Amori:Volume01 Chapter05

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Dugaan

Jujur saja, bagi Arda, tak banyak hal yang lebih menyedihkan daripada menikmati potongan Witchbread setelah pertarungan hidup mati, ditemani dua orang ksatria, yang satu pemuda tanggung berambut hitam dengan wajah kekanakan yang mulus tanpa janggut ataupun kumis, yang satu lagi lelaki jangkung berjanggut tipis dengan dahi lebar, di sebuah kastil tua yang terletak entah dimana, dalam sebuah permainan konyol berhadiah lima ribu keping emas.

Tapi setidaknya saat ini dia masih hidup, walau sekujur tubuhnya masih terasa sakit dan sulit digerakkan.

Beberapa jam telah berlalu sejak pertarungan mereka melawan para penjaga dan sekali lagi mentari terbit di ufuk timur. Entah karena kelelahan yang amat sangat, atau karena masih sulit menerima kenyataan bahwa mereka berhasil lolos dari jaring-jaring kematian, tak ada seorangpun yang berminat berbicara atau bercakap-cakap.

Milia bahkan belum beranjak dari tempatnya, berbaring di antara potongan-potongan zirah ksatria sambil menggumamkan sajak atau lagu, yang tak jelas syair ataupun bahasa yang digunakan. Dan sementara Arda duduk bersandar di dinding, sebisa mungkin mengistirahatkan otot-ototnya, Hilgard yang tampak lesu berdiri di dekat jendela, memandang ke kejauhan, memikirkan sesuatu entah apa.

Sesaat kemudian Hilgard berbalik, tersenyum masam pada Arda, lalu berkata, "Tadi itu bodoh sekali."

"Aku tak akan membantahnya," jawab Arda, "bagaimanapun hal tersebut benar-benar di luar dugaanku."

"Tapi anda berdua benar-benar luar biasa pak," seru Milia yang rupanya ikut mendengarkan, "Kalian berdua adalah ksatria terhebat yang pernah kutemui sejak aku lulus dari sekolah. Mengalahkan seorang Eizen, kawan-kawanku pasti tak akan percaya."

"Dia kenalanmu?" tanya Hilgard sambil memicingkan matanya.

"Tidak juga," jawab Arda, "hanya saja entah kenapa sulit bagiku untuk meninggalkannya sendirian"

"Nama saya Milia," si ksatria muda memperkenalkan dirinya tanpa diminta, "Milia Gulfan Morrig. Senang bisa bertemu anda Pak Hilgard."

"Terlepas dari postur tubuhnya yang kecil," keluh Arda, "dan penampilannya yang sama sekali tak gagah, yah bisa kubilang pemuda ini cukup tangguh dibandingkan kebanyakan ksatria lain seusianya. Kurasa ia bisa jadi seorang Eagle yang tangguh kalau dia bisa bertahan hidup cukup lama. Yah setidaknya, meski tidak terlalu pemberani, dia juga tidak sepengecut mereka yang melarikan diri setelah masuk ke dalam kastil."

Milia tertawa gembira mendengar hal itu lalu ia pun bangkit dari tidurnya sambil tersenyum lebar pada Arda dan Hilgard.

"Pemuda yang tangguh?" Hilgard kembali memicingkan matanya, bergantian memandang ke arah Arda dan Milia. Untuk sesaat, ia tampak ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian mengurungkannya. "Ya sudahlah," lanjutnya, "Tapi dalam beberapa hal, melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Sekarang jelaskan padaku mengapa kau melakukan tindakan bodoh semalam?"

Arda mengangkat bahu, "kukira itu satu-satunya cara untuk menemukan jalan ke menara."

"Sudah kuduga," kali ini Hilgard tersenyum, "jadi akhirnya kau belajar menggunakan otakmu huh?"

"Sedikit," jawab Arda, "Aku hanya mencoba mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang kutemukan. Dengan pintu-pintu yang terkunci satu-satunya jalan untuk melangkah maju adalah dengan menemukan anak kuncinya."

"Tapi apa hubungannya dengan melawan para penjaga?" Milia masih tak mengerti.


Baik Arda dan Hilgard, keduanya menghela napas panjang, lalu seolah telah sepakat sebelumnya, memutuskan mengabaikan Milia dan melanjutkan pembicaraan mereka.

"Tetap saja hal itu beresiko," tegur Hilgard, "Yang pertama tentu saja tak semua penjaga membawa kunci, hanya kepala pasukan dan beberapa pengawal khusus saja yang biasanya diberi kepercayaan untuk memegang kunci kastil, itupun bukan untuk semua pintu. Yang kedua, kau bahkan belum tahu pasti penjaga macam apa yang akan kau hadapi. Coba bayangkan bagaimana seandainya aku tak datang tepat pada waktunya."

"Tapi kau datang tepat pada waktunya kan?" sindir Arda.

"Jangan mencurigaiku," geurutu Hilgard, "Aku juga memiliki rencana yang sama denganmu, tapi yang jelas tak akan kulakukan sampai aku punya cukup informasi. Kalau kau mau tahu bagaimana aku bisa menemukan kalian berdua, saat itu aku sedang mengawasi salah satu penjaga saat tiba-tiba saja, seolah sedang dipanggil, mereka semua berjalan ke arah yang sama, hampir-hampir tak mempedulikan ketika aku mengikuti mereka. Entah sial atau beruntung, tapi aku masih kagum bagaimana kau bisa menemukan pemimpin para penjaga itu."

"Lalu bagaimana aku tak bertemu denganmu kemarin?" tanya Arda lagi.

"Entahlah," jawab Hilgard, "Kastil ini luas sekali. Memangnya dimana kau berada kemarin?"

Arda melirik ke arah ruang istirahat penjaga tak jauh dari tempat mereka berada.

Milia mengerutkan keningnya, "Aku melewati tempat ini sekali, kalau tak salah, beberapa saat setelah tengah hari. Tapi bagaimanapun, kemarin aku lebih banyak menghabiskan waktuku mencari petunjuk di menara-menara penjagaan."

"Anda menemukan sesuatu pak?" Milia tampak tertarik.

"Hanya menara penjagaan biasa. Dan ruangan di puncaknya nyaris kosong melompong. Ada teropong-teropong untuk mengawasi daerah sekitar tapi aku tak bisa melihat lebih jauh dari batas hutan. Ada semacam kabut, kurasa, yang menggantung di atas pepohonan... Aku tak bisa menduga dimana kita berada di sini, kecuali, mungkin, jika legenda-legenda yang kita dengar benar adanya."

"Apa maksudmu?" tanya Arda.

"Aku juga menemukan ini," kata Hilgard sambil melemparkan satu kepingan emas pada Arda,"Perhatikan capnya."

Bintang bersisi tujuh dengan lambang 'Y' ditengahnya, sedikit banyak mengingatkan Arda pada lambang yang sekarang digunakan oleh Kerajaan Astel di selatan.

Milia mengintip lalu berseru tertahan, "Itu lambang Raja Agung Ythza!"

"Tepat sekali. Dan ini..," bersusah payah Hilgard mengangkat zirah bagian dada sang Eizen, menunjukkan lambang Bulan Sabit yang dikelilingi pijar mentari, "jika apa yang dulu kubaca benar, adalah lambang kerajaan sihir Sol Kreska"

"Tapi kukira..."

"Kau tak salah nak," Hilgard melanjutkan penjelasannya. "Hampir semua kastil dan menara yang dibangun Raja Agung Ythza telah hancur sebelum Magibel berakhir, sementara beberapa yang bertahan kini dikuasai dan diperebutkan oleh banyak kerajaan. Tapi seperti biasa, kita tak bisa mengambil kesimpulan yang tepat tanpa informasi yang sempurna. Tak seorang pun yang tahu pasti berapa jumlah kastil dan menara yang dibangun oleh Raja Agung Ythza."

"Tapi kastil sebesar ini..." protes Milia, "benar juga. Aneh rasanya bagaimana Kastil sebesar dan semegah ini bisa luput dari perhatian orang banyak dan tetap dibiarkan tak bertuan selama hampir seribu tahun."

"Tak bertuan?" dengus Arda, "Mungkin penguasa ksatil ini sudah lama mati, tapi setidaknya, dengan keberadaan para penjaga, itu membuktikan bahwa siapapun orangnya, manusia atau penyihir, saat ini dia masih memiliki kekuasaan atas kastil ini dan tidak rela kastil ini jatuh ataupun ditemukan orang lain."

"Begitulah. Tapi pertanyaannya adalah dimana kita saat ini?" kembali Hilgard tersenyum. Ia jelas sudah tahu jawabannya.

Arda tak berminat berpikir.

Milia, mengerutkan keningnya, tak lama kemudian menjawab, "Tak banyak hutan yang tersisa di Wesfall sejak Magibel. Highgreen yang terlebat sudah berubah menjadi padang rumput hitam Ashfield. Grimwood, Allbrown, dan Coppertree, luasnya sudah semakin menyusut, dan bisa dibilang sudah menjadi jalan pintas para pedagang dan pengembara (meski mereka tak pernah gembira jika harus melewati Grimwood). Jadi yang masih tersisa adalah Everwhite di utara dan Lightforest di Timur Jauh."

Milia mungkin tak sebodoh kelihatannya.

"Tapi selalu bersalju di Everwhite, dan pepohonan yang tumbuh di Lightforest tidak sama dengan pepohonan yang tumbuh di hutan-hutan lainnya..." Milia menggelengkan kepalanya, "Aku menyerah." Hilgard tertawa kecil, "Kau sudah berada di jalur yang tepat nona kecil, tapi kau belum menyebutkan semua hutan yang ada di Wesfall."

"Sungguh?" Milia tampak terkejut.

"Aku juga tak tahu ada hutan lain di Wesfall," komentar Arda.

"Tentu saja, karena hutan ini tak memiliki nama dan tak seorangpun yang yakin keberadaannya."

"Bagus sekali," Arda tersenyum sinis, "Hutan tak bernama yang tak berada dimanapun. Bagaimana kalau kau sebut saja hutan itu Hollowgreen?"

"Itu... bagus juga," jawab Hilgard, "Dalam legenda kuno sendiri hutan ini biasa disebut dengan nama Loswood."

"Ah saya pernah mendengar tentang hal tersebut," Milia kembali berseru. "Tapi hutan itu berada di Pulau Seba, dan tak ada pulau seperti itu di wilayah laut Wesfall"

"Bagaimana kalau pulau itu memang tak berada di lautan?"

"Kau tak akan bilang pulau itu Melayang di udara kan?" Arda mulai kesal dengan percakapan bertele-tele ini.

"Kau sungguh tak sabaran ya?" keluh Hilgard, "Hal ini mungkin sudah lama diketahui para penyihir walau seperti biasa mereka tak pernah banyak bercerita, tapi ada orang-orang tua di kampungku yang bukan penyihir, yang pernah mendengar cerita dari orang-orang tua dulu, ketika mereka masih kecil, tentang keberadaan sebuah pulau di tengah-tengah Danau Berkabut." "Mustahil..."

"Mengapa tidak?" Hilgard balik bertanya. "Belum ada orang di zaman ini, yang pernah menjelajahi Danau berkabut. Bahkan para nelayan di sekitarnya tak pernah terlalu jauh pergi mencari ikan, karena danau itu hampir selalu tertutup kabut tebal dan hampir mustahil berlayar di sana tanpa kehilangan arah. Tapi bagaimana di masa lalu? Bisa jadi saat itu danau itu belum tertutup kabut. Dan gerbang-gerbang sihir, seperti yang digunakan para penyihir untuk membawa kita kemari, pastilah masih lebih banyak dan lebih sering digunakan, walau saat ini bahkan para penyihir itu tampaknya kesulitan untuk membuat gerbang-gerbang itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya."

"Cukup," Arda memegangi keningnya, "Aku tak ingin mendengar lebih banyak lagi (seperti katamu) hal yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Tak peduli dimana kita berada saat ini, tak ada gunanya jika kita tak bisa keluar hidup-hidup. Sekarang mari kita periksa apa salah satu dari penjaga ini membawa kunci untuk membuka pintu-pintu terkutuk itu."