Angkringan Malam:Volume00 7

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Terbakarlah—

“Ayo cepat pergi dari sini!” ajak Damar yang langsung membopong Whinny dan membawanya keluar dari ruangan busuk itu.

“E-eh?!” Memasuki lorong, kesadaran Damar mendadak kembali lagi pada kenyataan, di mana bukan ilusi lagi. Di matanya kini tampak reruntuhan lorong panjang yang tak ia sangka bisa ia lewati dengan mudah tadi. Sampai di situ Damar sudah mengerti kalau yang ia alami tadi hanyalah ilusi, karena tidak mungkin beberapa jam kehangat bersama pengunjung Angkringan Malam adalah yang jadi delusi. Dan mencium bau busuk yang berasal dari belakangnya, Damar sangat penasaran dan hendak menengok.

“Jangan berbalik!” Namun Mustaka melarang. “Lebih baik segerap keluar atau semuanya akan terlambat!”

Mendengar Mustaka, Damar menurut karena menengok ke belakang bukanlah ide yang bagus seraya berkata. “Ba-baik!”

“Bagus! Ayo, lari secepat yang kamu mampu!” perintah Mustaka yang sudah tidak tahan berada di rumah tersebut. Ditambah kini Whinny sedang berada di pelukan—lebih tepatnya di atas Mustaka—ia menebak kalau rumah ini tidak akan mungkin membiarkan mereka keluar dengan mudah begitu saja. Ia masih belum merasa aman bila belum sampai di dahan pohon lagi.

Mengangguk, Damar mulai berlari melewati lorong yang semakin gelap. Kegelapan tersebut di mulai dari ruang di mana Whinny ditemukan tadi da perlahan menggerogoti tempat terkutuk tersebut. Tidak hanya berhenti sampai di situ, kegelapan itu mulai menyebar ke seluruh penjuru lorong dan menguyah habis apa yang telah ia lewati—mengejar Damar yang mati-matian lari dari mulut sang kegelapan tersebut.

Hingga ia mampu melihat tangga menurun, Damar paksakan dirinya untuk lari lebih kencang dan kemudian melompat sejauh yang ia mampu. Hampir saja kegelapan menelan tumitnya jika saja ia terlambat sedetik. Lompatan tadi bisa disebut sebagai penentu takdir mereka.

“Hup!”

Di udara, Damar melihat sosok Dik Jombi yang sedang menggaruk kepala karena kebingungan menatap Damar yang tiba-tiba meloncat begitu saja. Lalu Damar menarik napas sekuat-kuatnya sebelum kemudian berteriak.

“DIK JOMBI TANGKAP AKU!”

“TANGKAP AKU JUGA!!” tambah Mustaka dengan pipi yang bergetar.

“Eh…eh…?”

Walau respon otak Dik Jombi selambat komputer lawas, setidaknya tubuhnya cukup kuat namun empuk untuk menahan jatuhnya Damar yang sedang membawa Whinny dan tak lupa juga Mustaka. Jadi yang perlu damar lakukan hanyalah melompat tepat di atas Dik Jombi dan mendarat tepat pada Dik Jombi.

“Uaghhh!!” erangnya kesakitan ketika bertumbukan dengan tubuh Dik Jombi yang ternyata sedang mengeras itu. Damar merasakan beberapa rusuknya retak…atau bahkan patah. Menahan rasa sakit, ia lalu terlentang di lantai yang beralaskan Dik Jombi.

“Ha-hampir saja!” seru Mustaka yang tidak membentur apapun karena berada setingkat dengan perut Damar yang lunak. Whinny juga tidak terluka karena memang dari tadi ia dipeluk erat oleh Damar.

“Kau gapapa, Nak?” tanya Dik Jombi khawatir.

Damar hanya bisa menggeleng karena tidak mampu bicara untuk beberapa saat. Kakinya lemas setelah lari sekencang itu. Ia masih berusaha mengambil semua oksigen yang ada dalam ruangan tersebut, setidaknya hingga ia bisa berdiri lagi.

“Woi woi…kayaknya sekarang bukan saatnya buat istirahat deh…”

Bersamaan dengan kalimat Mustaka, mata keempatnya tertuju pada dinding yang ada di lantai dua. Tembok yang tercemar kegelapan—atau malahan yang menjadi sumber dari kegelapan itu sendiri. Menyebarkan semua bentuk kebencian yang mungkin bisa mempengaruhi siapa saja yang berjiawa lemah.

Bukan, bukan dindingnya, melainkan apa yang menempel di sana.

Berbingkaikan emas dengan ukiran abad pertengahan, sebuah lukisan bisa dilihat Damar dengan jelas karena atap rumah sebagian sudah terlahap habis oleh kegelapan dan cahaya bulan entah mengapa bisa menyinarinya. Lukisan keluarga besar yang ada Whinny di dalamnya sedang tersenyum riang, bersama kedua orang tuanya yang menangis darah dan menunjukkan semua taringnya memancarkan segala kenistaan dari dalamnya.

Perasaan Mustaka mulai tidak enak. Melihat bayangan hitam yang menjalar-jalar memaksa keluar dari lukisan itu, ia teringat pada salah satu senjata makhluk semacamnya yang paling berbahaya dan hanya bisa dilakukan bila punya energi yang sangat kuat—yang mana rumah ini salah satunya.

Dan senjata itu adalah serangan fisik.

“A-awas...”

Yang terjadi sedetik kemudian adalah mengerasnya bayangan hitam pada lukisan tersebut, sedetik selanjutnya membesarnya bayangan itu, dan sedetik setelahnya—

“…lari woy, CEPAT LARI!”

—melesatnya sebuah kepalan tangan hitam ke arah mereka berempat.

Damar belum bisa bergerak, Whinny hanya bisa telungkup sambil menangis, Mustaka berdoa dan teriak sejadi-jadinya, sedangkan Dik Jombi yang ditindih Damar…

BAM!

“Ah…tanganku lepas satu…”

…menahan tinju hitam itu dengan satu tangannya yang kemudian terhempas jauh ke luar rumah.


Tidak ada rasa sakit yang ia rasakan, tentu saja. Ia bahkan lebih khawatir dengan Damar dan yang lain. Sesegera mungkin ia menyingkirkan Damar dan merebahkannya di lantai. Lalu ia sendiri berdiri, menghadapi lukisan yang mulai mengeluarkan satu lagi bayangan besar.

“Ng…aku gak yakin mampu menahan keduanya sekaligus…” ujar Dik Jombi ragu.

Tapi ia masih berdiri, artinya ia tetap ingin mencobanya. Setidaknya ia bisa menolong seseorang sebelum tubuhnya hancur di sini. Ia tidak bisa lari, yang berarti ia akan tetap menjadi target serang walaupun meninggalkan Damar dan yang lain. Terlebih Damar adalah cucu Kakek, Mustaka dan Whinny bisa jadi teman curhatnya nanti.

Karenanya ia tetap kokoh mempertahankan Damar, Mustaka, dan Whinny, dengan segala kekerenan yang diinginkan Damar Dik Jombi berkata.

“Ayo maju…” dengan jari telunjuknya yang menantang.

Sesuai keinginan Dik Jombi, kedua kepalan tangan hitam itu kembali melesat dan mengarah padanya. Mengeraskan tubuh, Dik Jombi mencoba menahan tinju maut tersebut…namun gagal. Damar bisa mendnegar suara tulang yang dipatahkan dengan beberapa daging yang sobek.

“Ah…kakiku…”

Lalu Dik Jombi beserta salah satu kakinya yang putus terlempar jauh ke arah yang berlawanan.

“Dik Jombi!” teriak Damar cemas yang lalu berdecak. “Bagaimana kita bisa pergi dari sini?!”

Mustaka yang sedari tadi memutar otaknya—satu-satunya benda berharga yang tersisa darinya—dan menemukan dua solusi. “Kabur dari sini secepatnya atau…” Lalu Mustaka menelan ludahnya seperti sengaja memberi jeda karena memang bukanlah hal yang mudah untuk melakukan kedua sarannya tersebut, sebelum kemudian melanjutkan. “…mengalahkan makhluk itu.”

Damar hanya bisa membersut.

Lari bukanlah pilihan lagi baginya. Kakinya masih sakit dan ia harus membawa Whinny, Mustaka, serta Dik Jombi kalaupun bisa. Tapi itu akan melambatkan laju larinya, yang mana bukanlah ide bagus. Ia tidak ingin meninggalkan salah satu dari mereka di tempat terkutuk ini.

Pilihan lainnya adalah mengalahkan makhluk yang bersemayam di dalam lukisan itu. Walaupun jauh dari mungkin, setidaknya ia bisa mencobanya kalau ternyata caranya tidak sulit. Karenanya Damar langsung bertanya pada Mustaka.

“Gimana caranya mengalahkan dia?!”

“Ng…tapi sebelumnya aku peringati, jangan lakukan hal yang sama pada kami…janji?” tawar Mustaka.

Mendengar Mustaka yang sepertinya tahu sesuatu itu membuat semangat Damar mulai terbakar dan langsung menjawab. “Janji! Aku janji, dan laki-laki pasti menepati janji!”

Mustaka mengerutkan alis ragu, namun tidak ada pilihan lain. Ia berpikir mungkin Damar bisa melakukan sesuatu dan cepat-cepat pergi dari sini. Jadi ia menjawab jujur.

“Taburi garam dan bakar pakai api…kamu punya?”

Sedetik kemudian semangat Damar yang tadinya hendak berkobar mendadak padam. Ia tidak punya garam, apalagi api. Semuanya tertinggal di angkringan, tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali ke sana dan mengambil kedua bahan tersebut, lalu membakar lukisan. Itu artinya mereka harus bisa berlari dulu. Namun karena tidak bisa, Damar hanya bisa berharap.

“Andai saja aku bawa garam dan api dari angkringan…”

“Oke, akan aku ambilkan.”

“…eh?”

Kaget, Damar langsung menoleh ke belakang, melihat pada sesuatu yang menjawabnya tersebut.

“Yo.”

—Mael.

“Di mana saja kamu dari tadi, setan?!” teriak Mustaka spontan, tapi cukup aneh untuk setan memanggil yang lain setan.

Mael menggaruk kepalanya. “Maaf aku terlambat.”

Harapan baru terpancar terang di mata Damar. Sesosok penyelamat berdiri gagah di sampingnya, membuatnya semakin iri karena sosok itu tampak keren sekali di matanya. Tanpa basa-basi ia langsung menanyakan makhluk yang berkupluk dengan bibir terbuka lebar yang memperlihatkan jajaran taringnya seraya menggoyangkan tangan panjangnya itu—Maeling.

“Kamu bisa melakukannya?”

Mael mengangguk yakin. “Tangan ini bisa melar sampai ke angkringanmu.”

Seketika itu juga tangan kanan Mael memanjang bak karet yang tak akan pernah putus sepanjang apapun ditarik. Dengan cepat tangannya tersebut meluncur ke luar rumah dan membelok bagaikan lintasan balap yang mengarungi lautan kabut pekat.

“Hei Mael, awas!” teriak Damar memperingati.

Pasalnya, kedua tangan hitam dari lukisan tadi kembali beraksi dan mengarah ke Mael yang salah satu tangannya sedang sibuk. Tidak punya pilihan lain, Mael lalu menggunakan tangan kirinya yang ia perpanjang untuk menahan hantaman keras itu hingga tumbukan sempurna terjadi. Untungnya tangan Mael tidak putus karena lentur dan tidak sekaku milik Dik Jombi.

“Sakit tahu…” geram Mael, yang mulai berlari maju hendak menaiki tangga di depannya.

Tangan kanannya sudah meraih garam dan lampu minyak dari angkringan. Sesegera mungkin ia menarik kembali tangannya tersebut seraya terus berlari mendekat. Tinju kepalan tangan hitam berkali-kali ia tangkis dengan tangan kirinya yang mulai mati rasa. Ia bahkan tidak begitu peduli. Setidaknya, ia ingin kembali merasa kehangatan Angkringan Malam dengan semua perasaan damai tanpa kabut pekat atau ancaman rumah terkutuk itu.

“HEEAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!”

Dengan semua tenaga yang Mael miliki, tangan kanannya mempercepat laju kembali dan karenanya menimbulkan efek pantulan yang sangat keras dan kencang—

BRAAKK

—menghancurkan lukisan beserta dinding yang ada di belakangnya sekaligus menaburi garam dan melempar lampu minyak yang ia bawa.


“Terbakarlah!”

Yang selanjutnya hanya bisa didengar adalah suara debuman keras di seluruh penjuru hutan.

—Kita Berhasil—

Jika bicara tentang bagaimana meledaknya sesuatu, pasti semua akan berkata kalau ada suara keras disertai ledakan besar berenergi panas dan diikuti oleh amukan api yang merambat ke mana-mana.

Lalu bagaimana menggambarkan sebuah rumah terkutuk meledak?

Mungkin di masing-masing tempat berbeda. Ada yang hanya meletup kecil atau bahkan tidak bersuara. Namun pastinya, di hutan di mana Angkringan Malam Damar berdiri, rumah tua tersebut menghasilkan ledakan energi jahat yang dengan sekejap menghempaskan kabut pekat yang menyelimutinya ke segala arah hingga tak ada yang tersisa lagi, diikuti dengan debuman keras yang bahkan bisa didengar oleh penduduk desa jauh di seberang sungai.

Lalu api membara di seluruh penjuru rumah terkutuk itu.

“Gawat…ini sungguh gawat…”

Mustaka—salah satu makhluk yang masih berada di dalamnya—tidak ingin terbakar. Terlebih ia tadi sempat terkena taburan garam karena kencangnya tarikan tangan Mael yang membuat garam tersebut berhamburan. Karenanya ia tak bisa berhenti berteriak.

“Cepat! Keluarkan aku dari sini woy! AKU GAK MAU MATI!!”

Melirik ke Mustaka, Mael hanya menghela napas. “Sabar, gak usah berisik.” Lalu berjalan mendekati beberapa potongan tubuh Dik Jombi dan mengikat semuanya paksa dengan tangannya yang panjang.

“Haha, sudah kuduga…kau orang baik…” puji Dik Jombi.

“Aku bukan orang lagi…” balas Mael malu-malu.

Damar tersenyum melihat tingkah Mael yang tidak ia duga, lalu memujinya seperti Dik Jombi. “Ya, kamu memang orang baik…”

Melihat ke Damar yang sudah tak berdaya itu, Mael mengangkatnya dan ia taruh di bahu seraya berkata. “Sudah kubilang aku bukan orang lagi…”

Damar hanya bisa tertawa dan merasa aneh. Yang sedang membopongnya ini bukanlah manusia dan ia mengaggapnya manusia. Ia merasa ada yang janggal di otaknya, namun ia tidak peduli. Apapun wujudnya, bentuknya, mukanya, maupun kengeriannya, kebaikan yang ditunjukkan oleh makhluk-makhluk yang ditemuinya belum lama ini sudah bisa ia anggap sebagai manusia.

Karenanya ia membalas. “Orang atau bukan, kalian tetaplah baik di mataku…”

Mustaka yang sedari tadi teriak mulai berhenti, menatap ke Dik Jombi yang dengan kaku mencoba untuk tersenyum. Mustaka ikut tersenyum dan juga Mael karena mulut lebarnya yang meruncing ke atas selalu dianggapnya sebagai senyuman walau sebenanya ia sedang tidak tersenyum.

Lalu mereka semua keluar dari rumah terkutuk tersebut dengan perasaan ringan.

Sampai di luar pagar, kelimanya menatap bangunan yang perlahan dilahap habis oleh amukan jago merah yang terus membakar setiap sudut rumah tersebut. Whinny yang sedari tadi diam saja mulai merasa sedih karena orang tuanya yang jahat harus berpisah dengannya, yang kemudian ia tangisi karena menyesal selama ini tidak pernah menyadarkan perbuatan salah mereka.

Menghela napas berat Dik Jombi berkata. “Lumayan capek juga…”

“Lumayan capek? Aku malah ngeri…gak nyangka aku masih hidup [1] sampai sekarang…” tukas Mustaka.

“Yah, setidaknya kita semua selamat walau Dik Jombi sedikit terluka, hahah!” tawa Damar.

“Terluka…ini dijahit saja sudah beres kok…”

“Siapa yang bisa jahit kamu coba? Tukang jahit mana ada sih yang berani perbaiki tangan kakimu?” Mustaka pesimis.

Damar semakin tertawa. “Santai saja Dik Jombi! Aku bisa jahit lukamu. Kebetulan aku bawa alatnya…”

“Hee, bisa jahit ya? Jangan sampai ketuker jahit kaki di tangan ya? Huahahah!” ejek Mustaka.

Lalu mereka tertawa bersama-sama di hadapan rumah terkutuk yang sudah hangus ditelan lautan api. Berjuta bintang malam bisa mereka lihat dengan jelas menghiasi angkasa. Sinar bulan bersinar lebih terang seakan tidak mau kalah, membuat pemandangan di langit jadi lebih indah dan damai.

Ya, kegilaan dan kejahatan sudah sirna dari hutan itu. Damar pun mampu menepati janjinya untuk melindungi Whinny, tentu saja dengan bantuan Mustaka, Dik Jombi, dan Mael. Walaupun hari ini cukup banyak yang terjadi padanya, namun ia cukup senang dan puas karena bertemu dengan mereka yang ternyata baik hati dan suka saling menolong meskipun mereka bukanlah manusia. Ia tidak akan pernah melupakan hari pertamanya bekerja di Angkringan Malam.

Dan seolah mengakhiri semuanya, Damar bergumam.

“Kita berhasil.”



  1. Bisa dibilang ini lelucon yang tidak lucu. Mana ada hantu yang mati? Sudah mati dan jadi hantu masih bisa mati pula, lelucon segaring itu sudah tidak popular lagi di kalangan remaja. Poin penting di sini adalah ketakutan Mustaka yang tidak tahu dengan apa yang akan terjadi ketika ia disucikan dengan garam dan api, maka dari itu ia menganggapnya sebagai mati. Konsep kematian baginya belum jelas, yang membuatnya masih takut untuk mati lagi.