Amori:Volume01 Chapter10

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Pertarungan

Milia seolah berada di dalam satu mimpi buruk.

Di satu sisi, Azakh, sang Dragoon, sedang bertarung melawan sang ksatria biru, seorang Wulf, jika melihat perlengkapan yang dikenakannya. Sebuah pertarungan yang amat sengit dan dahsyat, yang baru pertama kali Milia lihat sepanjang hidupnya, karena keduanya terbukti memiliki teknik yang sempurna dan kekuatan yang melampaui sebagian besar manusia pada umumnya.

Mungkin karena keduanya memang bukan Manusia.

Percikan api bahkan muncul ketika kedua senjata mereka bertemu.

Hilgard benar, sang ksatria biru jelas mampu menandingi sang Dragoon. Lebih lincah dan agresif, Azakh hampir-hampir terlihat kesulitan menghadapinya. Berkali-kali tombak sang ksatria berhasil mengenai zirah Azakh, dan tiap kali itu pula berhasil meninggalkan bekas goresan yang dalam di sana.

Tapi Azakh pun tidak sekedar bertahan saja. Walau tidak seagresif sang ksatria biru, beberapa kali ayunan pedang sang Dragoon nyaris memotong leher dan lengan lawannya.

Sementara itu, di sisi lain, dengan penuh kekhawatiran, Milia menyaksikan bagaimana Hilgard dan Arda saling beradu kemampuan. Meski tak sedahsyat pertarungan Azakh, bagaimana cara keduanya memainkan pedang pun tak bisa dibilang biasa-biasa saja.

Hilgard dan Arda. Keduanya sama-sama seorang Wulf, dan dari teknik pedang yang digunakan, keduanya tampaknya sama-sama berasal dari salah satu sekolah tradisional yang ada, sekolah-sekolah yang jauh lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas lulusannya. Sayangnya, walaupun Milia pun juga berasal dari salah satu sekolah tradisional, ia belum cukup banyak bertualang untuk dapat mengetahui, dari sekolah mana tepatnya Arda dan Hilgard berasal.

Cepat dan mematikan, begitulah teknik yang digunakan Arda. Namun berbeda dengan ketika ia menghadapi sang Eizen, kali ini ia tak perlu sampai harus berguling dan berlompatan menghindari serangan. Langkah-langkah tegas, dibarengi ayunan yang terarah, serangan demi serangan terus ia lancarkan nyaris tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk membalas.

Sederhana dan efisien, adalah ciri teknik pedang yang digunakan Hilgard, yang tampaknya lebih memberi perhatian pada pertahanan daripada serangan. Tak ada gerakan yang tak perlu. Seolah-olah dapat melihat masa depan, dengan sempurna Hilgard mampu menghindari dan menangkis serangan-serangan yang ditujukan padanya.

Bersama-sama keduanya seolah sedang menarikan sebuah tarian. Sebuah tarian yang indah namun mematikan.


Mematikan...


Milia menahan napasnya. Tak pernah terbayangkan olehnya Hilgard dan Arda akan saling membunuh satu sama lain.

Tidak. Ia tak akan membiarkan hal itu terjadi.

Karena walaupun ia baru mengenal keduanya dalam waktu singkat, baik Hilgard dan Arda sudah melakukan banyak hal untuk membantunya. Tanpa salah satu dari keduanya, ia yang hanya mengandalkan kenekatan mungkin tak akan dapat sampai ke puncak menara. Jangankan puncak, ia bahkan mungkin tak akan bisa melewati gerbang kastil, dan kalaupun karena suatu keajaiban ia dapat berhasil, ia mungkin tak akan dapat bertahan lama menghadapi para penjaga.

Karena walaupun ia baru mengenal keduanya dalam waktu singkat, ia sudah menyukai keduanya. Rasanya seperti memiliki dua orang kakak. Rasanya seperti memiliki keluarga. Sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

Karena kedua orang itu memperlakukannya dengan hormat sebagai seorang ksatria bahkan setelah mengetahui bahwa ia seorang wanita.

Lalu Arda, meski selalu mengatakan hal-hal kasar padanya, ksatria itu lah yang pertama kali mempercayainya. Percaya bahwa ia memiliki kemampuan untuk menjadi seorang ksatria yang tangguh kelak. Dan Arda bahkan masih tetap mempercayainya setelah kekacauan yang sempat dibuatnya di lingkar dalam kastil.

Tidak. Ia tak akan membiarkan keduanya saling membunuh dalam pertarungan.

Tapi apa yang dapat ia lakukan?

Milia memandang ke puncak Altar, memandang ke arah kristal yang entah mengapa tampaknya berpendar lebih terang dari sebelumnya, seolah gembira menyaksikan pertarungan tersebut. Dan sebuah pemikiran pun terlintas di benak Milia.

Mudah saja sebenarnya. Ia hanya cukup menghancurkan kristal itu, maka tak ada alasan lagi bagi Arda dan Hilgard untuk bertarung.

Namun sebelum ia sempat melakukannya, sebuah pikiran lain yang lebih sehat dan waras muncul di benaknya.

Lalu apa?

Ia sudah menyaksikan bagaimana Vermilis nyaris hancur hanya karena perang saudara, walau hampir tak ada satu penyihir pun yang terlibat langsung di dalamnya. Apa sekarang ia mau mengambil resiko menyaksikan Magibel kedua melanda seluruh Wesfall?

Dan Arda. Apa yang akan dipikirkan lelaki itu tentangnya?

Terlepas dari kemungkinan bahwa Arda sangat mungkin akan membunuhnya, hal itu tentu saja akan membuat Arda benar-benar kecewa padanya.

Milia mengeluh. Ia mengerti apa alasan Arda melindungi Kristal itu, dan ia pun setuju dengan hal itu. Tapi Hilgard tentulah punya alasan sendiri mengapa ia bersikeras menghancurkan kristal itu apapun resikonya.


Resiko...


Apa yang mungkin terjadi juga mungkin tak terjadi.

Apa itu berarti Azakh dan Arda terlalu paranoid?

Apa itu berarti Hilgard terlalu optimis?

Siapa yang benar? Siapa yang salah?

Milia kembali menggelengkan kepalanya. Memikirkan semua itu hanya membuatnya makin bingung. Konsentrasi!

Hilgard menarik napas panjang. Arda benar. Di saat seperti ini, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah tetap teguh pada apa yang ia yakini.

Mungkin. Sangat mungkin, apa yang ia yakini saat ini adalah suatu kesalahan yang akan ia sesali kelak. Tapi hal itu masih lebih baik daripada keraguan yang cepat atau lambat akan menjebaknya dalam kekacauan.

Dan Milia pun memutuskan bahwa ia akan mempercayai Arda dan Azakh. Mendukung keduanya dalam upaya mereka melindungi kristal itu.

Maka sekali lagi, dengan muram, Milia berkonsentrasi mengawasi jalannya kedua pertarungan, bersiap untuk semua kemungkinan yang terburuk. Meski ia tak diminta ikut campur di dalamnya, ia toh tak pernah tahu kapan keberadaannya mungkin akan dibutuhkan.

Tak lama kemudian, seolah sudah disepakati sebelumnya, hampir-hampir bersamaan keempat ksatria menghentikan serangan mereka.

Tapi bukan karena lelah ataupun penat.


Juga bukan karena akhirnya mereka memutuskan untuk berdamai.

Sebaliknya, bagaikan keheningan singkat yang muncul sesaat sebelum datangnya badai, masing-masing dari mereka telah siap untuk mengakhiri semuanya.

Satu

Dua

Tiga tarikan napas.

Dan badaipun datanglah.

---

Arda mengubah pola serangannya. Lebih cepat, tanpa keraguan, sekuat tenaga, tiap ayunan pedangnya bagaikan petir yang menyambar, menjanjikan kematian dan kehancuran.

Begitu juga dengan Hilgard. Gerakannya kini jauh lebih ringan dan mengalir, dan alih-alih menangkis, tiap kali ia menghindari serangan Arda, setiap kali itu pula ia mengubah gerakan menghindari itu menjadi sebuah serangan, yang walaupun tidak terlalu mematikan, hampir-hampir selalu mengenai sasarannya.

Arda hanya menyeringai saat beberapa kali ujung pedang Hilgard menggores tubuhnya. Rasanya menyakitkan memang. Tapi itu adalah hal yang wajar. Ketika segala konsentrasi dipusatkan pada serangan, sedikit banyak ia pasti akan menerima serangan balik yang ditujukan lawan padanya. Dan hanya dengan meningkatkan serangan saja lah ia dapat meminimalisir hal tersebut. Ia cuma tak mengira bahwa Hilgard setangguh ini.

Seandainya saja Hilgard lebih agresif...


Tidak. Bukan begitu. Lebih tepatnya memang seperti itulah teknik yang digunakan Hilgard. Bertahan, bertahan, menghemat tenaga, sesekali menyerang balik, sedikit demi sedikit membawa sang lawan ke dalam iramanya.

Tidak. Ia tak punya banyak waktu. Lebih lama lagi mengikuti permainan Hilgard, ia akan segera kehabisan tenaga bahkan untuk melakukan serangan.

Ia hanya perlu mendaratkan satu serangan.

Berbeda dengan serangan Hilgard yang hanya menimbulkan luka ringan, tiap ayunan pedang Arda, jika mengenai sasaran, akan menimbulkan luka yang cukup parah.

Jika mengenai sasaran...

---

Sementara itu, Hilgard hanya bisa mengerutkan keningnya tiap kali serangan Arda nyaris mengenainya. Ia beruntung pertarungan ini satu lawan satu, hal yang cukup jarang terjadi dalam kebanyakan pertikaian, di mana segala hal mungkin saja terjadi. Sudah berkali-kali ia mendengar cerita bagaimana seorang ksatria yang tangguh menemui ajalnya karena serangan tak terduga yang diterimanya pada sebuah pertarungan yang ia sangka hanyalah satu lawan satu.

Realistis dan Kreatif. Demikianlah yang berulang kali ditekankan oleh guru Hilgard dulu. Dan sikap itulah yang membuatnya mampu bertahan hidup sampai saat ini.

Jangan biarkan lawan mengaturmu, buat tempomu sendiri.

Pertahanan adalah serangan yang terbaik.

Jangan menangkis apa yang dapat kau hindari.

Kesabaran akan membawamu pada kesempatan.

Mengalahkan, bukan membunuh.

Hilgard tersenyum kecil ketika petuah-petuah itu kembali terngiang di kepalanya. Sederhana memang, tapi ia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar memahami maknanya.

Tapi apakah dengan semua itu dia dapat mengalahkan Arda?

Mungkin ya, mungkin tidak. Karena kesempatan, meski selalu muncul, kadang hanya singkat saja, tak terulang, dan sering sekali terlewatkan.

Sekarang sudah sampai puncaknya. Hilgard tahu, ia tak bisa lebih lama lagi mengatur temponya, bukan karena ia tak tahu cara melakukannya, tapi karena ia tak punya cukup tenaga untuk melakukan itu. Semakin lama, serangan-serangan Arda makin cepat dan tajam. Hal semacam itu tentu saja ada batasnya, tapi tak ada jaminan Hilgard dapat bertahan sampai saat itu tiba.

Perbedaan kekuatannya terlalu besar.

Seandainya saja ada kesempatan...

Hilgard menyeringai. Jika tak ada kesempatan ia akan membuatnya, bahkan jika demi hal itu ia mesti mengorbankan nyawanya.

Lagi pula... ia percaya pada Arda.

---

Arda mengedipkan matanya.

Karena apa yang baru saja dilakukan Hilgard benar-benar tak masuk akal.

Apakah ia kehilangan konsentrasi?

Ataukah ada yang salah?

Bagaimana tidak. Entah mengapa, alih-alih menghindar, pada serangan yang terakhir Hilgard memilih menangkis serangan Arda. Tapi yang membuat Arda terkeut adalah bagaimana pedang Hilgard bisa terlempar begitu saja dari tangannya.

Tidak.

Jelas bukan karena kekuatan serangannya. Sebelumnya Hilgard sudah berkali-kali berhasil menangkis serangan yang sama dengan sangat baik.


Sedetik.


Hanya sedetik pikiran itu terlintas dalam pikiran Arda, mengacaukan konsentrasinya. Tapi itu sudah cukup bagi Hilgard untuk membalikkan keadaan.

Begitu ia melepaskan pedang dari lengan kanannya, Hilgard pun bergegas menangkap lengan kanan Arda. Ia lalu melangkahkan kakinya, mencondongkan tubuhnya kedepan, menggeser titik keseimbangan Arda, kemudian dengan mudahnya membanting lawannya itu jatuh ke lantai.

Benar-benar tak terduga.

Dan belum sempat Arda kembali berdiri, Hilgard sudah berada di atasnya, dengan sebilah pedang terhunus.

"Kau kalah," katanya pada Arda.

"Bagaimana bisa..." gumam Arda.

"Karena aku percaya kau tak benar-benar berniat membunuhku," jawab Hilgard muram.

Arda tertawa sinis,"Tapi kau tetap harus membunuhku, atau memotong lengan dan kakiku, untuk mencegahku menghalangimu menghancurkan kristal itu."

Hilgard menatapnya tajam, lalu mengeluh, "Aku benar-benar tak ingin melakukannya." Dan ia pun mengangkat pedangnya.

Namun belum sempat Hilgard mengayunkannya terdengarlah suara ledakan yang membahana.

---

Beberapa saat sebelumnya, ketika Milia dengan khawatir memperhatikan jalannya pertarungan antara Arda dan Hilgard, ia dikejutkan oleh suara tawa histeris sang ksatria biru.

Dengan tombaknya yang kini berpendar kemerahan, sang ksatria biru melakukan tusukan-tusukan tajam ke arah Azakh. Cepat. Sangat cepat. Sampai-sampai menimbulkan beberapa bayangan, seolah-olah untuk sesaat jumlah tombak itu berganda beberapa kali.

Milia tak tahu ada seseorang yang bisa mengayunkan tombak sampai seperti itu Kecuali mungkin dalam dongeng dan legenda.

Tapi yang lebih penting adalah tampak jelas baginya bahwa Azakh saat itu benar-benar dalam kesulitan. Tak peduli usaha yang dilakukan sang Eizen dengan pedangnya, tentu saja ia tak bisa menangkis ataupun menghindari seluruh serangan yang diarahkan padanya.

Bunyi denting logam bercampur dengan erangan dan suara cabikan daging, terdengar setiap kali tombak sang ksatria biru mengenai sasarannya, menembus zirah sang Eizen, melukai lengan dan pundaknya. Dan bagaikan sebuah musik yang riang, hal tersebut kelihatannya membuat sang Ksatria Biru makin bersemangat.

Sambil terus tertawa, ia mempercepat serangannya, terlihat tak terarah, membingungkan, tapi tetap mematikan, kekacauan yang perlahan-lahan menggerogoti tubuh dan pikiran lawannya, mengurung mereka dalam keputusasaan dan rasa sakit, sebelum akhirnya merenggut nyawanya.

Sekilas, Milia memandang Arda dan menahan nafas melihat luka-luka di sekujur tubuh sang ksaria terus bertambah tiap kali serangan balik Hilgard mengenainya.

Belum.

Meski Hilgard terlihat lebih unggul belum ada kepastian siapa yang bakal memenangkan pertarungan tersebut. Karena hanya dengan melihat saja, Milia tahu bahwa Arda sedang dalam proses menuju puncak performanya, perlahan lahan meningkatkan segala sesuatu yang ia miliki, kecepatan, ketepatan, kekuatan. Sebuah teknik yang memungkinkan penggunanya, untuk beberapa saat melampaui batas kemampuan tubuhnya yang biasa.

Tak akan lama lagi.

Jika Hilgard berhasil bertahan ketika Arda mencapai puncaknya, maka ia akan memenangkan pertarungan itu bahkan tanpa perlu bersusah payah. Karena saat itu teknik yang digunakan Arda akan berbalik menyerangnya sendiri, melemahkannya, melumpuhkan otot-ototnya, lalu, setelah membawanya ke puncak, akan segera menjatuhkannya ke titik terendah.

Milia menggenggam gagang pedangnya.

Ia tak akan membiarkan hal itu terjadi.

Tapi sekali lagi akal sehatnya menang.

Saat ini, Baik Azakh dan Arda, keduanya jelas sama-sama dalam kesulitan, sementara ia tampaknya hanya memiliki kesempatan untuk menolong salah satu dari mereka.

Lalu apa?

Ia tentu saja bisa membantu Arda, namun ia sebisa mungkin juga tak akan membiarkan Arda untuk membunuh Hilgard. Tapi dengan melakukan itu, sang ksatria biru akan meraih kemenangannya. Dan harapan apa yang mereka miliki jika mesti menghadapi si ksatria biru?

Tak ada.

Maka Milia pun menguatkan dirinya. Berharap Arda dan Hilgard akan baik-baik saja, ia menghunus kedua pedangnya lalu berlari ke arah sang Ksatria Biru.

---

"Naga bodoh!," seru sang Ksatria Biru ketika akhirnya serangan tombaknya berhasil mengenai pergelangan tangan sang Eizen dan menghempaskan pedang yang dibawanya jatuh ke lantai, "Kalian tak pernah menyadari kelemahan yang kalian miliki, tapi berani mengangkat taring melawan kami."

Azakh hanya bisa mengerang saat serangan tombak berikutnya berhasil mengenai dadanya berkali-kali. Tidak sampai menembus memang, tapi berhasil membuat Azakh terjungkal jatuh.

Biasanya, di saat seperti itu, seorang Ksatria akan menawarkan pada sang lawan untuk menyerah, tapi sang ksatria biru, dengan angkuhnya ia menjejakkan kakinya ke kepala Azakh, lalu tanpa ampun menghujamkan tombaknya berkali-kali ke arah Azakh.

Bukan. Serangan-serangan itu bukan untuk membunuh Azakh. Sang ksatria biru, dengan sengaja mengarahkannya bukan ke bagian tubuh yang vital.

Tidak. Ia tak akan langsung membunuh Sang Eizen. Setelah penghinaan yang ia terima sebelumnya, ia akan menikmati saat-saat terakhir sang Eizen, membiarkannya mengalami penderitaan dan rasa sakit sebanyak yang mampu ia terima sebelum kematian menjemputnya.

Dan ia pun kembali tertawa.

Tapi tak lama.

Dari arah belakang terdengar suara derap langkah berlari.

Lalu sebuah lompatan.

Namun sebelum sang ksatria biru menoleh, sebilah pedang telah mendarat di tengkuknya, sementara sebilah yang lain tak lama kemudian telah diayunkan ke arah ubun-ubunnya.

Ia masih beruntung, karena tangan yang mengayunkan pedang itu hanyalah tangan manusia biasa, dan meski meninggalkan bekas luka yang cukup dalam, tak sampai memotong leher ataupun membelah kepalanya.

Ia tak merasakan sakit, tentu saja, karena secara fisik ia sudah mati. Tapi tetap saja hal-hal semacam itu tak bisa tidak dirasakan oleh jiwanya. Keterkejutan dan rasa takut akan rusaknya raga membuat sang ksatria untuk sesaat mengalami kegoncangan.

Tapi perasaan-perasaan itu dengan segera menghilang, digantikan rasa marah yang tak tertahankan. Milia memekik saat sang ksatria, yang seharusnya sudah mati itu, berbalik, menjambak rambutnya lalu menjatuhkannya ke lantai.

"Manusia," geramnya dengan wajah yang bercucuran darah dan sudah setengah tak berbentuk, "kalian benar-benar tak tahu posisi kalian. Kalian kira apa yang telah kalian capai saat ini adalah murni karena usaha kalian sendiri? Kalian kira kalian bisa bertahan selama ini karena kekuatan kalian sendiri?"

Milia bergidik. Suara sang ksatria biru yang berubah serak karena tenggorokannya terluka membuatnya jadi lebih mengerikan. Tak ada kehangatan di sana ataupun dalam sorot matanya. Rasanya seperti berbicara dengan orang mati.

"Kami telah memusnahkan para Naga, dan kami juga tak akan kesulitan memusnahkan bangsa kalian, jika kami mau" lanjut sang Ksatria Biru menahan amarahnya. "Seandainya saja kalian tak begitu mirip dengan kami..."

Kata-katanya terhenti.

Sebilah pedang menancap di dadanya.

Sang Ksatria biru mendelik. Dalam kemarahannya, ia lupa pada keberadaan Azakh. Mengira sang Eizen sudah tak dapat bergerak lagi, ia membiarkan dirinya larut dalam kekesalan atas apa yang telah dilakukan Milia padanya.

"Nah penyihir," gerutu Azakh, "kau benar-benar meremehkan Naga ya?"

Sang Ksatria Biru menyeringai, "Kau salah," katanya. "Yang kuremehkan adalah Manusia. Tapi, apakah kau kira hal semacam ini dapat membunuhku?"

"Tidak. Tentu saja tidak, pengecut," ejek Azakh, "Tapi setidaknya permainan bonekamu selesai sudah."

"Belum," dengan lehernya yang sudah setengah terpotong, sang ksatria biru menggelengkan kepalanya, "Aku masih harus menghancurkan kristal sialan itu...."

"Tidak. Kau tak akan bisa," potong Azakh, "Albagrim sendiri pernah berkata bahwa tak seorang penyihir pun yang dapat menghacurkan Amori."

Sang Ksatria biru terkekeh, "Biarlah kalau begitu. Karena memang bukan aku yang akan menghancurkannya."

"Apa maksudmu?"

"Jangan pernah meremehkan manusia..."

Milia menarik napas panjang. Setidaknya satu masalah sudah berhasil diatasi.

Atau belum...


Tik Tak


Tik Tak


Dari tubuh sang ksatria biru terdengar detak yang bukan detak jantungnya.


Tik Tak


Tik Tak


Azakh mengangkat alisnya. Entah bagaimana suara itu terdengar mengancam.


Tik Tak


Tik Tak


Sebuah sihir sedang bekerja.


Tik Tak


Tik Tak


Dan sesaat kemudian terdengarlah suara ledakan yang membahana.

---

Arda tak dapat mempercayai apa yang baru saja di lihatnya.

Dari arah dimana Azakh bertarung tadi, yang ada hanyalah gumpalan asap tebal.

"Milia!" Hilgard berseru panik sambil memandang ke sekeliling.

"Sial," gerutu Arda sambil ikut berdiri.

Lupa pada pertarungan mereka, keduanya bersama-sama berseru memanggil Milia. Berlari ke segala arah mencoba menemukan gadis itu.

Baru ketika gumpalan asap memudar mereka menemukannya.

Gadis itu kini berada di dalam pelukan Azakh. Tubuhnya penuh debu dan darah. Kedua matanya terpejam.

"M-milia? A-apa yang terjadi?" lambat-lambat, seolah-olah berharap hal itu tak benar-benar terjadi, Arda melangkah menghampiri Azakh.

"Ia masih hidup," keluh Azakh, "tapi bagaimanapun juga manusia tak akan mampu bertahan dalam ledakan seperti itu. Aku khawatir, tak ada yang bisa kita lakukan dalam situasi semacam ini untuk menyelamatkannya."

"Lakukan sesuatu!" gumam Arda. "Kumohon, selamatkan dia!"

Azakh menggelengkan kepalanya.

Hilgard sendiri hanya bisa diam mematung.

Seharusnya hal semacam ini tak terjadi.

Terlintas di benaknya apa yang dulu terjadi.

"KUMOHON SELAMATKAN DIA!" jeritan Arda menyadarkan Hilgard dari lamunannya.

Tidak. Ia tak akan membiarkan Milia mati. Lalu tanpa menarik perhatian Arda dan Azakh, ia pun berbalik dan melangkah menaiki altar.

Hilgard mengayunkan pedangnya dan Kristal itu pun pecahlah.