harus kugunakan untuk melancarkan serangan terakhir.
Bilah malaikat yang tadi terbuang karena hantaman sang Leviathan kembali kukeluarkan dari dimensi malaikat hanya dengan membayangkan tanganku menggenggamnya. Aku langsung menerjang maju menuju Leviathan yang masih terbaring dengan posisi aneh.
Aku menerjang sembari mengerahkan tekad agar tak tertusuk tanduk, aku menghindari semua hantaman kepalanya dan meyerang.
Tusukan itu mendarat di tempat yang kuinginkan, pangkal ketujuh leher itu. Seluruh tubuh Leviathan meledak ke dalam, terhisap kembali ke dimensinya ditutup dengan letupan kecil perpisahan. Aku telah mengistirahatkannya.
“Ayahmu yang menolongmu?” Tanya Gabriel.
“Ya. Salah satu iblis yang menunggu dibawah sanalah yang membuatku berada di sini!”
“Lalu kalau dia menyayangimu, mengapa dia tidak mengajarkanmu untuk menjadi Iblis? Kau mendapat pengajaran dari malaikat pengajar, bukan kan? Bukankah itu berarti kau ditinggal oleh orangtuamu?”
Definisi sayang bagimu berbeda, Gabriel.
Aku juga menanyakan hal yang sama. Jawabannya muncul di surat yang ia tinggalkan tepat di tempat tombak berbilah dua itu tertancap—bilah iblis milik ayahku. Di surat itu, dia menyatakan kalau ia menelantarkanku agar ada malaikat yang mengajarku, bukan dia sebagai iblis.
Kini yang tersisa adalah membereskan segala yang tersisa. Aku segera mengantarkan wanita tadi ke atas tempat tidur di kamarnya. membiarkan dia menganggap yang baru terjadi hanyalah mimpi semata. Aku membisikkan doa pertobatan di telinganya. Kini setelah Leviathan keluar, hatinya telah diisi dengan nurani dalam bahasa kita, roh kudus.
Itu memudahkan wanita itu untuk menerima bisikan sugesti ringan tentang pertobatan dan cara berdoa yang benar.
Setelah ajakan bertobat itu selesai, aku melihat matanya yang mulai meneteskan air mata. Dan aku melakukan hal yang kulakukan setiap satu klienku bertobat. Tersenyum.
Pembawa cawan ke enam melintas dari barat sesaat setelah ceritaku selesai.
“Ya, kau memang pantas berada di laksa terdepan di bawah pimpinanku, karena aku tahu kau masih punya cerita lain dalam seratus duapuluh tahun pengabdianmu!” Michael tersenyum. Ia telah membaca referensiku dan pasti tahu banyak hal lain selain cerita ini.
Semuanya mengeluarkan suara kecewa, seiring terdengar tumpahnya murka Allah dari cawan keenam.
“Gabriel, akan kulanjutkan setelah kita memenangkan peperangan tidak berguna ini!”
“Kok tidak berguna?” tanyanya
“Karena sesuai Kitab, kita pasti menang”
Aku membetulkan sarung tanganku dan sepatu berbilahku. Di perang ini aku memiliki tujuan; mengucapkan terima kasih kepada salah satu Iblis di bawah sana yang menggunakan tombak berbilah dua sekaligus mengistirahatkan jiwanya.
Back to Codename: Thanatos | Return to Main Page | Forward to Pembela Orakel |