Angkringan Malam:Volume00 5

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Aku Tak Ingin Kembali Lagi Ke Neraka Itu—

Walaupun Whinny menangis, Mustaka seolah sama sekali tak peduli. Seperti ada sesuatu yang ingin dia kuak dari Whinny, karenanya dia masih bersikeras berkata.

“Lebih baik kamu cerita, anak cengeng.”

Tangis Whinny semakin menjadi, wajahnya menunduk ke bawah. Air mata membasahi dipan, sebelah kiri berwarna bening dan sebelahnya lagi merah kental. Aku yang tak tahan melihatnya spontan membentak. “Hentikan! Kamu gak lihat dia sedang menangis?!”

“Percuma dia menangis, gak ada gunanya kalau dia enggak cerita,” balas Mustaka masih dengan raut tidak kepeduliannya. “Kamu ingin tahu suatu cerita buruk?”

Menatap padaku, Mustaka berkata demikian.

“Apakah ini saatnya bercerita? Kamu gak lihat kabutnya semakin pekat?!”

Sesuai dengan yang kuucapkan, aku tidak dapat melihat lagi pepohonan sekitar pada radius sekitar lima meter dari pandanganku. Namun anehnya, mataku masih bisa melihat dengan jelas bentuk rumah tua di mana aku menemukan Whinny tadi. Kegelapan yang bersemayam di dalamnya terasa abadi, ada sesuatu yang benar-benar aneh di sana.

Dan seolah memberiku suatu kesimpulan, Mustaka menjawab.

“Keanehan dan kabut ini ada sangkut pautnya dengan anak cengeng itu—ah, mungkin kamu gak tertarik ya?”

Jadi benar ada yang salah dengan semua ini, dan sangat berhubungan dengan Whinny. Aku langsung menatap Whinny yang masih bergetar dalam ketakutan. Aku coba mendekatinya dan mengusap pelan rambut blondenya dan mencoba bicara seramah yang aku mampu. “Bisa kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Gapapa, gak usah takut, ada aku di sini.”

Whinny masih menangis, namun perlahan berhenti gemetar. Mungkin kalimatku cukup membuatnya tenang. Karenanya aku menambahi.

“Apapun yang terjadi, aku pasti akan melindungimu.”

“…benarkah?” tanya Whinny dengan suara lemah seraya menengadah, melihatku yang memang serius. Aku tidak bohong, aku tidak tahan melihat anak kecil menangis. Maksudku, aku pernah menjadi anak kecil yang menangis sendirian dalam perpustakaan kecil di rumah karena merasa kesepian dan tidak ada yang menemani. Setiap lembaran buku yang kubalik menambah kesedihan yang kurasa karena terlalu dikekang. Karenanya aku tidak ingin Whinny merasakan hal yang sama, walau mungkin dia pernah merasakan yang lebih parah lagi.

Jadi, dengan segenap keberanian aku memantapkan diri.

“Aku pasti akan melindungimu, janji!”

Dan laki-laki tidak akan mengingkari janjinya, AKU KEREN!!

—atau itu yang kuserukan pada diriku sendiri untuk membuatku lebih berani.

Lalu tak lama, Whinny menghapus air matanya sebelah sisi tangannya. Berulangkali dia menyedot ingusnya sebelum kemudian mulai bicara.

“Sebenarnya, Whinny tinggal di rumah itu,” ujarnya yang mulai tenang. “Tapi…tapi Whinny enggak mau kembali…Whinny takut sendirian di sana…”

Kemudian Whinny menangis lagi. Aku tepuk pelan bahunya dan mengusap lembut punggungnya. Aku tahu bagaimana perasaannya ditinggal semua orang sendirian, di dalam rumah yang gelap ketika listrik mati. Saat itu aku hanya bisa merintih, memanggil nama orang tuaku yang baru pulang paginya.

“Jadi, di mana orang tuamu?” tanyaku sambil memberikan segelas coklat yang masih hangat yang sama sekali belum dia minum. “Ini minum dulu.”

Aku memaksa Whinny untuk minum karena aku tahu dia akan merasa sedikit tenang jika tubuhnya hangat. Meneguknya perlahan, Whinny menghela napas melegakan dirinya, sebelum kemudian melanjutkan.

“Orang tua Whinny…mereka terlalu terobsesi dengan harta. Mereka gak pernah di rumah…selalu pergi di pagi hari dan kembali di malam hari—dan selalu membawa pulang seorang gadis seumuran Whinny…”

Aku mengangkat alis. “Gadis seumuranmu?”

“Ya.” Whinny mengangguk. “Whinny tahu apa yang mereka lakukan dan Whinny tahu kalau Papa Mama salah…tapi Whinny takut…”

Aku hendak bicara, sebelum kemudian berhenti. Aku sepertinya baru saja akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membuat Whinny mengingat kembali rasa takutnya. Karenanya aku melirik ke Mustaka dan bertanya. “Dan kamu tahu semua itu?”

Menggangguk, Mustaka terkekeh. “Sudah kubilang aku selalu mengobservasi hutan ini, hanya saja aku gak tahu apa saja yang terjadi di dalam rumah tua itu kecuali teriakan gadis kecil setiap malam…hingga suatu hari rumah itu terbakar.”

“Terbakar?” tanyaku yang mulai merasa penasaran.

“Ya, makanya rumah itu hancur dan jadi seperti itu…aku gak tahu apa yang terjadi di dalamnya, kecuali kamu tanyakan pada anak cengeng itu,” jawab Mustaka yang kemudian melirik ke Whinny. Lalu Whinny yang merasa diperhatikan terkesiap. Aku yang mengetahuinya mencoba menenangkan Whinny.

“Gapapa kalau gak mau cerita…tapi kalau ada sangkut pautnya sama rumah itu, mungkin aku bisa bantu semampuku…”

“Iya, Whinny gapapa kok,” ujarnya dengan senyum yang dia paksa. “Mungkin Whinny memang harus cerita…karena Whinny gak mau kembali ke neraka itu lagi…”

…itu adalah pernyataan absolut yang membuat Whinny seperti sekarang ini.

Neraka ya? Jika dia sampai merasakan rumahnya sama seperti itu, maka aku rasa tidak ada satu kebaikan pun yang ada di dalamnya. Apa yang kurasakan selama ini kala melihat sinar bulan yang tak kunjung mencerahkan genting rumah itu—aku tahu ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya. Dan kalimat Whinny selanjutnya sudah cukup bisa meyakinkanku kalau rumah tersebut—

“Rumah itu terkutuk.”

Mataku terbelalak, namun hanya sesaat. Aku tahu kalau tidak ada kata lain yang bisa mewakilkan betapa ngerinya rumah tua tersebut. Kabut yang semakin pekat ini…aku yakin karena pengaruh kutukan itu. Udaranya terasa berat dan membuatku kesulitan untuk bernapas. Aku lepas satu kancang bajuku hanya untuk berusaha bertanya. “Lalu apa yang membuat rumah itu terkutuk?”

Ada sesuatu yang hilang di sini. Maksudku, aku masih belum bisa menghubungkan benang merah yang berserakan di tempat ini, aku masih kehilangan beberapa petunjuk. Kenapa rumah tersebut terkutuk? Dari awal, apa definisi rumah terkutuk itu?

Makudku, oke, aku bisa menyebutnya terkutuk karena bangunan tersebut menyembunyikan banyak hal yang tidak baik. Sesuatu yang memiliki ketidakbaikan bisa disebut sebagai terkutuk—misalnya pada bocah yang selalu sial. Namun tetap saja, apa yang membuat sebuah rumah menjadi terkutuk?

Itulah yang masih kubingungkan.

Dan hampir saja aku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku—

“Karena rumah itu—“


NGUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUNGGGGGGGGGGG!!!!


—jika saja tidak ada suara mendengung yang serasa hampir membuat gendang telingaku pecah.

“Arggghhhh!!”

Telingaku rasanya sakit sekali, suara tersebut sangat keras hingga aku kehilangan keseimbanganku dan jatuh terkapar di dipan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas mataku yang tak fokus bisa melihat Mustaka yang mati-matian membuka mulut selebar yang dia mampu seolah hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menahan rasa sakit akibat suara dengungan tersebut dan Whinny yang—

“AH, AAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!”

—sosoknya ditarik oleh genggaman bayangan gelap besar yang kemudian masuk, menghilang dalam kegelapan rumah tersebut.

“…”

…dan aku perlahan kehilangan kesadaranku.


—Kami Adalah Hantu—

Ketika seseorang tak sadarkan diri atau mungkin lebih sederhananya sedang tidur, maka sesuatu dari luar tubuh yang bisa membangunkannya adalah kontak fisik atau lewat suara. Tapi, apa yang bisa didengar oleh seseorang yang gendang telinganya mati rasa hingga tuli sesaat karena sesuatu yang keras?

Jawabannya adalah sentuhan.

“Nak…bangun, Nak…”

Atau mungkin bisa disebut sebagai gosokan tangan kasar dari sesosok makhluk bermata tak simetris dengan air liur yang tak henti-hentinya keluar dari sudut mulutnya, Dik Jombi.

Ia tidak tahu kalau Damar sedang mengalami tuli sesaat dan bersikeras membangunkannya. Ia tidak sepintar yang siapapun duga—walau sebenarnya tidak ada yang menduga kalau dia memakai otaknya untuk berpikir. Karenanya tangan kasar dan dingin Dik Jombi adalah suatu hal yang sangat kebetulan yang akhirnya bisa membangunkan Damar.

“…uhhhh…” erangnya.

Kepalanya serasa berputar, matanya belum mampu fokus. Ia hanya mampu melihat makhluk aneh yang matanya simetris, berwajah ganteng, dan berpakaian bersih—sangat berkebalikan dengan kenyataannya. Delusi sesaat menyerangnya. Bukan karena Damar senang berimajinasi, namun kegilaan yang terpancar dari rumah tua yang ada di seberang Angkringan Malamlah yang mempengaruhi Damar. Namun itu hanya sesaat saja sebelum kemudian—

“Maaf ya, Nak…ini akan sedikit sakit…”

“AW!”

—Dik Jombi menampar kencang pipi Damar.

Karenanya ia kembali pada kesadaran dan akal sehatnya. Walau pipinya merah dan terasa panas, mungkin ia harus berterima kasih pada Dik Jombi. Kalau tidak, keadaannya akan semakin gawat hingga bisa mengancam nyawanya.

“Tempat ini sudah gak aman lagi!” seru Mustaka yang masih menggantung di dahan pohon. “Lebih baik kamu cepat pergi dari sini!”

“E-eh?” Damar bingung karena segera setelah ia bangun, ia mendapat usiran seperti itu. “Apa yang…terjadi?”

Namun setelah ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia mulai menyadari kalau apa yang dikatakan Mustaka bisa saja benar.

“I…ini…mimpi kan?” gumamnya tak percaya.

Semuanya berwarna putih, apapun yang ada di sekitar Damar. Tadinya tempat itu adalah hutan dengan jalan aspal yang menghubungkan ke beberapa daerah terpencil. Namun sekarang bukanlah hutan lagi yang ia lihat, melainkan angkringannya sendiri.

Benar, angkringan Damarlah yang tersisa di tempat itu. Tidak ada yang lain. Tidak ada pohon rindang yang menjulang tinggi. Tidak ada sungai deras bahkan suaranya sama sekali tidak ia dengar walaupun ia sudah sembuh dari tuli sesaatnya. Yang ada hanyalah Angkringan Malam yang ia dirikan tadi dengan kepala Mustaka yang masih tergantung, yang mana bahkan pohon yang menaitkan talinya tidak terlihat.

Seolah, dunia ini menyisakan mereka bertiga.

“Ini bukan mimpi, goblok!” seru Mustaka. “Apa matamu buta?!”

“Lah…tadi kan sudah aku bangunkan…” timpal Dik Jombi.

Damar mengerjapkan matanya berulang kali. Tidak ada yang berubah, ia berada di tempat asing seakan angkringannya dipindah ke dunia putih tersebut. Sangat kontras dengan kabut yang seolah mengurung mereka, lampu minyak angkringan Damar masih menyala terang dan sama sekali tidak terhalang kabut. Sesuatu menahan asap putih tersebut untuk masuk dan menenggelamkan Damar dalam lautan kabut. Dan satu hal lagi yang bisa dilihatnya dengan jelas adalah—

“Jadi ini…kutukan rumah tua?”

—rumah tua itu.

“Ya, bukannya sudah kubilang? Di sini berbahaya, cepat pergi atau semuanya terlambat!” Mustaka memberi peringatan.

Damar tahu betul kata ‘terlambat’ dari Mustaka memang tidak main-main, sudah ia buktikan tadi. Nyawanya benar-benar bisa terancam kali ini, pikirnya.

“Lari? Gimana caranya?!”

Namun Damar bingung, semua jalan yang bisa ia gunakan untuk lari seolah sengaja ditutup dan tidak memperbolehkannya untuk pergi dari hutan. Lagipula ia tidak yakin kalau berlari tanpa arah akan mengeluarkannya dari hutan ini. Dan yang lebih penting dari semuanya adalah—

“Kalaupun aku harus lari, aku gak mungkin tinggalin kalian semua kan?!”

—mengkhawatirkan Mustaka dan Dik Jombi. Jika Mustaka punya tangan, ia pasti sudah menepuk keras jidatnya.

“Kamu…kamu beneran goblok atau sok goblok sih?!” teriak Mustaka.

Damar mengerutkan alis, kebingungan karena ia tak habis pikir sempat-sempatnya Mustaka mengejeknya ketika kondisi semakin genting seperti ini. “Maksudmu?” tanyanya polos.

“Maksudku kamu goblok! Apa kamu gak sadar kalau aku bukan manusia?!”

“E-eh?” Mendengar Mustaka, Damar melongong.

“Nak…aku kira kau tahu kalau aku bukan manusia…” timpal Dik Jombi.

“Eeehhh?!” Mata Damar terbelalak, tak percaya dengan kalimat keduanya. Jika mereka berdua bukan manusia lalu apa? Damar kebingungan. Pernah ia lihat di televisi kalau ada suatu eksistensi lain di mana bukan salah satu dari ras makhluk tidak hidup dan biasa disebut sebagai ‘hantu’. Namun saat itu entah mengapa Damar menganggapnya sebagai fantasi saja, tidak lebih. Ia tidak tertarik dengan hantu karena hantu tidak bisa dilihat dan sama sekali tidak keren—maka dari itu ia mengabaikan informasi tersebut.

Tapi setelah bertemu dan mendengarnya secara langsung, Damar mulai menyadari bahwa memang ada yang aneh di tempat ini. Selain rumah tua itu, ia juga dari awal takut ketika pertama kali datang ke hutan tersebut. Kakeknya lah yang membuatnya aman, karena sosok menakutkan Dik Jombi mendadak jadi lucu karena sering bercanda gurau dengan Kakek. Karenanya ia tidak takut karena Kakek juga tidak takut.

Dengan bibir bergetar, Damar berkata. “J-j-ja-jadi kalian ini…”

“Kami hantu,” sambung Mustaka.

“Ya, Nak…” sahut Dik jombi.

“A…ahhh….” Tak bisa berucap apa-apa lagi, Damar jatuh terduduk karena semua tenaga di kakinya seolah lenyap ditelan kabut di sekitarnya. Bukan karena kutukan rumah tadi, melainkan rasa tak percaya ditambah dengan takutnya setelah melihat hantu sungguhan.

Mereka bukan manusia dan terlebih tidak hidup. Menggantung di atas sana ada kepala berbicara yang berbohong akan mati kalau jujur dengan kondisinya. Duduk di sebelah sana dengan mata mencuat, mayat bau yang berjalan lamban. Entah berada di mana maling bertangan panjang dengan mulut lebar yang terbuka dan memperlihatkan jajaran giginya. Semuanya asli, tercermin dari matanya sedari awal ia mendirikan angkringan tersebut. Ia cukup menyesal dengan pikiran positifnya melihat hal yang aneh, namun itulah yang membuatnya bisa bertahan hingga sekarang. Tapi—

“…”

—bukan saatnya ia takut lagi.

Ya, Damar bisa bertahan hingga sekarang tanpa rasa takut adalah berkat pikiran positifnya.

“Hei, kamu bisa menawariku kopi tadi tapi gak bisa terima kenyataan kalau kami setan? Kamu emang beneran goblok!” Ditambah dengan celoteh Mustaka.

“Kau sudah dengar curhatku sampai tak terhitung lagi, Nak…” Dilengkapi dengan wajah menyeramkan dan juga polos dari Dik Jombi.

Hingga pada akhirnya, Damar bangkit dari rasa takutnya.

“Benar, gak ada yang perlu kutakutkan dari kalian!” seru Damar dengan keyakinan barunya.

Melihat tumbuhnya keberanian Damar, Mustaka tersenyum. Dik Jombi tidak bisa tersenyum karena wajahnya kaku, namun bisa terdengar tawa dingin keluar dari mulutnya.