Angkringan Malam:Volume00 6

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Janji—

“Jadi kamu sudah gak takut lagi?” Mustaka memastikan.

Aku menggeleng. Tidak ada lagi yang kutakutkan. Maksudku, oke, sungguh aku tidak mengerti dengan apa sebenarnya perwujudan mereka. Dulu aku kira acara supernatural di televisi atau buku termasuk fiksi layaknya pesawat luar angkasa, tapi setelah melihatnya sendiri kurasa aku salah. Walaupun mereka menyeramkan—seperti Dik Jombi misalnya—mereka baik, setidaknya baik padaku. Bahkan Dik Jombi baik pada semuanya, dia pernah menolong nenek-nenek menyeberang jalan, apa yang perlu kutakutkan lagi?

Karenanya dengan mantap aku berkata. “Gak ada yang perlu aku takutkan dari sekedar kepala cerewet sama Jombi lamban!”

Mustaka dan Dik Jombi saling memandang, lalu keduanya tertawa kaku.

“Kalau begitu, kamu harus cepat pergi dari sini!” perintah Mustaka.

Aku mengangkat alis. “Kenapa harus?”

“…eh?”

Sepertinya aku membuat Mustaka dan Dik Jombi diam kebingungan, tampak dari wajah mereka yang mengerut.

“Maksudku, kenapa aku harus pergi? Kalau mau cari aman, aku bilang di sini jauh lebih aman. Lihat, aku bahkan gak tahu harus pergi ke arah mana dalam lautan kabut kayak gini!” jelasku seraya membentangkan tangan dan melihat ke kanan kiri.

“Be…benar juga sih…” ujar Dik Jombi.

“Lalu kamu mau terus-terusan di sini sampai pagi? Yah, kurasa kalau kamu tidur sekarang, besoknya sudah kembali normal kok,” timpal Mustaka.

“Tidak.” Aku menggeleng. “Daripada tidur, ada janji penting yang harus aku tepati.”

“Janji penting yang harus kamu tepati…?” tanya Mustaka seolah memberiku kesempatan untuk berseru.

“Aku akan menyelamatkan Whinny!”

…KEREN!!

Keren sekali! Aku tak menyangka kalau bisa memiliki kesempatan untuk mengatakan hal seperti menyelamatkan seseorang atau sejenisnya. Maksudku, bahkan dulu aku tidak punya teman untuk diselamatkan! Ini adalah kesempatan emasku untuk melakukan hal keren! Terlebih…

…aku sepertinya memang menyukai tempat ini.

Tentu saja beserta para pengunjung—yang mana Whinny adalah satu-satunya pengunjung termanis yang pernah datang ke Angkringan Malam Damar, apa yang harus kuragukan lagi?! Ya, aku bisa…aku pasti bisa menyelamatkannya. Entah bagaimana caranya aku pasti dan harus bisa.

Tertawa keras, aku membuat Mustaka dan Dik Jombi mengerutkan dahi. Lalu aku menatap ke keduanya, berdiri di atas dipan seolah menunjukkan betapa tingginya kehebatanku sebelum kemudian berseru.

“Karena laki-laki selalu menepati janjinya!”

Hehew, aku pasti sudah membuat keduanya terpana.

“Err…kamu yakin bisa sendirian?” Namun berkebalikan, yang ada wajah Mustaka terlihat pesimis.

“Eh? Maksudmu? Kamu gak mau bantu?” tanyaku tak mengerti.

Menghela napas, Mustaka berkata. “Lihat, aku ini cuma kepala menggantung saja, gak punya badan. Sulap yang kamu kagumi itu cuma bohong saja…”

“Ah…aku juga…” Dik Jombi menambahi, “jalanku pelan…gerakanku lambat…aku gak bisa bantu kau, Nak…”

“Jadi…” kalimatku tak kulanjutkan seperti sengaja membiarkan Mustaka melanjutkan.

“…Selamat berjuang sendirian!”

Dan aku hanya bisa berteriak.

“EEEEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHHHHHHHHHHHH???!!”

—Rumah Terkutuk—

“He-hei! Apa yang kamu—“

“Bawel! Diem dikit napa?”

“Ta-tapi bisa naikin aku dikit ga?!”

“Iya iya…segini cukup?”

“Fuuuhhh…asal ga hadap selangkangan aja…”

Itu tadi adalah adegan di mana kepala Mustaka dinaikkan sedikit sampai ke ketinggian di mana ia tidak sejajar dengan selangkangan Damar. Artinya—

“…lagian, kamu segitu takutnya ya sampai bawa-bawa aku gini?”

—Mustaka sekarang tidak tergantung di dahan pohon lagi, melainkan pada Damar.

Dengan bantuan bahu Dik Jombi, Damar berhasil melepas tali gantungan Mustaka dan kemudian mengikatnya sendiri di dadanya. Karena talinya cukup panjang, alhasil kepala Mustaka tepat di depan selangkangan Damar. Dan Mustaka tidak mau posisinya di situ, ia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Makanya ia mengeluh dan akhirnya berhasil membujuk Damar untuk menaikkan posisi kepalanya.

Mendengar Mustaka, Damar hanya diam saja dan kemudian menghadap pada jalan setapak yang mengarah ke rumah tua di depannya. Dari awal jalan setapak tersebut belum kunjung hilang, seolah sengaja agar Damar dan yang lain mengambil jalan tersebut. Ada kekuatan tersendiri pada jalan tersebut, yang mana membuat Damar tidak ketakutan ketika menapakinya.

Karena jalan itu adalah jalan keberanian yang pernah Whinny ambil.

“Whinny…” gumam Damar.

Langkah Damar ringan. Sisa harapan yang dipancarkan Whinny dengan segenap keberaniannyalah yang memberi Damar kekuatan lebih untuk selalu mengambil langkah pasti. Secercah bola-bola putih yang mulai bertebaran di sekitar Damar adalah air mata penuh harap dari Whinny, membuat Damar merasa hangat. Ketukan mulai sirna karena hangat dan terlebih, kehangatan itu berasal dari Whinny.

Aku tidak boleh takut, pikir Damar.

Menoleh ke belakang, ia berteriak. “Dik Jombi, buruan dikit! Keburu pagi ini!”

“Iyaaaa…” Dari kejauhan suara Dik Jombi entah mengapa bisa terdengar menggema. Alasan kenapa Dik Jombi jalannya lambat tidak lain adalah karena kakinya bengkok ke dalam. Bayangkan bagaimana seseorang berjalan dengan kaki bengkong, malahan hampir tidak ada manusia bisa berjalan dengan kaki yang seperti itu karena mereka hanya bisa mengeluh kesakitan sebelum sempat melangkah.

“Tapi beneran deh.” Mustaka mengandai. “Kalau ada mobil yang tiba-tiba lewat, mampus kita!”

“Gak akan,” tukas Damar. “Aku aja mikir-mikir kalau mau lewat sini, apalagi orang awam?”

Apa yang dikatakan Damar benar. Orang normal tidak mungkin berpikiran untuk melewati lautan kabut tersebut. Jangankan orang normal, yang tidakpun tadinya ketakutan setengah mati. Contohnya Damar.

Namun karena ia tidak sendirian—bersama Mustaka dan Dik Jombi diberkati oleh harapan Whinny—akhirnya mereka sampai di halaman depan rumah tua yang menculik Whinny. Sebenarnya bukan mengekang, melainkan memang di situlah seharusnya ia tinggal. Hanya saja Damar berpikir bahwa rumah tersebut semacam bui bagi Whinny, karenanya ia akan membebaskan Whinny dari kekangan tersebut.

“Yakin mau masuk?” Mustaka meyakinkan Damar sekali lagi, antara masuk ke dalam pintu neraka atau kembali ke surga angkringan. Namun kemantapan diri Damar sudah ia yakini sejak awal. Karenanya ia mengepalkan tangan, lalu memukul keras pintu rumah tua tersebut seraya berteriak. “Bebaskan Whinny sekarang jug—AW!”

Tapi yang ada, tangannya memerah karena pintu yang ia pukul cukup keras. Damar hanya bisa mengerang kesakitan dan meniup-niup lukanya berharap cepat sembuh.

“Ke-kenapa bisa sekeras ini?!” keluh Damar.

“Karena rumah itu terkutuk, sudah jelas kan?” jawab Mustaka menyindir. “Kalau masalahnya kayak gini, aku ada ide.”

Mengalihkan pandangannya ke Dik Jombi, Mustaka berkata. “Bisa buka pintu ini?”

Dik Jombi tidak begitu paham, karena otaknya tidak berfungsi normal. Namun itulah yang membuat Dik Jombi mau membuka pintu tersebut karena ia jadi tahu harus melakukan apa—dengan kepalan tangannya.

“Seperti ini?”

  • BRAKKK!*

Suara gebrakan keras membuat kaget Damar. Spontan ia langsung menatap ke arah pintu rumah tersebut yang—

“Wow…”

—sudah terlempar jauh di dalam rumah tua itu.

“Kamu hebat sekali Dik Jombi, KEREN!!” seru Damar dengan mata bersinar.

Malu-malu, Dik Damar meggaruk kepala hingga sisa-sisa rambutnya rontok semua seraya tertawa. “Eheheh…”

“Kalau begitu, kita bisa masuk sekarang!” ujar Mustaka yang memang tidak kagum karena pernah melihat Dik Jombi hendak menyelamatkan anak tersesat yang tercebur ke sungai, sedang menjulurkan tangannya ke tepian. Namun malang, di balik jalannya yang lambat, kekuatan Dik Jombi sangat hebat—membuat anak tersebut kehilangan tangannya ketika ditarik Dik Jombi.

“Baik, ayo masuk!” sahut Damar.

Masuk ke dalam, ketiganya merasakan kegelapan yang bertambah pekat. Setiap langkah semakin berat karena ketidaktahuan mereka, tidak yakin harus berjalan di mana. Lantai di bawah mereka retak-retak, pecahan tembok juga menghalangi jalan. Andai saja ada lampu, pikir Damar.

“…eh?”

Dan sesuai dengan keinginannya, lampu lilin di setiap tembok yang masih berdiri mulai menyala satu persatu. Dari yang terluar hingga masuk lebih jauh, menaiki tangga, sampai pada akhirnya seisi rumah tua tersebut menyala namun—

“A-apa yang terjadi?!” kata Damar kebingungan.

—rumah yang tadi hancur berantakan tersebut kini digantikan oleh sebuah rumah baru yang mewah dan indah. Kemegahan bisa Damar rasakan di setiap sudut ruangan. Mebel dengan bahan marmer yang diukir indah dengan lapisan emas, perabot lain seperti almari besar yang berisi bermacam-macam perhiasan seolah pameran sedang diadakan di rumah tersebut, dan perabot-perabot lain yang tidak bisa dihitung lagi oleh Damar. Dinding dan catnya tampak baru dan mengkilap, dihiasi oleh lilin yang berwarna-warni—hingga ia tidak habis pikir kalau tadi ia sempat menginjakkan kakinya di dalam rumah tua yang sudah hancur. Seakan dari awal, rumah tua tadi hanyalah khayalan Damar belaka dan inilah wujud asli dari rumah yang berada di seberang angkringan Damar.

“Mustaka, Mustaka! Di mana kita?!” teriak Damar pada—

“…Mustaka?”

—udara kosong. Tidak ada yang menggantung pada tubuhnya, tidak ada ikatan erat tali di dadanya. Menoleh ke belakang, tidak ada lagi Dik Jombi dengan mata tak simetris dan kaki bengkoknya. Mengedarkan pandangannya, ia tidak menemukan sosok keduanya.

Lalu mata Damar tertuju pada karpet merah yang memanjang, menaiki tangga, dan tersebar ke seluruh penjuru rumah. Tidak, sebenarnya bukan karpetnya yang Damar perhatikan melainkan—

“Whi-Whinny?!”

—gadis kecil yang berdiri di atasnya.

Ia mengenakan gaun bangsawan yang indah, berwarna pink pada hiasannya dan mahkota kecil pada ikatan rambutnya. Matanya masih bersinar cerah, dan lengkap. Berbeda dengan yang Damar tolong beberapa saat yang lalu, buktinya ia mampu berlari dengan kedua kakinya dan berteriak riang.

“Papa!”

Yang langsung memeluk ayahnya yang lewat. Pelukannya tampak kencang, walau tidak sakit karena Whinny memang masih kecil. Namun bisa Damar ketahui kalau itu adalah pelukan penuh kasih sayang, dari anak untuk ayahnya.

“Ada apa, Nak? Sebentar, ya. Papa mau mandi dulu…”

Tapi ada sesuatu yang sangat janggal dari pemandangan hangat tersebut. Mungkin tidak bisa Whinny lihat dari sudut pandangnya. Namun bagi Damar, ia hanya bisa menganga seraya mengepalkan tangan karena melihat tangan ayah Whinny yang disembunyikan di balik tubuhnya—berlumuran darah dan sedang membawa sebuah pisau daging yang besar.

Spontan Damar teriak, “Whinny awas!!”

Damar tahu setelah dengan cepat otaknya menghubungkan kejanggalan tersebut dengan apa yang pernah diceritakan Whinny tadi, yaitu orang tuanya suka membawa anak kecil pulang. Pisau yang berlumuran darah tersebut pasti ayahnya gunakan untuk memotong gadis tersebut karena tidak mungkin ayahnya salah kalau hanya memotong daging sapi.

“Baik, Papa!”

Namun Whinny tak mendengar Damar. Bukannya tidak mau, tapi memang tidak bisa. Mereka berada di dunia yang berbeda, bahkan waktu yang tidak sama. Apa yang Damar lihat hanyalah sekeping ingatan rumah tersebut tentang apa saja yang pernah terjadi di dalamnya. Lagi-lagi itu adalah ulah Whinny yang segera ingin memberi tahu Damar tentang apa yang sebenarnya terjadi di rumah tersebut.

Karenanya, rumah yang tadinya penuh dengan perabot itu kini kosong melompong.

“Unggghhh!!”

Pergantian pemandangan tersebut membuat Damar merasa mual dan lemas. Ia kemudian jatuh terduduk dan mencoba menarik napas untuk menenangkan dirinya. Matanya terasa diguncang-guncangkan di mana setiap guncangan terjadi, pada saat itu pula setiap perabot mulai menghilang sampai tak ada tersisa. Hingga ketika matanya mulai fokus kembali, yang kini dilihatnya hanyalah ruang bernuansa sederhana dan memang tidak berisi apa-apa. Rumah kosong, sangat berkebalikan dengan yang mewah tadi dan mulai mendekati rumah tua yang selalu menakuti Damar dari seberang angkringan.

—Aku Menemukanmu!—

Sekarang kita bicara pada ruang asli, atau dimensi di mana bukanlah bagian dari ‘ingatan’ rumah tua ini. Lilin di dinding sana tidak menyala, dinding di depan sana tidak berbentuk, atap di atas sana tidak tertutup. Yaitu rumah tua aslinya, yang selalu ada dari dulu dan bukanlah ilusi.

Ya, yang terjebak dalam ilusi tersebut adalah Damar saja. Mustaka dan Dik Jombi tidak berada dalam ruang yang sama dengan Damar. Walaupun mereka di tempat yang sama—apa yang mereka lihat berbeda, karena Damar sedang terjebak dalam ruang dan waktu yang berbeda dan hanya terlihat diam saja di mata Dik Jombi dan Mustaka.

“Hei! Kenapa diam saja?!” bentak Mustaka yang sedari tadi mencoba menyadarkan Damar namun selalu gagal. Beberapa kali ia mendengar Damar berteriak dan sempat membuat harapannya naik karena ia pikir Damar sudah sadar. Tapi tidak, Damar masih terjebak dalam ingatan rumah ini.

Dik Jombi menggaruk pipinya kebingungan. “Kau kenapa, Nak?”

Mustaka mencoba berpikir lebih jernih dan mendekati cerdas. Jika Damar tiba-tiba diam saja dan sesekali berteriak seperti orang mengigau, maka hanya ada satu alasan tentang apa yang sedang terjadi padanya. Seolah tidak bisa menyimpan pengetahuannya dalam pikiran, Mustaka berkata.

“Sepertinya dia kesurupan—atau mungkin lebih tepatnya, dia terjebak dalam ilusi.”

Mustaka sangat tahu apa saja senjata andalan makhluk-makhluk sejenisnya, dan salah satunya adalah ilusi. Contoh lain adalah kabut pekat di luar sana, itu ilusi. Dan untuk bisa melakukan ilusi berskala besar seperti lautan kabut sudah menggambarkan betapa kuatnya energi kegelapan dalam rumah ini. Karenanya Mustaka yang sama sekali tidak bisa bergerak itu mulai khawatir.

“Dik Jombi…” Keringat mulai meluncur dari keningnya. “Apa sebaiknya kita kabur saja? Perasaanku gak enak…”

“Eh? Kau punya perasaan buat dimakan ya…”

“Bukan itu, duh!” Jika punya tangan, Mustaka sudah menepuk jidatnya untuk yang kesekian kalinya. “Kamu mulai pintar tapi sekaligus bego! Yuk, kita pergi saja dari si—“

“Whinny!”

Tiba-tiba Damar berteriak lagi, memotong kalimat Mustaka.

“E-eh??!”

Sebelum kemudian mulai berlari ke depan, membawa Mustaka yang masih menggantung di dadanya. Di bawah, Mustaka yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa berteriak saja.

“Tunggu! Hei, jangan lari! Turunkan aku dulu! Dik Jombi, bantu aku!”

“Sebentar ya…”

Tapi Dik Jombi tidak bisa lari, Mustaka melupakan itu. Ia semakin meratapi nasibnya yang terus terbawa masuk ke dalam kegelapan. Di depan mulai tampak tangga yang sudah terbelah pada setengah bagian kirinya.

“Woy! Jangan lewat kiri! Kanan dikit, kanan dikit woy!” perintah Mustaka yang berharap Damar mendengarnya. Untung saja Damar mengambil bagian kanan, bukan karena mendengar Mustaka tentunya, tetapi karena ia memang ingin belok ke sayap kanan di lantai dua memasuki lorong yang panjang.

“Selamat…selamat…” gumam Mustaka lega.

Namun sepertinya terlalu cepat untuk Mustaka merasa aman. Lorong yang dimasuki Damar ternyata juga berantakan. Tembok berjatuhan di mana-mana, banyak lantai yang berlubang. Seraya berteriak menyuruh Damar untuk hati-hati, Mustaka juga berdoa entah pada siapa. Sebelum kemudian Damar berdiri tepat di depan pintu yang warnanya hitam pekat seraya menyentuh dinginnya permukaan pintu tersebut.

“Hei, kamu ngapain?” Mustaka penasaran.

“Whinny…kamu di dalam?” tanya Damar yang mengabaikan Mustaka.

Mulai kesal karena tak diacuhkan, Mustaka memilih untuk diam dan tak bertanya lagi. Lebih baik ia mengobservasi saja—seperti yang selalu ia lakukan ketika menggantung di dahan pohon—dan melihat Damar yang kemudian mendorong pintu tersebut.

Suara berdecit menggema keras di seisi rumah tua itu. Mustaka yang tidak bisa menutup kupingnya dengan tangan merasa cukup tersiksa. Namun hanya sebentar saja sebelum kemudian ia mampu melihat isi dari dalam ruangan tersebut.

“Waw…ini sungguh…menjijikkan!” komentarnya yang hanya bisa menahan napas.

“Ughh!” reaksi Damar adalah langsung menutup hidung.

Semerbak bau menyengat mulai menyebar di udara segera setelah pintu dibuka. Tidak, bau itu lebih parah dari sekedar ‘menyengat’ saja. Amis, busuk, semuanya menjadi satu dalam kepekatan yang sangat tinggi hingga masih bisa tercium walau kedua tangan Damar sudah membungkam erat mulutnya. Seakan walaupun ruang tersebut dibakar sebanyak tujuh kali, bau menusuk hidung itu tidak akan pernah hilang.

Dan seolah kehabisan waktu—bisa juga karena ia merasa akan pingsan kapan saja bila berlama-lama di tempat tersebut—Damar mulai mengedarkan pandangannya pada ruangan sempit itu. Meja besi kecil di tengah ruangan dengan sesuatu berwarna merah kehitam-hitaman di atasnya, beberapa pisau daging, dan almari berisi obat-obatan. Tentu itu semua adalah yang dilihat Mustaka, karena di pandangan Damar, semuanya tampak masih baru [1]. “Whinny!”

Dan tak lama, mata Damar tertuju pada Whinny yang menangis di sudut ruangan. Isaknya cukup menyakitkan, membuat Damar mengabaikan bau menusuk hidung dan pemandangan yang tidak bisa Mustaka lihat. Dipeluknya Whinny erat-erat seolah tidak ingin kehilangan gadis cengeng itu lagi.

“Kakak…aku takut…” rintihnya.

“Sudah, gak usah takut lagi Whinny. Sesuai janji aku akan melindungimu…” ujar Damar lembut seraya mengelus kepala Whinny dan melanjutkan.

“…Karena aku sudah menemukanmu, Whinny.”



  1. Ada perbedaan waktu dan ruang pada keduanya. Damar berada pada waktu sesaat setelah kebrutalan orang tua Whinny terjadi sedangkan di mata Mustaka, semuanya sudah lama terjadi. Walaupun cukup membingungkan, anggap saja yang mereka lihat sebenarnya sama, hanya saja tingkah Damar sedikit berbeda karena pengaruh ilusi. Tapi jelas, yang dilihat Damar tentu lebih menjijikkan dan parah daripada yang ada di depan Mustaka.