Codex:Volume01 Chapter01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

???

Mimpinya tidak menyenangkan.

Ia berjalan, setengah berlari, menyusuri jalan, sebuah kota yang dipenuhi bangunan-bangunan, beraneka ragam, gedung-gedung, semuanya serba kelabu. Langit hitam pekat. Ada bulan sabit merah darah yang tak bersinar sama sekali, seolah benda itu tak benar-benar berada di sana, melainkan cuma coretan tergesa-gesa, cat merah di atas kanvas hitam.

Ia seorang pemburu, dan saat itu pun ia tengah memburu sesuatu. Bersamaan dengan itu, jauh di sudut hatinya, ia tahu, ia bisa merasakannya, bahwa ia sedang diburu.

Ia berlari makin kencang, berbelok, melalui lorong-lorong asing, yang di saat bersamaan terasa familiar, berusaha mengecoh para pengejarnya. Untuk sementara lupakan sang buruan, ia punya banyak waktu, selama ia masih hidup tentunya.

Tak ada gunanya. Ia seolah di kejar bayan-bayangnya sendiri. Tak peduli kemanapun ia berlari mereka selalu berhasil menemukannya.

Ia lelah.

Terpojok.

Mereka berhadapan. Ia dan para pengejarnya.

Lalu ada sebuah pertarungan. Ia melukai mereka, membunuh satu atau dua, sebelum akhirnya ia terpaksa mengakui bahwa pertempuran itu tak mungkin ia menangkan.

Seekor Harimau.

Gerombolan Serigala.

Merah.

Darahnya.

Ia ingat pernah mendengar bahwa seseorang tak bisa merasakan sakit dalam mimpi. Omong kosong, ia bisa merasakannya, dan tak ada yang lebih menyakitkan daripada kematian. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Tapi ia masih ingat bagaimana kejadiannya.

Jantungnya seolah membeku, ketika lembing itu menembus dadanya. Bilahnya yang terbuat dari baja dingin bagai es.

Waktu seolah berhenti.

Mula-mula ia tak merasakan apapun. Kemudian ketakutan menyerangnya, ketakutan yang teramat sangat. Ia akan mati dan tak ada apapun yang dapat ia lakukan untuk mencegahnya.

Setelah itu rasa sakit. Kesakitan yang tiap saat berlipat ganda. Dan apabila biasanya ada batas, dimana ketika rasa sakit sudah tak tertahankan seseorang akan tak sadarkan diri, ketika kau mati batas itu tak ada.

Yang terburuk adalah rasa sakit itu menyebar, seperti api membakar tumpukan ranting, seperti jamur di dinding rumah, seperti amuba yang terus membelah diri, sehingga akhirnya rasa sakit itu tidak hanya dirasakan oleh tiap sel dalam tubuhnya. Sesaat sebelum ia benar-benar mati, yang terasa sangat sangat lama, bahkan jiwanya pun ikut merasakan siksaan itu.

Di saat yang sama, ia bisa melihat bagaimana dunia hancur berkeping-keping, digantikan kegelapan, bukan, kekosongan, ketiadaan. Tak ada langit. Tak ada bumi. Tak ada apapun. Hanya dia sendiri... dan kematian.

Sesuatu terlintas di benaknya. Sesuatu yang lebih menakutkan daripada kematian yang sedang ia alami.

Bagaimana seandainya ia tidak sedang bermimpi?

...


... ...


... ... ...


Digta bangun dengan perasaan kacau balau. Pipinya basah. Rupanya ia menangis. Dengan tangan kanannya ia mengusap kedua matanya. Ia mendapati dirinya tengah terbaring di atas sebuah tempat tidur, empuk, dengan selimut hangat yang terbuat dari kulit.

Digta menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi rongga dadanya. Menghembuskannya. Beberapa kali sampai ia bisa berpikir dengan tenang. Belum pernah bernapas terasa begitu nikmatnya.

Ia bisa merasakannya: Detak Jantungnya, Aliran darahnya, Udara, Cahaya, Gravitasi, segala hal yang membuatnya yakin bahwa ia masih hidup. Belum pernah ia merasa sehidup ini.

Langit-langit.

Langit-langit yang terbuat dari susunan batu.

Digta mengejapkan matanya beberapa kali. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak yakin, sesuatu yang berhubungan dengan langit-langit di ruangan itu.

"Kau sudah bangun?"

Digta menoleh. Di samping kirinya, duduk bersandar di dinding ruangan yang juga terbuat dari batu, di sebelah pintu kayu, tampak seorang pemuda, mungkin berusia dua puluhan, dengan rambut kelabu, nyaris putih. Pemuda itu tampak lelah, tapi tetap tersenyum saat tatapan mereka berdua bertemu.

Karena kebiasaan, Digta segera meraih belati yang selalu berada di pinggangnya. Benda itu tak berada di sana. Di balik selimutnya, ia tidak mengenakan sehelai benang pun.

Fakta: Seorang pemuda. Seorang gadis tanpa busana. Satu kamar plus tempat tidur.

Dalam sekejap berbagai kemungkinan muncul di benak Digta, tak ada satupun yang tidak buruk. Sesaat kemudian ia kembali menangis sesenggukan.

...

Sang pemuda berdiri di luar kamar, memandang ke luar jendela, ke arah kegelapan tanpa batas, sambil mengelus pipi kirinya yang merah akibat bekas tamparan. Ia tak habis pikir kenapa wanita itu melakukannya.

Padahal ia sudah bersusah payah menerangkan bahwa ia tak melakukan apa-apa seperti yang dibayangkan si gadis, bahkan ia sudah mempersiapkan sebuah gaun sederhana untuk dikenakan sang gadis setelah ia sadar dari tidurnya.

Beberapa saat kemudian, sang pemuda mengetuk pintu kamar.

"Masuk..." terdengar jawaban lirih.

Digta duduk di tepi tempat tidur, tampak tidak nyaman, mungkin karena gaun yang dikenakannya agak sedikit kebesaran, mungkin juga karena merasa bersalah setelah menampar sang pemuda. Ia menundukkan wajahnya saat sang pemuda masuk ke dalam kamar. Matanya masih sembab setelah menangis.

Mereka berdua diam.

Digta sesekali mengangkat pandangannya, tapi ketika tahu sang pemuda masih memandanginya, cepat-cepat ia menundukkan kembali wajahnya.

Sang pemuda menggaruk-garuk kepalanya, ia tak pernah nyaman menghadapi situasi semacam ini. Ia tadinya menunggu sang gadis memulai percakapan, ia bahkan mengira sang gadis bakal marah-marah padanya, ia tak keberatan selama hal itu bisa membuat situasi lebih baik, namun sepertinya dialah yang harus memulai.

Mungkin harus kutanyakan bagaimana keadaannya, pikir sang pemuda.

"Umm kurasa gaun itu cocok untukmu, kau terlihat uhh manis."

Mimpi buruk. Apa yang telah ia katakan. Sang pemuda mengutuki kebodohannya. Tapi ia berkata jujur. Tapi seharusnya mula-mula ia menanyakan keadaan sang gadis. Sekarang sang gadis bakal benar-benar menganggapnya seorang yang...

"Terima kasih," jawab Digta nyaris tak terdengar.

"Eh, Uh, Maafkan aku, Anu, bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja, dimana ini?"

Sambil berganti pakaian tadi, Digta mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi, terutama bagaimana ia bisa sampai ke tempat yang tidak dikenalnya, dan bagaimana ia bisa kehilangan pakaiannya. Sayangnya ia tak bisa mengingat semua itu.

Memorinya kacau dan terpotong-potong bagaikan puzzle yang tiap kepingannya nyaris saling tak berhubungan.

Sang pemuda tersenyum getir, "Pertanyaan bagus, sejujurnya aku ingin menanyakan hal yang sama padamu."

Hening kembali.

"Aku tak bohong, sungguh, jangan menatapku seperti itu" kata-kata sang pemuda terdengar putus asa.

"Aku percaya kok," Digta berbohong, setengah berbohong, tadi ia tak percaya, tapi tampaknya sang pemuda mengatakan sesungguhnya.

"Kita berada di sebuah kastil kecil, tampaknya," lanjut sang pemuda, "tapi aku tak tahu dimana kita berada."

"Bagaimana kau bisa sampai kemari?"

Sang pemuda mengangkat bahu, "Mungkin sama seperti caramu sampai kemari."

"Tapi aku tak ingat bagaimana aku bisa berada di sini."

"Ingatanmu hilang?" selidik sang pemuda.

"Aku tak tahu." Digta menggelengkan kepalanya.

"Maafkan aku," ujar sang pemuda, ia merasa tidak enak juga, "bagaimana kalau kita makan siang dulu? Kau bisa berdiri?"

Mereka berdua berjalan keluar kamar, sang pemuda di depan, Digta, menjaga jarak, mengikuti di belakang. Mereka melewati beberapa kamar. Digta melirik ke luar jendela, melihat kegelapan, dan tidak mengatakan apa-apa.

"Apa ada orang lain?"

Sang pemuda berpikir sejenak, "Aku tak yakin, tapi sepertinya cuma ada kau dan aku."

Mereka melewati sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi, Digta menduga ruangan itu terletak tepat berada di tengah kastil. Sang pemuda berhenti kemudian menoleh ke arah Aula, "Aku menemukanmu di sana."

"Pakaianku?" Wajah Digta memerah mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, tapi tak ada salahnya bertanya.

Sang pemuda cuma menggelengkan kepalanya, dalam hati ia bertanya-tanya apa ia harus mengatakan pada sang gadis bahwa saat ia menemukannya sang gadis berlumuran darah, entah siapa, dan ia terpaksa membawa sang gadis ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya, mengeringkannya, sebelum kemudian membopongnya ke kamar. Sepertinya bukan ide bagus.

"Ini ruang pakaian," kata sang pemuda ketika mereka melewati ruangan lain, "Ada banyak pakaian di dalam, maaf aku tak begitu tahu tentang pakaian wanita."

"Boleh aku ganti pakaian dulu?" tanya Digta hati-hati, takut menyinggung perasaan sang pemuda.

"Ah tentu saja," sang pemuda membukakan pintu kamar pakaian dan mempersilakan sang gadis masuk.

Sang gadis masuk ke dalam kamar, ada dua lemari besar di sana. Di dinding tengah ada sebuah meja dengan cermin besar.

"Yang sebelah kanan," ujar sang pemuda berusaha membantu, "Yang kiri pakaian pria."

Benar saja, ketika Digta membuka lemari pakaian wanita, ia menemukan berbagai jenis pakaian, gaun, semuanya indah, dan terlihat tidak nyaman digunakan. Digta memilah-milah, kemudian mengambil beberapa. Ia berbalik dan melihat sang pemuda mengamatinya sambil tersenyum.

"Kurasa kau cocok memakai apa saja."

"Anu..."

"Hmm?"

"Bisakah kau menunggu di luar?"

"Ah, Ya, ya, tentu saja, M-maafkan aku," sang pemuda buru-buru keluar sambil menutup pintu.

Di hadapan Digta tampak seorang gadis bertubuh mungil dengan wajah muram. Rambut si gadis yang berwarna coklat muda lurus sebahu. Kedua matanya yang memiliki nuansa merah menatap malu-malu ke arah Digta. Di dadanya tampak bekas luka, putih, kontras dengan kulit sang gadis yang gelap. Ketika Digta mencoba tersenyum, gadis itupun balas tersenyum walau tetap saja terlihat bahwa senyuman itu sedikit dipaksakan. Gadis itu tak lain adalah dirinya. Digta menghela napas panjang, ia tak tahu bagian mana dirinya yang terlihat manis.

Beberapa pakaian telah ia coba, tak ada yang terasa nyaman, paling tidak tak senyaman gaun tidur sederhana yang dipilihkan sang pemuda untuknya, tapi pakaian itu kurang nyaman selain untuk tidur atau bersantai, ia butuh sesuatu yang tidak mengganggu pergerakannya sekaligus bisa menutup sebagian besar tubuhnya. Mungkin ia mencari di tempat yang salah.

Sementara itu sang pemuda menghabiskan waktunya dengan duduk dan berpikir. Ia mencoba menganalisa beberapa hal. Pertemuannya dengan gadis yang belum ia ketahui namanya itu membuka berbagai kemungkinan, tapi ia tak boleh mengambil resiko. Setidaknya sang gadis tampak mengalami masalah yang sama dengannya, bahkan mungkin lebih buruk.

Pintu ruang pakaian itu berderit saat Digta membukanya. Tapi ia tak langsung keluar, alih-alih, ia cuma mengintip dari pintu yang setengah terbuka, berharap si pemuda tak berada di sana. Tentu saja si pemuda masih berada di sana, tersenyum, lalu berkata, "Kau sudah berganti pakaian?"

Digta mengangguk pelan dengan wajah merah padam, setelah beberapa kali berganti pakaian, ia berhasil menemukan pakaian yang cukup nyaman. Perlahan-lahan ia melangkah keluar.

Pakaian yang dipilih Digta bukan hanya sederhana, bahkan gaun tidur yang ia kenakan sebelumnya akan terlihat mewah. Lebih dari itu, ia bahkan tidak menemukan pakaian itu di lemari pakaian wanita. Digta mengenakan celana panjang, sepatu dan baju lengan panjang berwarna putih yang tampaknya lebih cocok dikenakan sang pemuda. Ia jadi terlihat lebih mungil dalam baju itu.

Digta menundukkan wajahnya, ia menduga sang pemuda bakal tertawa melihatnya.

Dan sang pemuda benar-benar tertawa kecil, "Itu pakaian pria kan? Seleramu unik. Hmm tapi seperti kubilang, kurasa pakaian itupun cocok untukmu. Pilihan bijak malah, kalau meningat apa yang akan kita hadapi."

Digta tak tahu harus berkata apa, ia menunjukkan gaun tidur yang diberikan sang pemuda, yang kini telah dilipat rapi, "Boleh aku menyimpan ini?"

"Aku tak tahu milik siapa kastil ini, tapi simpanlah. Ini cuma pendapatku, tapi sepertinya pakaian di kamar, juga makanan yang ada, memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pengunjung kastil ini."

Tak berapa lama kemudian, mereka akhirnya tiba di ruang makan. Di sana ada sebuah meja berukuran sedang, sebuah tungku, dan dua buah lemari kecil. Lemari kecil yang pertama berisi peralatan makan dan memasak, sementara lemari yang kedua, mungkin sejenis lemari ajaib.

"Lihat," kata sang pemuda sambil tersenyum. Ia membuka lemari kedua. Di dalamnya ada sepotong roti berukuran sedang, Sebutir telur, sekerat daging, dan keju. Di sana juga ada sebutir apel, jeruk, pisang, dan berbagai jenis sayuran, sepertinya, yang sebagian besar tidak DIgta ketahui namanya. Sang pemuda mengambil roti dan telur, meletakkannya di samping tungku, lalu menutup kembali lemari itu. Kemudian sambil menunjukkan ekspresi jahil, ia membuka kembali lemari itu.

"Bagaimana?" tanya Digta dengan ekspresi kagum.

Sang pemuda kembali mengambil roti dan telur, juga keju, dan melemparkan apel tadi pada Digta. Ia mengangkat bahu, "Ajaib kan?"

"Pilihannya tidak banyak," kata sang pemuda lagi, kali ini sambil menyalakan tungku, dan meletakkan penggorengan di atas api, "tapi kuharap kau suka. Oh ya kalau kau haus kau bisa mengambil air di pancuran." Di sudut ruangan ada semacam wastafel, dengan pancuran berbentuk naga yang tanpa henti menyemburkan air.

Roti Bakar dan Telur Mata sapi. Menu yang sangat sederhana. Tapi entah karena kemampuan masak sang pemuda atau karena itu makanan pertama Digta sejak ia tiba di kastil, keduanya, roti dan telur, terasa begitu lezat.

"Sekarang waktunya kita berbicara," ujar sang pemuda setelah membereskan piring dan peralatan lainnya. Kali ini ia terlihat serius.

Digta menganggukkan kepala.

"Tapi sebelum kita masuk ke permasalahan utama yang kita hadapi tak ada salahnya kita saling memperkenalkan diri."

Digta mengangguk lagi.

Hening.

Setelah beberapa saat Digta akhirnya sadar bahwa sang pemuda menunggu dirinya memperkenalkan diri terlebih dahulu.

"Orang-orang memanggilku Digta." ujarnya lirih.

"Umm kau boleh memanggilku Pen," ujar Pen setelah berpikir beberapa saat. Setelah itu meski Digta tak menanyakannya, Pen bercerita secara singkat darimana ia berasal. Hal tersebut terbukti tak ada artinya karena mereka berdua tampaknya berasal dari dunia yang berbeda.

"Di tempatmu tak ada kerajaan?"

Digta menggelengkan kepala, "Dulu ada. Di duniaku lembaga seperti itu disebut negara."

"Negara?"

"Umm, dipimpin oleh seorang kepala negara. Hampir sama seperti raja, hanya saja jabatan itu tidak diwariskan. Apabila seorang kepala negara meninggal atau tidak mampu menjalankan kewajibannya, maka Dewan akan memilih kepala negara yang baru."

Pen berpikir sejenak. Lalu mengangkat bahunya. Ia jelas tak bisa membayangkan hal tersebut.

"Kurasa tak artinya kita membicarakan masa lalu, dan aku hampir yakin saat ini kita tidak berada di dunia asalmu ataupun dunia asalku."

"Sekarang masalahnya," lanjut Pen, "Kita tampaknya terperangkap dalam kastil ini."

Masuk akal, pikir Digta sambil mengingat-ingat kegelapan yang ia lihat lewat jendela. Kemudian dari pengamatannya atas pengetahuan Pen tampaknya pemuda itu memang telah berada lebih lama di kastil itu daripada dirinya.

"Sejak pertama kali aku tiba disini..." Pen diam sejenak, "beberapa hari yang lalu," lanjutnya tak yakin,"aku telah menjelajahi hampir seluruh ruangan yang ada di kastil ini. Tak terlalu besar, Aula tempat aku menemukanmu adalah titik tengahnya. Di sayap kiri, kau bisa menemukan beberapa kamar tidur. Di sayap kanan ada ruang pakaian, ruang makan dan kamar mandi. Mungkin daripada disebut kastil, tempat ini lebih cocok disebut rumah berukuran besar."

"Mansion," bantu Digta.

"Mansion. Banyak kata-kata sulit dari dunia asalmu."

"Sampai beberapa saat yang lalu," Pen melanjutkan ceritanya, "ada dua pintu yang tak bisa terbuka tak peduli betapa aku mencobanya. Yang pertama Pintu Aula."

Digta membayangkan ruangan tersebut. Luas,kosong dan memiliki langit-langit yang tinggi. Ada lima pilar yang dipenuhi simbol. Di lantai, tepat di tengah ruangan, di kelilingi pilar-pilar, ada semacam pola, diagram, Digta berpikir sejenak mencari-cari kata yang sesuai: Mandala. Ia bertanya-tanya apa terbukanya pintu aula itu memiliki kaitan dengan kedatangannya ke kastil ini.

"Yang kedua," kata-kata Pen membuyarkan lamunan Digta, "Mungkin adalah pintu keluar dari kastil ini?"

"Mungkin?"

"Aku belum bisa membukanya."

"Dimana?"

"Di dalam ruangan di depan aula."

Tak berapa lama kemudian, mereka berdua telah berada di depan ruangan yang dimaksud. Digta sampai heran bagaimana ia bisa tak memperhatikannya sebelum itu. Pintu menuju ruangan yang dimaksud Pen terletak tepat di seberang Aula, terbuat dari Kayu yang telah menghitam, entah karena dicat atau karena usia. Pada permukannya terdapat ukiran: Pedang di bagian atas, tombak di bagian bawah, perisai di tengah, Kapak di samping, dan busur di sudutnya, dibuat sedemikan sehingga menimbulkan kesan simetris. Tanpa sadar Digta mengulurkan tangannya.

Tepat saat itu, Pen memegang pergelangan tangannya, mencegah Digta membuka pintu tersebut. Digta cepat-cepat menarik tangannya, Pen pun melakukan hal yang sama namun sambil menunjukkan ekspresi bahwa ia tak bermaksud melakukan hal tersebut.

"Maaf," ujar Pen pada akhirnya, "tapi menurutku sekarang bukan saat yang tepat."

"Pintu ini terkunci juga?"

"Tidak tapi ruangan ini berbeda dengan ruangan lain dalam kastil, maksudku mansion ini."

"Berbeda?"

"Yah seperti lemari di ruang makan tadi."

"Ada makanan di dalamnya?"

Pen tertawa kecil, "maksudku ajaib."

Menurut keterangan Pen, sepintas ruangan tersebut hampir menyerupai aula, hanya saja tanpa pilar-pilar, alih-alih di tengah ruangan terdapat semacam pintu terbuat dari semacam logam, pintu itulah yang kata Pen terkunci dan sangat mungkin merupakan jalan keluar dari mansion tersebut. Yang ajaib dari ruangan itu, meski dari luar terlihat tak ada siapapun di sana, ketika Pen masuk ke dalam muncul sesosok ksatria berzirah yang tanpa ampun mulai menyerangnya.

"Kurasa itu penjaga gerbang," tapi Pen tak terdengar yakin ketika mengatakannya.

"Karena itukah kita tak bisa masuk ke sana?" tanya Digta.

"Tidak, tanpa rencana, dan senjata. Katakan sejujurnya apa kau bisa menggunakan senjata?"

Digta menganggukkan kepalanya ragu-ragu, "Aku bisa menggunakan pisau."

Pen tersenyum, "Kebetulan sekali, cuma itu yang kita miliki." Ia mengulurkan sebuah belati pada Digta, "bawalah. Hmm tunggu disini..." Setelah itu Pen berlari, sepertinya ke arah ruang makan. Dia mungkin lapar, pikir Digta.

Digta mengamati belati yang diberikan Pen padanya. Sungguh belati yang bagus, pikirnya, juga indah. Ada semacam ukiran halus pada pangkalnya, juga pada sarungnya. Belati itu ringan dan tajam. Entah kenapa Digta merasa nyaman menggunakannya. Ia mengayunkannya beberapa kali. Tidak. Memorinya boleh saja sedikit kacau, tapi ia sama sekali tak lupa bagaimana cara menggunakan pisau.

Pen kembali beberapa saat kemudian. Ia membawa ladle dan salah satu penggorengan yang ada di ruang makan.

"Kulihat kau cukup ahli menggunakannya," Pen tersenyum, "Keberatan untuk pemanasan?"

Dibandingkan senjata lainnya, pisau bisa dibilang cukup inferior, terutama berkaitan dengan jarak efektif penggunaannya namun meski demikian bukan berarti daya mematikan pisau lebih baik dari senjata lain, sama sekali tidak, kelebihan pisau lebih kepada ukurannya yang kecil, sehingga bisa disembunyikan, bobotnya ringan, sehingga tak menghabiskan banyak tenaga, dan memungkinkan bermacam teknik dalam penggunaannya.

Untuk memaksimalkan daya rusaknya, pengguna pisau harus memastikan pisau mengenai titik-titik vital manusia, beberapa diantaranya, mata, leher, dan pergelangan tangan. Dada dan perut memang terlihat cukup layak dijadikan sasaran, namun pada kenyataannya tidak semudah itu. Cara lain untuk meningkatkan daya rusak pisau adalah dengan menambahkan racun. Melempar pisau sama sekali tidak dianjurkan, kecuali jika jenis pisaunya tepat, itupun sebaiknya hanya dilakukan apabila membawa lebih dari satu pisau, selalu ada kemungkinan lemparan yang dilakukan meleset.

Digta sendiri bisa dibilang expert dalam penggunaan pisau tapi Pen sendiri bukan seorang amatir. Apalagi karena lawan yang akan mereka hadapi membawa pedang dan mengenakan zirah, Pen memberi beberapa batasan tentang teknik yang boleh ia gunakan. Digta cukup yakin sepanjang hidupnya ia tak pernah menghadapi hal semacam ini.

"Belati itu bisa menembus zirah," jelas Pen sambil mendemonstrasikannya pada penggorengan yang ia bawa. "Hanya saja butuh tenaga ekstra untuk melakukannya. Kesempatannya cuma sekali. Kau lihat sendiri, menariknya, uhh lebih susah dari menancapkannya."

Digta paham. Konsepnya sederhana, menghindari serangan sang ksatria sekaligus mengurangi jarak kemudian pada saat yang tepat menancapkan belati itu ke titik vital.

"Tapi bukankah si penjaga bukan manusia?"

Pen menganggukkan kepala,"Ini lebih mirip sebuah ujian, seolah-olah pembuat mansion ini ingin mengetahui bagaimana kita bertindak seandainya kita mengalami kondisi semacam ini di dunia sebenarnya. Aku sudah pernah mengalahkan sang penjaga tapi Pintu itu tetap terkunci."

Mereka berdua berlatih tanding beberapa saat, Pen berpura-pura menjadi ksatria, sementara Digta menyerangnya tanpa membuka belati itu dari sarungnya. Setelah beberapa kali mencoba, Digta akhirnya bisa menusukkan (pura-pura) belati itu ke leher Digta.

"Kau hebat," Pen tersenyum, "Sudah cukup kurasa. Sebaiknya kita berdua istirahat, makan malam, lalu tidur, besok setelah sarapan kita coba peruntungan kita."

Digta tak bisa tidur.

Ia memikirkan banyak hal, terutama tentang memorinya yang kacau. Ia berusaha sekeras mungkin mengingat-ingat apa pun yang bisa ia ingat sambil bertanya-tanya apa saja yang ia lupakan. Tentu saja ia tak bisa mengetahui apa yang telah ia lupakan.

Percuma.

Digta bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengenakan gaun tidur yang diberikan oleh Pen sebelumnya. Belatinya, juga diberikan oleh Pen, tergeletak disamping tempat tidur. Ia bisa merasakan belati itu bukan belati biasa, setidaknya tidak banyak belati yang bisa menembus baju zirah.

Sebuah ide muncul dibenaknya. Mengapa ia harus menunggu sampai besok. Ia sama sekali tidak lelah. Ia tahu Pen berencana mengalahkan penjaga itu berdua, tapi di sisi lain ada sesuatu dalam dirinya yang tidak senang dengan rencana itu.

Sesaat kemudian Digta telah berganti pakaian. Ia menggenggam belati itu erat-erat kemudian berjalan ke luar kamar. Di depan pintu menuju ruang di depan aula, Pen sudah menunggunya.

"Tak bisa tidur?" tanya Pen sambil tersenyum.

"Aku harus masuk..." jawab Digta lirih.

Pen memejamkan matanya tampak sedang berpikir keras. "Kenapa?" tanyanya lagi.

Digta menundukkan kepalanya, "Aku tak tahu, tapi aku harus melakukannya, kumohon..."

Pen menghela napas panjang. "Karena ingatanmu?"

Digta tak yakin, tapi rasanya memang begitu.

"Baiklah, tapi aku juga masuk, ketika kondisimu memburuk aku takkan meminta izin untuk membantumu." Pen tampak tidak senang ketika mengatakannya.

"Terima kasih," Digta tak berani menatap wajah Pen, jauh di sudut hatinya ia merasa gembira karena Pen mengkhawatirkannya. Perasaan semacam itu rasanya sudah lama tidak ia rasakan.

Digta membuka pintu itu lalu melangkah masuk dan Pintu itu tertutup dengan sendirinya.

Digta berada di dalam...

Sendirian.

Di luar ruangan, Pen melakukan apapun yang ia bisa untuk membuka pintu itu. Tak ada gunanya, tak peduli betapa keras ia mendorong, menendang, memukul, pintu itu tetap tak terbuka. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke tempat itu wajahnya berubah pucat pasi.

"Digta! Digta!" serunya.

Digta berada dalam kegelapan. Tapi tak lama. Beberapa saat kemudian sebuah bola cahaya muncul di hadapannya, kemudian bola cahaya lain, terus, sampai ia kehilangan hitungan.

Bola cahaya pertama berubah menjadi sebilah pidang. Bola cahaya kedua pedang yang berbeda, begitu juga bola-bola lain. Lalu ada bola yang berubah menjadi tombak, ada yang berubah menjadi kapak, ada pula yang berubah menjadi busur panah, semuanya berbeda satu dengan yang lain.

Seketika itu Digta tahu apa yang harus ia lakukan. Dan ia sama sekali tak perlu mencarinya, ia hanya memikirkannya dan senjata-senjata itu bergerak dengan sendirinya, berputar-putar lalu berhenti. Digta ragu sejenak tapi kemudian diraihnya juga pisau hitam dihadapannya.

Lalu semuanya berubah.

Digta menahan napasnya. DI angkasa bulan sabit merah bersinar muram. Di sekelilingnya gedung-gedung kelabu. Mimpinya menjadi kenyataan.

Terdengar langkah kaki. Bayangan-bayangan itu. Tapi kali ini kejadiannya tak akan sama. Digta berlari, langkahnya nyaris tak menimbulkan suara, sesaat kemudian ia telah menghilang dibalik bayang-bayang.

Satu, dua, tiga, tujuh orang. Digta tersenyum kecil. Gerombolan serigala, pikirnya.

Bayang-bayang itu, sang serigala, bergerak waspada, mereka telah kehilangan jejak buruan mereka. Lalu seolah sebuah rutinitas, mereka berpencar menjadi tiga kelompok.

Digta berpikir sejenak, menimbang-nimbang, kemudian memutuskan mengikuti salah satu kelompok. Lalu setelah yakin mereka telah terpisah cukup jauh dengan kelompok yang lain, pisaunya mulai bekerja. Unsur kejutan adalah kuncinya, dua gerakan singkat, dan dua kali lolongan kematian memecah kesunyian malam. Tapi itu baru permulaan.

Kematian rekannya, tak salah lagi membuat orang-orang yang memburunya gentar, tapi hal itu tampaknya sama sekali tak membuat mereka berubah pikiran. Mereka masih berada di atas angin, dan sekarang mereka menjadi lebih berhati-hati.

Bukan masalah, pikir Digta. Ia nyaris tertawa gembira, beginilah seharusnya sebuah perburuan. Akan membosankan jika ia tak mendapatkan perlawanan sama sekali. Digta kembali bergerak, ia mencari mereka, mereka mencarinya, dalam labirin raksasa, sebuah kota sebagai panggungnya.

Ia berhasil melacak kelompok berikutnya, dua sosok bayangan, masing-masing dengan pedang terhunus, berjalan berdampingan, waspada.

Haruskah ia menghampiri mereka? Tidak. Digta memperhatikan mereka beberapa saat, dua ekor domba yang tersesat, kearah mana mereka bergerak. Ia kemudian berbalik, mengambil jalan pintas, kemudian menunggu.

Waktu seolah berjalan lambat. Digta diam tak bergerak. Dalam kegelapan indra-indranya seolah dipaksa bekerja lebih keras, terutama indra perasa dan pendengarannya. Ia bisa mendengarnya, suara langkah kaki, desah napas, ia bahkan hampir bisa mendengar degup jantungnya yang berpacu lebih keras. Dan ia menikmati semua hal tersebut. Lalu saat yang ia tunggu tiba.

Domba-domba malang, mereka bahkan tak sempat melawan ketika pisau Digta bergerak merobek urat nadi mereka. Darah mereka yang berwarna hitam pekat menyembur, mengenai baju, lengan dan wajah Digta. Aromanya membuat Digta tenggelam dalam euforia. Dan ia tak mampu menahan diri lagi. Sementara korbannya mengerang kesakitan menyambut ajal mereka, Digta tertawa.

Digta!

Tawa Digta terhenti. Seseorang memanggilnya. Siapa?

Pen.

Seketika Digta gemetaran. Di kakinya dua sosok tubuh tergeletak. Darah menggenang. Apa yang telah ia lakukan.

Ia membunuh mereka.

Ia seorang pembunuh.

Perasaan aneh mulai menyelimutinya. Takut. Tapi bukan rasa takut yang pernah ia rasakan sebelumnya.

Digta!

Suara Pen kembali terdengar, lirih, entah darimana. Dan Digta pun menyadari apa yang ia takutkan. Ia takut pada Pen. Ia takut Pen melihatnya dalam kondisi seperti ini.

Digta memandangi pantulan samar dirinya pada kaca depan salah satu bangunan. Wajahnya belepotan darah.

Tidak. Tidak boleh begitu. Cepat-cepat diusapnya bekas darah tersebut dengan tangan kananya.

Huh. Tangan kanannya pun berlumuran darah. Digta ganti menggunakan lengan bajunya.

Ia ganti memperhatikan tangan kirinya. Darah masih menetes dari pisau yang dipegangnya. Wajahnya seketika pucat pasi, cepat-cepat dilemparkannya pisau itu dari tangannya.

Kesalahan.

Secara reflek Digta bergerak ke samping. Terlambat sedetik saja, ayunan pedang itu pasti mengenainya. Kelompok terakhir telah menemukannya. Tiga sosok bayang-bayang. Dua membawa pedang sementara sang pemimpin membawa tombak yang berkilauan. Digta mulai berlari. Sang pemburu kini telah menjadi buruan.

Tak butuh waktu lama sebelum Digta mendapati bahwa ia telah terpojok.

Terkurung. Tanpa senjata. Ia akan mati.

Digta tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Lalu meski ia sudah berusaha keras ia mulai menangis.

Bayang-bayang itu tertawa. Salah satu mengayunkan pedangnya. Digta memejamkan matanya. Sesaat kemudian ia menjerit kesakitan.

Tapi ia belum mati. Pedang itu hanya menggores lengannya. Bayang-bayang itu kembali tertawa. Akhirnya Digta sadar, mereka tidak akan membunuhnya, cuma menyiksanya, sampai mereka bosan, setelah itu jika ia masih hidup mereka baru membunuhnya.

Tebasan demi tebasan, tusukan, berapa lama, ia tak tahu, pandangan Digta kabur, semuanya terlihat samar. Tubuhnya terasa hangat, basah kuyup oleh darahnya sendiri. Tapi mengapa ia masih berdiri. Karena ia masih ingin hidup.

Tapi untuk apa.

Untuk apa ia bertahan hidup.

Digta tak tahu. Dan itu membuatnya frustrasi. Ia sendiri tak tahu, mengapa, bagaimana, tapi seolah kekuatannya kembali. Ia menjerit panjang. Para pengepungnya tersentak. Lalu dengan kenekatan seorang manusia sebelum menemui ajalnya Digta berlari menerjang sang pemimpin, sosok bayang-bayang yang membawa tombak berkilau.

Ia tidak ingin mati.

Meski sempat terkejut, sang pemimpin segera menguasai dirinya, mengambil sikap defensif dan semuanya terjadi begitu saja.

Tombak itu menembus dada kiri Digta. Digta kembali menjerit. Tenaga yang tadi muncul perlahan mulai menghilang. Pandangannya Nanar.

Digta!

Sesaat sebelum kesadarannya menghilang, Digta kembali mendengar suara Pen. Pikirannya menjadi jernih. Dengan tangan kirinya ia meraih belati pemberian Pen yang selama ini tanpa ia sadari telah ia simpan di belakang punggungnya, kemudian dengan sisa terakhir tenaganya, diayunkannya belati itu ke arah leher sang pemimpin. Lalu semuanya berubah gelap.

Digta tak pernah tahu kapan tepatnya ia dilahirkan. Ia juga tak bisa mengingat wajah orang tua kandungnya, tapi Bunda bilang ia mirip sekali dengan ibunya.

Hal pertama yang terekam dengan cukup jelas dalam ingatan Digta terjadi mungkin ketika ia berusia empat atau lima tahun. Saat itu ia menangis di halaman, di bawah pohon. Di sekitarnya, anak-anak lain, kebanyakan lebih tua, sibuk dengan permainannya sendiri. Ia tak ingat mengapa ia menangis, mungkin karena terjatuh, tapi setelahnya, Bunda segera berlari menghampirinya. Bunda kemudian memeluk dan menggendongnya, mengusap kepalanya, menghiburnya sampai ia berhenti menangis.

Setelah itu, sama sekali tak ada hal spesial yang bisa ia ingat. Ia tumbuh seperti anak lain yang berada di panti asuhan tersebut, belajar membaca, menulis, dan melakukan berbagai pekerjaan rumah, menyapu halaman, mencuci pakaian, dan menimba air. Tapi Digta sama sekali tak dizinkan membantu pekerjaan di dapur. Itu karena Bunda khawatir apabila ia sampai terluka ketika membantu di dapur.

Anak-anak yang lain tak suka bermain dengannya. Entah kenapa mereka selalu menjauh apabila ia menghampiri. Hanya Bunda, yang apabila sedang tidak sedang sibuk, datang menemaninya.

Bunda suka sekali bercerita. Sayang sekali Digta cuma bisa samar-samar mengingatnya. yang paling sering Bunda katakan ialah bahwa suatu saat akan ada orang baik yang akan mengadopsi Digta dan kemudian Digta akan hidup bahagia selama-lamanya, itu asalkan Digta selalu berusaha menjadi anak baik. Tapi saat itu Digta sudah merasa cukup gembira apabila ia bisa terus bersama dengan Bunda.

Perpisahan Digta dengan Bunda terjadi tak lama setelah ia mendapatkan menstruasi pertamanya. Saat itu usianya mungkin sepuluh tahun. Saat itu pula pertama kalinya ia berkenalan dengan Earl Grimm.

Digta tak ingat jelas saat ketika ia berpamitan dengan Bunda. Ia juga tak tahu mengapa Bunda menangis. Apa Karena ia sedih harus berpisah dengan Digta atau karena gembira akhirnya ada seseorang yang mau mengadopsi Digta. Ia sendiri tak menangis. Bunda selalu bilang dirinya akan ikut sedih apabila Digta menangis. Pesan terakhirnya adalah agar Digta selalu menjadi anak baik yang patuh pada orang tua angkatnya.

Setelah itu...

...

Digta terbangun dari tidurnya. Lebih tepatnya ia menemukan kembali kesadarannya. Ia berada di kamar tidurnya, di Mansion. Masih mengenakan gaun tidurnya, dan basah kuyup oleh keringat. Ia jadi bertanya-tanya apakah ia bermimpi lagi, memimpikan hal yang sama, namun berbeda.

Tampaknya tidak. Di dekat pintu, sama seperti sebelumnya, Pen tengah duduk bersandar, namun kali ini sambil tertidur pulas. Kedua punggung tangannya terluka. Pasti karena ia terus menerus berusaha membuka pintu ruang ujian.

Tepat setelah ia membunuh, mengalahkan sang pemimpin, tba-tiba saja ia telah kembali berada di ruang ujian, tepat di depan pintu yang terkunci. Ia terbaring tak berdaya, kelelahan dan gemetaran. Saat itu pintu ruangan akhirnya terbuka. Pen menerobos masuk, menghampirinya, memeluknya erat. Setelah itu ia benar-benar kehilangan kesadaran.

Tapi apa yang sebenarnya terjadi. Digta bisa ingat dengan jelas bahwa ia terluka, sangat parah, sehingga kenyataan bahwa ia masih hidup pun sudah cukup mengherankan.

Pui

Sesuatu hinggap di kepalanya. Burung? Kelelawar? Semoga bukan kadal atau serangga. Membayangkannya saja sudah membuat Digta gemetar. Dengan sebelah tangannya Digta meraih makhluk yang hinggap di atas kepalanya.

"Lucunya," Digta tak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum. Dulu ia pernah punya boneka beruang, tapi makhluk ini bahkan jauh lebih imut. Seandainya saja makhluk itu tidak bergerak dan berbunyi pui pui, ia pasti sudah menyangkanya sebagai boneka. Yang sosoknya menyerupai seorang gadis berzirah, dengan sepasang sayap kelabu. Wajahnya sedikit mengingatkan Digta pada Bunda, tapi bunda tidak memiliki rambut pirang, dan pipinya tidak setembem pipi sang makhluk.

"Siapa namamu?" bisik Digta perlahan. Ia takut akan membuat makhluk itu terkejut.

Dan makhluk itu sambil tersenyum menjawab, "Pui Pui"

Begitulah diputuskan nama makhluk itu Puipui.

Setelah puas mengelus, mencubit, dan memeluk Puipui, yang tampaknya tidak keberatan sama sekali diperlakukan seperti itu. Digta akhirnya menyadari bahwa ia lumayan haus dan lapar. Ia juga penasaran apa Puipui perlu diberi makan. Makhluk itu rupanya paling suka menempel di kepala atau pundak Digta seolah terbang membuatnya lelah.

Tapi sebelumnya ada yang harus ia lakukan.

Digta turun dari tempat tidurnya, berjalan keluar, perlahan, takut membangunkan Pen yang tampak kelelahan. Ketika ia melewati Ruang Ujian, ia tergoda untuk masuk ke dalamnya. Tapi cepat-cepat diabaikannya pikiran itu. Ia terus berjalan, mula-mula ke ruang pakaian. Di sana, ia berhasil menemukan lembaran kain tipis. Dengan pisaunya, yang diberikan oleh Pen, dipotongnya kain itu hingga menjadi semacam perban darurat. Kemudian, setelah mengambil sebaskom air dari ruang makan, ia kembali ke kamarnya.

Pen masih tertidur pulas. Bahkan setelah Digta membasuh luka di tangannya dan membalutnya sebaik yang ia bisa, pemuda itu masih saja tetap tertidur. Digta memandangi wajah Pen beberapa saat, lalu dengan lirih ia berbisik, "Terima Kasih, karena telah mengkhawatirkanku."

"Nah Puipui, sekarang ayo kita makan siang."

Sesaat setelah Digta meninggalkan kamar, Pen membuka matanya, memandangi kedua tangannya yang telah dibalut dengan tidak rapi oleh Digta. Namun ia sama sekali tidak tersenyum. Dengan geram, ia memukul lantai dengan kepalannya.

Keputusan Digta untuk memasak sama bodohnya dengan keputusan seekor pinguin untuk mencoba terbang. Sementara Puipui duduk manis diatas meja sambil mengunyah apelnya, Digta mempertaruhkan nyawanya untuk membuat telur mata sapi. Apinya terlalu besar, telurnya tak dipecahkan dengan baik hingga pecahan kulitnya bercampur diatas penggorengan, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ia mesti menggunakan minyak agar telurnya tidak menempel. Hasilnya, sesuatu yang sama sekali tidak mirip telur mata sapi, dan seandainya mansion itu tidak terbuat dari batu, ia pasti sudah membuatnya habis terbakar. Tampaknya si pembuat Mansion sudah mempertimbangkan hal itu ketika membuatnya. Akhirnya Digta harus cukup puas dengan roti keju sebagai menu makan siangnya.

Tak berapa lama kemudian Pen tiba di ruang makan, sambil tersenyum, "Tampaknya kau baik-baik saja. Apa aku sudah ketinggalan makan siang?"

Dalam sekejap, Pen memperisapkan makan siang untuk dua orang, kali ini menggunakan potongan daging yang ia temukan di lemari ajaib, juga keju dan sayuran. Ia bahkan membuat semacam saus dari buah-buahan yang ada dalam lemari.

Mereka makan dengan lahap. Pen menyisakan sedikit dagingnya, lalu bertanya, "Menurutmu apa si penjaga gerbang suka daging?"

"Penjaga Gerbang? Oh maksudmu puipui?" Digta menoleh pada Puipui lalu menanyakannya, "Kau mau daging Puipui?"

"Puiii pui pupui pui"

"Ia bilang ia sudah kenayang, tadi ia makan apel."

Pen tampaknya ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkannya, alih-alih ia menghabiskan sisa dagingnya begitu saja. "Aku kagum kau bisa mengerti apa yang ia katakan," kata Pen pada akhirnya.

"Tapi mengapa kau bilang ia penjaga gerbang?"

"Hanya teori, ketika aku berhasil masuk, sudah tak ada ksatria berzirah yang muncul. Kau terbaring di lantai dan makhluk itu terbang berputar-putar di atasmu. Mula-mula aku berpikir untuk, jujur saja, membunuhnya." Saat itu Digta cepat-cepat memeluk Puipui erat-erat sambil menatap tajam ke arah Pen, "Tapi kulihat, ia tampak khawatir dengan keadaanmu, dan lagi aku tak bisa merasakan niat buruk darinya. Lalu sekarang, karena ia tampaknya menyukaimu, kurasa itu berarti kau telah lulus ujiannya."

"Jadi Pintu itu sudah terbuka?"

Pen menggelengkan kepalanya,"Aku masih tidak bisa membukanya."

Wajah Digta berubah muram, "Apa itu artinya kita benar-benar tak bisa keluar dari Mansion ini?"

Pen tersenyum jahil, "Yup. Kita selamanya akan tinggal di dalam Mansion ini."

"Kita berdua?"

Pen menganggukkan kepalanya, "Bertiga, dengan (siapa namanya) Puipui."

"Tapi..." Digta menundukkan kepalanya. Tinggal berdua dengan Pen... membayangkannya saja sudah membuat wajahnya merah padam.

Tepat saat itu Pen tertawa terbahak-bahak, "Aku cuma bercanda. Maafkan aku." katanya setelah puas tertawa.

Digta merasa lega sekaligus (sedikit) kecewa. "Kalau begitu pintunya bisa terbuka?"

"Aku tak bisa membukanya."

"Tapi katamu?"

"Well, karena si penjaga gerbang bersamamu, itu berarti kaulah yang mesti membuka pintu itu. Tapi tentu saja ini cuma teori. Kalau nanti ternyata kau juga tak bisa membuka gerbang itu, maka tampaknya kita memang harus menghabiskan sisa hidup kita di dalam mansion ini," wajah Pen berubah serius, "Dan Jika hal itu terjadi," ia menarik napas panjang, "meskipun aku punya banyak kekurangan kuharap kau mengizinkanku mendampingimu"

Digta membuka matanya lebar-lebar lalu memandang Pen. Ini pasti lelucon. Setelah ini Pen akan kembali tertawa. Tapi tidak, Pen cuma tersenyum kecil, ia kemudian membereskan peralatan makan di meja lalu berjalan ke pancuran untuk mencucinya.

Digta sendiri, karena tidak tahu harus melakukan apa-apa, kembali kekamarnya. Ia kemudian menyadari bahwa sejak tiba di sini ia belum mandi (sebenarnya salah, karena Pen telah memandikannya, hanya saja saat itu ia tak sadarkan diri). Kemudian ia membyangkan apa yang akan dikatakan Pen apabila tahu ia belum mandi sama sekali, lebih buruk dari itu bagaiamana kalau Pen bisa mencium bau tubuhnya, mungkin itu sebabnya saat makan siang tadi Pen duduk jauh dari tempatnya. Betapa memalukan.

Digta cepat-cepat berlari ke ruang pakaian, mencari pakaian pria yang nyaman digunakan, handuk, lalu segera masuk ke kamar mandi.

Kamar mandi di mansion itu, di luar dugaannya, mungkin kamar mandi termewah yang pernah ia masuki, bahkan melebihi kamar mandi di kediaman Earl Grimm. Alih-alih bak mandi, ia menemukan sebuah kolam kecil dengan air yang terus mengalir. Pancurannya ada dua, yang pertama, yang sedang mengucur berbentuk seekor ikan, menyemburkan air yang sejuk menyegarkan, yang kedua berwujud seekor ular naga (Digta pernah melihat gambarnya di sebuah buku, katanya berasal dari belahan timur dunia) yang ketika ia menyentuh kepalanya segera menyemburkan air hangat kekolam. Kedua pancuran itu tampaknya dibuat sedemikian sehingga apabila salah satu menyala, yang lainnya akan berhenti bekerja.

Selain itu, dinding kamar mandi itu dilapisi semacam pualam berwarna putih pucat, dipoles dengan begitu baik sehingga dapat memantulan bayangan samar seperti cermin yang buram. Digta sampai nyaris malu melepaskan pakaiannya, karena bayangannya terpantul di seluruh dinding kamar mandi. Maka ia cepat-cepat melepaskan pakaiannya kemudian masuk ke dalam kolam yang kini berisi air hangat.

Tapi sepertinya masih ada yang kurang. Digta yakin ia melupakan sesuatu yang sangat vital. Sabun? Di samping kolam ada beberapa botol, tampaknya terbuat dari kaca. Di dalamnya ada cairan lembut berbau harum. Busanya memang tak banyak namun tak salah lagi benda itu adalah sabun hanya saja berwujud cair. Digta baru pertama kali melihatnya, benar-benar sesuatu yang ajaib.

Rasanya sangat nyaman. Aliran air bukan hanya membersihkan kotoran dari tubuhnya, tapi juga rasa lelahnya, fisik dan mental. Sementara itu, Puipui yang tampaknya sedang tidak ingin berbasah-basah memilih duduk di atas pancuran berbentuk ikan, mengamati Digta yang kini mulai membersihkan tubuhnya sambil menggumamkan sebuah lagu.

Terdengar ketukan di pintu.

"Digta? Apa kau di dalam?" seru Pen.

Digta Panik. Ia ingin menjawab tapi mulutnya seolah terkunci. Digta memang tak terbiasa berteriak atau berbicara dengan suara keras, lebih tepatnya ia tak bisa melakukan hal itu.

"A.. aa... a..." lebih buruk lagi ia tiba-tiba tak tahu harus mengatakan apa. "J-jangan masuk!" serunya. Tapi tak cukup keras. Itu lebih mirip seperti sebuah bisikan lirih, yang sayangnya tak terdengar dari luar.

Sesaat kemudian, Digta ahirnya mengetahui satu-satunya kekurangan yang ada di kamar mandi tersebut, sesuatu yang seharusnya telah ia sadari sebelumnya. Seperti kebanyakan pintu lain di dalam mansion itu, pintu kamar mandi ini pun tak dilengkapi oleh kunci.

Kejadiannya sangat cepat. Pintu itu terbuka. Pen melangkah masuk dengan wajah khawatir, mungkin karena tak bisa menemukan Digta dimanapun. Digta, dengan reflek yang dimiliki oleh hampir setiap perempuan, menjerit sekeras yang ia bisa. Ia lalu meraih benda terdekat yang berada di dalam jangkauannya, kemudian melemparnya sekuat tenaga ke arah Pen.

PUIIIIIIIIIIIIIIIIII

Lemparannya tepat mengenai wajah Pen yang sebelumnya telah berubah merah padam.

Selepas insiden itu Digta berkali-kali meminta maaf, pada Pen, dan juga Puipui.

Akhirnya saat itu tiba juga. Setelah Pen memastikan segala sesuatunya telah di siapkan; bekal makanan dan pakaian, untuk mengatasi berbagai kemungkinan, mereka sekali lagi berada di dalam ruang ujian.

"Kau siap?" tanya Pen singkat.

Digta menganggukkan kepalanya lalu mengulutkan tangannya menyentuh pintu besi di tengah ruangan.

Tak ada yang terjadi. Maksudnya tak ada sesuatu yang spesial. Pintu itu terbuka begitu saja. Di dalamnya tampak kegelapan yang sama dengan yang tampak dari jendela.

Digta menoleh pada Pen, menatapnya seolah bertanya, sekarang apa?

Pen memegang dagunya dan berpikir sejenak, ia lalu mengangkat bahu, "Mungkin sebaiknya kau tanya si penjaga gerbang," usulnya.

"Apa ini pintu keluar?"

"Puii"

Digta kembali memandang Pen sambil menganggukkan kepala, katanya ya.

"Kemana pintu ini menuju?"

"Puii"

"Dia tak tahu." Digta menterjemahkannya pada Pen.

"Aku punya beberapa teori," kata Pen kemudian, "yang pertama kemungkinan pintu ini menuju ke dunia asalmu, karena kaulah yang bisa membukanya. Yang kedua kemungkinan pintu ini menuju ke dunia lain yang berbeda sama sekali. Yang ketiga pintu ini tak menuju kemana-mana."

"Jadi bagaimana?"

"Hmm tak ada gunanya ragu-ragu, sebaiknya kau mengikuti kata hatimu sendiri."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku khawatir pintu ini mungkin cuma bisa dilewati olehmu, kemanapun tujuannya," kata Pen tetap tersenyum.

"Kalau begitu aku memilih tetap di sini."

"Hah?" Pen melongo, "Apa maksdumu."

"Kita pergi berdua atau tidak sama sekali..." Digta sendiri heran bagaimana ia bisa mengatakan hal tersebut, "A-aku tak mungkin meninggalkan dirimu sendirian di sini."

"Ayolah, jangan bercanda." Pen menghela napas, "Dengar, aku akan baik-baik saja disni, dan lagi aku sebenarnya sedang menunggu seseorang."

"Tapi... tapi..."

"Tidak ada tapi, kau akan pergi kembali ke dunia asalmu, lalu semuanya akan kembali seperti semula."

"Aku tak mau!" untuk pertama kalinya Digta mendapati dirinya berseru, lalu suaranya berubah gemetar, "B-bagaimana se-seandainya p-pintu i-ini mem-membawaku ke tempat yang ber-bahaya?"

Pen terdiam, lalu sambil tersenyum ia mengusap kepala Digta dengan lembut. "Percayalah kau akan baik-baik saja."

"A-apa kau tak mengkhawatirkanku?"

"Tentu saja aku mengkhawatirkanmu. Tapi..."

"Kalau begitu ikutlah bersamaku. Kumohon..." Digta mulai menangis. Ia berjalan mendekati Pen lalu memegang erat pergelangan tangan Pen. "Kumohon..."

"Sigh, tampaknya aku tak bisa meninggalkanmu seorang diri. Baiklah."

Digta memandang Pen dengan tatapan tak percaya, "Sungguh."

"Uhh jangan menatapku seperti itu," wajah Pen memerah, "Tapi berjanjilah, kali lain kau menghadapi bahaya, biarkan aku melindungimu."

Digta menganggukkan kepala kuat-kuat.

"Hmm Puipui? Kau mau ikut juga?"

"Puii"

"Bagaimana dengan gerbangnya?"

"Puii"

"Begitukah? ayolah kalau begitu. Kau tak keberatan kan Pen?"

Bersama-sama mereka berjalan memasuki pintu tersebut, Digta menggenggam erat lengan Pen, sementara Puipui menempel di kepalanya. Sesaat kemudian mereka telah menghilang di dalam kegelapan dan pintu itu pun kembali tertutup.

-EnD FoR NoW--