Fate/Nusantara:Volume00 Fate0

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Seorang pria jatuh terpelanting di tempat sunyi nan gelap. Lekas ia berguling, lalu menajamkan pendengaran. Tapi tak ada tanda-tanda pergerakan, selain bunyi tiupan angin. Maka ia meraih batu, lalu melemparkannya setelah diisi sedikit prana. Masih, tak tercipta reaksi sama sekali dari sekitar.

Tapi pria itu tetap waspada. Ia terus berkonsentrasi hingga matanya mampu beradaptasi. Barulah ia menyadari langit malam yang membentang di atasnya. Sementara di dekatnya terhampar reruntuhan puing-puing batu. Sangat tua, namun pastilah merupakan sesuatu yang megah ketika masih berdiri utuh.

Lalu di antara semua puing, ada sebuah punden yang amat menarik perhatian pria itu. Bentuknya mirip meja batu, dengan beberapa baris kalimat Pallawa terukir di permukaan. Spontan ia membacanya agak bergumam. “Mujhē wāpasa bulā lō, jō mērē lēkhana kō paṛha sakatā.”(Panggil aku kembali, wahai engkau yang bisa membaca tulisanku).

Pria itu berhenti sejenak, mencoba mengartikan maksud kalimat tersebut. Namun pikirannya tak bisa menemukan jawaban, hingga ia memutuskan untuk terus membaca. Tapi ternyata kalimat berikutnya ditulis menggunakan bahasa yang lebih modern – Arab Melayu.

“Sakabek bak siriah sarumpun bak sarai.” (Seikat bak sirih serumpun bak serai; persatuan kokoh dalam satu kelompok).

Tiba-tiba sebentuk mahkota termaterialisasi di atas meja batu. Penasaran, pria itu menjulurkan tangan untuk mengambilnya. Namun begitu jemarinya menyentuh tahta berlian dari mahkota, mendadak benda itu memancarkan cahaya jingga yang luar biasa terang.

Secara refleks pria itu menutupi pandangannya dengan punggung tangan. Setelah cahayanya mulai redup, ia mencoba mengintip melalui sela-sela jari. Tampaklah, sesosok pemuda gagah dengan pakaian ala kerajaan kuno berdiri di atas meja batu. Kain bajunya berendakan emas, dan berbagai aksesoris permata terjahit di sana. Mahkota yang sebelumnya bersinar menyilaukan kini bertengger di atas kepalanya.

“Salam Tuanku,” ujar pemuda itu lembut seraya bertekuk lutut di atas meja batu. Tatapannya terpaku ke bawah seolah penuh rasa penghormatan pada pria di hadapannya. “Sudah lama aku menanti Tuanku datang dan membebaskanku dari penjara waktu abadi. Sekarang mari kita menangkan perang ini bersama-sama.”

“Penjara waktu? Perang?” Pria itu mengulang kata-kata yang tak bisa ia pahami. “Di mana ini?”

Sang pemuda tampak terheran sesaat, sebelum menjawab, “Penjara waktu ialah alam yang hanya memiliki kegelapan di dalamnya. Satu-satunya cara keluar dari sana adalah dengan mengikuti Perang Cawan Suci dan memenangkannya. Sementara tanah yang kita pijak sekarang merupakan tempat yang pernah menjadi lambang kejayaanku di masa silam.”

“Perang Cawan Suci,” dengan hati-hati dieja nama itu. “Kapan?”

“Tak lama lagi, saat di mana bumi akan mengulang perputarannya dari awal.”

“Malam tahun baru,” gumam sang pria sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Itu masih beberapa bulan lagi.”

“Tidak, Tuanku,” sang pemuda menggeleng perlahan tanpa mengangkat wajah. “Malam itu akan datang dalam beberapa hari ke depan.”

Sang pria tak bisa menutupi ekspresi terkejut yang terlintas di wajahnya. Kedua alisnya terangkat, menatap tidak percaya pada sosok di hadapannya..

“Aku melakukan perjalanan waktu?” tanya pria itu pada dirinya sendiri. “Sekarang... Tahun berapa sekarang?!”

“2013.”

Kali ini rahang pria itu benar-benar terbuka lebar. Entah berapa lama waktu yang telah terpaut dari masanya.

“Aku tidak punya waktu untuk berperang di sini,” ujarnya kemudian. “Aku harus segera kembali. Kau... Apa kau tahu cara untuk kembali?!”

Sang pemuda tak lekas menjawab. Ia memejamkan mata tuk beberapa saat, sebelum mengeluarkan suara yang penuh keyakinan.

“Hanya satu. Hadiah dari perang ini adalah pengabulan permintaan. Jika mendapatkan itu, Tuanku pasti bisa kembali.”

Sang pria mengeratkan geliginya. Bagaimana tidak, hadiah yang ditawarkan sama sekali tak terasa seperti hadiah. Malah secara tidak langsung berupa paksaan. Namun yang jadi masalah, ia tak tahu cara lain untuk kembali.

“Jadi siapa yang harus kuhadapi?” tanya pria itu kaku.

“Tenanglah,” kata pemuda di hadapannya sambil menuruni meja batu. Pelan-pelan ia mengangkat wajah, menunjukkan keelokan cahaya muda penuh wibawa. “Tuanku tak perlu khawatir. Karena aku, Rider, yang akan bertarung untuk kemenangan Tuanku.”

Kemudian Rider menjentikkan jari, memicu sebuah keajaiban. Tiba-tiba cahaya jingga bersinar. Dan dari ketiadaan, sebuah kereta tak berkuda berlapiskan emas muncul di samping pemuda itu.

“Naiklah, Tuanku,” kata Rider. “Akan kuantar kau menuju kemenangan.”

Sang pria pun tersenyum dipenuhi rasa penasaran sekaligus takjub. Lalu ia mengangguk.

“Baiklah Rider...”

Dan meski tak berkuda, begitu dinaiki, kereta itu segera melesat bagai bintang jatuh di malam hari.