Amori:Volume01 Chapter09

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Puncak

Ruangan itu luas. Tanpa hiasan, tanpa ukiran. Tapi di tengah-tengahnya, ada sebuah altar. Di puncak altar tersebut sebuah kristal hampir seukuran tubuh manusia berpendar temaram kemerahan. Ksatria tua itu duduk di tangga altar. Ia tampak lebih tua dari terakhir kali Arda melihatnya beberapa hari yang lalu ketika ksatria tua itu berbincang-bincang sejenak dengannya di luar kastil, meski begitu ia tetap tampak anggun dan gagah dalam zirah Eizen yang kini dikenakannya.

"Kukira kalian tak saling kenal," bisik Hilgard.

"Memang tidak," jawab Arda, "aku bahkan tak tahu siapa namanya."

Ksatria tua itu tersenyum lalu berdiri tegak dan saat itu pula bayang-bayangnya seolah menyebar ke seluruh ruangan itu. Ia tak melakukan apapun, tapi entah mengapa sosoknya terlihat begitu mengancam. Milia dan Hilgard spontan menghunus pedang mereka.

Arda membuka mulutnya, tapi ia tak yakin harus mengatakan apa. Alih-alih suatu dorongan membuatnya turut menghunus pedangnya.

"Lihatlah," gumam Hilgard sambil menunjuk ke dinding ruangan yang terletak di belakang singgasana. Di sana seorang ksatria mengenakan zirah biru menempel di dinding dengan sepucuk tombak menancap di dadanya, "Ia ksatria yang pertama kali berhasil masuk ke dalam kastil ini." Ksatria tua itu menoleh lalu tertawa. "Jangan Khawatir," katanya, "Aku tidak membunuhnya. Lebih tepatnya, lelaki malang itu bahkan sudah mati sebelum ia sampai ke mari. Tapi, ya. Aku yang melakukan hal itu padanya."

Arda menarik Milia ke belakang tubuhnya. "Apa itu berarti kau juga akan melakukan hal yang sama pada kami?"

"Tidak," jawab Ksatria Tua itu. "Aku tidak punya cukup tombak untuk itu. Aku mungkin harus membunuh kalian, tapi itu tergantung dari pilihan yang kalian ambil." Ia lalu kembali duduk, dan perasaan mencekam yang dirasakan oleh Arda dan lainnya pun seketika menghilang. "Nah, nah, jika kalian mau menyarungkan senjata kalian, mungkin kalian bisa memperkenalkan diri kalian dan menjelaskan tujuan kedatangan kalian kemari."

"Tentang tujuan, kurasa kau sudah tahu jawabannya," jawab Hilgard,"tapi tentang Nama, bukankah lebih sopan jika kau memperkenalkan dirimu sebelum menanyai nama kami?"

"Seingatku para tamu lah yang mesti memperkenalkan diri pada tuan rumah," ujar Ksatria itu, "atau mungkinkah adat yang berlaku di negeri ini sudah berubah? Ah sepertinya aku tertidur lebih lama dari yang kukira." Ksatria itu diam sejenak. "Tapi tak apa," lanjutnya, "Namaku Azakh. Kepala pasukan pengawal pribadi raja."

"Orang ini sudah gila," gumam Milia.

Hilgard kembali berseru pada ksatria tua itu, "Kau menyebut dirimu Azakh, tapi hanya penyihir yang cuma memakai satu kata dalam nama mereka. Sebutkan nama keluargamu dan nama ayahmu."

"Tiga kata untuk satu nama," jawab Azakh, "Hanya manusia yang merepotkan diri mereka dengan hal semacam itu, karena jumlah mereka sangat banyak dan terus bertambah. Aku tak punya nama keluarga, karena jumlah kami, sama dengan para penyihir tak pernah banyak dan sangat sedikit bertambah, tapi Ayahku dulu biasa dipanggil dengan sebutan Habkukh"

"Ia benar-benar sudah gila..." kembali Milia bergumam.

"Baiklah Master Azakh," kata Hilgard, "terlepas dari benar tidaknya apa yang telah anda katakan, sebagai seorang ksatria aku akan mempercayainya, mencoba mempercayainya. Namaku Hilgard Braga Asvalen. Dan kawan-kawanku ini adalah Arda Roan Karanis dan Milia Gulfan Morrig. Saat ini sepanjang pengetahuanku, kami tidak sedang melayani Lord ataupun Raja manapun di Wesfall."

"Arda, Hilgard, dan Milia. Bagus sekali," komentar Azakh, "dan sekarang jelaskan tujuan kedatangan kalian kemari."

"Tentu saja untuk menghancurkan kristla itu dan menyelesaikan perlombaan ini," jawab Milia tak gentar.

Azakh memandangnya, lalu tertawa, "Gadis yang berani," katanya, "tapi yang kumaksud adalah mengapa? Mengapa kalian mau bersusah payah menuruti kehendak para penyihir itu meski kuduga kebanyakan dari kalian tak mengerti seberapa besar dampak yang akan timbul dengan hancurnya kristal ini? Demi lima ribu keping emas?"

"Lima ribu keping emas..." Arda angkat bicara, "Ya, beberapa dari kami membutuhkannya, tapi kami tak wajib memberitahukan alasannya padamu. Dan kuduga tak peduli alasan apapun yang kami sampaikan, anda tak akan membiarkan kami melakukan apa yang ingin kami lakukan."

Tawa Azakh makin kencang, "Tentu saja," sahutnya, "Karena aku punya alasan mengapa aku tak boleh mengizinkan siapapun menghancurkan kristal ini."

"Katakanlah kalau begitu," pinta Arda, "dan mungkin saja kami akan berubah pikiran."

"T-tapi..." protes Milia, ia ingin mengatakan sesuatu, namun ketika Azakh menatapanya tajam ia hanya bisa diam membisu.

Hilgard tak mengatakan apapun.

"Baiklah," Azakh mengangkat bahunya, "dan kuharap, setelah mendengarnya kalian dapat menggunakan akal sehat kalian untuk mengambil keptusan yang bijak". Ia lalu berdiri dan berdeklamasi:

Pengembara yang tersesat Sampai ke negeri nan indah Membawa beban nan berat, diliput penat dan lelah

"Mari sejenak beristirahat," ajak satu dari mereka "Agar hilang letih dan penat, agar sembuh lara dan duka"

Tapi negeri itu indah nian, bagai berada dalam impian Tapi negeri itu permai nian, melampaui s'gala khayalan

Dan para pengembara pun sama terlupa Terlampau lama berganti rupa Yang dulu berjalan kini menetap Yang pernah terjaga s'karang terlelap

"Syair itu," katanya, "dibuat oleh seorang penyihir lama berselang, meratapi kehancuran dan kerusakan yang timbul di masa peperangan dulu, ketika manusia dan penyihir saling bersekutu, saling bertikai, entah untuk tujuan apa. Tapi yang paling ironis adalah kenyataan bahwa untuk mengakhiri kekacauan tersebut juga dibutuhkan sebuah peperangan. Sebuah peperangan yang akan menentukan penguasa tunggal yang dapat mengatur dan mempersatukan seluruh negeri."

"Maka sang penyihir pun mengumpulkan kawan-kawannya lalu mengucapkan sumpah setia pada seorang raja, mengangkatnya menjadi seorang penguasa agung, membantunya menguasai seluruh negeri. Ia berhasil. Atau lebih tepatnya hampir berhasil. Karena agar semuanya kembali seperti dulu, kekuasaan para penyihir haruslah dibatasi. Atau begitulah menurut pendapatnya."

"Rencana yang agung," kata Azakh, "namun terlampau besar untuk diwujudkan bahkan dengan persatuan di antara sebagian besar Manusia dan Penyihir. Karena para penyihir sudah terlampaui mirip dengan Manusia, dan memiliki kehendak-kehendak yang sama dengan Manusia, hasrat untuk berkuasa dan memerintah, hasrat untuk kebebasan, sehingga apa yang dari satu sisi terlihat sebagai suatu kebaikan dapat terlihat buruk dari sisi lainnya."

"Maka dengan tumbuhnya kekuatan di satu sisi, tumbuh pula kekuatan di sisi yang lain, saling bersaing, saling menjatuhkan, seolah masing-masing sisi ingin membuktikan bahwa pandangan mereka lah yang benar. Sehingga tak lama kemudian pecahlah sebuah peperangan yang melampaui peperangan-peperangan lain yang telah terjadi. Magibel, demikianlah sebutannya. Dan sekali lagi malapetaka pun menimpa seluruh negeri."

Tapi Azakh tersenyum ketika mengatakannya, "Aku masih bisa mengingat dengan jelas masa-masa tersebut. Karena banyak perbuatan besar dan menakjubkan yang terjadi saat itu. Bagaimana ksatria-ksatria tangguh dan penyihir-penyihir agung saling berlaga di medan pertempuran menunjukkan kualitasnya sampai titik yang tertinggi."

"Malapetaka memang," lanjut Azakh, "tapi juga sebuah kesempatan untuk mengakhiri semuanya. Jika kami menang, maka kekuasaan kami akan sempurna dan mungkin keadaan dapat kembali seperti semula. Tapi bagaimana jika kami kalah?"

"Begitulah yang dipikirkan sang penyihir. Maka ia pun membuat sebuah rencana, untuk memastikan bahwa terlepas dari kemenangan ataupun kekalahan yang mungkin terjadi, tak akan lagi timbul kekacauan dan kehancuran akibat keberadaan para penyihir di Wesfall. Atau setidaknya tidak sebesar apa yang telah terjadi. Untuk tujuan itulah sang penyihir menciptakan kristal ini."

Hilgard, Arda, dan Milia ketiganya seketika menatap ke arah kristal kemerahan tersebut.

"Amori. Begitulah sang penyihir menyebutnya. Sebagai harapan agar cita-citanya tetap hidup bahkan setelah kematiannya. Sebagai wujud rasa cintanya pada negeri ini dan seluruh penghuninya." Azakh menghela napas lalu memejamkan kedua matanya sejenak sebelum melanjutkan. "Dan seperti yang kalian ketahui, pada perang Akbar yang terakhir, kedua pihak yang bertempur akhirnya sama-sama binasa. Bukan akhir yang buruk, karena setidaknya kami tidak mengalami kekalahan. Tapi yang lebih penting adalah, besarnya energi yang dilepaskan, dan jumlah korban yang timbul, penyihir-penyihir yang menemui ajalnya, saat perang Akbar tersebut, melampaui dari apa yang dibutuhkan Amori untuk menjalankan fungsinya. Sebagai rantai. Sebagai belenggu. Sebagai penjaga. Yang mencegah dan membatasi para penyihir menggunakan potensi yang mereka miliki secara maksimal."

Azakh tersenyum lembut. "Begitulah," katanya, "mengapa aku tak bisa membiarkan kristal ini dihancurkan dengan alasan apapun."

Arda mengerutkan keningnya. Semuanya jadi masuk akal kini.

"Tapi jika benar demikian, mengapa para penyihir tak menghancurkan kristal itu sejak dulu?" tanya Milia, "Dan mengapa mereka tak menghancurkannya sendiri?"

"Karena mereka tak bisa," Hilgard yang menjawabnya, "karena jika efek kristal ini dapat mempengaruhi mereka yang berada nun jauh di sana, bagaimana menurutmu efeknya di sini?"

"Dan sepertinya," tambah Arda, "sampai beberapa saat yang lalu, informasi mengenai hal ini pun belum diketahui oleh kebanyakan penyihir."

"Nah, nah," Azakh tertawa, "sudah kuduga kalian bisa berpikir dengan baik. Memang tidak, pengetahuan mengenai hal ini hilang bersama matinya sebagian besar penyihir dari Ordo putih pada saat Perang Akbar terakhir. Tapi apa yang hilang, dengan kesabaran dan ketekunan, cepat atau lambat akan dapat ditemukan kembali. Ditambah lagi ada beberapa penyihir yang memang masih menyimpan sedikit pengetahuan tentang hal ini, walau bagi mereka sekalipun, tak ada satupun yang mau mengambil resiko membawa kembali negeri ini ke dalam kekacauan."

Arda tak dapat menahan dirinya untuk bertanya, "Apa itu berarti para penyihir yang membawa kami kemari memiliki maksud untuk sekali lagi berkuasa di Wesfall?"

"Aku meragukannya," jawab Azakh, "beberapa mungkin. Tapi kebanyakan penyihir yang ada saat ini adalah mereka yang tak berpihak pada satu sisi pun saat Magibel dulu, jenis penyihir yang tak banyak berubah dari saat awal kedatangan mereka dulu. Mereka mungkin punya alasan sendiri, mengapa mereka menginginkan kekuatan mereka kembali, tapi apapun itu, aku yakin cepat atau lambat akan menjadi benih dari kekacauan dan kehancuran."

Mendengarnya Arda menarik napas lega, "Aku mengerti," katanya.

"Aku juga," Milia menganggukkan kepalanya, "Tapi bagaimana kau bisa mengetahui semua itu Master? Seolah-olah kau menyaksikan secara langsung semua kejadian tersebut?"

"Apa kau tak mendengarnya Nona Kecil?" Azakh memandangnya dengan tatapan jenaka, "Aku memang menyaksikan masa-masa itu. Aku bahkan ikut ambil bagian dalam Magibel, meski aku gagal dalam misiku melindungi sang raja dari petaka yang menimpanya."

"Jangan-jangan yang kau maksud raja adalah..."

"Yang Mulia Ytzha Aleph Omnibell," kata Azakh lantang, "Raja Agung Sol Kreska. Penguasa wilayah timur dan selatan Wesfall."

"Tapi sudah hampir seribu tahun sejak kejatuhannya? Bagaimana mungkin?"

Azakh tertawa, "Apa kau kira hanya Penyihir yang memiliki rentang usia tak terbatas Nona Kecil? Ada bangsa-bangsa lain di Wesfall yang memiliki karunia yang sama dengan yang dimiliki para penyihir tersebut. Naga salah satunya. Ya. Akulah Azakh Habkukh, yang terakhir dari Naga Hijau yang kini telah punah."

"Tapi wujudmu?" Milia mengerutkan keningnya.

"Aku mesti berterimakasih pada Albagrim untuk wujudku saat ini," jawab Azakh, "Tidak setangguh wujudku yang dulu memang, tapi setidaknya dalam wujud inilah aku memiliki kesempatan berperan serta untuk membalas sedikit kebencianku pada para penyihir atas apa yang telah mereka lakukan pada bangsaku, serta, yang lebih penting, kesempatan untuk memberikan kesetiaanku dan mengabdi pada Sang Raja."

"Kisah yang menarik," kata Hilgard yang sejak tadi diam, "tapi tak ada jalan bagiku untuk membuktikan kebenarannya."

"Lalu apa menurutmu, yang membuatku bersusah payah menghalangi kalian menghancurkan kristal ini?" Azakh balik bertanya.

Hilgard mengangkat bahu, "Aku tak tahu. Kau punya alasanmu sendiri. Dan aku punya alasan juga mengapa aku mesti menghancurkan kristal itu."

"Hilgard!" seru Arda sambil menatap rekannya itu dengan tatapan tak percaya,"Apa kau tak mendengarkan apa yang telah ia ceritakan?"

"Lalu mengapa?" Hilgard balik bertanya, "Kau juga sudah mendengar sendiri kan, tak semua penyihir yang mengharapkan kekuatannya kembali, memiliki hasrat untuk berkuasa atau memerintah manusia."

"Tetap saja..."

"Tak ada yang salah dengan kekuatan," lanjut Hilgard, "sang pemiliklah yang menentukan akan digunakan untuk apa kekuatan itu."

"Aku tak tahu alasanmu," keluh Arda sambil menghunus pedangnya, "tapi aku tak mau mengambil resiko membahayakan seluruh Wesfall hanya karena itu."

"Bahkan seandainya kekuatan itu dibutuhkan untuk menyelamatkan Wesfall?" tanya Hilgard tenang. "Nah, nah, ayolah anak-anakku," Azakh tampak tak gembira, "aku tak suka melihat kalian bertengkar. Aku yakin kita bisa membicarakan semua ini. Jika ini menyangkut lima ribu keping emas, aku yakin di salah satu ruangan di kastil ini, ada sedikit dari harta peninggalan raja yang masih tersisa."

Hilgard menggelengkan kepalanya, "Bukan untuk itu Master Azakh. Dan Arda, apakah kau tak bisa mempercayaiku?"

"Kau mesti mengatakan alasannya," jawab Arda.

Hilgard memandang Arda sambil mengeluh, "Apa kau pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hatimu, dengan segenap jiwa ragamu?"

"Aku tak paham maksudmu," gumam Arda.

"Kau tak akan menegerti," Hilgard kini memandang Milia, "Sebaiknya kau tak ambil bagian dalam hal ini nak." Ia lalu menghunus pedangnya dan mengacungkannya ke arah Arda.

"Kumohon Hentikan," Milia turut menghunus pedangnya dan dengan gagah berdiri di hadapan Arda.

"Apa kau sudah jadi bodoh Hilgard?" Arda mendengus. "Tidak. Aku tak akan melakukan apapun untuk menghentikanmu. Milia juga. Tapi kami juga tak akan membantumu melawan sang penjaga."

"Nah, nah," Azakh tersenyum puas, "begitu lebih baik." Ia lalu berkata pada Hilgard, "Aku berharap kau mau menggunakan akal sehatmu, tapi jika tidak bisa, kemarilah anakku dan tunjukkan kualitasmu. Jika kau lebih tangguh dari yang kulihat mungkin saja aku tak sampai membunuhmu tanpa sengaja."

Hilgard tertawa, "Kau meremehkanku Master, tapi kekuatan bukanlah keahlianku." Ia berlari seolah ingin menerjang Azakh, namun ketika sang Eizen menghunus pedangnya, seketika itu pula ia meluncur melewatinya, melewati altar itu sampai ke sisi lain ruangan.

"Aku mungkin tak bisa mengalahkanmu," lanjutnya, "tapi kurasa orang ini memiliki kesempatan untuk itu."

Kemudian sebelum sempat dihalangi siapapun, Hilgard menggenggam pangkal tombak yang menancap di tubuh ksatria biru dengan kedua tangannya lalu menariknya.

Benar saja.

Ketika tombak itu terlepas, sang ksatria seolah-olah mendapatkan kembali kekuatannya. Ia lalu tertawa dan berseru, "Apa kau lihat Albagrim? Bahkan takdir pun berpihak padaku."

Ksatria biru itu kemudian merenggut tombak yang dibawa Hilgard dan segera berlari ke arah altar. "Sial," gerutu Azakh sambil ikut berlari menyongsong sang ksatria.

Hilgard sendiri, tak menyia-nyiakan kesempatan itu, berlari memutar berusaha menaiki altar dari sisi yang lain.

"Itu tadi sama sekali tak ksatria," di hadapannya Arda berdiri sambil menatapnya sedih. Hilgard mengeluh. "Kumohon," katanya, "aku tak ingin melawanmu."

Arda mengangkat bahu, "Mengapa tidak? Jujur saja, aku selalu ingin melihat kemampuanmu yang sebenarnya."

Milia berlari mendekat, tapi Arda membentaknya, "Jangan ikut campur! Ini antara aku dan si bodoh ini."

"Aku mengerti."

Hilgard menganggukkan kepalanya, lalu mengayunkan pedangnya.