Fate/Nusantara:Volume00 Fate5

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Pertempuran antar pelayan sudah dimulai, namun tidak semuanya ikut ambil bagian – dengan berbagai alasan. Iksa, masih terjebak bersama Berserker yang sibuk memuaskan nafsu birahi. Sedang Keith, sudah mengikat sang penyihir pucat, namun masih ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan.

Hanya Assassin. Sosok gimbal berjas lusuh itu sedang mengamati pertunjukkan dari dalam bayangan. Bukan sebuah kiasan, karena memang bagian tubuhnya dari dada ke bawah – semua terbenam dalam kubangan hitam di atap podium.

“Tuan,” bisiknya. “Saber, Lancer, dan Caster, mereka di sini.”

Perlu beberapa lama hingga datang jawaban.

“Aku tidak peduli. Lakukan sesukamu.”

Assassin tak bereaksi dan terus mengamati. Sepertinya sang tuan masih tak bisa menerima perbuatannya. Tapi apa boleh buat. Sesekali pengorbanan memang diperlukan.

Part 2

“Tuanku?” Caster tidak melepas pandangan dari kedua pelayan di seberang sana. “Apa langkah kita selanjutnya?”

“Tentu saja maju!” seru Pumkin penuh keyakinan. “Kelihatannya Lancer sudah kepayahan. Ini kesempatan kita.”

Perintahnya sudah jelas. Caster segera menggunakan Ajining Pusaka untuk yang kesekian kali. Dua keris Artjana pun tercipta, lalu dilesatkan menggunakan kutukan sang mpu.

Bagi orang awam pertunjukkan masih berlangsung, bahkan terus naik ke tingkat yang lebih hebat. Namun ada sedikit keganjilan. Tak ada lagi penonton yang berdecak riuh. Mereka hanya berdiri diam, mengamati dengan wajah yang nyaris tanpa ketertarikan. Bahkan saat Saber kembali mementahkan amukan keris Artjana sekali pun, tidak ada yang bereaksi.

“Caster, kenapa kerismu tidak mempan padanya?!” Pumkin menatap Saber keheranan. Gadis itu kini berlari mendekat, meninggalkan Lancer yang masih disibukkan oleh kutukan keris Artjana.

“Tidak salah lagi, perisai itu,” Caster memicingkan mata, lalu melangkah maju dengan palu tergenggam erat, “dapat menetralisir serangan sihir.”

Menetralisir serangan sihir? Pumkin baru tahu ada Noble Phantasm yang seperti demikian.

Noble Phantasm, ialah senjata atau kemampuan yang dimiliki para roh pahlawan, terbentuk dari imajinasi manusia sebagai intinya. Noble Phantasm, ialah perwujudan dari simbolisasi keberadaan roh pahlawan itu sendiri. Kemampuan Mpu Gandring menempa keris yang melegenda – Ajining Pusaka – adalah salah satunya.

Sebelumnya Pumkin mengira Noble Phantasm selalu berupa senjata yang berisi kutukan atau kekuatan. Namun setelah melihat Salawaku, ia memutuskan untuk berpikiran lebih terbuka.

“Tuanku, mundurlah!”

Bentrokan pun terjadi, antara Saber yang menyabetkan parang dan Caster yang menahannya menggunakan lintangan palu tempa. Sekilas muncul percikan api akibat benturan tersebut.

“Celakalah kita, Tuanku!” kata Caster melalui telepati. Ia baru saja melangkah mundur untuk membuat jarak, namun Saber lekas memepetnya. Adu senjata pun kembali terjadi.

“Kenapa?”

“Perisai miliknya... Selama ada itu, keris-kerisku tak akan berguna!”

Pumkin mengerutkan kening. Tanpa sadar ia juga semakin menjauhi pertarungan kedua pelayan. Pada saat itulah, datang pihak ketiga.

Lancer, meski sambil terus menepis terjangan Keris Artjana, niatnya untuk menyerang terlihat jelas. Dengan mantap ia mengarahkan tusukan Sadak Kinang tepat ke jantung Caster.

Beruntung, sang gadis penempa mampu menghalau serangan itu meski di saat bersamaan harus berbaku hantam dengan Saber. Namun itu hanyalah keberuntungan. Sejak awal, ia bukanlah tipe petarung jarak dekat yang handal.

“Tuan, mereka berkomplot melawanku!”

Pumkin tak habis pikir. Hanya sesaat yang lalu Saber dan Lancer masih saling tebas, tapi bagaimana bisa sekarang mereka bersatu melawan Caster? Jika keadaan terus begini, habislah sudah. Rencana pemuda itu dan pelayannya malah bisa menjadi bumerang yang berbahaya.

“Caster...” Pemuda itu mengerutkan kening, memperhatikan pelayannya menjadi bulan-bulanan. Lancer, sambil bertahan dari amukan Artjana, terus ngotot untuk menyerang. “Itu dia! Hapus kutukan kerismu!”

“Apa? Tapi – “

“Lancer tak bisa menetralisir kutukan,” jelas Pumkin. “Satu-satunya cara baginya menghentikan Artjana adalah dengan mengalahkanmu.”

Caster merenunginya satu detik sebelum menyetujui. “Baiklah.”

Tiba-tiba keris yang semenjak tadi bergerak bebas di udara jatuh tergeletak di atas tanah. Menyadari hal itu Lancer juga menghentikan gerakannya. Terlihat kelegaan sekilas dalam raut wajah mudanya. Kemudian matanya mengawasi sesaat sebelum mendadak ia lompat menjauh.

Seolah memiliki sensor khusus, Saber juga menghentikan serangan pada Caster. Gadis itu berbalik, lalu menerjang Lancer.

“Biarkan aku pergi!” seru Lancer putus asa seraya mengunci serangan parang menggunakan gagang tombaknya.

“Tidak bisa.”

Sementara Caster yang baru saja terbebas dari kepungan tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung mengayunkan palunya penuh tenaga pada Saber.

Tetapi insting pertarungan sang pahlawan dari tanah Maluku itu sangatlah kuat. Ia menggeser tubuh dan pegangan parangnya bersamaan hingga palu Caster menghantam persilangan senjata mereka.

Parang, tombak, dan palu bertemu di satu titik, membuat kesetimbangan yang memicu decak sayup kekagum orang-orang di sekitar. Sementara pandangan ketiga roh pahlawan terpaksa menangkap waspada satu sama lain, karena kelengahan pasti berakibat fatal.

Part 3

Nafas Melati sudah tersengal-sengal. Namun, gadis itu masih merasa ada kehadiran yang mengikutinya dari belakang. Sampai tiba-tiba sesuatu menyengat betisnya, membuat gadis itu jatuh terjerembab di atas permukaan trotoar.

Sambil meringis kesakitan ia mengintip kaki yang mulai berdenyut-denyut. Seketika itu pun nafasnya tercekat, saat melihat darah mengalir dari daging yang tertancap lidi.

Lalu sesosok gadis terlihat dari arah datangnya serangan. Sekilas wajahnya cantik memesona, tapi sama sekali tak terdapat emosi di sana. Sorot matanya begitu dingin, seakan mampu menumpahkan darah tanpa berkedip.

Melati segera melihat ke kiri kanan. Kemudian ia baru sadar, tak ada siapa pun di sana. Dalam kepanikan gadis itu telah berlari memasuki jalan kecil yang tak tersentuh keramaian malam tahun baru.

Lalu gadis yang melukainya mulai melangkah maju. Refleks Melati mencoba bangkit, tapi betisnya langsung berdenyut pedih. Ia pun kembali terjatuh tanpa daya.

“Jangan – “ Melati mengangkat tangannya yang gemetaran. “Hentikan... Tolong... Jangan...”

“Ah, kita bertemu lagi!”

Tiba-tiba seseorang berseru dari arah berlawanan. Suaranya agak tidak asing. Gadis itu pun menoleh. Mendadak dadanya mencelos lega. Di sebelah sana, datang pemuda yang tanpa sengaja bertabrakan dengannya di stasiun. Meski hanya sebatas itu, setidaknya ia bisa meminta tolong...

Tunggu dulu.

Mengapa pemuda itu bisa ada di sini?

Baru mengertilah Melati. Pemuda gempal di hadapannya, adalah penyihir yang juga turut serta dalam perang ini. Mungkin, Tuan dari pelayan yang menyerangnya beberapa saat lalu.

Bodoh. Mengapa ia tak menyadarinya sejak awal? Meski ya tak ada gunanya juga. Semua itu hanya menunjukkan betapa lemah dirinya sebagai penyihir. Bahkan setelah otaknya berputar memikirkan mantra, mungkin prananya tidak cukup untuk mengaktifkan sirkuit sihir.

“Jangan panik, aku tak bermaksud jahat,” tanpa disangka pemuda gempal itu bicara sangat sopan. “Namaku Atmajaya Candrawangsa, senang bertemu lagi dengannmu.” Dengan senyum cengengesan seperti anak kecil ia mengulurkan tangan. “Tenang, aku tidak menggigit.”

Melati terdiam seribu bahasa. Apa pemuda di depannya ini memang hendak menolongnya? Kalau begitu, musuh yang perlu ia hadapi hanyalah –

“Maafkan Yuri, ia kelewatan,” kata Atmajaya langsung memegang betis Melati tanpa izin. Gadis itu pun berjengit sedikit. “Akan kucoba menutup pendarahannya.”

Pemuda itu mencabut batang lidi perlahan, kemudian menekan bekas lubang menggunakan jempol. Kehangatan mengalir dari sana, mengurai rasa sakit di betis Melati. Proses itu dilakukan dengan sangat telaten hingga tak ada setetes darah pun yang keluar.

Namun selama itu pula Melati dapat melihat segel perintah di punggung tangan Atmajaya. Ada rasa khawatir, yang juga disertai kepercayaan. Setelah berpikir sejenak, gadis itu memutuskan untuk bicara. “Mengapa kakak menolongku?”

“Tidak, aku hanya bertanggung jawab atas kelakuan homonculusku.”

“Tapi... kakak... kakak yang...”

Tiba-tiba tatapan Atmajaya berubah tajam, untuk sesaat, sebelum kembali mengembangkan senyum nakal. “Aku yang memerintahkan dari Saber untuk menyerangmu.” Refleks Melati beringsut menjauh. Ia lekas melanjutkan. “Tapi asal kau tahu, sebenarnya aku tak suka pertumpahan darah. Kalau bisa aku tak ingin menggoreskan luka sedikit pun.”

“Bohong,”entah mengapa suara itu yang keluar. “Kakak melukaiku...”

“Sudah kubilang, homonculus itu yang kelewatan. Lihat, aku mengobatimu kan?” Kemudian pemuda itu menjepit gemas dagu Melati. “Dan kalau aku ingin melukaimu, wajahmu saat ini pasti sudah tak cantik lagi.”

Hawa dingin menjalari sekujur tubuh Melati. Gadis itu ketakutan bukan main. Ia ingin memanggil Lancer, namun khawatir Atmajaya menggorok lehernya di kala ia melakukan itu.

“Makanya,” lanjut sang pemuda. “Kita selesaikan ini baik-baik. Aku punya penawaran menarik untukmu.” Sebuah penawaran. Meski gadis itu tak menjawab, namun matanya berbicara dengan jelas. Ia ingin mendengar apa yang akan ditawarkan.

“Jadi,” kata Atmajaya terkekeh, membaca pikiran Melati. “Aku bisa membuat kakak Lancer mu tersayang tetap berada di sisimu. Tidak hanya sampai perang ini berakhir, tapi mungkin selama-lamanya.”

“Tidak mungkin,” kata Melati, namun ia melanjutkan. “Bagaimana?” Baru setelah itu ia sadar telah masuk ke dalam perangkap. Padahal, yang ia perlu pertanyakan adalah bagaimana pemuda di depannya bisa mengetahui apa yang ia inginkan.

Atmajaya berdecak meremehkan. “Cawan Suci bisa memberikan apa pun, bahkan hidup kedua bagi roh pahlawan. Jika aku menang, aku bisa minta padanya.”

“Tapi apa kakak tidak punya keinginan sendiri?!” sambar Melati.

“Keinginan?” Atmajaya terlihat menahan tawa. “Keinginanku bukan untuk dikabulkan Cawan Suci, atau akan kehilangan esensinya. Yah, intinya seperti itu. Jika kau mau menyerahkan Lancer, aku akan dengan senang hati memberinya kesempatan untuk menemanimu, tuan putri.”

“Menyerahkan?”

Ternyata benar, ada harga yang harus dibayar dari penawaran itu. Dan untuk penawaran ini, sesuatu yang tak bisa Melati relakan.

“Iya, aku ingin Lancer bertarung untukku. Dengan dua roh pahlawan, kemenanganku dapat dipastikan. Dan kau pun bisa mendapat yang kau inginkan.”

“Tidak.”

“Eh?” Atmajaya agak terenyak mendengar jawaban singkat pun penuh ketegasan dari gadis itu.

“Aku akan bertarung untuk kakak, tapi aku tidak bisa menyerahkan Kak Lancer!”

“Begitu?” Atmajaya kembali pada dirinya semula, lalu mulai tertawa-tawa. Awalnya agak tertahan, tapi kelamaan menjadi tawa lepas membahana. “Memangnya bagaimana kau mau mempertahankan Lancer? Dengan pranamu yang hanya setetes itu, kurasa ia bahkan tidak akan sempat melihat fajar.”

Kata-kata pemuda itu kembali mengingatkan Melati akan ketidakberdayaannya, akan dirinya yang tumbang hanya karena satu ritual pemanggilan.

“Lancer mu yang malang juga pasti tidak akan bisa menggunakan Noble Phantasm,” Atmajaya menyunggingkan senyum hina. “Roh pahlawan tanpa Noble Phantasm? Seperti pelari yang tidak punya kaki.”

Terbersit dalam benak Melati. Jangankan hingga fajar menyingsing, Lancer mungkin akan mati terbunuh lebih dulu. “Walau sebenarnya ada cara lain untuk mempertahankan Lancer,” lanjut Atmajaya. “Tapi aku ragu kau suka cara ini.”

“Cara apa?” tanya Melati tanpa basa-basi.

“Ia harus menelan jantung manusia, tempat jiwa bersemayam.”

Melati terbelalak menyaksikan Atmajaya mengatakan hal barusan dengan senyum yang masih saja menempel, seakan pemuda itu menganggap ceritanya adalah hal lucu. Tapi, mungkin jika itu satu-satunya cara...

“Tidak!!!”

Melati tak percaya dengan pikirannya sendiri. Bagaimana ia tega membuat Lancer yang lembut memangsa jiwa manusia?

Aku bodoh, egois, tak berperasaan...

Gadis itu mulai mengutuki dirinya sendiri. Rahangnya terkatup erat hingga bibirnya tergigit. Namun meski darah mengalir, seolah sensor rasa sakitnya sudah kebal.

“Jadi kau pilih yang mana?” Atmajaya membuyarkan pergolakan batin gadis itu dengan satu tepukan di pipi. “Menjadikan Lancer monster kanibal atau membiarkanku menjaganya tetap hidup sebagai pahlawan?”

Pikiran Melati buntu. Berapa kali pun ia mencoba, tak kunjung ia temukan jalan.

Kebahagiaannya bersama Lancer hari ini begitu... sesuatu yang ia harap takkan pernah berakhir. Namun ia terlalu lemah untuk memenangkan Cawan Suci. Tidak, bahkan sebelum memusingkan hal itu, ia harus menemukan bagaimana cara mempertahankan Lancer.

Memaksa Lancer menelan jiwa manusia? Itu terlalu kejam. Tapi jika tak begitu, mungkin perpisahan akan tiba beberapa jam – atau menit lagi.

Maka...

“Baik...” Melati mengagguk. Suaranya serak nyaris tak terdengar.

“Keputusan yang tepat,” sahut Atmajaya penuh kemenangan. Lalu ia berdiri seraya mengulurkan tangan untuk membantu Melati. “Yuri, kemari! Buat kontrak perpindahan segel perintah dengan nona ini!”

Usai berdiri dengan bantuan pemuda itu, Melati menatapnya penuh tanda tanya.

“Aku tidak yakin satu penyihir memiliki kemampuan untuk mengendalikan dua roh pahlawan,” katanya. “Lagipula aku juga ragu apakah pranaku cukup.”

“Tapi,” Melati mengeratkan cengkraman pada Atmajaya. “Berjanjilah.”

“Sumpah,” desis sang pemuda. “Demi nama besar keluargaku, Candrawangsa.”

Melati tak tahu seberapa bisa dipegang janji Atmajaya, namun ia tak punya pilihan. Gadis itu mengangguk lalu melepas cengkramannya. Dan ia baru sadar, ia tak paham bagaimana proses pemindahan segel perintah.

“Dekatkan punggung tangan kalian,” kata Atmajaya singkat.

Kedua gadis pun melaksanakan perintah. Melati dengan punggung tangan bersegel dan Yuri dengan punggung tangannya yang seputih porselen. Lalu Atmajaya meletakkan tangannya sendiri di atas keduanya.

“Cawan Suci. Penyihir ini telah bertarung dengan segenap kemampuan, namun telah mencapai batas.”

Tiba-tiba segel perintah Melati menyala terang. Punggung tangannya pun mulai berdenyut.

“Izinkanlah ia menyerahkan segel pada penyihir ini,” Atmajaya menatap Yuri. “Agar perang sakralmu dapat berlanjut hingga akhir.”

Kini punggung tangan sang homonculus ikut menyala terang.

“Dua penyihir, berikan konfirmasi!”

“I-iya!”

“Itu benar.”

Kemudian punggung tangan Melati seperti tersengat. Tapi setelah itu cahaya memudar, memperlihatkan kulit mulus tanpa ukiran. Di sisi lain Yuri sudah mendapatkan segel perintah Lancer. Proses pemindahan selesai.

“Sekarang kau cuma perlu duduk manis,” ujar Atmajaya menghela nafas.

Tubuh Melati lemas. Rasanya seperti ada bagian tubuh yang diambil paksa darinya. Segel yang sudah melekat selama lima tahun lamanya kini tak ada lagi. Selain itu juga, hubungan Tuan-Pelayan nya dengan Lancer.

“Nah, Yuri, gunakan segel perintahmu untuk memanggil Lancer!”

Sang Homonculus mengangguk, lalu mengangkat tangannya. “Lancer,” ujarnya datar. “Datanglah kemari!”

Segel perintah, biasanya berupa ukiran abstrak yang terdiri dari tiga sayatan. Tiap kali digunakan, satu sayatan akan menghilang. Itulah yang terjadi pada segel milik Yuri sekarang.

Bersama dengan itu cahaya memancar dari permukaan aspal, memunculkan sosok pemuda gagah yang tubuhnya berlumuran darah.

“Kak Lancer!” Melati menjerit tertahan. Langsung saja ia berlari mendekati soso itu tanpa peduli meski kontrak mereka telah berakhir. “Kakak baik-baik saja?!”

Tapi Lancer malah tampak keheranan. Ia mengangguk ringan lalu memandangi Yuri dan Atmajaya satu persatu.

“Mengapa?”

“Lancer, selamat datang!” seru Atmajaya dengan tangan terbuka. “Perkenalkan, mulai sekarang ialah Tuanmu,” lanjutnya seraya menunjuk Yuri.

“Nona,” bisik Lancer pada Melati. “Benarkah itu?”

Gadis itu tak kuasa untuk menjawab. Ia hanya mengangguk ringan setengah hati.

“Kelihatannya Nona mu sudah tak sanggup, lalu menyerahkan estafet untuk menyelesaikan perang ini.” Lancer tak bisa benar-benar membantah, namun ia mendapat firasat buruk dari pernyataan itu.

“Maka dari itu sesuai janji, aku akan memenangkan perang ini untuknya.”

“Apa itu benar?”

“Iya...” jawab Melati. “Kalau ia mungkin bisa...”

“Aku pasti bisa!” sambar Atmajaya.

Lancer masih menatap tajam pemuda itu. Ada kelegaan yang bercampur curiga. Tapi bila itu yang terbaik –

“Walau yah, sepertinya ada sedikit masalah,” lanjut Atmajaya. “Sebagus apa pun, Yuri hanyalah homonculus. Prananya bisa kering sebelum sempat beregenerasi.”

“Tadi kau tidak bilang begitu!”

“Tenang, tenang, aku juga sudah memikirkan solusinya,” lalu pemuda itu melirik pada Yuri. “Lakukan tugasmu.”

Sang homonculus kembali mengangkat punggung tangannya. Ia menatap datar pada Lancer, menebar aura yang tidak mengenakkan. Tetapi tak ada yang tahu maksud gadis itu hingga ia melafalkan mantranya.

“Lancer, dengan segel ini, kuperintahkan kau untuk menelan jiwa gadis itu.”

Baik Melati mau pun pemuda di sampingnya tak bisa berkata-kata. Titah eksekusi yang sangat mengerikan baru saja dijatuhkan.

“Keparat!” Tiba-tiba kemarahan Lancer meledak. Ia hendak menerjang Yuri, namun kedua kakinya kaku. Lalu tubuhnya terdorong menghadap Melati seolah ada energi tak terlihat yang memaksanya. “Keparat! Kalian gila! Hentikan ini!”

Sementara sang gadis masih terpaku. Kedua matanya menyiratkan ketakutan dan teror. Kakak yang ia sayangi, sebentar lagi akan mencabut jiwanya. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Sekali bisa lari, tapi sejauh apa? Dan juga, ke mana?

“HENTIKAN!!!” Lancer berusaha keras melawan, tetapi kuasa segel perintah adalah absolut. Perlahan tangan kirinya meraih bahu Melati erat hingga gadis itu meringis.

“Maaf, tapi sekali dipakai kekuatan segel perintah tak bisa dibatalkan,” jawab Atmajaya enteng.

“Kau...” Lancer menggeram seperti binatang buas. Matanya terus menatap pemuda itu penuh kebencian. “Aku tak akan melepasmu.”

“Hah, ancaman kosong.”

Tiba-tiba sebuah dorongan membuat Lancer mengangkat tombak dengan mata bilah tepat mengarah ke dada kiri Melati.

“Nona...” bisik pemuda itu penuh penyesalan. “Maaf...”

Tapi gadis itu tak menjawab. Ia terlalu takut... dan bingung.

Kemudian Lancer menusuk dada gadis itu, membuat robekan menganga. Sontak Melati menjerit histeris, menyayat hati pemuda itu. Tapi Cawan Suci tak pernah memandang bulu. Dengan berat, Lancer melepas tombak, lalu memasukkan jemarinya menembus dada Melati, meraih jantung yang masih berdetak di dalamnya.

“Nona... maaf...” tak henti-hentinya ia menyebutkan itu, namun sang gadis sudah hilang kewarasan untuk menjawab. Tak ada lagi harapan tersisa di balik linangan air mata Melati. “Maaf... Maaf... Maaf...”

Dan terjadilah, Lancer mencabut jantung gadis malang itu dengan satu tarikan keras. Dalam sekejap aura kehidupan pun terlepas dari Melati, menguap bersama dengan semburan darah segar. Ketika sang pemuda melepas genggamannya, gadis itu langsung jatuh tergeletak.

“Nona...”

Lancer menatap segumpal jantung yang denyutnya makin pudar. Ingin ia melepas benda itu, tapi tangannya terus terangkat, sedang rahangnya membuka lebar. Tak peduli dengan penyesalan yang ia rasakan, Sang Cawan Suci membuat pemuda itu menelan jiwa Melati.

“Tragis,” celetuk Atmajaya. “Dan menjijikkan.” Lancer yang masih berusaha menelan melemparkan tatapan penuh kebenciannya, membuat pemuda itu harus bergerak cepat. “Yuri, perintah terakhir!”

Sang homonculus mengangkat segel perintah bersamaan dengan Lancer yang meraih tombaknya.

“Lancer, dengan segel ini – “

Sang pelayan menerjang sambil memutar Sadak Kinang.

“ – kuperintahkan kau untuk menghabisi Caster – “

Namun langkah Lancer menjadi berat, dan serangannya berhenti tepat sebelum melepas kepala Atmajaya dari badan.

“ – menggunakan seluruh prana yang kau miliki.”

Lancer, penuh kemarahan tapi tak bisa melampiaskannya, melangkah mundur. Perintah absolut telah diberikan dan mau tak mau ia harus melaksanakannya. Namun sekuat apa pun segel perintah, tetap tak akan pernah bisa mengubah hati pemuda itu.

“Ingat... Aku tak akan melepasmu...”

“Ya, kalau kau masih menapakkan kaki di dunia ini setelah pertarungan berikut.”