Angkringan Malam:Volume00 2

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Aku Mengenalnya—

Bisa dibilang makhluk hidup berikatan satu sama lain.

Misalnya saja parasit yang mendiami suatu pohon. Jamur kuning di lantai kamar mandi. Kupu-kupu yang menyebarkan serbuk tanaman. Bahkan manusia yang saling tolong menolong dalam hal sosial, edukasi, politik, dan sebagainya. Dipungkiri atau tidak, mereka seolah mempunyai ketertarikan tersendiri yang membuat makhluk sejenis atau bahkan beda jenis—misal manusia dengan anjing yang nantinya dijadikan patung—saling berikatan satu sama lain. Tidak peduli siapa yang butuh siapa, keduanya bisa juga saling membutuhkan.

Biasanya, ketertarikan tersebut berawal dari sebuah perasaan. Contoh mudahnya saja seorang perempuan yang tertarik pada laki-laki teman sekelasnya. Di suatu saat perempuan tersebut akan mendekati si laki-laki dengan caranya sendiri, tergantung individu masing-masing. Diawali dengan tepukan keras setiap pagi di bahu, ejekan kasar, pura-pura membenci, hingga tinju maut yang kadang membuat si laki-laki jengkel sendiri. Namun efeknya luar biasa, suatu ikatan terjalin di antara mereka berdua. Tidak perlu cinta, bisa jadi teman dekat yang dikatakan orang lain sangat akur padahal mereka sedang berkelahi.

Kurang lebih itulah yang disebut sebagai ikatan karena ketertarikan.


Lalu kali ini, di hutan yang sama dengan Angkringan Malam Damar muncul makhluk baru karena kekuatan ikatan tersebut. Bukan muncul sebenarnya, melainkan bangun dari tidurnya—seperti Mael. Walau tempat tinggalnya berada di seberang sungai, penciumannya sangat kuat hingga ia bisa tahu kalau ada manusia yang sedang berada di hutan itu.

Harusnya ia lah yang pertama kali menyadari kedatangan Damar. Namun karena tertutupi oleh bau busuk dan menyengat dari Mael, penciumannya melemah. Kadang ia bahkan kesulitan untuk mencium bau ikan terdekat yang sedang berenang di sungai. Seperti itulah gambaran betapa baunya Mael. Damar sebenarnya juga mencium bau bangkai busuk, tapi ia hanya diam saja karena tak ingin menyakiti hati pelanggan.

Kembali pada makhluk baru yang mulai bangkit dan menegakkan kakinya itu.

Tidak, ‘menegakkan’ rasanya kurang pas untuk menggambarkan bagaimana ia berdiri. Kakinya yang bengkok ke dalam tidak tegak dan lurus, namun entah mengapa ia bisa berdiri dengan kecacatannya tersebut. Bajunya yang compang camping dan dari dulu tidak pernah diganti berlumuran tanah liat karena pagi tadi hujan cukup deras. Ia membersihkan matanya yang kotor, namun tetap tidak bisa membenarkan posisinya—kedua mata tersebut tidak simetris dan masing-masing melihat ke arah yang berlawanan. Ya, sudah bisa ditebak. Ia adalah—

“…bau Kakek…jadi pengen curhat.”

—Dik Jombi[1].

Mengemeretakkan jari-jarinya, ia perlahan berjalan menuruti rasa tertariknya. Ada suatu bau lain di samping wangi busuk Mael, yang mana mengingatkannya pada masa lalu. Saat itu ia terus terjaga karena tidak sabar menantikan malam datang walaupun masih sore dan matahari belum terbenam. Dingin tanah tempatnya tidur bahkan terasa hangat hanya dengan membayangkannya saja, senyum dan malam bersama Kakek.

Namun Kakek sudah tiada, sudah lama tidak mendirikan angkringan di malam hari di tempat yang nyaris tidak pernah dilewati oleh manusia. Tempat ini seolah terkutuk, atau masyarakat sekitar menyebutnya demikian karena memang dihuni oleh makhluk-makhluk aneh dan menyeramkan. Bahkan anjing peliharaan penduduk yang tersesat di situ saja tidak ada yang berani mencarinya maupun hanya sekedar berteriak memanggil dari kejauhan.

Lalu siapa gerangan yang menyalakan lampu minyak dan membakar arang dalam tungku di malam ini?

Dalam benak Dik Jombi yang tak berotak, ia membayangkan kalau sebenarnya informasi kematian Kakek itu palsu dan beliau masih hidup. Karenanya ia juga mencium bau Kakek yang semakin lama semakin mendekat, sama persis ketika dulu Kakek mengambil air seraya memanggilnya dan mengajak Dik Jombi mampir ke angkringan Kakek. Namun anehnya, tidak ada suara Kakek yang dengan hangat memanggil namanya, membuatnya mempercepat langkah hingga ia melihat seseorang sedang mengambil air di sungai.

“…hmmm, aku bau…” gumamnya sambil mengendus-endus tubuhnya sendiri.

Dik Jombi trauma. Ia selama ini dijauhi kaum wanita—tentu makhluk sebangsanya—karena dirinya yang bau itu, walau tidak lebih bau dari Mael. Tapi setidaknya Mael tidak tertarik dengan lawan jenis [2], jadi ia tidak peduli dengan bau tubuhnya yang menyengat sampai ke ubun-ubun tersebut. Sayangnya Dik Jombi berkebalikan dengan Mael, maka dari itu ia sempat berpikir kalau bisa saja seseorang di seberang sungai sana adalah perempuan. Laki-laki pun tidak masalah sebenarnya karena dari awal Dik Jombi memang hanya tidak ingin dikira bau saja.

Oleh karenanya, ia menunda diri menyeberang lewat jalan setapak semacam jembatan dan terlebih dahulu membersihkan dirinya di sungai. Sayangnya, tanah di tepi sungai cukup becek dan lunak. Dengan kakinya yang bengkok ke dalam, sudah bukanlah hal yang tak terduga lagi jika Dik Jombi terpelanting dan jatuh ke dalam sungai berarus deras.

“…”

…untung saja tangannya sempat meraih akar pohon yang menjalar masuk ke dalam sungai. Jika tidak, tamatlah sudah riwayatnya dengan rasa penasaran yang belum terpuaskan. Walau sebenarnya ia cukup lega karena pergi dalam keadaan tidak bau. Tapi bukan itu, yang dinginkannya bukanlah pergi dari tempat penuh kenangan itu, melainkan kembali mengingatnya lagi. Ia sangat menginginkannya, menginginkan malam hangat dan penuh canda tawa ketika mengeluarkan semua penat dan curahan hatinya, menghabiskan malam bersama Kakek.

Karenanya Dik Jombi berusaha sekuat tenaga untuk bangkit.

Dijulurkannya tangan yang penuh lebam ke daratan bak anak kecil yang hendak meraih bintang dalam genggamannya. Ya, bisa dibilang ia mirip anak kecil. Namun tentu tidak ada anak kecil yang berkaki bengkok dan bermata janggal. Oh, Dik Jombi sekarang mulai menggunakan matanya. Perlahan keduanya bergerak-gerak dan mulai simetris di kepalanya. Pupilnya berusaha fokus dan akhirnya ia menemukan sesuatu untuk digenggam.

“Hbb!!” suaranya yang ditutupi oleh arus deras sungai kurang lebih seperti itu.

Tangannya berhasil menggenggam kaki Damar.

"!!"

Damar terkesiap. Karena gelapnya malam, ia hanya bisa melihat sepotong tangan pucat saja yang sedang menariknya masuk menuju kegelapan. Ia berusaha menarik kakinya menjauh dari tepi sungai dan terlepas dalam genggaman maut tersebut namun tidak bisa. Kekuatannya jauh di bawah sepotong kepalan tangan itu. Damar mulai kehilangan keseimbangan dan…

“Ah!”

…tertarik oleh tangan Dik Jombi.

“Hup!”

Namun beruntung, Damar tidak jatuh ke sungai karena ternyata Dik Jombi yang sudah berhasil naik ke darat menangkap tubuh Damar yang masih melayang di udara. Ujung hidungnya sudah berhadapan dengan air sungai deras yang bisa kapan saja menelannya dan membawanya ke neraka itu. Jika terlambat sedikit saja, pasti Damar hanya tinggal nama saja, pikirnya.

“Kamu tak apa?” tanya Dik Jombi yang kemudian menarik Damar kembali berdiri di daratan. Damar jatuh terduduk dan menghela napas lega.

“Hampir saja! Tapi sumpah tadi keren, aku berasa terbang!” heboh Damar yang membuat Dik Jombi ikut bernapas lega karena ia tidak jadi melukai siapa-siapa. Takutnya kalau ia membunuh seseorang, nantinya para wanita akan menjauhinya karena membunuh itu adalah hal yang sangat bodoh yang pernah ada. Karena mereka paham mati itu tidak enak.

“Bagus deh kalau tak apa.” Dik Jombi mulai mengingat tujuan awalnya. “Oh ya, ngomong-ngomong kau siapa? Bau Kakek…jadi mau curhat…”

Mendengar Dik Jombi, Damar kemudian berdiri dan menjulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman seraya memperkenalkan diri. “Ah, selamat datang di Angkringan Malam! Namaku D—Dik Jombi?!” Namun setelah melihat wajah Dik Jombi dengan lebih dekat, ia mulai mengingat kembali siapa pemilik kedua mata yang kini tak simetris lagi itu.

“Eh?” Dik Jombi kebingungan karena dalam seumur hidupnya di hutan ini, belum pernah ia merasa sepopuler itu. Karenanya ia menggaruk-garuk kepalanya yang penuh kutu dan dengan rasa malu berkata. “Y-ya, itu aku…kok kau tahu? Kau siapa?”

Dan dengan mata bersinar penuh kata ‘Keren!’ dalam benaknya, Damar menjawab dengan lantang seraya menepuk kencang dadanya.

“Ini aku, cucu Kakek!”

—Boleh Kok Curhat—

“Sini, duduk sini! Sebentar, aku carikan handuk dulu!”

Aku menuntun Dik Jombi untuk duduk di sebelah Mael dan segera mencari handuk yang memang sengaja kubawa kalau-kalau aku ingin mandi. Setelah menemukannya, aku berikan pada Dik Jombi yang walaupun kedinginan, tubuhnya tidak gemetar. Seperti biasanya dia itu pria keren!

“Silahkan dipakai, Dik Jombi. Oh ya, mau jahe hangat atau kopi panas?” tawarku.

Menerima handuk dariku, Dik Jombi membalas. “Ah, kopi saja…”

“Oke, tunggu sebentar.”

Dengan segera aku menyiapkan kopi luwak panas. Tumben Dik Jombi memesan kopi. Padahal sejak pertama kali bertemu dengannya, pesanan darinya tidak ada yang lain kecuali wedang jahe kalengan. Apa mungkin malam ini dia tidak galau?

“Silahkan diminum selagi hangat,” ujarku setelah meletakkan kopi luwak yang sudah kucampuri bubuk merica untuk menambah kehangatan dalam tubuhnya.

“Terima kasih.” Dik Jombi lantas meminumnya hingga habis, seperti biasanya ketika Kakek menyajikan minuman untuknya. Ditambah dengan komentar. “Ng…walau rasanya sedikit unik dan meledak-ledak di perut, aku merasa cipta rasa Kakek ada di minuman buatanmu…jadi ingin curhat…”

Ada secercah rasa puas di wajahnya yang memang cukup berbentuk aneh itu. Kurasa dia punya suatu kelainan organ tubuh. Tapi tak sopan untukku bertanya dia sakit apa, jadi lebih baik aku mendengarkan saja apa yang ingin dia bicarakan seperti halnya apa yang biasa Kakek lakukan di sini ketika Dik Jombi mampir.

“Boleh kok curhat, tapi ga dibantu ya,” ujarku dengan peringatan.

Aku memang agak kasihan dengan Dik Jombi, selain memiliki kecacatan dia juga dijauhi semua perempuan yang didekatinya. Aku masih ingat dia ingin populer di kalangan perempuan, dan itu yang jadi masalahnya. Sulit untuknya menjadi populer—sebelumnya maaf jika terlalu menghina—dengan bentuk tubuh seperti miliknya tersebut. Ditambah lagi Dik Jombi selalu curhat akan hal, perempuan, dan keadaan yang berbeda-beda. Jadi aku bahkan akan kewalahan mengingat apa saja yang dia butuhkan sebelum sanggup membantunya.

Karenanya aku tidak akan membantu Dik Jombi kecuali mendengarkan curahan hatinya saja, kurasa Kakek juga berpikir hal yang sama dulu.

“Wah…sudah lama ga cerita sambil cium bau Kakek di sini…Mael, kau juga bangun karena bau Kakek ya? Ternyata penampilanmu menipu…coba kau mandi dan hapus bau busukmu, pasti cewek-cewek nempel kayak perangko,” kata Dik Jombo yang menoleh ke arah Mael alih-alih melirik.

Mael ternyata tidak marah—yang mana cukup keren padahal sudah diejek bau seperti itu—dan membalas. “Kau ga jadi curhat?”

“Ah, iya, jadi lupa…oh ya, Nak.” Dik Jombi beralih padaku. “Kenapa kau buka angkringan Kakek? Bukan melarang sih, hanya saja kau bisa mengabariku lebih awal kalau mau berjualan di sini…”

“Hahaha, maaf, aku ga tahu di mana Dik Jombi tinggal. Lagipula ini sebagai kejutan saja, karena baru sekarang aku sempat memenuhi janjiku pada Kakek untuk berjualan lagi di sini.”

Ya, aku hampir saja lupa akan janjiku dengan Kakek jika saja dua tahun yang lalu Ayah tidak menyebutkan kota tempat kelahirannya padaku—yang mana membuatku teringat pada Kakek. Hari-hariku dipenuhi oleh belajar dan belajar, terkadang aku mencuri-curi kesempatan untuk sekedar jalan-jalan sendirian di pusat perbelanjaan. Ayahku sangat keras dan ketat dalam hal pendidikan untuk anak.

Maka dari itu aku cukup lega bisa kembali ke sini dan berjualan seraya melihat semangat dan keceriaan Dik Jombi yang sedang bercerita panjang lebar tentang apa saja yang sudah dia lakukan untuk mendekati perempuan. Entah karena keturunan atau aku sudah terbiasa dari kecil mendengar curahan hati seseorang macam Dik Jombi, rasanya menyenangkan mendengar orang yang sedang berbagi pengalaman hidup. Ada ketertarikan tersendiri yang membuatku betah untuk terus mendengarnya walau dari orang yang sama dan masalahnya hanya seputar tidak populer di kalangan perempuan.

Aneh tapi cukup membuatku senang.

“Jadi saat aku lagi bantu nenek-nenek menyeberang jalan, aku malah ditinggal lari coba…sakit ga tuh?” cerita Dik Jombi.

Aku tertawa. “Itu pasti karena Dik Jombi jalannya lambat jadi si nenek takut ketabrak!”

“Ah, iya juga yah…kirain si nenek takut sama aku…”

Err…kurasa memang si nenek takut dengan sosok Dik Jombi.

“Dasar bego, dia memang takut sama kau,” komentar Mael…ah, dia mengatakannya.

Buru-buru aku hendak menghibur Dik Jombi namun dia tampak tidak marah. Kurasa dia sudah terbiasa mendengar hal tersebut terutama dari temannya. Apalagi rasanya Mael dan Dik Jombi teman dekat karena bisa mengejek satu sama lain seperti itu tanpa takut menyakiti hati masing-masing. Hmmm, pertemanan mereka keren!

Karenanya aku menceletuk. “Sejak kapan kalian berteman?”

Lalu mereka berdua saling bertatapan, wajah keduanya tampak bingung.

“Berteman? Apa kita tampak kayak orang berteman?” jawab Dik Jombi yang cukup tak kuduga.

“…eh?”

“Dia bukan temanku,” tambah Mael.

Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepala. “Jadi kalian ga berteman?”

Dik Jombi perlahan menggeleng. “Aku tidak ingat kapan kami pernah berteman…tapi memang iya, kami sering berada di tempat yang sama di waktu yang sama ketika Kakek masih ada…”

“Aku hanya datang untuk minum, dan terpaksa mendengar semua celotehannya,” jawab Mael sinis.

“Ah, apaan coba? Kau pernah ketawa kan pas aku cerita Kuntul kesandung dasternya sendiri pas ngejar tukang ojek?” Dik Jombi tak mau kalah.

“Itu ga lucu, sama sekali engga,” bantah Mael.

Tapi mau bagaimanapun mereka saling menentang dan menolak satu sama lain, di mataku mereka pasti berteman dekat. Lihat saja, kenangan dan waktu yang sudah mereka lalui saja pun masih mereka ingat hingga aku juga bisa merasakan kehangatan saat-saat itu. Sungguh luar biasa, sepertinya aku semakin menyukai tempat ini. Bisa kubayangkan kalau tujuan Kakek mendirikan tempat ini adalah untuk tujuan yang sama, keren sekali!

Ya, kalau dipikir-pikir mengapa Kakek memilih tempat ini? Pikirku dulu.

Sekarang mungkin aku bisa menjawabnya, karena penduduk di sini sangat ramah dan menyenangkan. Atau itu yang kudapatkan setelah bertemu dengan Dik Jombi dan Mael. Penampilan memang bisa menipu, tapi tidak untuk hati mereka. Berkebalikan dengan apa yang bisa dilihat di luar, jauh di dalam mereka baik sekali, aku bisa merasakannya.

Dik Jombi walau bodoh dan tidak bisa berhenti bicara, dia orangnya penyabar dan suka menolong. Kadang aku merasa dia juga tidak pantang menyerah, meski terkadang dia butuh dukungan atau pendapat dari orang lain. Atau setidaknya ada orang yang mau mendengarnya mencurahkan seluruh isi hatinya. Kehadiran Kakek di sini sangat pas untuknya.

Selanjutnya Mael, dia tidak kalah baiknya. Walaupun tidak banyak bercanda atau tersenyum ramah, dia juga tidak kasar. Bahkan dia lembut dan pendengar yang baik. Buktinya dia masih bisa mengingat dengan jelas setiap omongan dari Dik Jombi, tidak perlu dipertanyakan lagi hal tersebut.


“Teman, eh?” gumamku sendiri.

Meninggalkan Dik Jombi dan Mael yang masih beradu mulut, aku duduk di dipan dan membelakangi keduanya. Kukeluarkan sebatang rokok yang kemudian kusulut menggunakan korek minyak. Asap rokok mulai beterbangan di udara, memenuhi bagian belakang gerobak. Aku sengaja menjauh dari Dik Jombi dan Mael karena takut mengganggu keduanya. Lagipula mereka terlihat sedang asyik mengingat kembali masa lalunya ketika berada di tempat ini, membuatku semakin enggan untuk mengganggunya.

Aku menengadah, berharap melihat bintang di langit. Tapi sayangnya sebuah pohon besar menutupi, gemerlap indah bintang malam tidak bisa kulihat dari sini. Seolah cahaya di angkasa dihisap habis oleh pohon itu. Menyisakan kegelapan saja yang semakin lama kulihat, rasanya aku sewaktu-waktu bakal tersedot ke dalamnya. Karena itu aku hanya bermain-main saja dengan asap rokokku dan membentuk asapku menjadi seperti huruf ‘O’ di udara, sebelum kemudian lenyap dan—

“Hei, bisa berhenti merokok di depanku?”

—aku melihat sebuah kepala yang tergantung di dahan pohon berbicara seperti itu.



  1. Sebelumnya memang belum dibahas, tapi mungkin akan dijelaskan di Afterword.
  2. Sungguh, sangat aneh jika menyebut lawan jenis di sini karena memang mereka semuanya berbeda jenis—ada mayat berjalan, tangan panjang, dan lain-lain. Hanya saja ‘lawan jenis’ di sini mengacu pada gender, jenis kelamin, karena bagaimanapun juga sebelum menjadi makhluk yang menyeramkan, masing-masing dari mereka dulunya adalah manusia juga. Setelah mereka mati, beberapa ada yang ke akhirat ada pula yang terkutuk atau masih memiliki urusan yang belum selesai, jadinya mereka masih bergentayangan dan berkeliaran di tempat tersebut.