Amori:Volume01 Chapter06

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Kunci

Tidak ada dimanapun.

Meski sudah dua kali mencari dengan teliti di sepanjang lorong, di antara potongan-potongan zirah yang berserakan, baik Arda atau Milia, tak seorangpun yang berhasil menemukan satu anak kunci atau benda-benda lain semacam itu. Sementara di saat yang sama, Hilgard yang tampak tak terkesan ataupun tertarik dengan pencarian yang dilakukan oleh keduanya, sedang duduk di pinggir jendela, setengah mengantuk, setengah bosan, melamunkan sesuatu.

"Aku menyerah," seru Arda, "jelas tak satupun dari para penjaga di lorong ini yang membawa kunci."

"Saya akan mencoba mencarinya di lorong lain, kalau begitu," usul Milia.

"Hati-hatilah," gumam Arda, "dan jangan sampai tersesat. Jika kau tak menemukannya di tingkat ini, segera kembali kemari. Kita tak tahu apa semua penjaga kastil ini benar-benar sudah kehilangan wujudnya."

Hilgard menguap lebar, lalu setelah sosok Milia menghilang di sudut lorong, ia pun bangkit sambil meregangkan tubuhnya. "Kurasa sebaiknya kita segera pergi."

Arda mengangkat alisnya, "Kemana?"

"Mula-mula ke bagian dalam kastil, lalu ke puncak menara."

"Caranya?"

Hilgard tersenyum (menyeringai lebih tepatnya).

"Tunggu sebentar," seru Arda sambil mengerutkan keningnya, "Jangan bilang selama ini kau sudah menemukan kuncinya dan menyimpannya sendiri."

Hilgard mengangkat tangannya, "Tidak tepat begitu. Aku MUNGKIN telah menemukan kuncinya, tapi aku tidak menyimpannya (benda itu masih tergeletak di tempatnya), dan aku juga belum yakin sepenuhnya kalau benda tersebut adalah kuncinya."

"Jangan berbelit-belit."

Hilgard menunjuk sebuah pintu di belakang Arda, "Kau tak merasa ada yang aneh dengan pintu itu."

Arda menoleh lalu memperhatikan lebih teliti. Pintu itu, sama seperti kebanyakan pintu lain di kastil tersebut, terbuat dari logam. Terlihat tebal, berat, dan hampir-hampir mulus. Pada tepiannya terlihat sebentuk ukiran halus, sementara di bagian tengahnya ada semacam hiasan, sebuah lingkaran, terbuat dari logam yang berbeda, dengan sebuah simbol terpatri di atasnya. Indah memang. Dan tampaknya dibuat dengan sangat terampil. Tapi selain itu tak ada yang spesial dari pintu tersebut.

"Apa yang tak kau lihat di sana," bantu Hilgard.

Arda memicingkan matanya.

"... Tak ada lubang kunci," gumamnya, "Jadi semua ini sia-sia huh?"

"Belum tentu," ujar Hilgard. "Sudah kubilang, aku mungkin sudah menemukan kunci untuk membuka pintu." Ia melangkah menghampiri tumpukan zirah sang Eizen, lalu mengambil bagian pelindung tangan (gauntlet?) sebelah kiri. Ia mengangkatnya lalu menunjukkannya pada Arda. Di bagian punggung tangan gauntlet tersebut ada sebentuk simbol yang mirip dengan apa yang ada di bagian tengah pintu. Arda kembali mengerutkan keningnya, "Biar kucoba," katanya.

Hilgard melemparkan gauntlet itu pada Arda yang kemudian mendekatkan simbol yang ada di sana dengan simbol yang ada di pintu. Sesaat, ukiran tipis di sekeliling pintu itu berpendar, namun tak terjadi apa-apa. "Gagal," Arda melemparkan Gauntlet itu kembali pada Hilgard.

"Bagus kalau begitu, akan sangat merepotkan jika kita mesti memeriksa semua ruangan di balik pintu." Hilgard tersenyum lalu mengenakan gauntlet itu di tangan kirinya.

"Maksudmu?"

"Tempat ini mungkin sebuah kastil. Tapi lebih dari itu, kuduga di tempat ini juga, dulu, banyak penyihir dari ordo putih yang tinggal dan berkarya," jelas Hilgard. "Dan ruangan-ruangan ini, pastilah ruang kerja mereka. Jadi sudah wajar jika hanya penyihir yang bersangkutan saja yang memegang kunci untuk ruangan-ruangan seperti ini. Sementara para penjaga dan para pelayan, kuduga mereka hanya memiliki kunci untuk ruangan-ruangan umum, seperti gudang makanan dan persenjataan, serta kunci untuk membuka gerbang-gerbang lorong pengubung antar lingkar dalam kastil ini."

"Masuk akal," gumam Arda, "Sialan. Seharusnya kau bilang saja sejak tadi, sehingga kami tak perlu repot-repot membuang waktu dan tenaga mencari sesuatu yang tak ada."

Hilgard menatap Arda dalam-dalam lalu menghela napas, "Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya." "Tunggu, jadi kau sengaja menunggu sampai Milia pergi?" Arda balik menatap hilgard dengan tajam, "Apa maksud semua ini Hilgard?" hardiknya, "Apa kau menyarankan padaku untuk pergi meninggalkan Milia begitu saja?"

"Ya. Aku menyarankan hal itu," jawab Hilgard tak gentar.

"Jelaskan!"

"Aku bisa memberikan beberapa alasan," keluh Hilgard, "Tapi setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatianku. Yang pertama ini demi kebaikannya sendiri. Apa kau bisa menjamin keselamatannya jika ia ikut masuk lebih dalam lagi?"

Arda terdiam.

"Lalu apa yang akan kau lakukan seandainya kita bertiga berhasil sampai puncak?"

"Apa maksudmu?"

"Apa kau lupa? Ini sebuah perlombaan," seru Hilgard, "dan hanya seorang, mestinya, yang jadi pemenang."

"Jadi pada akhirnya ini semua tentang hadiah, hah?" Kali ini Arda benar-benar kesal.

"Aku tak tahu bagaimana denganmu, tapi aku yakin semua ksatria lain yang mengikuti perlombaan ini memiliki alasan mengapa mereka menginginkan lima ribu keping emas itu. Kebanyakan mungkin tak begitu penting, berharap dapat berfoya-foya dengannya, tapi bagaimana dengan yang benar-benar memiliki alasan kuat?"

"K-kita masih dapat membaginya kan?" protes Arda.

"Tentu saja," jawab Hilgard tenang. "Tapi apa kau tahu kegilaan macam apa yang dapat dilakukan seseorang demi beberapa keping emas?"

Arda kembali terdiam.

"Cobalah... cobalah berpikir realistis," ujar Hilgard.

"Bagaimana denganmu?" kata Arda pada akhirnya, "Bukankah, sesuai dengan apa yang telah kau katakan tadi, akan lebih masuk akal jika kau pergi seorang diri ke puncak menara? Mengapa kau mau repot-repot mengajakku? Apa yang menjadi motivasimu mengikuti perlombaan ini?"

"Aku tak berkewajiban menjawab semua itu," keluh Hilgard, "aku hanya memberi sebuah penawaran. Tapi tentang mengapa aku mengajakmu... aku hanya mencoba bersikap realistis. Aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu nanti."

"Kau tak khawatir aku akan mengkhianatimu?"

"Tidak," Hilgard tertawa kecil, "Meski jarang. Aku sudah beberapa kali bertemu ksatria sepertimu. Kalian terlalu angkuh untuk melanggar kode etik ksatria. Hal yang sudah langka bahkan diantara Para Maris. Dan hampir-hampir tak kutemui di antara para Ignos. Berbeda dengan kita, meski masih menyandang nama ksatria, para Ignos, sama seperti udara, lebih bebas dan tak terikat pada peraturan. Satu hal yang menjadikan kedudukan mereka seringkali dianggap lebih rendah, namun di saat yang sama menjadikan mereka tentara yang dapat diandalkan dalam pertempuran. Karena seringkali mereka tak keberatan melanggar kode etik ksatria jika hal itu dapat memastikan tujuan mereka."

"Apa itu artinya kau tak percaya pada Milia?"

"Sejujurnya... tidak terlalu," jawab Hilgard, "Bagaimanapun ia menyembunyikan sesuatu darimu."

"Baiklah." Arda memejamkan matanya sesaat, "Lalu bagaimana dengan hadiah perlombaan ini? Dibagi dua?"

"Seharusnya begitu. Tapi, tidak. Kau boleh mengambil semuanya kalau kau mau."

Arda mendengus, "Pada akhirnya kau pun juga menyembunyikan sesuatu dariku."

"Aku punya alasanku sendiri."

"Begitu juga dengan Milia, kurasa," ujar Arda, "Sama seperti kau percaya padaku. Aku juga percaya padanya. Dan sama dengan bagaimana banyak Maris yang telah menyimpang dari jalan Ksatria, kukira tidak semua Eagle seburuk yang kau katakan." "Dan untuk alasan yang pertama?"

Aku percaya pada kemampuan Milia," jawab Arda tegas, "Kemampuannya tak lebih buruk dariku ataupun darimu. Dan seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku yakin ia bisa menjadi seorang Ignos yang tangguh.

Hilgard tersenyum kecil. "Aku menyerah," katanya, "Ksatria seperti dirimu benar-benar tak masuk akal."

"Kau mengatakannya seolah kau bukan seorang Ksatria," Arda balas tersenyum.

"Aku orang yang realistis," gumam Hilgard nyaris tak terdengar, "seandainya aku bisa bertemu denganmu lebih awal..."

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Arda.

"Tidak ada," jawab Hilgard, "Aku hanya ingin bilang Milia sungguh beruntung dapat bertemu ksatria sebodoh dirimu. Dan ngomong-ngomong soal Milia, tuh dia sudah datang."

Dari ujung lorong yang lain Milia melangkah mendekat, lesu dan muram, jelas karena tak menemukan apa-apa.

"Maafkan saya Pak," keluh Milia setelah tiba di dekat Arda, "tapi tampaknya kunci itu benar-benar tak ada dimanapun."

"Begitu saja sudah lelah," ejek Arda, "Tapi jangan khawatir, Tuan Hilgard yang pandai sudah menemukan apa yang kita cari."

"Sungguh!" wajah Milia berubah cerah.

"Yep," jawab Arda. "Tapi ada beberapa hal yang mesti kita bicarakan sebelum melangkah lebih jauh." Arda melirik ke arah Hilgard yang hanya mengangkat bahu.

"Yang pertama soal pembagian hadiah, yah seandainya kita bertiga dapat mencapai puncak menara," lanjut Arda, "Aku sudah memikirkannya. Hilgard akan mendapat setengahnya, karena dia, yah lebih cerdas dari kita berdua, dan tanpanya kurasa kita bakal kesulitan bahkan untuk masuk ke dalam kastil. Sementara sisanya..."

"Kita bagi berdua Pak?" tanya Milia tidak terlalu bersemangat.

"Tidak," Arda menyeringai, "Kuputuskan bagianmu lima ratus keping emas."

"Lima ratus?" seru Milia memelas, "tapi... tapi... mengapa?"

"Karena aku lebih tua darimu," ujar Arda sambil menjentikkann jarinya di kening Milia, "dan juga lebih keren."

"Tapi... tapi..."

"Apa kau keberatan nak?" tanya Arda.

"Setidaknya saya perlu dua... uhh seribu keping emas," keluhnya.

"Dan alasan untuk itu adalah?" Baik Arda dan Hilgard, keduanya menunggu dengan penuh minat.

Milia tampak ragu-ragu sejenak, "saya memerlukannya untuk membangun kembali kota kelahiran saya..." gumamnya perlahan.

"Darimana kau berasal?" tanya Hilgard.

"Vermilis," jawab Milia. "Saya berasal dari Kota Larset di Vermilis."

Arda dan Hilgard berpandangan. Berita tentang apa yang terjadi di Vermilis sudah terdengar di hampir seluruh wilayah utara Wesfall. Sejak kematian Lord Barban yang tak memiliki seorang putra pun, terjadi perang saudara yang cukup dahsyat di Vermilis. Dan meski akhirnya kini perang sudah berakhir dengan kemenangan Lord Maltas, korban sudah banyak berjatuhan.

Bahkan saat ini pun keadaan masih kacau di sebagian besar wilayah Vermilis. Sementara untuk kerusakan yang timbul akibat perang, akan dibutuhkan waktu dan tenaga yang cukup besar untuk memperbaiki dan mengembalikannya seperti masa sebelum peperangan. Arda menarik napas panjang, "Kalau begitu kau mesti membuat dirimu lebih berguna," katanya.

"Tentu. Tentu saja," ujar Milia tegas, "kupertaruhkan nyawaku untuk itu."

Sekali lagi Arda menjentikkan jarinya ke dahi Milia.

"Jangan bodoh," ejeknya, "kau lebih berguna untuk orang-orang di Larset dalam keadaan hidup daripada mati."

"Uhh.."

"Dan satu lagi," lanjut Arda.

"Ya Pak?"

"Berhentilah memanggilku dengan sebutan Pak," gerutu Arda, "Kau membuatku merasa lebih tua dari yang seharusnya."