Arcanagram:Volume00 4th card

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Lebih dari setengah hari telah berlalu sejak permainan Arcanagram dimulai.

Matahari telah tampak condong ke barat, menandakan sebentar lagi langit akan berubah menjadi senja, dan orang-orang akan menutup lembaran aktivitas mereka dalam satu hari ini.

Bagi sebagian besar penduduk kota, hari ini mungkin tak ubahnya seperti hari-hari biasa yang mereka jalani.

Namun tidak demikian dengan para pemain Arcanagram.

Sekalipun mereka berusaha berbaur ataupun menjalani hari dengan biasa, kekhawatiran akan pemain lain tidak akan sirna. Seolah dibimbing oleh sang takdir, setiap pemain pasti cepat atau lambat akan dipertemukan dengan pemain lain, baik disengaja ataupun tidak.

Di sore hari ini, Sanada Hoshina merasa tak yakin bagaimana ia harus bertindak dalam permainan ini.

Masalahnya, ia hanyalah siswi SMA biasa. Setiap hari (termasuk hari ini) ia masih memiliki kewajiban untuk bersekolah, karena baginya membolos justru akan menimbulkan kecurigaan dari teman-temannya, dan dia memang bukan tipe siswi yang bisa mengabaikan peraturan sekolah.

Jadilah ia tetap bersekolah di hari ini.

Sekalipun ia tahu dengan pasti apa yang akan terjadi kalau ia tetap pergi sekolah hari ini.

Kemampuan Arcanagram miliknya adalah sesuatu yang tidak benar-benar bisa ia kendalikan tiap saat. Kemampuannya untuk melihat masa depan sejak pagi ini membuatnya terkadang tidak bisa membedakan mana yang sekarang sedang terjadi dan mana yang sebenarnya belum terjadi. Karena ragu, ia akhirnya memutuskan untuk menjalani saja apa yang menurutnya paling benar untuk dilakukan, yaitu bersikap seperti tidak ada yang berubah sekalipun ia mengikuti permainan ini.

Tapi masalah selalu ada. Dan kelihatannya masalah lebih memilih orang-orang yang justru berusaha menghindarinya.

Hoshina melihat masa depan di mana ia bertemu dengan dua orang kakaknya.

Dua orang perempuan yang telah sejak lama meninggalkan rumah keluarganya dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya hingga saat ini.

Keluarga Sanada memang bukan keluarga yang cukup bahagia, malah bisa dikatakan cukup hancur. Sejak kedua orangtua Hoshina diketahui saling berselingkuh oleh ketiga putri di keluarga itu, kehidupan rumah tangga dalam keluarga itu menjadi berantakan. Orangtua Hoshina tidak lantas bercerai, tapi juga tak pernah lagi terlihat berada di rumah setiap salah satu dari mereka ada di rumah.

Kalau hari ini ibunya sedang di rumah, ayahnya tidak akan terlihat sepanjang hari. Begitu pula sebailknya.

Keadaan ini belanjut hingga sebuah titik di mana tak ada lagi komunikasi antara kedua orangtua Hoshina dan ketiga anak perempuan dalam rumah itu, suatu hal yang kemudian membuat kedua kakaknya meninggalkan rumah atas inisiatif mereka.

Hoshina sendiri ragu kenapa ia masih bertahan di dalam rumah seperti itu.

Sejauh yang bisa ia ingat, sudah cukup lama sejak ia terakhir kali melihat orangtuanya ataupun kakak-kakaknya.

Dan sore ini, ia melihat sosok kedua kakaknya.

Tengah berhadapan melawan seorang pria yang merupakan pemain Arcanagram di jembatan perbatasan kota.

Namun tentu saja, yang paling mengejutkan Hoshina sebenarnya bukanlah kemunculan kedua kakaknya ataupun pria pemain Arcanagram.

Melainkan fakta bahwa ketiga putri keluarga Sanada adalah pemain Arcanagram.

Part 2

"Asahina-neesan, kau tahu sesuatu soal 'Arcanagram'?"

"Kebetulan sekali, Tsukiyo. Aku baru saja ingin menanyakan hal yang sama kepadamu."

"Oh. Dari nada bicaramu kelihatannya aku tidak perlu menebak kalau kau juga seorang pemain."

"Dan kelihatannya aku tidak perlu menutup-nutupi soal itu. Jadi, apa yang kau rencanakan mengetahui kakakmu ini juga salah seorang pemain?"

"Seandainya kau [pencipta] sih, mungkin aku bisa langsung mengakhiri permainan konyol ini. Tapi kurasa tidak mungkin bertanya langsung seperti itu."

"Yah, memangnya siapa di antara kita yang bisa memastikan seseorang [pencipta] atau bukan? Peraturan yang satu itu terlalu ambigu. Kalau si [pencipta] sendiri tidak ingat bahwa dirinya adalah [pencipta], bagaimana kita bisa memastikannya?"

"Ada caranya kok."

"Hm? Dan cara apakah itu, wahai adikku yang kelihatannya sudah punya rencana sendiri?"

"Bukankah kita tinggal mengeliminasi saja semua pemain yang kita temui, hingga permainan ini berhenti dengan sendirinya?"

"Oh-ho~. Berarti kalau tinggal kita berdua yang tersisa, kita bisa memastikan kalau salah satu dari kita memang [pencipta]?"

"Kurasa tanpa kusebutkan secara langsung kau sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."

"Dan kurasa punya seorang adik yang bisa langsung sepemikiran sepertimu lumayan berguna juga di saat seperti ini. Oke, ayo kita bekerjasama!"

"Ya. Dua pemain lebih kuat daripada sekedar satu pemain. Aku yakin belum ada yang berpikiran untuk membentuk aliansi dalam permainan seperti ini."

Part 3

Sejujurnya, walaupun sekilas permainan Arcanagram ini tampak aneh, konyol, absurd, abstrak -apapun sebutan yang kau temukan untuk menggambarkan ketidakjelasan permainan ini-, bagi seseorang yang menyukai tantangan seperti Miyahara Akaba, permainan ini justru membuatnya sangat bersemangat.

Belum lagi Arcanagram miliknya adalah [The Strength]. Ia merasa cocok sekali mendapatkan predikat dan kemampuan seperti ini.

Arcanagram No.VIII [The Strength] : Kekuatan. Meningkatkan satu hal yang diinginkan oleh pemiliknya dalam satu waktu.

Kalau ini sebuah permainan, maka tujuan setiap pemain harusnya sama, apapun bentuk permainannya.

Menang.

Kalahkan semua pemain lain, raih kemenangan, dan berdiri di puncak di akhir permainan!

Begitulah pikir Akaba. Dan pikiran itu tidak berubah sekalipun kelihatannya saat ini ia harus menghadapi pemain lain dalam pertarungan dua lawan satu.

Entah bagaimana lawannya menemukannya, tapi itu tidak masalah. Sebelum ini ia sudah mencoba mengetes kemampuannya, dan ia rasa sudah saatnya mencoba kemampuan itu dalam pertarungan yang sebenarnya.

"Jadi, siapa di antara kalian yang mau maju duluan? Atau kalian mau maju dua lawan satu? Yah, karena kalian wanita, kurasa handicap seperti itu cukup imbang."

Orang lain mungkin melihat perkataan Akaba barusan sebagai sebuah kesombongan, tapi sebenarnya bagi Akaba sendiri hal ini tak lebih dari sekedar rasa percaya diri.

Kedua perempuan muda di depan Akaba terlihat memandang satu sama lain, sebelum salah satu dari mereka yang memiliki seringai lebar dengan gigi taring terlihat jelas (Akaba memandangnya seperti seorang vampir) berkata kepadanya,

"Oi, oi. Kau kira permainan ini adalah sesuatu di mana kita akan bertarung ala pertarungan shounen manga?"

"Tentu saja! Untuk itulah masing-masing dari kita dibekali kemampuan mengagumkan seperti ini, bukan?"

"Naif," ujar perempuan satunya lagi -yang memiliki rambut berombak- ikut menanggapi. "Padahal kemampuan kartumu tidak seberapa bila dibandingkan kami berdua. Asahina-neesan, bolehkah aku merebut kartunya sekarang?"

"Ou, silakan. Tapi jangan dihancurkan, ya. Meski seperti ikan teri, tidak ada salahnya kita mengumpulkan setiap kartu yang bisa kita dapat."

"...? Mengumpulkan kartu? Apa maksud ka---"

Belum selesai Akaba berbicara, perempuan berambut ikal tadi sesaat terlihat ada tepat di depan mata Akaba.

Begitu dekat hingga mungkin mulut Akaba nyaris menyentuh mulutnya kalau ia maju sedikit saja.

"!!"

Akaba hanya berkedip sekali, namun kemudian perempuan itu sudah kembali ke posisi sebelumnya.

Dengan kartu [The Strength] milik Akaba di tangannya.

"Hei! Kau curang! Kenapa kau mencuri kartuku?!"

Akaba segera berlari ke arah mereka untuk merebut kembali kartunya, namun mendadak terhenti oleh sebuah gaya yang tidak ia mengerti.

"Guh?!"

"Yak, stop di situ. Selama kau masih punya niat 'melawan'ku, kau tidak bisa mendekat untuk batas sejauh tempat kau berdiri saat ini," jelas perempuan bertaring yang dipanggil Asahina kepada Akaba.

"Untuk apa menjelaskan kemampuan [The Sun] milikmu pada orang sepertinya? Buang-buang waktu saja," kata perempuan yang memegang kartu Akaba.

"Haha, biarlah. Jangan pelit soal waktu saat kau sendiri punya kemampuan seperti Arcanagram [The Moon] itu."

"...jadi, kau mau membunuhnya? Kalau dia masih aktif, kita tidak bisa memakai kartunya. Tapi aku juga tidak mau mengotori tanganku untuk membunuh orang tidak berkelas seperti ini. Kan aku sudah merebut kartunya, jadi menyingkirkan dia itu bagianmu ya."

"Hei, hei, Tsukiyo. Bicaramu seolah-olah aku ini pembunuh profesional saja."

"Kau mungkin bukan profesional, tapi setidaknya kau kan sudah membunuh ibu dan ayah. Jadi kurasa jelas siapa yang lebih berpengalaman di sini."

"Kaah! Kau ini, hal seperti itu harusnya jadi rahasia antar perempuan di antara kita saja, tahu! Enteng sekali kau menyebut hal seperti itu di depan orang seperti ini.."

"...!?"

Asahina dan Tsukiyo segera terkesiap saat mendapati kartu Akaba tak ada lagi di tangan Tsukiyo.

Mereka melihat ke arah Akaba yang masih tertahan di posisinya, namun telah merebut kembali kartunya sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Kaget? Aku hanya meningkatkan 'panjang tangan'ku hingga dapat meraih kartu milikku ini. Ternyata kemampuan ini bisa digunakan sekalipun tidak memegang kartu, ya!"

Asahina dan Tsukiyo menjadi awas dan segera bersiaga.

"Tsukiyo!"

"Aku tahu."

Segera Tsukiyo memakai kembali kemampuannya untuk mengubah persepsi waktu Akaba. Bagi orang normal, gerakan Tsukiyo saat ini pasti terlihat seperti kilat yang tak bisa ditangkap dengan mata telanjang.

Tsukiyo berusaha meraih kembali kartu Akaba dan mencoba merebutnya.

Namun Akaba menangkap tangan Tsukiyo yang terulur ke arahnya, kemudian membantingnya ke tanah dengan kuat.

"Aaaaakh!!"

Dengan bunyi berdebum keras, Tsukiyo terbaring di lantai, merintih kesakitan karena nyeri hebat di punggungnya.

"Kalian lengah," ujar Akaba dengan nada penuh percaya diri. "Kalian pikir cara yang sama bisa diulang dua kali? Kalau kau memperlambat waktuku, aku tinggal meningkatkannya kembali dengan kemampuanku untuk mengimbanginya! Dan kalian pasti tidak tahu kalau aku atlet bela diri! Hahaha, kartu [The Strength] ini memang kombinasi yang terkuat dengan diriku!"

"...kuh."

Akaba melihat perempuan yang masih berdiri di depannya kini memandangnya dengan tatapan tajam.

"Kalau telingaku tidak salah, kudengar kau, perempuan bertampang jahat dengan gigi taring! Kau membunuh orangtuamu sendiri? Tidak bisa dimaafkan! Akan kuberikan kau balasan yang setimpal dengan tanganku sendiri!"

Sanada Asahina menggertakkan giginya dengan geram melihat senyum penuh rasa percaya diri dari Akaba.

Mereka ternyata meremehkan orang yang satu ini.

Pertarungan dua lawan satu yang sebenarnya baru akan dimulai!

Part 4

Sanada Asahina mungkin bukan seorang profesional dalam pertarungan fisik, tapi dari pengalaman ia tahu kalau pemahaman terhadap situasi adalah salah satu poin vital untuk dijaga bila ingin mendapatkan keuntungan dalam pertarungan.

Lokasi saat ini adalah jalanan untuk pejalan kaki di pinggir sebuah jembatan besar tempat mobil berlalu-lalang masuk dan keluar dari kota ini.

Waktu saat ini adalah sore hari menuju matahari terbenam.

Kondisi saat ini adalah Tsukiyo tumbang sementara pria pemilik [The Strength] di hadapannya telah sepenuhnya beralih untuk mengincarnya.

Posisi saat ini adalah sekitar 3-4 meter antara Asahina dan pria itu.

Mengetahui semua hal ini, Sanada Asahina segera mensimulasikan skenario apa yang paling mungkin ia lakukan untuk menghadapi pria tersebut.

Pria tersebut telah melesat ke arahnya. Kelihatannya ia bahkan tidak berpikir untuk merebut kartu atau membunuh Tsukiyo yang terbaring, yang artinya Asahina masih bisa berharap Tsukiyo bangkit dan membantunya selama ia mengulur waktu menunggu Tsukiyo pulih.

Asahina memakai kemampuan [The Sun] miliknya, dan pria itu berhenti di tempat.

Namun hanya sesaat.

Kurang dari tiga detik kemudian pria itu kembali maju, sekalipun seharusnya kemampuan [The Sun] menahannya agar tidak mendekati pusat, yaitu dirinya. Apa yang terjadi di sini?

Asahina tidak memikirkan kemungkinan bahwa Akaba baru saja meningkatkan 'jarak yang bisa dicapai' antara dirinya dan Asahina. Dengan demikian, sekalipun efek [The Sun] bekerja, efek [The Strength] membuat cakupan kemampuannya menjadi terbatas.

Meski tidak sepenuhnya bisa mendekati Asahina tanpa jarak, karena Akaba kembali terhenti saat jarak di antara mereka adalah sekitar 60 sentimeter.

"...jadi ini batasnya? Tapi, ini cukup!"

Akaba berseru dan mengayunkan badan dan tangannya ke arah Asahina, namun Asahina tentu saja tidak tinggal diam. Ia mundur ke belakang, membuat jarak di antara mereka berdua kembali melebar sehingga Akaba tak mampu meraihnya.

Memang Akaba tidak akan mungkin melukainya selama efek [The Sun] memang benar-benar bekerja. Tapi bukan tidak mungkin Akaba merebut kartunya, atau melakukan suatu hal lain yang dapat menembus pertahanan Asahina saat ini.

Kartu [The Sun] memang tidak ideal untuk skenario ofensif seperti apapun. Karena itulah Asahina memerlukan Tsukiyo.

Tepat sesuai perhitungannya, Tsukiyo akhirnya telah bangkit dan menerjang ke arah Akaba dari belakang.

Akaba tidak sempat membatalkan 'peningkatan' yang ia lakukan sebelumnya, sehingga tak bisa mengimbangi kecepatan Tsukiyo. Perempuan dengan rambut berombak itu meraih kepala Akaba, dan dengan kecepatan luar biasa menghantamkan kepalanya ke pagar di sisi jembatan.

"Uwaaagh!"

Akaba mengerang kesakitan. Darah pun terlihat mengucur di dahinya.

"Tsukiyo, tahan dia!"

"Dia milikmu! Habisi dia!'

Tsukiyo terus memperlambat persepsi waktu Akaba, sementara Asahina kini berlari menghampiri mereka dengan sebuah jarum suntik di tangannya.

"Ja-ngan.....me-re-meh-kan-ku!!!!!!"

"---!?"

Akaba kembali bangkit dengan sekuat tenaga, menghempas Tsukiyo yang sebelumnya masih menahan kepalanya. Terkejut, gerakan Asahina terhenti sesaat, namun ia tak sempat melakukan apa-apa saat Akaba meluncur ke arahnya dengan sebuah tendangan terbang.

"Terima ini!"

Tendangan itu mengenai kepala Asahina dengan telak, membuat tubuhnya terpelanting ke arah tanah seketika.

"Neesan!"

Sebelum Tsukiyo bisa memikirkan bagaimana Akaba lepas dari tahanannya, pria itu telah berbalik dan melompat ke arahnya.

"Sial!"

Sebuah tendangan diluncurkan oleh Akaba, namun Tsukiyo bergerak secepat yang ia bisa dengan tubuh dan bantuan kemampuannya untuk menghindar dari Akaba. Sekali lagi jarak tercipta di antara mereka, namun Akaba tidak berhenti mengejarnya.

"Aku menang!"

Tinju Akaba melayang ke arah wajah Tsukiyo.

"!!"

Namun yang merasakan sakit setelahnya bukanlah Tsukiyo.

Tsukiyo terdiam sesaat, tak mengerti apa yang terjadi.

Tinju Akaba terhenti di udara, dan pria itu terlihat tidak lagi mampu bergerak.

"Kau...siapa...bagaimana..."

Itulah kata-kata terakhir Akaba, sebelum tubuh besarnya ambruk di depan Tsukiyo.

Saat itulah, Tsukiyo dapat melihat siluet seseorang di belakang tubuh Akaba.

Seseorang yang ia kenal, yang kini tengah memegang sebuah jarum suntik.

Sosok seseorang yang tidak mungkin tidak ia kenal sekalipun telah lama tidak bertemu dan wajahnya tertutup oleh bayangan karena tenggelamnya matahari.

"...Hoshina...."


Intermission Report

Inactive Player : No.X [The Fortune], No.III [The Empress], No.0 [The Fool], No.VIII [The Strength]

Player Remaining : 18

Arclist4.jpg