Angkringan Malam:Volume00 Epilog

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

“Jadi begitu ceritanya…” gumamku seraya menjahit tangan Dik Jombi.

Ternyata selama ini orang tua Whinny selalu melakukan hal buruk untuk memperkaya diri. Dalam bahasa sini namanya pesugihan, yaitu mencari uang dengan menggunakan ilmu hitam. Mereka mempersembahkan potongan tubuh beserta darah dari seorang gadis kecil untuk iblis jahat yang mereka panggil lewat buku gaib. Karena takut buku gaib itu ditemukan, mereka menyembunyikannya dengan cara mengubahnya menjadi kertas lukis. Mungkin itu sebabnya lukisan tadi bisa menyerang kami dengan serangan fisik yang kuat.

Namun ceritanya tidak berakhir sampai di situ saja.

Suatu hari, orang tua Whinny kehabisan stok gadis kecil yang ternyata hasil dari penyelundupan. Penyelundup itu digrebek polisi dan orang tua Whinny tidak bisa membawa pulang gadis kecil lagi. Karenanya sang iblis murka dan mulai menghancurkan rumah tersebut—tapi tidak jadi karena mereka berjanji akan segera memberi sesembahan…yaitu Whinny, anak mereka sendiri.

“Ini…minum dulu coklat panas.”

Dan aku berhenti sampai di situ karena tidak ingin membuat Whinny semakin menangis.

“Makasih, Kak,” ucap Whinny yang menerima segelas coklat panas dan perlahan meniupnya.

Lalu aku melanjutkan menjahit kaki Dik Jombi. Menatapku, Dik Jombi berkata.

“Hmmm…malam yang panjang juga, Nak…”

Aku mengangguk. “Ya. Dan tak kusangka bisa seseru ini!”

“Seru apanya?!” tukas Mustaka. “Aku hampir saja mati tahu!”

Menengadah, aku melihat wajah kesal Mustaka yang sudah digantung kembali di dahan pohon dengan bantuan Mael. “Tapi kamu gak jadi mati kan? Jangan lupa terima kasih ke Mael.”

“Cih!” adalah responnya, aku tertawa. Lalu kembali lagi menjahit Dik Jombi.

Mael yang duduk di kursi panjang seberang dipan juga ikutan bicara, tapi dia serius. “Hampir pagi, saatnya kau menutup angkringan? Jika iya tunggu aku selesai meminum kopi ini.”

“Wah tak terasa juga yah?” Mustaka menatap ke langit yang memang mulai berubah warna menjadi fajar.

“Sudah saatnya kita berpisah, Nak…” timpal Dik Jombi yang tangan dan kakinya entah bagaimana berhasil aku jahit.

“Kita berpisah ya, Kak?” rengek Whinny yang matanya mulai berkaca-kaca.

“Hei hei…kenapa semuanya jadi kerasa sedih kayak gini sih? Ceria dong!” seruku dengan kepalan tangan ke atas. “Walau yah, seperti festival saja, selalu terasa sepi kalau acaranya sudah berakhir…”

Lalu kami semua terdiam.

Tanpa berusaha memecah keheningan, aku mulai membereskan semua peralatan yang sudah kugunakan dan membungkus kembali semua makanan dan minuman yang kukeluarkan. Menggulung terpal dan mengikatnya di atas gerobak, aku memperhatikan wajah muram keempatnya. Apa mungkin karena hari sudah mau pagi dan toko ini tutup?

Karenanya aku coba menenangkan mereka dengan berkata.

“Hei, hei, masih ada nanti malam kan? Gak usah sedih seperti itu…”

Dik Jombi yang pertama kali membuka mulut. “Kau akan datang lagi kan, Nak?”

Lalu celoteh Mustaka. “Kamu lebih baik datang dan dengar lagi kisah seramku!”

Diikuti dengan rengekan Whinny. “Janji datang lagi ya, Kak?!”

Dan ditutup oleh Mael. “Kau lihat mereka? Kurasa kau harus datang lagi berjualan di sini malam nanti…”

Aku tersenyum seraya memasukkan semua yang tadinya kubawa ke dalam tas yang sangat besar. Tidak lupa korek api dan rokok yang masih tergeletak di gerobak. Kemudian dengan sedikit kekehan, aku berkata.

“Tentu saja…”

Berdiri, aku menatap ke angkasa yang mulai menampakkan cahaya surya. Sinarnya perlahan menerangi angkasa dan mencerahkan pagi ini. Menyulut rokok, aku membuat kepulan asap berbentuk cincin favoritku itu. Sebelum kemudian dengan keren aku melanjutkan—

“…TIDAK!”

—lalu berlari sekencang yang aku bisa.

“He-hei, apa maksudmu? KAMU MENINGGALKAN KITA?!” Bisa kudengar teriakan kencang Mustaka.

“Kembalilah, Nak…” bahkan suara pelan Dik Jombi.

“Kak, lindungi aku lagi…!” dan rintihan Whinny.

“Cih…” begitu pula Mael yang meludah.

Seraya berlari, dari kejauhan aku berteriak. “TIDAK AKAN~!”

Lalu tertawa sejadi-jadinya.

Tidak pernah selama ini aku gunakan kemampuanku untuk berolah raga seperti ini. Kehidupanku hingga dewasa hanyalah belajar dan belajar—hingga aku kehilangan arti kata belajar itu sendiri. Bangun tidur belajar, makan siang belajar, sebelum tidur belajar, terus seperti itu hingga aku muak dengan apa yang disebut sebagai kegiatan ‘belajar’.

Namun setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku merasa—

“Heheheh, heheh…”

—bahwa belajar itu menyenangkan!

Aku belajar menepati janji. Aku belajar menghadapi orang lain—bahkan makhluk aneh. Aku belajar mendendengarkan. Aku belajar melindungi. Dan aku belajar arti ‘kehangatan’ di dalam semua pelajaran yang kuterima tersebut.

Mungkin aku pergi karena aku takut bila harus menghadapi hal-hal aneh yang tadinya tidak bisa kupercayai seperti hantu misalnya. Aku tidak ingin mati begitu saja karena sesuatu yang bersifat gaib. Tapi setidaknya aku sudah menepati janjiku pada Kakek dan Whinny, walaupun cuma sekali. Hei, bukan berarti aku harus melakukan itu untuk selamanya kan? Aku bahkan tidak mengatakan begitu. Hahah, mungkin aku terdengar seperti pengecut tapi ya sudahlah, aku tidak akan bisa bertindak keren lagi kalau aku mati begitu saja, itu sudah jelas bukan?

Tapi bila mengabaikan semua itu, ada satu hal yang pasti untukku.


“Selamat tinggal~”


Aku tidak akan melupakan mereka dan semua yang terjadi di Angkringan Malam.


—Satu Bulan Kemudian—

[Sebuah kebakaran terjadi di hutan setempat. Tidak ada korban jiwa, bahkan rumah tersebut kosong melompong. Tidak ada barang berharga yang tersisa karena dari awal rumah itu sudah hancur di makan umur.]

[Anehnya, polisi tidak menemukan garis polisi yang dulu pernah mereka pasang di sekitar rumah tersebut karena sebelumnya pernah terjadi pembunuhan masal di rumah itu. Saksi yang diinterogasi polisi mengatakan bahwa sebelum kebakaran tersebut terjadi, muncul kabut pekat yang seolah melarang siapapun untuk masuk, jadi mustahil untuk seseorang masuk dan membakar rumah tersebut.]

[Saksi lain berujar telah dua kali melihat seorang pria membawa tas besar, yaitu saat senja dan fajar—masih orang yang sama. Diduga dialah pelaku pembakaran rumah tersebut, namun polisi masih menyelidikinya karena belum jelas juga akan bukti yang terkait. Yaitu sebuah gerobak yang jelas baru saja dipakai, arang di dalam tungku masih tampak baru…] Seorang pria yang membaca berita itu membalik halaman koran hingga pada bagian iklan.

[Dijual gerobak angkringan murah, hutan setempat. Hub: XXX-XXX-XXX]

Lalu ia tersenyum sebelum kemudian berkata.

“Akhirnya aku bisa beli gerobak angkringan buat usahaku! Semoga di sana ramai, terlebih banyak cerita horor yang kusukai di sana—“

Berdiri dan mengambil ponsel, ia menekan nomor telepon yang ada di iklan tersebut sebelum kemudian menempelkannya di telinga seraya bergumam.

“—ini akan menyenangkan!”