Arcanagram:Volume00 17th card

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Matahari kembali menyambut pagi hari di kota kecil nan sepi yang sempat dihebohkan dengan berbagai kejadian beberapa hari belakangan ini.

Bagi mayoritas orang-orang yang bangun pagi itu, hari ini tak ubahnya seperti hari-hari biasa di mana mereka menjalani aktivitas seperti biasa.

Memang, beberapa berita sempat menggemparkan segelintir orang ketika mendengar kematian idola terkenal, Sengoku Hime, di hari sebelumnya. Berita itu cukup hebat hingga menutupi berita lain mengenai kecelakaan truk yang menabrak seorang pria malang dan ditemukannya dua mayat perempuan yang jatuh dari sebuah gedung tua.

Namun, bagi mereka yang mencermatinya, ketiga berita itu datang dengan pesan yang sama.

Entah siapa yang bertindak sebagai sumber dan memasukkannya, namun di ketiga berita yang tampak tak berhubungan itu, ada satu kata yang sama disebutkan sebagai penyebab kematian mereka.

Arcanagram.

Sebuah kata yang tidak dikenal oleh kebanyakan orang, tetapi pasti sampai kepada mereka yang terlibat di dalamnya.

Pada hari ini, permainan Arcanagram memasuki hari terakhirnya.

Dan sesuai dengan peraturan tambahan yang ada di dalamnya, pada hari ini pula semua pemain yang tersisa mendapatkan kembali ingatan mereka sebelum permainan ini dimulai.

Part 2

Seorang pria bertubuh besar terlihat tengah berjalan bersama tiga orang perempuan.

Mereka terlihat seperti berjalan di tengah-tengah ketiadaan. Tidak terlihat adanya warna selain hitam dan putih, dan tidak ada pemandangan yang bisa dilihat ke manapun mata memandang.

Tetapi entah bagaimana, kaki mereka seolah tetap berpijak pada sesuatu, yang membuat mereka dapat berjalan sekalipun kaki mereka tidak terlihat menyentuh suatu dasar.

Dalam perjalanan mereka di tengah-tengah tempat antah-berantah, mereka berbicara mengenai banyak hal.

Tentang dunia, tentang kehidupan mereka, dan tentang permainan yang akan mereka buat sebentar lagi.

"Kau tahu," ujar Sanada Tsukiyo. "Hidup ini tidak pernah benar-benar menyenangkan, kalau harus kuakui. Aku tidak mengerti bagaimana orang lain bisa hidup hingga puluhan tahun, atau bahkan ratusan abad. Rasanya menghabiskan waktu selama itu akan sangat membosankan di dunia yang tidak berubah ini."

"Ahahaha, adikku ini memang selalu sepemikiran denganku," sambung Sanada Asahina dengan riang. "Yah, kurasa siapapun yang sudah tahu rahasia di balik kehidupan ini akan mengatakan hal yang sama. Aku jadi penasaran apakah [pencipta] yang sering disebut oleh berbagai kepercayaan seperti agama-agama adalah benar keberadaannya. Kalau memang iya, untuk apa dia, atau mereka, menciptakan dunia yang kosong seperti ini?"

"Pikiran kalian terlalu pendek!" sanggah Miyahara Akaba tiba-tiba. "Sekalipun dunia dan kehidupan ini membosankan, justru karena itulah setiap hari kita mencari cara untuk menjauhkan diri dari rasa bosan itu. Kalau tidak punya tujuan, kita tinggal membuat tujuan itu. Tidak perlu bergntung pada sesuatu yang tidak kau yakini, kan? Kupikir kelemahan mereka yang hidup saat ini adalah terlalu banyak ragu!"

"Oh-ho. Lalu, apakah kau punya solusi yang tepat untuk semua ini, Miyahara Akaba-san?"

"...uh, sayangnya tidak."

"Pria besar sepertimu ternyata hanya besar mulut saja, ya."

"Asahina-neesan, berhentilah bicara seperti itu. Jangan membuatku merasa bersalah membawa topik seperti ini."

"Ahahaha, maaf, Tsukiyo. Habisnya pria besar ini tampak positif sekali, sih. Aku jadi heran kenapa dia berakhir di tempat yang sama seperti kita."

"Hei! Meski aku tampak tegar di luar, ini semua untuk menutupi hatiku yang sebenernya rapuh, tahu!"

"---pfffft!! Bwahahahahaha!! Kau dengar itu, Tsukiyo? 'Hati yang rapuh', katanya, hahahahaha!!"

"Asahina-neesan, berhentilah tertawa seperti itu. Jangan membuat yang lain mengira kita kehilangan kewarasan kita."

"Kuberitahu saja, nona-nona. Sekalipun aku tidak tampak frustasi, aku juga sama seperti kalian. Hanya saja aku lebih bisa menyimpannya dalam-dalam dan tidak menunjukkannya dengan jelas. Sebagai gantinya, lihat. Sikapku masih bisa membuat orang lain tertawa, kan? Kurasa itu sesuatu yang positif."

"Apa, kau mau bilang kalau kau akan menyelamatkan dunia dengan tawa?"

"Tidak. Toh lagipula dunia tidak perlu lagi diselamatkan..."

"...kau benar. Dunia memang tidak perlu diselamatkan. Kitalah yang perlu diselamatkan."

"....."

Hening sejenak.

"Hei," Tsukiyo kembali membuka pembicaraan seperti sebelumnya. "Kalau begitu, menurut kalian, bagaimana kita bisa diselamatkan?"

Mereka berempat saling bertukar pandang mendengar pertanyaan yang satu itu.

"Hmm, bagaimana ya? Pada dasarnya kita-kita ini kan memang orang yang tidak akan selamat dari keputusasaan, dan justru karena itulah kita berada di sini. Kalau memang ada cara untuk mengeluarkan kita dari tempat tak berujung ini, kurasa cara itu adalah dengan membuang apapun yang sudah kita capai hingga titik ini, dan memulai segalanya dari nol."

"Tapi itu tidak mungkin, pria besar," potong Asahina sekali lagi. "Kita tidak bisa membuang kehidupan kita, dan kita tidak punya cukup kemampuan untuk mengubah seluruh dunia, karena bukan kita yang menciptakan dunia ini. Tapi, harus kukatakan kalau ide itu sangat menarik untuk kita bawa ke hadapan yang lain."

"...ide itu?"

"Ya. Ide di mana kita 'memulai sesuatu yang baru'."

"...bagaimana caranya, Asahina-neesan?"

"Itu---"


Kelanjutan dari kilas balik itu terpotong saat Sanada Hoshina membuka matanya.

Part 3

Kali ini terlihat seorang pemuda urakan yang tengah duduk di antara gedung-gedung hancur bersama dua orang perempuan.

Di sekitar mereka, tidak tampak adanya kehidupan selain mereka bertiga. Bahkan langit memperlihatkan warna yang kelabu, seolah menolak untuk menambah warna di dunia di mana hanya tersisa sedikit bukti kehidupan ini.

Sambil mencari posisi yang nyaman, terdengar dua perempuan itu tengah berdebat mengenai sesuatu.

"Tapi kita bukan [pencipta], bagaimanapun juga tidak mungkin kita membuat sesuatu dari nol kecuali dengan menghapusnya. Dan kita tahu sendiri kalau segala sesuatu di dunia ini tidak bersifat abadi. Kalau memang tidak puas, mengapa tidak menunggu semua berakhir saja?"

Mendengar perkataan itu, Takenatsu Riri melotot ke arah si pembawa pernyataan tersebut, yaitu Hanamura Yumeha.

"Menunggu semua berakhir dengan sendirinya sama saja dengan mengandalkan tangan orang lain," tegasnya. "Kalau kita memang menginginkan adanya perubahan, maka kita sendirilah yang harus membuat perubahan itu. Memangnya kau tidak pernah mendengar perkataan 'dia yang tidak bekerja, tidak akan bisa makan'?"

"Aku tidak mengerti kenapa kau membawa perumpamaan seperti itu...."

"Oh, tapi ini sangat berkaitan, menurutku," lanjut Riri bersemangat. "Oke, anggaplah kita tidak bisa menghapus apapun menjadi nol dan tidak bisa memulai apapun dari nol. Tapi itu juga bukan berarti kita tidak bisa membuat sesuatu yang baru dari apa yang sudah ada, kan?"

"Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini."

"Cih, aku harus menjelaskan? Kuharap yang lain nanti tidak selambat dirimu dalam berpikir," cemooh Riri, membuat Yumeha terlihat sedikit sebal. "Baik, baik. Tahan kekesalanmu itu untuk mendengarkan penjelasanku ini kalau kau mengaku senang dengan logika."

"Aku mendengarkan, Takenatsu Riri-san."

"Kalau begitu biar kumulai. Seperti yang kita tahu, dunia ini sudah berjalan sekian lama, dan hidup kita juga sudah berlangsung selama sekian waktu. Karena secara logika kita tidak bisa memutar ulang waktu ke titik nol, maka tentu wajar kalau kita memulai sesuatu dari titik di mana kita berada saat ini."

"Sebentar. Bukankah kalau begitu yang akan tercipta bukan sesuatu yang 'baru'? Dan apa hubungannya dengan mengusahakan perubahan yang kau sebut-sebut di awal?"

"Makanya jangan memotong pembicaraanku sebelum aku selesai. Haah, jangan salahkan aku kalau sampai di poin ini kau kebingungan lagi... Sampai di mana tadi? Oh ya, soal memulai sesuatu yang baru dari titik bukan titik nol... Begini, kalau kita semua mencoba membuat sesuatu yang baru dari titik nol, sekilas memang terlihat seperti 'bukan sesuatu yang baru'. Tapi kita pasti akan mendapatkan sesuatu yang berbeda, meski sekilas tidak tampak baru."

"Yaitu?"

"Sebuah alternatif."

"...alternatif?"

"Dengan kata lain, 'versi lain' dari apa yang tidak kita inginkan. Meski bukan dari nol, kurasa alternatif itu akan menciptakan perubahan yang berujung pada perbedaan dengan apa yang ada sebelumnya. Kalau sudah begitu, maka kurasa tidak masalah kalau kita memulainya dari titik ini."

"Oooh. Akhirnya aku menangkap ke mana maksudmu dengan ini."

"Jangan pura-pura mengerti kalau sebenarnya kau tidak mengerti. Coba katakan padaku, memang apa yang kau kira akan kusarankan pada mereka semua?"

"Mari kita lihat...bagaimana kalau kita menghapus sesuatu yang secara normal bisa terjadi, tetapi tanpa menghilangkan keberadaan kita sendiri di dunia ini?"

"Kenapa kau malah membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lagi?"

"Itu bukan pertanyaan, Riri-san. Itu saran. Kan kau bilang, kita tidak bisa mencipta dan hanya bisa mengubah. Kalau memang menginginkan perubahan besar yang tampak nyata bagi kita, maka kurasa cara yang paling logis adalah dengan menghilangkan apa yang membuat kita mempersepsikan dunia seperti ini."

"Saranmu abstrak. Coba jelaskan dengan sederhana, apa yang akan kita hapus untuk mendapatkan perubahan nyata itu?"

"Bantu aku berpikir, kalau begitu."

"Kau ini..."

"Ah, tidak perlu. Kelihatannya aku baru saja mendapatkan jawabannya."

"Apa itu? Tolong jangan katakan sesuatu yang tidak berguna dengan wajah puas begitu."

"Ap--berhentilah bicara seolah aku tidak bisa memberi saran yang bagus! Dengar, yang perlu kita hapus untuk saranku ini adalah---"


Kiyotaka Tooru terbangun dari tidurnya, sama sekali tak mengerti dengan apa yang baru saja ia saksikan.

Part 4

Di tempat lain di mana terdapat sebuah padang rumput di atas bukit, tiga orang perempuan dan seorang lelaki tua tengah dengan santainya meminum teh dan memandang hutan lebat yang ada di bawah mereka, sambil sesekali bertukar percakapan.

Bertindak sebagai seorang dengan senioritas dan pengalaman hidup paling lama, sang kakek tua seolah berpetuah dengan kata-katanya.

"Ini tidak bisa dibiarkan. Generasi kalian seharusnya memikirkan perubahan sejak dulu, bukan di saat-saat seperti ini. Lihatlah. Yang namanya penyesalan adalah sesuatu yang datangnya selalu belakangan, kan?"

Di seberang tempat lelaki tua itu duduk, seorang perempuan dengan rambut hitam meminum tehnya, seraya membalas,

"Perkataanmu itu seolah kau sendiri yang menyesal dengan keadaan ini, Kurota Byakuya-san."

"Kita semua terjebak di sini, jadi tidak perlu melihat perbedaan seperti masalah generasi," seorang perempuan lain dengan rambut berantakan dan tubuh mungil menambahkan. "Pada dasarnya, semua manusia sama. Dan kita semua ada di satu tempat yang sama juga pasti karena kesamaan di antara kita."

"Nice assist, Kagari-san!"

"Terima kasih kembali, Hime-san."

Kedua perempuan itu kemudian kembali menghabiskan teh mereka masing-masing.

"...inilah kenapa aku malas berurusan dengan wanita, apalagi mereka yang masih muda. Kaum kalian terlalu manipulatif. Tak heran ada yang menyebut kalian sebagai racun dunia," keluh Byakuya sambil mengelus-elus kepalanya yang tidak berambut.

"Oh? Apa aku baru saja mendengar adanya komentar seksis dalam kata-kata barusan? Kukira kita sepakat mengesampingkan perbedaan apapun dalam pembicaraan ini?"

"Kelihatannya Byakuya-san tidak menangkap pesan bahwa 'kita semua ada di posisi yang sama' yang baru saja kukatakan, ya. Aku jadi kecewa..."

"Baiklah, kalian menang! Oke, kutarik kembali kata-kataku. Sekarang, bagaimana kita akan memulai perubahan dari sekarang?"

Mereka semua berhenti meminum teh masing-masing dan bertukar pandang sesaat.

Sengoku Hime mengemukakan pendapat pertamanya.

"Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, yang perlu kita ubah sebenarnya bukan dunia, tetapi cara kita memandang dunia, kan? Hanya saja, kita tidak bisa melakukannya tanpa mengambil langkah yang drastis. Bagi kita, 'perubahan' harus berarti sama dengan 'benar-benar berbeda dari sebelumnya'. Jadi, yang akan kita lakukan adalah membuang diri kita yang sebelumnya."

"....kalau semuanya semudah membunuh diri sendiri, kita tidak akan ada di sini sekarang. Dan aku juga tidak akan terlanjur hidup selama ini."

"Berhentilah mengindikasikan penyesalan, Byakuya-san."

"...."

"Ngomong-ngomong, aku memang mengatakan untuk membuat perubahan drastis, tapi kita tidak perlu membuang keseluruhan diri kita. Karena yang perlu diubah adalah persepsi, berarti kita hanya perlu menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk kita mengubah pola pikir dan pandangan itu."

"Menciptakan kondisi? Maksudmu dengan bermain peran dan pura-pura buat akan kenyataan yang sebenarnya?"

"Wah, aku tidak menyangka akan mendengar umpan balik seakurat itu. Seratus untukmu, Byakuya-san!"

"Trims. Tapi aku serius di sini. Bagaimana kita akan melakukannya?"

"Tidak memulai pertanyaan dari 'kenapa kita harus melakukannya'?"

"Kita berkumpul di sini karena kehilangan alasan, jadi kurasa aku tidak perlu pertanyaan dengan awalan 'kenapa'."

"Hmph, kurasa kau benar. Jadi, bagaimana?"

"Lho, rasanya tadi Byakuya-san sudah mengatakannya. Kita akan bermain peran, kan?"

"Mengubah kehidupan kita menjadi sebuah permainan, eh... Entah apa kata yang lain kalau mendengar ini. Bukannya aku menolak, tapi untuk cakupan hal-hal yang dapat kita lakukan, ini terdengar seperti sesuatu yang entah dari mana datangnya...apa istilahnya, out of box?"

"Kurasa mereka semua akan setuju-setuju saja kalau memang ini bisa digunakan untuk perubahan yang kita inginkan."

"Tunggu, kenapa kita menginginkan perubahan dari awal?"

"...kukira tidak akan mendengar pertanyaan 'kenapa' lagi.. Bukankah kau tahu kalau---"


Ketika sinar matahari pagi membangunkannya dari tidur, Asagiri Sora justru menyesal tidak tertidur lebih lama.

Part 5

Tiga orang lelaki dan seorang perempuan yang kelihatan paling muda duduk di sebuah ruangan dengan kursi-kursi tinggi yang menempel di dinding, dengan seisi ruangan tidak memperlihatkan warna lain selain warna putih bersih. Kelihatannya mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius, akan tetapi hanya tiga buah suara yang terdengar terus berbicara sepanjang percakapan tersebut.

"Jadi, seperti apa bentuk permainannya? Seperti apa?" tanya Kirika Nanano penasaran.

"Berhentilah bicara dengan nada menyebalkan seperti itu," hardik Ohtori Hajime. "Atau kubunuh kau."

"Astaga, tidakkah sebaiknya kita tidak saling mengancam di sini? Sekalipun aku tahu ancaman seperti apapun sebenarnya tidak berarti dalam keadaan kita sekarang..," kata Sakuraba Jo berusaha melerai.

"Huh. Aku tahu, aku tahu. Aku hanya tidak ingin menghabiskan waktu dengan hanya diam saja di sini, jadi ayo mulai saja pembicaraannya!"

Mendengar permintaan Hajime, Sakuraba Jo berdehem pelan.

"Ehem. Kalau begitu kita kembali ke pertanyaan awal. Seperti yang sudah disepakati sebelumnya, kita akan menggunakan kehidupan kita sendiri sebagai sebuah bentuk permainan. Elemen permainan yang akan kita masukkan bebas, selama itu cukup untuk membuat perubahan yang kita inginkan."

"Sekalipun disebut permainan, sebenarnya ini hal yang serius, ya?" tanya Kirika Nanano memastikan.

"Kalau ini bukan pembicaraan serius, kita tidak akan duduk di sini, otak udang," sekali lagi Hajime mengejek Nanano. "Ah, sebaiknya aku berhenti menghabiskan waktu dengan berhenti mendengar ocehan darimu."

"Daripada bersikap seperti itu terus, kelihatannya kau punya satu-dua saran untuk diajukan, Hajime-kun?"

"Tentu saja. Aku berpikir lebih cepat dari kalian. Dengar, kalau tidak ingin menghapus keberadaan kita, maka kita tinggal menghapus apa yang menjadi identitas kita - yaitu ingatan kita sendiri. Dengan demikian, hidup akan terasa seperti sesuatu yang baru, karena kita tidak tahu seperti apa kehidupan yang sebelumnya."

"Hm...tapi sekali lagi, kurasa menghapus sesuatu menjadi nol itu di luar batasan. Bagaimana kalau kita membatasi apa yang kita hapus, tapi cukup untuk memberikan efek yang kita inginkan?"

"Kalau begitu hapus saja ingatan kita terkait apapun yang berhubungan dengan permainan yang akan kita buat ini. Itu saja cukup, kan."

"Oh, oh! Benar juga! Kalau seperti itu, mau tidak mau kita harus mencari sendiri arti dari keberadaan kita, dan dunia tidak akan tampak sama ketika kita tahu kebenarannya! Hebat, Hajime-san!"

"Tutup mulutmu sebelum kita sampai ke satu kesimpulan."

"Hmm. Sejujurnya aku tidak punya keberatan dengan usulan Hajime-kun sejauh ini. Tapi bagaimana dengan format permainan itu sendiri? Aku tahu kita tidak perlu membuatnya seperti main-main sekalipun kita menyebutnya 'permainan', tapi kurasa kita tetap perlu batas-batas dan aturan yang jelas."

"Itu sifatnya teknis. Selama kita tahu apa yang ingin kita raih dengan permainan itu, kurasa seperti apa permainannya sendiri nantinya tidak akan masalah."

"Tapi aku tetap ingin ada unsur yang membuat kita merasakan permainan itu benar-benar berarti!"

"Nanano-san, aku mengerti keinginanmu, tapi--"

"Perempuan ini tidak bisa diam kalau tidak kuberi pelajaran, ya?"

"Tolong beri dia pelajaran supaya dia mengerti kalau begitu, Hajime-kun."

"Ya, coba beritahu aku apa yang masih kau simpan di kepalamu, Hajime-san!"

"..keh."

Ohtori Hajime memandang setiap mata yang saat ini melihat ke arahnya dengan penuh antisipasi, dan setelah menarik nafas panjang, ia kembali berbicara,

"Bila memang ingin melakukan permainan serius yang mengubah segalanya...kita buat saja permainan ini menjadi sebuah permainan dengan taruhan nyawa. Hidup atau mati. Satu orang pemenang, dan semua yang lain tersingkir. Dengan begini, tidak hanya permainan ini sekedar 'menegangkan', tapi juga akan dianggap serius oleh siapapun ketika melihat sendiri kalau permainan ini tidak main-main."

"Ooooh..."

"...permainan hidup dan mati, ya.. Memang, kurasa tanpa ingatan tentang hal-hal terkait permainan ini dan situasi hidup-mati, itu akan memberikan stimulus dan sensasi baru yang tidak kita pikirkan sebelumnya.. Ya, mungkin itu memang ide yang bagus. Kelihatannya kita bisa meraih apa yang ingin kita capai dengan ini. Terima kasih atas pendapatmu, Hajime-kun."

"Tapi Hajime-san, itu belum menjawab bagaimana format dan teknis permainan yang akan kita buat ini."

"Lalu kau menyuruhku memikirkannya juga, begitu? Jadi untuk apa kalian ada di sini kalau seluruhnya ada di tanganku?"

"Ah, tidak-tidak. Sebenarnya aku juga sudah memikirkan satu bentuk permainan yang sesuai dengan ketentuan Hajime-san barusan. Sekarang boleh kan aku berpendapat?"

"Bicaralah."


Seperti sebuah film yang mendadak terpotong oleh iklan, Tobari Hideya terbangun dengan penuh tanda tanya di kepala.

Part 6

Pada tempat dan waktu yang lain, tampak dua orang wanita, seorang lebih berumur daripada salah satunya, dan dua orang pria, yang juga terdiri dari tua dan muda. Mereka berempat terlihat berada di sebuah ruangan yang dikelilingi oleh jendela, membuat kesan sekalipun mereka berada di dalam ruangan, tetapi mereka bisa melihat dunia luar ke manapun mata mereka memandang.

Namun seolah tidak terpengaruh dengan apapun yang terjadi di luar ruangan tersebut, mereka hanya duduk dan berbicara.

"Seseorang harus menjadi target," kata Yuuzawa You. "Tanpa target, permainan ini tidak akan bertujuan. Tanpa tujuan, apapun tidak akan bisa berjalan sekalipun memiliki latar belakang. Tentukan saja itu sekarang."

"Kenapa harus satu orang? Kenapa tidak semua orang harus menghabisi semua yang lain saja?" sela Tsuchikage Yadomaru. "Kalau memang modelnya adalah last-man standing, kurasa kita justru salah membuat permainan ini sebuah game of tag."

"Duh, inilah kenapa aku tidak suka kalau berdebat mengenai sesuatu yang teknis," keluh Kiyama Kaoru. "Bukan apa-apa, aku hanya tidak suka melihat munculnya perbedaan padahal secara fundamental kita semua sama."

"Dasar fundamentalis."

"Yadomaru-kun, belajarlah menghargai pendapat orang lain. Dan kurasa aku lebih sependapat dengan Kaoru-san."

"Karena kalian satu generasi. Sudah kukira, kita tidak bisa mengesampingkan hal ini."

"Apalah arti generasi dalam keadaan kita sekarang? Ayolah Yadomaru-kun, kurasa kita tidak perlu melihat hal-hal remeh seperti itu. Karena sudah ada keputusan mengenai format, bukankah kita tinggal memodifikasi apa yang kita bisa dari ketentuan ini?"

"...baik."

"Nah, begitu lebih baik. Aku mengerti kenapa Yadomaru-kun protes, tapi bukan berarti kita tidak bisa membuat adaptasi untuk menyesuaikan dengan apa yang sudah ada, kan?"

"Kalau begitu beri aku alasan kenapa target hanya satu orang."

"Kita memang akan membuat target satu orang, tapi yang kupikirkan adalah kita menyembunyikan 'siapa' target yang dimaksud ini. Kita buat beberapa ketentuan yang mengarahkan kita - para pemain di dalamnya untuk percaya kalau permainan bisa diselesaikan dengan menemukan target ini, tapi karena ketidaktahuan mengenai identitas target itu sendiri, mungkin ujung-ujungnya selama permainan berlangsung akan terjadi eliminasi besar-besaran sampai tinggal tersisa target dan beberapa pemain."

"...tunggu. Kalau memang seperti itu akhirnya, berarti saranku--"

"Ya, semua sesuai dengan yang kau inginkan. Dengan ini, tidak ada lagi keberatan, kan?"

"...baiklah."

"Ternyata Yadomaru-kun sederhana, ya."

"Jangan membuat aku terlihat seperti anak kecil, Kaoru-san. Oke, aku sudah mendapat gambaran bagaimana semua ini akan berlangsung. Jadi, bisakah kita mulai mencoba seperti apa bila permainan ini dilangsungkan? Sebuah beta-test, atau semacam itu."

"Ya, kurasa tidak akan memakan waktu lama untuk sekedar membuat simulasi. Bagaimana, Kaoru-san?"

"Tidak ada masalah di sini. Tapi sebelumnya aku ingin menyesuaikan beberapa hal dulu."

"...apa saja itu?"

"Kita tidak punya masalah mengenai tempat dan kondisi masing-masing dari kita - pemain - saat permainan ini akan dimulai, kan?"

"Kurasa tidak. Membuat hal-hal seperti ini masih terbilang mudah untuk dilakukan dengan kemampuan kita saat ini."

"Apa ada lagi?"

"Ada lagi. Entah kenapa rasanya tanggungjawab orang yang menjadi target ini besar juga ya. Memang sih dia tidak akan diincar secara langsung kecuali ada yang menemukan cara untuk memastikan identitas masing-masing, tapi tetap saja..."

"Kalau cuma masalah meringankan beban, kita bisa membuat keringanan dengan beberapa peraturan tambahan."

"Maksudku bukan cuma itu, sih. Sederhananya, bagaimana kalau kita mengubah sebutan target itu menjadi sesuatu yang lain?"

"Seperti?"

"Sesuatu yang menggambarkan kita semua, tetapi diwakili dengan satu orang. Dengan begitu sekalipun dia terkesan seperti satu individual, pada kenyataannya dia adalah representasi yang sama dengan kita. Aku punya pemikiran untuk menyebutnya sebagai---"


Nakamori Ai terjaga, kemudian menutup matanya lagi. Namun sayangnya, ia tidak bisa melihat kelanjutan dari apa yang ia kira dapat ia lihat kalau memejamkan mata sekali lagi.

Part 7

Di balik langit yang merah dan awan yang berwarna hitam, tiga orang lelaki berdiri menatap sisa-sisa dari pemandangan yang bisa mereka dapati sekarang.

Bagi mereka, dunia seolah telah hancur.

Bagi mereka, kehidupan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Yang bisa mereka lakukan hanyalah membohongi diri mereka sendiri, membuat beberapa harapan palsu dengan sedikit kemungkinan untuk menciptakan perubahan.

Dan bagi mereka, inilah akhirnya.

Tidak, lebih tepatnya, ini adalah sebuah awal.

Awal dari apa yang berusaha untuk mereka raih, sekalipun segala sesuatunya terlihat tidak tidak masuk akal.

Tapi mereka memang merupakan kumpulan yang kehilangan alasan. Maka tak perlu lagi mereka mempermasalahkan apa yang masuk akal dan apa yang tidak ketika semua sudah siap untuk dijalankan.

"Akhirnya, semua akan dimulai, ya..."

Haruaki Shinobu terlihat puas dengan hasil yang telah mereka semua sepakati. Setelah ini, yang tersisa hanyalah akhir dari perjalanan mereka.

"Lucu juga melihat bagaimana akhir bagi kita adalah awal bagi siapapun yang nantinya akan bertahan di akhir."

Di sampingnya, Nishigami Kaito berkomentar dengan nada sinis.

"Kau benar. Tapi kalau tidak begini, tidak akan ada yang berakhir, dan tidak akan ada yang dimulai. Pada akhirnya, harus kukatakan aku sendiri senang kita bisa mencapai sesuatu seperti ini, dan tidak sekedar berjalan dan mengutuki dunia tanpa tujuan."

"Hah. Lagi-lagi kau bicara tentang ironi," ujar Nishigami Kaito. "Kita ini sama saja seperti kumpulan kegagalan di dunia yang sedang berusaha mencari pembenaran. Bahkan seharusnya aku tertawa ketika melihat kita akan mengubah segalanya menjadi permainan, tetapi aku tidak bisa."

"Karena kita semua tahu ini memang cara yang benar."

"Tidak, sejujurnya aku tidak tahu apa yang membuat sesuatu dikatakan 'benar' dan 'salah'. Tapi aku tahu kalau dunia ini terdiri dari mereka yang hidup di dalamnya, dan selama mereka-mereka tersebut bisa menentukan sendiri apa yang mereka inginkan, apa yang benar dan salah akan merujuk pada bagaimana dunia itu bekerja."

"Ayolah, Kaito-san. Bagaimana kalau kita memulai semua ini dengan tersenyum?"

"Atau dengan menyembunyikan wajah kita."

"Ah, itu juga bisa. Toh kita tahu kita pasti tidak akan ingin menarik perhatian selama permainan ini berlangsung."

"Sekalipun semua selain kita adalah kebohongan?"

"Sekalipun semua selain kita adalah kebenaran."

"Aku tidak mengerti. Tapi entah kenapa, aku juga merasa tidak perlu mengerti."

"Tidak semua yang ada di dunia perlu untuk dimengerti. Ada kalanya yang perlu kita lakukan hanyalah menjalaninya, dan itu saja sudah cukup."

"Untuk apa akal ada kalau tidak kita gunakan untuk mencari tahu?"

"Untuk menentukan apa yang perlu kita ketahui dan apa yang tidak perlu kita ketahui."

"...ahahaha. Rasanya benar-benar aneh. Semuanya akan berakhir sebentar lagi, tapi di sinilah kita, bertukar pertanyaan dan jawaban yang gagal untuk kupahami."

"Semuanya akan dimulai sesaat lagi, kalau boleh kukoreksi."

"Pandangan kita berbeda."

"Kita semua sama. Sekalipun terlihat berbeda, kita semua sama. Sekalipun pandangan kita berbeda, apa yang kita lihat sama. Sekalipun kehidupan kita masing-masing berbeda, dunia yang kita menjadi tempat kita hidup adalah sama."

"Dan kita di sini untuk mengubah semua itu."

"Kau benar."

"Jadi, bisakah kita mulai?"


Dengan kalimat terakhir tersebut masih tengiang-ngiang di kepala, Zekken Isshiki menguap lebar menatap matahari pagi.

Part 8

Sekitar 8 jam sudah berlalu sejak hari berganti menjadi hari yang baru.

Melihat waktu yang sudah berlalu, kira-kira hanya dua pertiga hari lagi dari batas waktu permainan Arcanagram. Seperti apapun hasilnya, akan dipastikan kalau permainan yang telah merenggut banyak jiwa di dalamnya akan berakhir hari ini.

Dan pada pagi hari itu pulalah, seolah mendesak para pemain untuk mengurangi jumlah mereka, takdir mempertemukan dua orang pemain.

Sanada Hoshina, pemilik [The Star], dan Kiyotaka Tooru, pemilik [The Judgement].

"Tidak perlu menembakku," kata Hoshina melihat pistol yang teracung ke arahnya dengan tenang. "Jangan kotori tanganmu sendiri lebih jauh. Biar aku sendiri yang menghancurkan kartu ini."

"Kau sendiri, jangan menguliahiku," balas Tooru. "Aku bisa mengenal seseorang hanya dengan melihat mata mereka. Kau punya mata yang sama denganku, mata seorang yang sudah pernah membunuh orang lain. Dan aku tidak akan segan-segan membunuh sesama pembunuh."

"Kau tahu, dengan kemampuanku, aku sudah melihat kalau aku akan berakhir di sini," lanjut Hoshina seolah tidak menghiraukan perkataan Tooru. "Dan kurasa akhirku memang sudah saatnya. Jadi, biarkan aku mengucpakan selamat tinggal. Sampaikan salamku kalau kau masih sempat bertemu dengan pemain lain yang tersisa."

"Kau--"

Tooru melepaskan sebuah tembakan, namun peluru yang keluar dari mulut pistolnya hanya mengenai udara kosong.

Perempuannya di hadapannya telah menghilang tanpa sisa.



Intermission Report

Inactive Player : No.X [The Fortune], No.III [The Empress], No.0 [The Fool], No.VIII [The Strength], No.XIV [The Temperance], No.V [The Hierophant], No.I [The Magician], No.II [The Priestess], No.VII [The Chariot], No.XII [The Hangedman], No.XVI [The Tower] , No.VI [The Lovers], No.XIII [The Death], No. XVIII [The Moon], No.XIX [The Sun], No.IV [The Emperor], No.XVII [The Star]

Player Remaining : 5

Arclist17.jpg


Additional Rules #09

> Bila dalam rentang waktu 3x24 jam permainan belum berakhir, para pemain yang tersisa akan diberikan bantuan berupa pengembalian ingatan masing-masing pra-permainan