Fate/Nusantara:Volume00 Fate6

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

“Kalian, berhenti berkelahi!” kata seorang polisi datar melalui megaphone. Wajahnya terlihat malas. Beberapa rekannya juga hanya berdiri di sampingnya tanpa punya niatan untuk melakukan aksi melerai.

Para petugas keamanan itu sebenarnya juga sudah meminta masyarakat untuk menjauh dari alun-alun. Namun orang-orang malah bereaksi keras dan mengumpat.

“Jangan ganggu, dasar polisi korup!”

“Biarkan kami menonton hiburan!” Polisi-polisi itu hanya bisa menerima semua hinaan begitu saja, lalu ikut berkerumun menyaksikan pertarungan antara dua gadis dari masa lampau : Saber dan Caster.

Sementara yang menonton lebih dekat dari yang lain adalah Pumkin. Melihat keadaan di sekitar, mendadak ia merasa bersyukur. Tak salah lagi, kutukan yang memancar dari dirinyalah yang menggerakkan orang-orang menjadi pasif. Karena kalau tidak, kekacauan pasti sudah merebak.

“Caster,” bisiknya melalui telepati. “Sebaiknya kita selesaikan ini secepat mungkin!”

“Itu juga yang kuinginkan, tapi ia sangat tangguh!”

Berkali-kali hantaman palu Caster ditangkis perisai Salawaku, yang dibalas ayunan parang tanpa ampun dari Saber. Saling serang yang intens, hingga mereka lupa total akan Lancer yang sosoknya menghilang beberapa waktu lalu.

Part 2

Dengan nafas tak beraturan, dengan langkah yang digerakkan oleh suatu energi asing, Lancer mendekati alun-alun. Tubuhnya yang berlumuran darah membuat orang-orang menyingkir. Tapi meskk beberapa ada yang menawarkan pertolongan, pendekar itu tak menghiraukan. Begitu melewati gerbang, ia langsung menggenggam tombaknya tinggi di depan dada.

Kemudian serpihan memori yang berasal dari empat abad lalu mengalir dalam benaknya. Kala itu Lancer – yang masih dikenal sebagai Hadiwijaya – baru saja dipecat dari ketentaraan Demak. Namun ia tak kehabisan akal. Menggunakan kesaktiannya, ia melepas kerbau gila untuk mengamuk di pesanggrahan raja. Tak ada yang bisa menghentikan monster itu, kecuali dirinya sendiri, sang tuan. Maka setelah berhasil tampil sebagai pahlawan, sang sultan pun mengangkatnya kembali ke dalam satuan ketentaraan.

Sungguh, masa muda yang menggelikan. Hingga kini ia sama sekali tak mampu merasa bangga atas perbuatannya tersebut, juga tak ingin lagi mengulang hal yang sama. Namun dorongan Cawan Suci telah menginjak-injak harga dirinya sedemikian rupa. Meski tak mau, aliran prananya terus mengalir ke arah Tombak Sadak Kinang.

“Wahai kerbau gila, mengamuklah saat kupanggil namamu,” bisiknya bergetar.

Tombak dalam genggamannya serta merta memancarkan cahaya hijau zamrud. Benda itu pun bergetar diiringi suara-suara lenguhan kasar. Karena memang, sang kerbau gila sebenarnya adalah perwujudan dari pusaka itu sendiri.

Kemudian Lancer memutar pegangannya lalu mengambil ancang-ancang. Ia menarik lengannya jauh-jauh, baru kemudian melempar tombaknya sekuat tenaga.

“Kebo Danu!”

Tombak Sadak Kinang meluncur bak misil ke arah dua pelayan yang baru menyadari kehadirannya. Tapi di udara bentuknya berubah, bertransformasi menjadi sesosok kerbau raksasa dengan sepasang tanduk besar yang lebih keras dari baja. Spontan Saber dan Caster menghindar, namun hantaman sang monster masih terasa. Bahkan permukaan konblok yang dilangkahi monster itu langsung remuk seketika.

“Kebo Danu!” teriak Lancer seraya mengacungkan jari telunjuk. “Mengamuklah dan habisi Caster!”

Monster itu melenguh lalu mengerem lajunya. Sayang, tubuhnya yang sebesar truk terlalu berat hingga ia terlanjur menghantam kerumunan orang yang menonton. Baru pada saat itulah, seakan mantra terlepas. Mereka yang tertimpa berteriak kesakitan, dan orang-orang di sekitarnya terbelalak lebar.

“Monster!!!”

Akhirnya, kekacauan terjadi juga. Namun target Kebo Danu hanya satu. Sekali lagi monster itu melaju kencang ke arah Caster. Sementara di sisi lain Saber terdiam tak mengerti.

Part 3

“Caster, kita harus mundur!” seru Pumkin. “Kembalilah ke bentuk roh!”

“Kalau kulakukan itu, kau pasti akan menjadi sasaran mereka!” jawab sang pelayan yang baru saja berhasil menghindari serudukan. Ia menggunakan kesempatan untuk menghantam lutut kaki belakang Kebo Danu, namun nyaris tak berpengaruh apa-apa. Pumkin mengerutkan kening, lalu melempar pandangan pada Lancer. Ia tak habis pikir mengapa pendekar itu memilih untuk menargetkan Caster. Apa tuannya sudah melakukan perjanjian dengan tuan dari Saber?

“Semuanya, aku mohon hentikan aku!”

Tiba-tiba Pumkin terperanjat. Seseorang baru saja berbicara ke dalam pikirannya. Bukan Caster, tapi suara seorang pemuda yang putus asa.

“Lancer?”

“Apa arti semua ini?!” kali ini suara wanita namun bukan Caster. “Mengapa kau hanya menyerang Caster?”

Pumkin mengangguk-angguk mengerti. Jadi Saber pun tidak tahu mengapa Lancer berbuat demikian.

“Saber, tuanmu benar-benar seorang rubah licik. Ia membuatku memakan jiwa keturunanku sendiri!”

“Tidak mungkin...”

“Aku tidak berbohong. Dan sekarang lebih baik aku mati, ketimbang menjadi bonekanya!”

Pumkin termenung menyimak percakapan itu. Siapa pun tahu, kelicikan adalah hal biasa dalam sebuah peperangan. Namun ia juga tahu, jika ia tidak menyukai orang licik.

“Hentikan kerbaumu!” seru Pumkin.

“Tidak bisa,” jawab Lancer sambil menatapnya nanar dari kejauhan. “Cawan Suci telah mengambil alih tubuhku.”

Entah bagaimana cara memenuhi keinginan pendekar itu apabila kerbaunya terus menyerang Caster. Gadis itu baru saja menggunakan Ajian Srengenge untuk membuat keris dengan api berkobar, tapi percuma. Berbeda dengan binatang liar pada umumnya, monster itu tidak takut api.

“Tuan,” kata Caster di sela-sela pertarungan. “Kelihatannya aku harus menggunakan itu.”

Itu, adalah Noble Phantasm terkuat milik Caster. Untuk memakainya diperlukan asupan prana besar, sehingga mungkin hanya bisa digunakan satu atau dua kali selama Perang Cawan Suci berlangsung. Karenanya, bijakkah menggunakan itu sekarang, hanya untuk menghadapi seekor kerbau gila?

Namun, sang gadis penempa mungkin akan mati tanpa sempat berbuat apa-apa jika tak menggunakan jurus andalannya.

“Baik,” ujar Pumkin seraya bersiap mengalirkan prana. “Lakukanlah.”

Caster mengangguk, lalu memasang berdiri elegan dengan dua tangan memegang palu di depan dada. Ia memejamkan kedua mata meski di depannya Kebo Danu tengah menerjang ganas. Aura merah membara memancar dari sekujur tubuhnya. Bibr tipisnya bergerak-gerak membaca mantra.

“Akulah Mpu Gandring,” bisiknya. “Sang penempa keris para raja!”

Kemerahan segera meliput ketika Kebo Danu mengangkat kedua kaki depannya yang berkuku baja. Namun, hanya beberapa saat sebelum tubrukan terjadi, seluruh tubuh Kebo Danu berubah kaku. Kerbau raksasa itu terbelalak lebar lalu menggeser pupil matanya ke arah lain.

“Tahan dulu,” bisik Pumkin seraya melempar pandangan ke arah yang dituju Kebo Danu. Dan alangkah terkejutnya ia menyaksikan sang pendekar pemilik kerbau berdiri kaku, dengan sebilah parang menembus dadanya.

“Saber?” pemuda itu menggumam. “Kenapa kau lakukan itu?”

“Aku sudah tidak tahan,” jawabnya dingin, “menyaksikan segala kepengecutan ini.”

Lancer tampak menahan sakit, namun sunggingan senyum terbentuk di bibirnya. “Terima kasih.”

Saber hanya mengangguk dengan tatapan tajam.

“Tapi,” Lancer menggenggam bilah parang yang menembus dadanya, lalu berusaha melepas. “Cepat pergi... Kebo Danu akan...”

Kini kerbau raksasa itu berlari ganas ke arah Saber. Tidak peduli perintah absolut apa pun yang diberikan, ia tetap akan menerjang siapa pun yang melukai tuannya.

“Jangan!”

Namun sang kerbau sudah menyerang dengan seluruh prana yang ia miliki. Ia menghujamkan tanduknya dari atas ke bawah hingga menghantam Saber seperti palu. Efeknya dahsyat, membuat keretakan permukaan konblok dengan radius tidak kurang dari lima meter. Orang-orang sampai mengira ada bom yang baru saja diledakkan di tempat itu. Tapi kemudian tubuh besar Kerbau Danu terurai membentuk partikel-partikel hijau yang kembali mewujud sebilah tombak di sisi tubuh Lancer yang terbaring lemah.

“Saber,” bisik pendekar itu. “Terima kasih.”

Tak jauh di sebelahnya, sesosok wanita berusaha bangkit. Pakaiannya agak terkoyak di bahu kiri, namun tak nampak luka serius. Perisai Salawaku telah menyelamatkannya di saat terakhir.

“Hanya ini yang bisa kulakukan,” katanya dingin.

“Lalu bagaimana dengan tuanmu?”

“Ia harus belajar satu atau dua hal.”

Lancer tersenyum, lalu perlahan tubuhnya terurai menjadi kristal-kristal cahaya hijau. Sang legenda mengalami kematian untuk yang kedua kali. Meski kebencian masih bercokol di dada, namun setidaknya ia bisa merasa lega sekarang. Dan lagi di penghujut hayatnya ia berpikir, bagaimana jika ini memang sudah ditakdirkan?

Apa boleh buat.

Setidaknya ia telah mendapat kesempatan untuk memberi keceriaan pada Melati, meski hanya sesaat.

Kemudian tubuh sang pendekar menghilang seutuhnya. Orang-orang di sekitar terlihat takjub, karena sebelumnya mengira ada yang terbunuh, tapi kemudian tidak ada apa-apa.

“Hei!” teriak Caster. “Sekarang bagaimana?”

Saber menoleh. Caster dan tuannya terlihat resah, sementara keadaan makin kacau.

“Ada terlalu banyak orang di sini,” katanya tenang. “Aku juga punya urusan lain. Kurasa kita akan berhadapan lagi lain waktu.”

Pumkin langsung merasa lega mendengarnya. “Baik.”

Saber pun berdematerialisasi ke dalam wujud roh, begitu juga Caster. Sementara itu Pumkin menghela nafas lelah, lalu berjalan cepat menyusuri keramaian. Ia ingin segera pergi dari sana.

Namun mereka yang semula menonton dengan pasif kini mulai bersikap agresif. Beberapa mencoba menghentikan pemuda itu dengan kasar.

“Hei, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan tadi?! Mana temanmu?”

“Mereka gila! Mereka saling bunuh!”

“Polisi, gantung orang ini!”

Terpaksa Pumkin menggunakan kemampuan hipnotisnya untuk menangkal orang-orang yang mengerumuni. Sesekali ia juga menciptakan ledakan asap untuk menyingkirkan pengganggu sekaligus menghilang dari keramaian. Ia terus berkelit, hingga akhirnya sampai di tempat parkiran motor. Tanpa menunggu lagi ia lekas memacu sang kuda besi. Caster pun kembali mematerialisasi dirinya di atas boncengan.

“Koran pagi besok pasti akan heboh,” gumam Pumkin. Sejujurnya, ia tak memperkirakan hal seperti ini akan terjadi.

“Ya,” kata Caster. “Tapi ada apa dengan orang-orang itu? Apa di saat terakhir kutukanmu terangkat?”

“Aku akan sangat bersyukur jika begitu, tapi tidak.” Pemuda itu menggeleng. “Yang kau lihat tadi adalah kutukan tahap dua.”

“Tahap dua?”

“Setelah kehilangan semangat, orang yang terus berada bersamaku akan mulai hilang kewarasan, lalu mulai agresif. Hingga akhirnya menggila,” jelas Pumkin dengan nada yang suram.

Diam-diam, sedikit rasa penasaran muncul. Walau sebaiknya tak terjadi, tapi Caster ingin tahu apa yang terjadi jika Pumkin tetap tinggal di alun-alun. Tapi lamunannya segera pecah. “Eh, awas!”

Pumkin nyaris saja menabrak tiang di tikungan.

“Ada apa tuanku?” tanya Caster keheranan. Aneh sekali jika seorang pengendara motor berpengalaman mengalami kecelakaan tunggal bersama tiang listrik.

“Tidak apa, aku hanya masih merinding,” ujar Pumkin dari balik helm. Suaranya agak bergetar, tapi Caster yakin jika pemuda itu mengatakannya sambil tersenyum. “Aku masih merinding memikirkan pertarungan yang baru saja kita lalui.”

Caster mengangguk. “Itulah perang.”

“Aku masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada Lancer, tapi berkat itu kita selamat.”

“Benar.”

“Berikutnya kita harus lebih hati-hati.”

Tak ada emosi lain bagi Caster yang cocok untuk situasi ini selain ‘senang’. Ia baru saja menyaksikan kualitas tuannya dalam pertempuran. Berbakat, tapi masih belum terasah. Apabila pemuda itu berjanji untuk lebih hati-hati, maka itu adalah suatu peningkatan yang bagus.

“Tapi sekarang aku mengantuk.”

“Ya, istirahatlah. Fajar akan tiba sesaat lagi.”

Part 4

Keith terduduk di atas karung beras sambil membenamkan wajah dalam kedua telapak tangan. Merpati dari padepokan baru saja menyampaikan kabar terbaru padanya yang masih berdiam dalam gudang bersama Archer.

“Baru satu malam, tapi dua nyawa sudah melayang. Ini... Ini tidak bisa dibiarkan.”

“Maaf, tapi hanya satu nyawa yang melayang,” ralat Archer yang duduk di hadapan Keith dengan tangan terlipat di depan dada. “Sejak awal roh pahlawan itu sudah mati, kau ingat?”

“Tapi tetap saja, ini mengerikan. Semua sudah terlambat. Aku tak bisa menghentikan perang ini.”

“Memang tidak bisa,” Archer menghela nafas lelah. “Seperti pesawat yang terbang di udara, ia tak bisa dihentikan atau akan jatuh. Tapi – “

Sebuah penekanan pada kata terakhir membuat Keith mengangkat wajahnya.

“Ini bisa menjadi perang yang mengakhiri perang-perang yang akan terjadi di masa depan.”

“Apa maksudmu?”

“Jika kau memenangkan perang ini, kau bisa meminta kedamaian pada Cawan Suci.”

“Mengakhiri perang dengan perang,” Keith menggigit bibirnya sendiri. “Bukan itu yang kuinginkan! Apa artinya membangun kedamaian di atas pertumpahan darah?!”

“Tapi bukan itu yang musuh-musuhmu pikirkan! Mereka akan tetap membunuhmu meski kau meminta damai.” Keith tersentak, lalu melempar pandangannya ke samping, tak berani menatap Archer.

“Kau boleh saja memiliki idealisme,” kata sang pelayan melanjutkan, “tapi kau juga harus melihat kenyataan. Kita berperang bukan karena kita mau, atau karena kita haus darah. Kita berperang karena itu adalah satu-satunya jalan terakhir. Jika pilihannya adalah satu perang terakhir dan perang yang berkelanjutan, mana yang kau pilih?” Keith mengerutkan kening. Jawaban dari pertanyaan itu sudah jelas, namun pemuda berambut perak itu enggan untuk mengatakannya.

“Mana. Yang. Kau. Pilih?”

Keith mengeratkan geliginya sambil menghisap udara sebelum menjawab. “Satu perang terakhir.”

“Kalau begitu ayo,” tiba-tiba Archer bangkit. Kemudian panglima udara dari masa silam itu berjalan gagah menuju pintu gudang. Ia menggeser palang kayunya, lalu menjeblak pintu terbuka. Hangatnya cahaya mentari pun segera menelusup masuk, mengusir kepenatan yang sudah terakumulasi semalaman. “Kita songsong hari ini dan juga perang yang akan datang.”

“Tapi,” Keith berlari kecil menyusul pria itu. “Apa yang harus kita lakukan?”

“Pertama, kita kirim deklarasi perang,” kata Archer lalu tersenyum. “Sesuai peraturan perang internasional.”