Angkringan Malam:Volume00 3

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Hanya Kepala Saja—

Damar terkesiap.

Genggaman tangannya melemah, matanya tak fokus, berulang kali ia membuka dan menutup mata namun yang ia lihat tetaplah sama. Rokoknya terjatuh begitu saja, ia bahkan tak sadar kalau sedang merokok. Damar hanya bisa ternganga, nyamuk masuk pun tak ia pedulikan. Matanya terbelalak, seolah menemukan sesuatu yang—

“KEREN!”

—ia kagumi.

Kali ini si kepala tergantung yang giliran kaget mendengar teriakan kencang Damar yang kemudian mendekatinya. Ia menengadah, mencoba mengintip bagian bawah kepala tergantung itu tapi tak menemukan apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kepala yang dibungkus oleh kain, menampakkan wajah dari kepala tersebut, dengan ujung kain yang diikat tali, digantung pada salah satu dahan pohon.

Ketika Damar cermati lagi, wajah kepala tersebut sangat pucat seolah darahnya disedot habis oleh rambutnya yang berwarna merah tua yang terurai keluar dari bungkusan kain tersebut. Kelopak matanya berwarna hitam dan tampak lebam, dengan tatapan kosong yang seperti menatap sesuatu tapi ternyata tidak sedang melihat apa-apa. Tapi itu semua bukanlah yang menarik buat Damar.

Dengan suara lantang penuh dengan kekaguman, dia berkata.

“Wow! Wih, wow! Wow banget pokoknya!!” dan hanya itu saja yang ia katakan terus menerus dalam beberapa menit.

“Hei, jangan pegang-pegang!” Kepala tergantung cukup bingung harus merespon seperti apa. “Jauhkan ranting itu dariku!”

Namun Damar tak mendengarnya. “Waaahhhh, kok bisa ya? Hei, gimana caranya bisa seperti itu?”

Kalau kepala tergantung itu punya jari, ia pasti sudah menggaruk-garuk kepalanya karena tak tahu apa yang sedang orang aneh yang ada di bawahnya tersebut. Normalnya, orang biasa takut kalau melihatnya seperti si nenek yang takut ketika dibantu Dik Jombi menyeberang jalan. Tapi aneh, ia tak habis pikir alih-alih takut, Damar malah kagum seperti itu. Karenanya ia bertanya. “Kamu ga takut?”

Damar menggaruk pipinya—yang membuat kepala tergantung iri—seraya menjawab. “Takut kenapa coba?”

“Lah…aku kan cuma kepala…”

“Malahan keren tahu! Belajar sulap di mana? Aku sering lihat di televisi, pesulap masuk kotak yang dipotong-potong terus dipisah, tapi masih bisa hidup! Keren ga tuh?!” seru Damar dengan mata yang berbinar.

Menceritakan tentang ketidaktahuan Damar akan hal gaib memang akan memakan banyak waktu dan tidak ada habisnya. Pernah ia melihat di televisi tentang acara sulap internasional yang sedang diadakan di Indonesia. Dalam acara tersebut ia melihat seorang pesulap yang sedang menari-nari aneh mengikuti alunan lagu sebelum kemudian masuk ke dalam sebuah kotak sebesar peti mati yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Walau sepertinya tariannya tadi tidak penting, namun fokus Damar adalah apa yang akan pesulap itu tunjukkan, bukanlah tariannya.

Tak lama kemudian seorang gadis yang berkostum kelinci [1] datang dan menutup peti mati tersebut sambil menari-nari seperti pesulap tadi, anehnya seperti itu. Lalu ia mengambil sebuah gergaji dan mulai memotong bagian tengah peti. Tak bahkan satu tetes darah pun yang keluar dari peti tersebut. Hingga setelah selesai membelahnya menjadi dua, dibukanya peti bagian atas dan nampaklah pesulap tadi menjulurkan lidahnya—mungkin menahan sakit, pikir Damar dulu—dan akhirnya ditutup lagi. Selanjutnya semua peti dibuka dan pesulap keluar darinya masih dalam keadaan utuh dan masih bisa tertawa-tawa di depan penonton.

Keren sekali, menurut Damar.

Karenanya ia tidak henti-hentinya bertanya. “Ayo sekarang kasih tahu aku, di mana potongan badanmu yang lain? Di dalam pohon yah?! Atau di rumah?!!”

Jika kepala tergantung punya tangan untuk menepuk dahinya, pasti ia sudah melakukannya sejak tadi. Tak bisa ia sangka kalau ternyata ada manusia yang tidak tahu apa-apa soal makhluk semacam kepala tergantung. Pengalamannya selama ini ketika menampakkan dirinya pada seseorang yang lewat—yah, walau memang jarang sekali ada yang melewati daerah tersebut—di hutan, pasti orang tersebut antara lari terbirit-birit atau terngesot-ngesot dengan penuh jeritan rasa takut. Tapi pria ini…sangat berbeda, atau mungkin ada satu atau dua sekrup yang hilang dari kepalanya.

Menghadapi orang aneh harus dengan hal yang aneh, pikirnya.

“Hmmm, aku ga akan kasih tahu…” jawabnya mulai maklum.

Raut Damar berubah kecewa. “Eeehhh? Kenapa? Dari dulu aku ingin tahu dan mencobanya!”

Jika kamu ingin mencobanya, kamu harus mati juga berarti, pikir kepala tergantung. Namun ia urungkan untuk berkata demikian karena bisa jadi membuat Damar ketakutan dan pergi darinya, ia tidak mau itu. Ia sudah cukup bosan berdiam diri tergantung di pohon. Ditambah lagi ia melihat wajah ceria dan suasana hangat Dik Jombi dan Mael, kesempatan baru seperti itu tidak ingin ia buang sia-sia.

“Tidak bisa.” Jadi dengan nada berat ia melanjutkan. “Karena aku akan mati jika memberi tahu rahasianya.”

Spontan jantung Damar berdetak kencang. Ia bukannya takut, melainkan merasa tidak sopan dan hampir saja membunuh orang. Ia tidak suka melakukan tindak kriminal seperti membunuh orang di tengah-tengah pertunjukan sulapnya, maka dari itu ia memutuskan untuk berhenti bertanya hal yang bersangkutan dengan sulap tadi.

“Ma-maaf, maaf!” Lalu Damar memulai percakapan biasa. “Oh ya, namamu siapa? Perkenalkan aku Damar—ah, maaf! Aku refleks mengajak salaman.”

Dijulurkannya tangan Damar yang kemudian ia sadari kalau tidak ada yang bisa diajak bersalaman. Yang kemudian hanya bisa mengusap-usap bagian belakang kepalanya sambil menunduk dengan raut bersalah.

“Oh, gapapa.” Karena tidak mungkin kepala tergantung menjawab kalo dia adalah kepala pocong, ia lalu menggunakan bahasa lain. “Namaku Mustaka, terserah kamu mau panggil aku apa.”

“Mustaka juga gapapa, bagus kok! Keren!” puji Damar. “Lalu, sedang apa kamu bergantungan di atas sana?”

Mustaka tidak bisa mengatakan kalau memang di pohonlah tempatnya mati digantung dulu kala. Memutar otaknya yang saat ini adalah satu-satunya benda paling berharga miliknya, tetap saja ia tidak bisa menemukan alasan yang bagus. Akhirnya ia hanya bisa menjawab.

“Aku akan mati kalau memberitahumu.”

Yang membuat jantung Damar kembali berdegub kencang.

Karenanya Damar bingung harus berkata apa. Ia juga mulai memutar otaknya dan yang terpikir olehnya adalah bagaimana cara kakinya bisa berada di tempat lain dengan sulap yang mungkin bisa diajarkan oleh Mustaka—tapi itu sama sekali tidak membantu karena di sisi lain, Damar tidak ingin masuk penjara. Akhirnya ia hanya bisa menyulut kembali rokoknya dan mengepulkan asap racun berbentuk ‘O’ kesukaannya tersebut. Namun Mustaka kembali mengeluh.

“Jangan merokok di bawahku.”

Mendengar Mustaka, Damar panik. Ia bingung harus bertindak apa lagi. Merokok salah, bicara salah. Diam saja juga membosankan, terlebih ia sangat penasaran dengan rahasia Mustaka—namun bisa berujung pada kematian dan mendekam di bui.

Tapi beruntung bagi Damar.

Mustaka mengerti akan hal itu. Selama ini ia diam tergantung di pohon tidak hanya untuk diam saja, tetapi juga mengobservasi kegiatan makhluk-makhluk yang berkeliaran di tempat itu, termasuk manusia. Dan maklum bagi Damar kebingungan karena ia tidak boleh merokok dan bertanya apa-apa yang ada sangkut pautnya dengan rahasia Mustaka. Karenanya Mustakalah yang memulai pembicaraan, karena ia yakin ia sendiri tidak akan membahas rahasianya.

Dengan nada yang masih berat, ia bertanya pada Damar yang sudah mengeluarkan banyak keringat. “Kamu ingin dengar suatu cerita yang menyeramkan?”

“Cerita?” Damar merasa terselamatkan. “Boleh, boleh! Aku lagi bosan juga, nih!”

Lalu Mustaka berdehem, memberi sedikit jeda kesunyian untuk menekankan kesan ketenangan dan kemisteriusan, sebelum kemudian mulai bercerita.

“Aku akan bercerita tentang pengalamanku selama tergantung di sini…”

“Jadi kamu sudah lama bergantungan di situ?” celetuk Damar.

“Kamu mau aku mati menjawabmu? Dengerin aku dulu bisa ga sih?”

“A-ah, maaf maaf!”

Tidak memedulikan Damar beserta raut bersalahnya, Mustaka melanjutkan.

“Kamu tahu rumah tua di seberang jalan sana?”

Keduanya melirik ke sebuah rumah tua yang memang sudah tidak ada yang merawatnya lagi. Dari awal Damar melihat rumah tersebut, ada perasaan aneh dan bercampur dalam hatinya. Seperti terganggu oleh sesuatu yang tidak baik, ada perasaan terancam yang mencekam dan mencekik lehernya. Bukanlah suatu ide jika berpikiran untuk masuk ke rumah itu. Kegelapan malam yang bersemayan di sekitarnya adalah murni keburukan, aura kejahatan, seolah neraka menunggu di dalamnya bagi siapa saja yang masuk dengan cerobohnya. Karena itu Damar tidak ingin melihat rumah tua tersebut terlalu lama dan langsung beralih pada Mustaka.

“Ng…aku sudah melewatinya beberapa kali kalau mau ke sini. A-ada apa ya di sana?” tanyanya sedikit ragu. Walaupun ia (menurutnya sendiri) tidak pernah melihat makhluk gaib secara langsung, ada perasaan cemas kalau-kalau eksistensi jahat keluar dari rumah itu.

Mustaka menyadari kekhawatiran Damar, yang kemudian membuatnya tersenyum puas karena berhasil menakutinya dan melanjutkan.

“Pernah terjadi pembunuhan keji di sana, korbannya adalah…” Mustaka memberi jeda pada kalimatnya untuk memberi penekanan pada heningnya malam, sebelum kemudian mengakhirinya dengan, “…anak kecil yang dimutilasi!”

DEG

Degub jantung Damar berpacu kencang.

Ia tidak takut pada makhluk gaib atau semacamnya, ia belum tahu bagaimana wujud mereka atau bahkan sekedar tahu kalau manusia yang sudah mati bisa menjadi salah satu dari makhluk tersebut. Yang ia takutkan adalah kejahatan, tindak kriminalitas, pembunuhan…nyawanya terasa terancam kali ini. Ia lebih takut dibunuh manusia biasa karena memang bisa terjadi.

Mustaka mulai kesenangan melihat wajah pucat Damar. Ia ingin segera mengakhiri ceritanya dengan melanjutkan.

“Setelahnya, hampir setiap malam pada jam-jam segini aku melihat sosok hitam tinggi yang masuk ke rumah itu. Aku ga tahu ‘apa’ dan siapakah dia tapi yang pasti, aku masih sering mendengar teriakan kencang yang setelahnya diikuti oleh tangis parau gadis kecil yang kurasa sedang dimutilasi di rumah itu…”

Damar menelan ludahnya hingga kering kerontang.

Angin lembut malam mendadak terasa seperti tangan yang mengusap lehernya, membuat Damar merinding. Kakinya bergetar dan membeku di tanah, tidak bisa ia gerakkan meskipun ingin. Keringat dingin membasahi baju dan jaket coklatnya, hingga bisa ia rasakan geli di punggung. Napasnya mulai tak beraturan, rasa cemas yang hebat menggerogoti keberaniannya—ia pasti akan membatu hanya dengan satu kalimat penutup yang tak lama diucapkan oleh Mustaka.


“Ya, malam ini aku juga melihatnya masuk ke rumah itu.”

—Terkutuk—

Mari kita katakan kalau ada tempat yang harus dan seharusnya tidak kita kunjungi.

Meski belum terbukti, tapi pasti akan ada sesuatu di dunia ini yang sebaiknya tidak diketahui oleh suatu atau bahkan sekelompok individu. Bukannya melarang, namun dikhawatirkan akan terjadi hal yang tidak diinginkan bila sesuatu tersebut diketahui—sehingga lebih baik tidak diketahui, atau mungkin di sini lebih tepatnya yaitu dikunjungi.

Misalkan saja seorang anak dilarang pergi ke gunung sendirian oleh orang tuanya karena ia tahu, si anak pasti akan terancam bahaya. Walau ada kemungkinan si anak pulang dengan selamat, tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada kemungkinan lain di mana si anak tersesat, jatuh dari tebing, atau sejenisnya—yang mana berujung pada kematian. Orang tua yang berakal sehat pasti tidak akan memperbolehkan anak tersebut pergi sendirian, yang berarti si anak seharusnya tidak boleh mengunjungi gunung.

Namun ada suatu lubang besar pada teori di permisalan tersebut, di mana bisa saja si anak mengunjungi gunung bersama orang tuanya. Ya, kemungkinan seperti tersesat atau jatuh dari tebing bisa dikurangi hingga hampir tidak mungkin terjadi, di situlah peran orang tua sebagai penjaga anak dan memperpanjang hidupnya. Jadi gunung tersebut menjadi tempat yang ‘bisa’ dikunjungi.

Lalu tempat semacam apa yang seharusnya tidak dikunjungi?

Jawabannya sangat mudah, yaitu tempat semua kejahatan dan keburukan bersemayam.

Tempat seperti itu sangat dan sangat disarankan untuk tidak dikunjungi. Tempat penuh kedengkian, dendam, rasa benci, tanpa belas kasih, tidak ada yang menyenangkan di sana. Bahkan tidak ada satu pun faktor penyelamat yang bisa membuat seseorang yang berkunjung ke tempat tersebut mampu kembali hidup-hidup. Bisa saja hidup secara ‘raga’ tapi tidak secara ‘jiwa’. Harus ada yang mati dari seseorang yang pernah berada di tempat itu.


Dan salah satu tempat terkutuk yang menyimpan semua energi negatif itu adalah rumah tua di seberang Angkringan Malam.

Tidak ada yang menyenangkan dari tempat tersebut, tidak ada satupun hal yang bisa membuat seseorang merasa aman ketika berada di dalamnya. Tidak, lupakan soal masuk ke dalam. Dari luar saja sudah tampak bila semua kegelapan berotasi di sekitarnya. Bahkan orang yang tidak tahu akan hal gaib seperti Damar bisa merasakan bahwa hanya dengan membuka pintu rumah itu saja akan langsung membawanya ke neraka yang paling terdalam.

“…”

…dan itu bukanlah sekedar perasaan Damar saja, karena memang rumah tua tersebut adalah neraka bagi sesosok makhluk kecil.

Di dalam rumah tersebut terdapat sebuah ruangan yang sangat gelap. Sebenarnya tidak ada ukuran untuk seberapa gelapnya sesuatu benda atau ruangan atau juga keadaan, namun untuk ruangan tersebut, sudah bisa dipastikan kalau tidak ada cahaya yang mampu menerangi walaupun hanya sedetik keremang-remangan. Cahaya harapan dilarang masuk, dihalangi oleh tembok dingin berupa rasa benci, dengki, dendam, takut, kegilaan, hingga keganasan dari suatu eksistensi yang dulunya berupa manusia. Hanya sesuatu yang selalu tinggal di sana sajalah yang bisa keluar dari ruangan terkutuk penuh dengan aroma busuk menyengat itu.

Seorang gadis sedang duduk memeluk lututnya di sudut ruangan.

Ia bukannya tidak bisa ke tengah, melainkan tidak mau. Ia memilih merasakan dinginnya lantai keramik penuh dengan keputusasaan dari pada merasakan dinginnya meja besi penuh dengan penderitaan. Hanya dengan melihatnya saja, gadis itu bisa mengingat kembali bagaimana sakitnya sebuah tangan dipotong dengan pisau timpul. Rasa yang amat gatal ketika darahnya tak berhenti menetes, membayangkannya saja menyisakan rasa sakit pada lengannya.

Masih bisa ia ingat dirinya yang menatap langit-langit berlampu dengan tatapan kosong dan sudah tidak fokus lagi, dengan segala keputusasaan yang ia miliki berharap kalau nyawanya lebih baik segera dicabut. Ia sudah tidak bisa menahan penderitaan dan rasa pedih di tubuhnya, terutama hatinya. Hingga semuanya sudah berakhir dan kini ia terlahir kembali menjadi makhluk yang bergentayangan, tidak ada yang berubah dalam kehidupannya.

Malang bagi gadis itu, tersiksa walaupun sudah mati.

Heheheh…

HeHHEHhEHEHehHEhHEHhEHEHHehhehehHEHHEHhEHEHhHEhHE.

…tawa dari dua orang yang saling sahut-menyahut menggema di seisi ruangan.

Gadis itu membenci tawa tersebut. Jika tawa itu sudah berkumandang, artinya ia akan merasakan lagi sakit yang pernah dialaminya dulu. Dingin menyengat pisau dapur ketika matanya dicongkel masih terngiang jelas di benaknya, dan itu sangatlah menyiksa. Seolah ia ingin mati dan terus cepat mati, tapi akan hidup lagi di keesokan harinya.


HehHHHEehhEHHEHEHhehHEhHHEHhHEHhEHhEHEHHEeHehHHHEee.

Tawa keempat adalah pupusnya harapan gadis itu, sudah saatnya ia memutuskan takdirnya.

Yang kemudian gadis kecil itu menetapkan hatinya untuk keluar dari ruangan tersebut.

Dengan satu matanya yang masih tersisa, ia mencoba melihat sekitar namun percuma, kegelapan mengalahkan cahaya temaram bulan. Keberanian yang kuat ia kumpulkan hingga mampu menegakkan kakinya dan mulai meraba-raba dinding dinding yang selama ini mengurungnya dalam kenistaan. Dalam gelap, ia merasa tangan dan kakinya menyentuh benda tajam yang bermacam-macam, namun tekadnya yang sudah bulat membuatnya mampu bertahan hingga menyentuh knop pintu menuju kebebasan.

“Unghhh…!!”

Seperti dugaannya, energi kejahatan yang mengekangnya selama ini sangat besar hingga tenaganya sendiri terasa seperti gigitan nyamuk. Ia kesulitan membukanya, hingga sesaat terbesit dalam benaknya untuk menyerah.

Tapi tidak, ia harus berubah. Ia harus berani dan sekuat tenaga keluar dari neraka kematiannya tersebut. Eksistensinya sendiri adalah sebuah kesalahan, ia seharusnya tidak berada di tempat sepeti ini dan mendiami surga beratapkan cahaya penuh harap. Ia selalu mendambakan sungai susu yang mengalir di sebelah rumahnya, manis dan hangat.

“…hangat?”

Gadis itu merasakannya, tidak hanya dalam pikirannya saja. Ya, suatu kehangatan, suatu hal yang sama sekali belum pernah ia dapatkan semasa hidupnya. Nyamannya hidup setiap hari, tentramnya hati yang menanti-nanti hari esok datang, tawa ceria yang mampu ia keluarkan secara lepas. Ya, gadis kecil merasakannya—kehangatan—ada di luar ruangan, di luar rumah terkutuk yang selama ini mengurungnya dalam hidup maupun mati.

Karenanya—

“Hupp!!”

—ia berhasil membuka pintu jahanam tersebut.

Tanpa pikir panjang, gadis kecil itu lari melewati lorong gelap yang hanya berhiaskan cahaya bulan yang terpantul di setiap pecahan kaca yang berserakan di lantai. Setelah ia bisa melihat sebuah tangga turun, ia langsung melompat pada pembatas tangga dan meluncur halus hingga mendarat dengan baik. Dibukanya pintu keluar menuju kebebasannya dan sebelum pergi, ia menoleh ke belakang.


Sebuah lukisan besar tergantung di dinding aula.

Cahaya bulan tertutupi oleh awan hitam kelam sehingga lukisan itu tidak terlihat. Namun tampak dengan jelas bahwa lukisan tersebut sangat berharga bagi sang gadis. Buktinya saja ia menghentikan langkahnya yang bisa menuntunya ke kehangata luar, di seberang jalan sana—Angkringan Malam. Dan dengan linangan air mata dan senyum pahit, gadis kecil mengucapkan salam perpisahan.

“Selamat tinggal Papa, Mama.”

Ini adalah ucapan selamat tinggal, yang berarti ia tidak berniat untuk kembali lagi ke rumah tua itu lagi. Harapannya adalah untuk bebas dan merasakan segala kehangatan yang selama hidup dan matinya ia nantikan tersebut. Karenanya ia mengambil langkah keluar—

“AAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!”

—jika saja sebuah papan besi besar dan tajam terlempar begitu saja dari balik kegelapan dan membelah perut gadis kecil itu menjadi dua.




  1. Pesulap biasanya ditemani oleh asisten karena kadang ia tidak bisa melakukannya sendirian. Jika ia menunjuk salah seorang dari penonton untuk membelah peti mati yang sedang ia masuki, takutnya akan ada kesalahan teknis dan akhirnya terjadi yang hal yang tidak diinginkan. Pada masa Damar melihat acara tersebut, kostum kelinci sangat popular dikalangan asisten pesulap, entah mengapa. Jadi wajar saja kalau sampai sekarang banyak beredar kostum kelinci pada beberapa cerita fantasi yang mana berdasar pada hal tersebut. Oh ya, anak yang baik dan tidak sombong, diharapkan tidak meniru adegan berbahaya seperti memotong temannya sendiri dalam peti mati hidup-hidup maupun saat pemakaman, juga berhenti mengenakan kostum kelinci terutama yang terlalu terbuka.