Amori:Volume01 Chapter11

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Magi

Hening.

Dan hanya keheningan.

Hilgard mengedipkan matanya. Berbicara tentang sihir dan segala hal yang berkaitan dengannya, ia sebenarnya menduga, berharap, akan menyaksikan ledakan, atau setidaknya pancaran cahaya delapan warna yang menyilaukan mata. Tapi tidak. Tak terjadi apa-apa. Setidaknya apa-apa yang bisa ia rasakan. Hanya hening dan keheningan. Dan seandainya ia tak melihat ekspresi ngeri di wajah Azakh ketika kepingan-kepingan kristal itu jatuh ke lantai, ia pasti sudah mengira bahwa dirinya telah memecahkan kristal yang salah.

Tapi tidak. Tentu saja tidak.

Jelas hanya penyihir yang punya ide dan pemikiran memasukkan sesosok gadis ke dalam kristal sihir entah untuk apa dan entah dengan cara apa berhasil membuat si gadis tetap hidup sampai saat ini.

Sekali lagi Hilgard mengedipkan matanya.

Bukan karena gadis berambut kelabu keperakan itu tak mengenakan sehelai benang pun untuk menutupi tubuhnya. Bukan karena ratusan simbol yang mendadak berpendar kebiruan di sekujur tubuh gadis berkulit gelap itu. Bukan karena gadis yang jika dilihat dari penampilannya mungkin berusia empat belas atau enam belas tahun itu mengingatkan Hilgard pada putrinya yang saat ini sedang sekarat. Bukan... Yah mungkin sebagian karena itu. Tapi lebih karena akhirnya ia menyadari apa yang seharusnya ia lakukan.

Tapi apa ia bisa melakukannya?

Dan Hilgard pun tertawa.


Arda terkesiap. Pertama-tama karena kristal itu. Lalu gadis di dalam kristal. Yang terakhir karena suara tawa Hilgard.

Karena bukan pertama kali dalam satu hari itu ia mendengar tawa seperti itu. Bukan jenis tawa yang ingin kau dengarkan. Bukan jenis tawa yang menunjukkan kegembiraan. Gelap dan muram, itu adalah tawa seorang yang siap mengorbankan apapun untuk mencapai tujuannya. Tawa yang beberapa saat sebelumnya keluar dari mulut sang Ksatria biru.

Jadi ketika sekali lagi Hilgard mengangkat pedangnya, tanpa pikir panjang, melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, melupakan Milia yang sedang terbaring meregang nyawa, Arda segera berlari sekuat tenaga sebelum kemudian melompat dan menerjang Hilgard.

"Kau sudah gila?" desisnya. Dengan kedua tangannya, Arda menahan lengan Hilgard, mengunci sang kawan yang saat ini sedang terbaring telentang di lantai.

"Lepaskan aku," geram Hilgard, "ini satu-satunya kesempatan kita untuk menyelamatkan Milia."

"Dengan menghancurkan dunia?" Arda balik bertanya, "Dengan sekali lagi menyeret seluruh Wesfall ke dalam kekacauan? Magibel kedua?"

"Itu hanya salah satu kemungkinan," balas Hilgard, "tak lebih dari salah satu kemungkinan."

"Lalu bagaimana dengan menghancurkan kristal itu kita bisa menolong Milia, Tolol?"

"Mungkin. Dengan itu..." kata Hilgard.

Arda memalingkan wajahnya mengikuti sorot mata Hilgard dan melihat apa yang dilihat rekannya itu.

"Kau pasti bercanda..." keluhnya.


Muncul begitu saja, melayang di udara, bukan hanya satu, tapi beberapa gerbang sihir sekaligus. Pusaran-pusaran cahaya beraneka warna, tidak sebesar yang digunakan para penyihir ketika mengirimkan para ksatria ke pulau itu memang, tapi tetap saja... itu berarti ada seseorang, atau sesuatu yang mencoba masuk ke sana.


Bagi Azakh itu bukan pertanda baik, dan dalam hati ia sudah menduga apa yang bakal terjadi. Di saat seperti ini, ia sungguh berharap dapat kembali ke wujud naganya.

Tapi tak ada gunanya mengeluh, atau panik, atau berandai-andai. Ia hanya perlu melakukan apa yang harus dan telah ia lakukan selama ini. Sebagai salah satu prajurit Sol Kreska, sudah sepantasnya ia menjaga kastil terakhir sang raja dari serangan musuh.

Dengan lembut ia meletakkan Milia di lantai. Lalu sambil menyeringai menahan rasa sakit akibat ledakan yang mengenainya sang Dragoon pun berjalan, memungut pedang dan tombaknya, dengan gagah ia berdiri di atas altar, di hadapan inti kristal, menunggu, menanti, siap menghadapi apapun.


Keheningan yang muncul seketika menghilang ditelan suara ledakan. Dari gerbang sihir terbesar, dari pusaran cahaya merah darah, melayang dengan anggun dan angkuh, sosok penyihir yang sudah lama tak terlihat di seentaro Wesfall.

Mengenakan jubah hitam dengan pola nyala api di beberapa bagian, wujud sang penyihir tampak seperti seorang lelaki muda. Rambutnya hitam legam, wajahnya tampan, dan sorot matanya setajam belati. Dengan ekspresi yang hampir-hampir mirip kegembiraan, euforia, ekstasi, sang penyihir tersenyum dengan senyuman yang mampu membuat para binatang buas mendengking dan lari ketakutan. Dan bahkan sebelum sang penyihir mengucapkan sepatah kata pun, Arda, juga Hilgard dan Azakh, menyadari kalau mereka berada dalam masalah.


Masalah besar.


Masalah yang sangat besar.


"Ini yang kau sebut bantuan? pertolongan?" Arda membantu Hilgard berdiri. Dengan canggung, seolah tahu tak banyak yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan hidup mereka, keduanya sekali lagi menghunus pedang mereka, berdampingan, menunggu, menanti, lonceng kematian yang akan segera berdentang.


Mula-mula sang penyihir memandang Arda dan Hilgard: Zirah mereka yang penuh debu. Pedang mereka yang berkilauan. Ekspresi wajah mereka yang menyembunyikan ketakutan dan kengerian. Dan ia sama sekali tak terkesan. Perhatiannya kemudian teralihkan pada gerbang-gerbang sihir lain. Penuh ketidakpastian, sang penyihir menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia mencoba menutup gerbang itu. Mungkin, tapi itu membutuhkan waktu dan konsentrasinya. Lalu akhirnya perhatiannya tertuju pada altar di tengah ruangan itu: pada sosok Azakh yang berdiri tegar, pada inti kristal yang selama ini telah membelenggu sebagian besar kekuatannya, dan ia pun menyeringai.

"Apa kabar Pak tua?" suara sang penyihir sama persis dengan suara sang ksatria biru.

...

(Belum... Tapi sekarang kelihatannya aku mau mencoba membereskan Taro dulu...)