Fate/Nusantara:Volume00 Fate4

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Pumkin duduk menggunakan dingklik di atas loteng rumahnya. Sambil memegangi payung di tangan kiri, ia meniup-niup wedang jahe panas di tangan kanan. Lalu suara letusan terdengar. Perhatiannya segera teralih pada kembang api yang mulai berkerlap-kerlip di sepanjang langit Padipura.

“Jadi ini yang namanya kembang api,” kata Caster yang sosoknya tak terlihat.

“Ya,” jawab Pumkin usai menyeruput minuman. Kemudian ia meraih sepiring penuh sosis goreng. “Mau?”

“Aku tidak perlu makan.”

“Tapi ini enak.”

Dan memang benar, dari aromanya saja Caster sudah dapat membayangkan kelezatannya. Makanan olahan dari daging sapi yang dibentuk lonjong, sesuatu yang belum dikenal di zamannya dulu.

“Ya sudah kalau tidak mau.”

“Kau – ” kata Caster dengan nada tertahan.

“Apa?” “Memangnya... kau sanggup menghabiskan semua itu, Tuan?”

Tentu saja sanggup, tapi Pumkin mengerti maksud Caster. Pemuda itu pun menghela nafas. “Sepertinya tidak.”

“Apa boleh buat,” perlahan sosok Caster termaterialisasi. Setelah sekian lama akhirnya Pumkin bisa melihat kembali wujud sang gadis mungil dengan balutan busana tradisional. Lalu tanpa berkata lagi gadis itu mengambil sebatang sosis. “Hmm... Nyam-nyam...”

“Hehe, enak kan?” Pumkin menyadari sesuatu. “Ini, pakai payung.”

“Tidak usah, aku sudah biasa.”

Merasa tidak jantan apabila ia mendapat perlindungan sementara gadis di sebelahnya berdiri di bawah siraman gerimis, Pumkin meletakkan payung dan ikut berdiri. Caster tampak keberatan tapi pemuda itu berusaha tetap kalem.

Lalu keduanya fokus mengamati bunga-bunga api yang bertebaran dalam berbagai warna. Letusannya membentuk rentetan yang tak kunjung berhenti. Sesekali kembang api juga diluncurkan dari pekarangan tetangga diikuti tawa dan teriakan riang.

“Tuanku,” Caster memecah keheningan.

“Apa?”

“Aku baru pertama melihat kembang api, tapi Cawan Suci telah memberi pengetahuan mengenai itu sebelumnya,” kata Caster memulai. “Sehingga aku sudah tahu seperti apa wujudnya, dan bagaimana cara orang-orang menikmatinya.”

“Maksudmu?” Perasaan Pumkin jadi tidak enak.

“Kembang api tahun baru biasanya disaksikan bersama-sama, bukan begitu Tuanku?” tanya Caster dengan polosnya. “Tadi pagi kukira Tuan akan menemui beberapa teman.”

Pumkin mendesah gelisah, lalu mengacak-acak rambut pirangnya yang mulai lepek terkena air hujan.

“Perang bisa dimulai kapan saja, jadi aku harus selalu siap.”

“Benar juga,” Caster menganggukkan kepala, lalu meraih sebatang sosis dari piring Tuannya.

“Tapi selain itu – “ Keraguan membuat kalimat Pumkin terputus. Namun Caster sudah terlanjur menoleh ke arahnya. “Selain itu... Kau tahu kenapa orang-orang menonton kembang api bersama?”

“Memang biasanya seperti itu kan?”

Pumkin menggeleng. “Untuk mendapat keceriaan...” Kemudian wajah pemuda itu berubah suram. “Sedangkan di mana pun aku berada, di sana tidak akan pernah ada keceriaan. Jadi apa artinya menonton kembang api bersama, bila ada aku di sana? Aku hanya akan mengacaukan suasana.”

“Dan kadang,” Pumkin nyaris berbisik. “Kehadiranku bisa mebawa bencana mengerikan.”

“Aku tidak mengerti,” celetuk Caster. “Mengapa seperti itu?”

“Kutukan.”

“Siapa yang mengutukmu?” Caster makin tertarik karena kutukan sudah bukan hal asing baginya. Satu hal yang tak terelakkan dari pergelutan dengan keris ialah kutukan.

Namun Pumkin menggeleng, “Semua sudah begini sejak yang bisa kuingat.”

“Tapi aku merasa biasa saja di dekatmu Tuan.”

Pumkin mengerutkan kening. “Entahlah.”

“Tapi aku tidak peduli,” lanjut pemuda itu. “Yang penting, adalah bagaimana mengangkat kutukan ini, melalui Cawan Suci.” “Jadi itu alasanmu,” kata Caster enteng melupakan dirinya yang pagi tadi menolak untuk mendengar motivasi Pumkin.

Sang pemuda yang baru sesaat kemudian menyadari hal itu mendadak tak bisa menahan geli.

“Apa yang lucu?”

Pumkin terdiam. Setelah menimbang sejenak, ia memutuskan untuk tak menyinggung harga diri pelayannya. “Tidak, otakku sedang kacau.”

Keduanya kembali terdiam. Tanpa terasa sepiring sosis sudah disantap habis, dan rentetan kembang api juga telah berakhir. Hanya ada satu atau dua yang masih meletus sesekali. Lalu dari langit yang gelap, seekor merpati datang mengepak-ngepakkan sayap.

Pumkin langsung mengenali makhluk yang terbang langsung ke arahnya. Pemuda itu lekas menangkap sang merpati. Dan benar, ada kertas yang terikat di kakinya.

“Ada berita apa lagi, Tuanku?”

“Sebentar,” kata Pumkin seraya menarik surat lalu melepaskan sang merpati. Dahinya mengerut saat membaca isi surat itu. Kemudian ia menatap Caster dengan wajah tegang namun memaksakan senyum. “Ritual terakhir sudah terlaksana. Perang resmi dimulai!”

“Bagus,” respon Caster. “Apa langkah kita selanjutnya?”

“Ada seorang gadis yang terus berkeliling kota hari ini,” kata Pumkin menjelaskan seraya membereskan sisa makanan, lalu memasukkannya ke dalam rumah. “Dan coba kau tebak, prananya lemah sekali, bahkan aku tak yakin bagaimana ia bisa menyelesaikan ritual pemanggilan.”

“Dari mana kau tahu itu?”

“Familiar. Diam-diam burung pipitku terus mengitari kota.”

Sekilas senyum nampak di bibir Caster. “Yah, aku juga merasakan kehadiran yang sangat lemah dari Lancer.”

“Jadi, merakalah target kita!” seru Pumkin. “Ayo berangkat!”

Part 2

Siapa sangka hari itu menjadi hari yang panjang bagi Melati. Ketika makan bakso di warung terdekat, ia baru menyadari jika penampilan Lancer sangat menarik perhatian. Kesal, gadis itu pun mengajak sang pelayan ke pasar untuk membeli pakaian.

Masalahnya, berbelanja akan menjadi hal rumit apabila ia terlibat. Kecocokan antara baju dan celana adalah nomor satu, dan harga yang pantas ialah keharusan. Lancer yang tak berdaya hanya bisa ikut ke mana gadis itu membawanya.

Setelah entah satu atau dua jam, akhirnya Lancer mendapat pakaian baru : kaos putih polos dengan celana jeans. Rasanya bukan sesuatu yang harus dipikirkan terlalu lama, namun sang pemuda tetap mengucapkan terima kasih setulus hati.

Tapi perjalanan belum berakhir. Di pasar, mereka melihat selebaran yang tertempel di dinding. Mengenai pesta kembang api yang akan diadakan di alun-alun kota. Awalnya Lancer hanya berkata sedikit bahwa ia belum pernah melihat kembang api, akibatnya Melati memaksa untuk menonton bersama.

Maka keduanya memutuskan untuk berkeliling kota hingga malam tiba. Mereka mengunjungi taman, pusat perbelanjaan, bahkan menonton film di bioskop. Dengan senang hati Melati menjadi pemandu, meski sebenarnya Lancer sudah mendapat semua pengetahuan tentang dunia modern dari Cawan Suci.

Usai makan malam mereka menghabiskan waktu di angkringan, bercerita tentang berbagai hal – yang semuanya berkaitan dengan Melati. Mulai dari sekolah, teman-teman, hingga ke pamannya yang selalu membenci di kala gadis itu mempelajari sihir.

Sebelum tengah malam, mereka sudah berdesakkan di alun-alun bersama dengan ratusan orang penduduk kota. Menjelang pergantian tahun mereka menghitung mundur, lalu berseru kegirangan saat keindahan bunga-bunga api menghiasi angkasa.

Lelah karena aktivitas sepanjang hari, Melati akhirnya duduk-duduk di pinggiran trotoar bersama Lancer. Meski begitu wajahnya menunjukkan kepuasan yang luar biasa.

“Apa Nona lelah?” tanya Lancer yang semenjak tadi terus memperhatikan gadis itu.

Melati tapi tak mau mengakuinya. Ia hanya menggeleng sambil membuat senyum lebar.

“Dunia benar-benar sudah berubah ya,” ucap Lancer kemudian. “Begitu damai.”

“Ya.”

“Nona sangat beruntung bisa menjalani hari-hari seperti ini tiap hari.”

Mendadak senyum Melati pudar. Ia tahu, ia tidak akan bisa menjalani hari seperti ini tiap hari, meski ia tidak tahu kenapa. Bioskop, pusat perbelanjaan, angkringan, bahkan pesta kembang api, memang semuanya bisa ia temui setiap hari. Tapi, ada yang kurang. Ada sesuatu yang hanya ada hari ini yang tidak akan ia miliki di hari-hari selanjutnya.

“Kak Lancer,” gumam gadis itu.

“Ya?”

“Em... Tidak ada...”

Melati menggeleng, lalu memperhatikan sang pelayan yang memandang kagum pada kerlap-kerlip lampu jalan. Entah mengapa muncul rasa rindu, bahkan sebelum mereka berpisah. Rasa yang terakhir kali ia rasakan bersama sang ibun. Dalam hati kecilnya pun timbul sebuah harapan – andaikan mereka bisa bersama selamanya.

Melati ingin tinggal bersama Lancer. Ia sudah muak mendapat perlakuan asing dari sang paman. Ia ingin bisa mempelajari sihir sesuka hati, karena itulah satu-satunya penghubung antara ia dan sang ibu. Ia juga ingin ada orang yang terkagum ketika ia mempraktekkan sihir, bukannya malah menghardik penuh rasa jijik.

Ya... Mungkin, itulah asalan Melati untuk...

“Nona, awas!”

Melati tidak sempat berpikir. Tiba-tiba Lancer meraih bahunya, lalu menekan gadis itu hingga sangat merunduk. Sesaat kemudian terdengar suara dentingan yang menggema.

“Kak, ada apa...” pelan-pelan gadis itu menoleh, mendapati bahwa nyawanya bisa saja melayang beberapa detik lalu.

Seorang pelayan berpakaian tempur tradisional Maluku, lengkap dengan perisai Sawalaku, mengacungkan sebuah parang mematikan. Beruntung Lancer mampu bertindak cepat, menahan serangan itu menggunakan batang tombaknya yang legendaris – Sadak Kinang. Penampilannya pun sudah berubah, kembali dengan setelan jubah gamis. Meski tak terlihat, tapi aura kedua pelayan saling bertekanan membuat nafas Melati menjadi sesak.

“Kau...”

“Benar kata Tuanku,” kata sang gadis pelayan – Saber – dingin. “Kalian bahkan tidak menyadari ada lawan mendekat. Penyihir kelas rendah.”

“Diam!” Lancer menghentak keras, mendorong Saber menjauh. Kemudian ia mengacungkan ujung tombaknya, melindungi Melati di balik punggung. “Aku baru tahu jika Saber yang berjiwa ksatria bisa juga menikam dari belakang.”

Tampak raut tidak senang di wajah Saber. “Diam!” Gadis itu juga mengacungkan parangnya pada Lancer. “Perintah Tuanku jelas, menghabisi gadis itu.”

“Tidak selama aku masih bernafas.”

Ketegangan meningkat, tapi untungnya suasana perayaan tahun baru masih melekat di sekitar. Bentrokan kedua pelayan segera menjadi pusat perhatian orang-orang yang melintas, namun mereka menganggap itu bagian dari pertunjukkan. Kerumunan pun tercipta dengan sendirinya.

“Ada terlalu banyak orang di sini,” kata Lancer.

“Aku tahu,” Saber mendesis. “Karena itu biar kuselesaikan ini dengan cepat.”

Lancer menajamkan fokusnya. Ia tak percaya jika sosok di hadapannya memang Saber. “Apa ini perintah Tuanmu?”

Saber tak lekas menjawab.

Mengapa, pada akhirnya mereka akan mati juga.

Saber pun menghela nafas. “Tidak usah banyak bicara.”

Tiba-tiba gadis itu melakukan tolakan keras. Tubuhnya melesat tepat ke arah Lancer dengan parang siap di tangan. Memang, tidak ada gunanya terlalu banyak bicara. Lancer menusukkan tombaknya untuk menghalau, tapi segera ditepis perisai Sawalaku. Parang Saber yang tak terhentikan pun terus terayun ke arah pinggang pemuda itu.

TRANK

Lancer memutar gagang tombaknya tepat waktu, mementalkan serangan parang sebelum mengenai dirinya. Memanfaatkan keseimbangan Saber yang goyah, ia segera melanjutkan dengan ayunan tombak. Dan berhasil, gadis di hadapannya terlambat menghindar hingga sayatan mengenai bahu.

Namun Lancer tak mengejar Saber yang bergerak menjauh. Ia tak mau mengambil resiko – membiarkan Melati seorang diri tanpa pertahanan. Karena ia tak melihat Tuan dari Saber di mana pun, dan ia yakin orang itu pasti akan melakukan sesuatu.

“Nona,” bisik Lancer. “Apa kau bisa mendeteksi keberadaan penyihir lain?”

Tidak ada jawaban.

“Nona?!”

“Ah, ya! Kak Lancer!” jawab Melati panik seolah tak mendengarkan. “Ada apa?”

Lancer menarik nafas dalam-dalam. “Apa Nona bisa mendeteksi keberadaan penyihir lain?”

“Uh... Akan kucoba...”

“Baik, aku mengandalkan Nona,” lalu ia kembali pada posisi bertarungnya, tidak melepaskan pandangan dari Saber barang sedikit pun.

Part 3

“Ada yang menemukan target kita lebih dulu,” kata Pumkin dari balik helm. Namun ia sama sekali tak mengurangi laju sang kuda besi. “Pertarungan sudah dimulai.”

“Ah, kita terlambat!” seru Caster yang duduk canggung di boncengan. Ia memegang pinggang Tuannya erat-erat.

“Tapi, justru kita bisa menepuk dua lalat sekaligus!”

Bagian alun-alun masih saja ramai meski pesta kembang api sudah usai beberapa jam lalu. Setelah terseok menghindari kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang, Pumkin menghentikan motornya di area parkir. Caster nyaris terjatuh saat ia melakukan rem mendadak.

“Ayo!”

“Tunggu Tuanku, kau masih memakai helm!”

“Ini sengaja, agar identitasku tak mudah diketahui,” jawab Pumkin sekenanya, meski entah apakah memang itu tujuannya atau ia hanya lupa.

Pemuda itu lekas mengedarkan pandangan, lalu menemukan keramaian di seberang alun-alun. Terdapat kerumunan orang di sana, sedang menonton sesuatu yang tak lain adalah pertarungan.

“Caster,” ujarnya sambil memicingkan mata. “Apa kau sanggup mengalahkan kedua pelayan sekaligus?”

“Tentu saja. Tapi bukankah lebih mudah jika kuincar gadis itu? Tanpanya Lancer akan kehabisan prana.”

“Uh,” Pumkin berpikir sejenak, raut wajahnya sama sekali tak terlihat di balik helm. “Kurasa mengalahkan Lancer saja sudah cukup.”

Caster menatap pemuda itu, namun tak berniat mengutarakan apa pun.

“Baiklah,” gadis itu segera mematerialisasi palu besar di tangan kanannya. Saat ia mengangkat benda itu tinggi-tinggi, muncul dua lingkaran sihir biru di udara. “Ajining Pusaka!”

Secara bergantian dipukulnya kedua lingkaran. Bahkan setelah melihat untuk kedua kali, Pumkin masih saja takjub ketika menyaksikan serpihan biru itu menyatu membentuk keris. Caster menjepit bilah keduanya pada sela-sela jari.

“Keris Artjana,” bisik Caster pada kedua keris yang segera menyala merah. “Kejarlah musuh-musuhku hingga dunia akhirat : Saber dan Lancer.”

Caster melempar ringan hingga kedua benda itu berputar di udara. Namun setelah mencapai titik tertinggi, keris-keris itu langsung melesat cepat. Secara magis menghindari orang-orang dan kerumunan, menerjang tepat ke arah targetnya.

Insting kedua petarung segera memperingatkan datangnya bahaya. Tanpa persetujuan mereka melakukan gencatan senjata, lalu menoleh ke arah dua bilah berliku yang terbang dikendalikan sihir. Lancer lekas menepisnya, sementara Saber menangkis menggunakan perisai. Tapi aneh, keris yang dipentalkan Lancer masih berputar di udara, kemudian kembali menyerang – tidak seperti keris lainnya yang langsung tergeletak begitu saja ketika menyentuh perisai Saber.

Lancer kembali menangkis dengan geligi tererat. Ia tahu keris itu mengandung kutukan, dan pasti dilepaskan dari tempat yang tidak jauh. Namun dengan keadaan ini, ia benar-benar terdesak.

“Nona!” serunya. “Pergilah ke tempat aman... Pergilah ke padepokan!”

“Tapi aku belum selesai mendeteksi – “

“Tidak apa, pergilah!”

Tiba-tiba Saber melancarkan serangan pada saat bersamaan dengan datangnya putaran Keris Artjana. Lancer pun melintangkan tombak meski tahu tak mungkin bisa menghindar total dari serangan itu. Dua sayatan ringan pun terbenam di tubuhnya.

“Nona!” teriak Lancer dengan getaran frustasi, membuat Melati terpaku. Ia terus menghalau tiap serangan mati-matian. “Nona harus bertahan hidup!”

“Tapi kak – “

“Nona bisa memanggilku dengan segel perintah! Sekarang pergilah!”

“Ba-baik.”

Diawali dengan langkah ragu, Melati menerobos kerumunan yang mengitari. Ia masih tak benar-benar yakin akan pergi ke mana, tapi juga tak bisa diam saja membiarkan Lancer. Lalu ia memeluk erat segel perintah yang terukir di tangannya, berharap untuk segera menggunakan benda itu.

Sedang Lancer – yang harus memberi Melati celah – kini melancarkan serangan tanpa ampun pada Saber. Sesekali ia melakukannya sambil menghindar putaran Artjana, tapi ia paham tak bisa seperti itu terus-terusan.

“Ada pengecut yang mengganggu pertarungan kita.”

Saber tahu tanpa perlu diberitakan. Ia juga bukannya hanya diam tak peduli semenjak tadi. Ia hanya sedang menunggu perintah yang akhirnya datang juga.

“Tak apa-apa, lanjutkan saja. Kalau bisa tarik si pengganggu ke dalam pertarungan,” bisik telepati sang Tuan – Atmajaya – dari kejauhan. “Gadis itu biar aku yang urus. Hehehe. Awas, jangan biarkan Lancer pergi!”

Akhirnya, akhirnya. Saber menghela nafas singkat, lalu melangkah maju. Bukan untuk menyerang Lancer, melainkan menghalangi datangnya putaran Keris Artjuna. Dengan perisai Sawalaku ia menepis benda keramat yang secara ajaib langsung tergeletak begitu saja seakan kehilangan kekuatan.

“Perang Cawan Suci seharusnya seperti ini, roh pahlawan berhadapan dengan roh pahlawan,” kemudian Saber mengacungkan parangnya ke arah kerumunan. Secara tak sadar orang-orang yang berada di jalur acungannya bergerak menghindar karena merasakan aura mengerikan. Hingga di sebelah sana, terlihat sosok sang pengendali keris, si gadis berpalu. “Majulah!”

Lancer tahu jika faksi ketiga tidak mengincar Melati. Buktinya, keris Artjana malah diarahkan padanya, bukan pada sang Nona. Sehingga ia bisa sedikit tenang, meski juga muncul kegelisahan untuk pergi dari sana, untuk membiarkan dua roh pahlawan itu saja yang saling bertarung.

Tapi sepertinya Saber tak akan membiarkan hal itu terjadi. Pertarungan yang sebenarnya baru saja akan dimulai.