Amori:Volume01 Chapter04

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Penjaga

Malam tiba.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Milia dan Arda dapat mendengar langkah kaki berat dan tegas bergema di sepanjang lorong.

Sang penjaga sekali lagi telah terjaga dari tidurnya. Melangkah keluar dari tempat persembunyian mereka, kedua ksatria itu sudah mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi apapun. Tapi apa yang mereka temukan benar-benar ada di luar perkiraan mereka. Baik Arda maupun Milia, keduanya hanya bisa menahan napas, memandang takjub sosok yang akan mereka hadapi.

Tinggi besar mengancam, sosok itu tampak begitu anggun di bawah pendar sinar rembulan. Zirah berat terbuat dari besi hitam yang dikenakannya berkilau, tampak begitu kuat dan kokoh, menyelimuti hampir sekujur tubuh sang ksatria membuatnya seolah hampir tak tertembus senjata apapun. Di masing-masing tangannya ada sebilah pedang besar yang terhunus, tajam dan menantang. Entah bagaimana dengan Milia, tapi Arda nyaris tak bisa menahan gairahnya, mendapatkan kesempatan langka untuk berhadapan dengan sosok ksatria yang sudah jarang sekali terlihat konon semenjak berakhirnya Magibel.


Eizen, Ignos, dan Maris. Demikianlah Master Dalgor, pendiri salah satu dari delapan sekolah ksatria tradisional di wilayah utara, membagi ksatria, berdasarkan perlengkapan yang digunakannya, ke dalam tiga kelas utama.

Ignos, yang biasa juga disebut Eagle, adalah nama untuk kelas ksatria yang demi mengoptimalkan kecepatan dan ketangkasan mereka, memilih mengenakan pelindung tubuh yang amat ringan (biasanya terbuat dari kulit, atau tenunan rapat benang logam yang kuat namun lentur), atau lebih sering tidak sama sekali. Pedang yang dipilih pun adalah jenis pedang pendek yang ringan dan mudah digunakan sehingga memungkinkan mereka menggunakan dua pedang sekaligus dalam pertarungan. Selain pedang, senjata lain yang menjadi pilihan para Ignos adalah busur dan tongkat api.

Maris atau Wulf adalah kelas ksatria yang paling umum. Memilih keseimbangan sebagai prinsip utamanya, Para Maris menggunakan pakaian pelindung secukupnya. Dalam keadaan perang para Maris sering terlihat mengenakan pelindung dada dan pundak, juga lengan dan kaki, helm logam, dan bahkan beberapa menggunakan perisai.

Berbeda dengan apa yang disangka sebagian besar orang, zirah logam lengkap, seperti yang biasa digunakan para Maris yang bekerja sebagai ksatria kerajaan, tidak lebih berat dari setengah karung gandum (sekitar 10-15 kg), dan didesain sedemikian sehingga tidak terlalu menghambat pergerakan sang Maris. Untuk mempertahankan kegesitan mereka, para Maris biasanya menggunakan sebilah pedang panjang sebagai senjatanya, yang dapat digenggam baik dengan satu ataupun dua tangan. Para Maris juga terampil menggunakan hewan tunggangan dan berbagai senjata lain semisal Busur Besar, ataupun tombak yang ringan.

Yang terakhir dan yang paling jarang dijumpai adalah Eizen yang oleh para ksatria lain juga dijuluki Dragoon. Kelas ksatria ini memilih menggunakan zirah berat untuk memaksimalkan pertahanan, juga senjata-senjata dengan kemampuan perusak yang amat tinggi. Pedang Besar, Tombak Logam, Kapak, Gada, dan bahkan Meriam Genggam adalah beberapa senjata yang digunakan oleh para Eizen. Dan walaupun mobilitas mereka rendah, daya hancur dan pertahanan yang mereka miliki menjadikan mereka lawan yang amat disegani dalam sebuah pertempuran.

Tapi bahkan di masa lalu pun, jumlah Eizen tak pernah sebanyak dua kelas ksatria yang lain. Selain karena perlengkapan yang mereka gunakan sangat mahal dan relatif sulit dibuat, tak banyak yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menjadi seorang Eizen. Saat ini hanya di sekolah-sekolah tradisional yang dibiayai oleh kerajaan-kerajaan saja dapat ditemukan satu dua orang Eizen, dan karena seringkali tugas mereka adalah sebagai penjaga istana sekaligus pengawal keluarga kerajaan, maka tak mengherankan jika sangat jarang sekali ada kesempatan bagi kebanyakan ksatria untuk bertemu dan, terlebih lagi, menantang seorang Eizen dalam sebuah pertarungan.


Arda menyeringai.

Milia tidak.

Karena bagaimanapun, seingat Milia, para pengajar di sekolahnya dulu pernah mengatakan bahwa kemungkinan untuk seorang Wulf ataupun Eagle untuk mengalahkan Eizen dalam pertandingan resmi, satu lawan satu, hampir sama langkanya dengan kemungkinan munculnya mahkota purnama. Terlebih lagi, salah satu pengajar yang lebih tua dari yang lain, juga menambahkan bagaimana dulu ia pernah menyaksikan bagaimana seorang Eizen, tanpa bantuan siapapun, dapat mengalahkan belasan Wulf terlatih dalam sebuah upaya kudeta yang pada akhirnya berhasil digagalkan.

"Saya tak yakin ini ide bagus Pak," gumam Milia sambil menghunus kedua pedangnya.

"Kau belum pernah berhadapan dengan Eizen sebelumnya?"

"Jujur saja, ini bahkan pertama kalinya saya melihat Eizen secara langsung."

"Sama denganku," komentar Arda, "Tapi Kuharap kau tak keberatan jika aku menantangnya terlebih dulu."

Milia memandang Arda dengan muram. Sekali lagi terlintas di benaknya keraguan tentang kewarasan rekannya tersebut, walau sudah berkali-kali pula ia mendengar cerita tentang ksatria-ksatria yang begitu tergila-gila dengan pertarungan, menantang ksatria-ksatria lain dalam sebuah pertandingan, baik untuk mendapatkan kemahsyuran ataupun sekedar untuk menguji batas kemampuan yang mereka miliki. Ia tak benar-benar yakin, tapi tampaknya Arda juga memiliki kecenderungan yang sama dengan ksatria-ksatria yang memilih menempuh Jalan Pedang tersebut.

"... Uhh silakan," kata Milia, "tapi saya yakin orang ini tak berminat dengan sebuah pertandingan resmi, jadi tanpa bermaksud meremehkan kemampuan anda, saya akan berusaha membantu anda jika saya anggap hal itu diperlukan."

"Itu..." Arda menghunus pedangnya lalu mengenggamnya dengan kedua tangannya, "masuk akal."

Tapi bahkan sebelum Arda sempat menyempurnakan kuda-kudanya, sang penjaga sudah berlari, dengan kecepatan yang menakjubkan, sambil mengayunkan kedua pedang besarnya ke arah Arda dan Milia.

Keduanya melompat menghindar tepat pada waktunya, mengambil posisi berjauhan sehingga mau tak mau sang penjaga hanya dapat menyerang salah satu dari mereka dalam satu waktu.

Atau begitulah rencana mereka pada mulanya. Karena saat ini dari sudut lain lorong, melangkah dengan tenang, sesosok penjaga, kali ini seorang Maris dengan zirah ringan yang lengkap yang juga terbuat dari logam hitam, dengan sebuah Halberd sebgai senjatanya.

Milia mengeluh. Lalu sementara Arda kembali melompat menghindari ayunan pedang sang Eizen, ia pun mulai berlari menyongsong sang Maris yang perlahan mendekat. Samar-samar ia bisa mengingat apa yang dulu dipelajarinya di sekolah, tentang bagaimana menghadapi lawan yang mengenakan zirah lengkap.


Ada dua hal yang mesti diperhatikan ketika melawan ksatria yang mengenakan zirah lengkap. Yang pertama adalah, kecuali menggunakan tombak, atau ketika mengendarai hewan tunggangan, menyerang bagian tubuh yang ditutupi zirah bukanlah ide yang bagus, karena, tergantung dari kualitas zirah yang dikenakan musuh dan senjata yang digunakan untuk menyerang, sangat kecil kemungkinan serangan itu akan melukai musuh. Sementara yang kedua, sebisa mungkin optimalkan kelebihan yang dimiliki dan memanfaatkan kelemahan lawan yang muncul disebabkan penggunaan zirah lengkap tersebut. Beratnya zirah sedikit banyak akan membatasi ketangkasan sang ksatria, sementara penggunaan helm akan mengurangi jangkauan pandangannya.

Kedengarannya sederhana, tapi kenyataannya tidaklah semudah itu. Alih-alih melakukan serangan, saat ini Milia bahkan harus bersusah payah menghindari ayunan halberd sang penjaga. Keadaan Arda sendiri tak jauh lebih baik. Kedua lengannya bahkan masih gemetar setelah pada satu kesempatan ia terpaksa menangkis ayunan pedang sang Eizen dengan pedangnya sendiri. Ayunan yang mungkin mampu mematahkan pedang-pedang lain yang kualitasnya lebih rendah. Kesabaran dan keteguhan. Baik Arda dan Milia tahu bahwa dalam kondisi mereka saat ini, tak banyak yang dapat mereka lakukan kecuali menghindari sebisa mungkin serangan lawan mereka sambil menunggu datangnya kesempatan.

Milia beruntung. Setelah hampir saja kehilangan nyawanya saat sang lawan menusukkan Halberdnya dengan cepat ke arahnya, ia akhirnya berhasil mendekati sang lawan yang kini telah masuk ke dalam jangkuan pedangnya, dan sebelum sang ksatria sempat menarik kembali Halbernya, dengan sebuah tebasan yang tajam dan akurat ia pun berhasil memotong lengan sang ksatria tepat pada persendiannya yang tak terlindung zirah.

Suara dentingan ketika potongan zirah sang ksatria terjatuh ke lantai bergema di sepanjang lorong. Tapi tak ada jerit kesakitan yang terdengar. Juga tak setetes darahpun yang menetes. Milia terkesiap. Zirah itu kosong melompong! Dan menambah keterkejutannya, entah bagaimana potongan-potongan zirah yang berserakan di lantai itu melayang, lalu perlahan-lahan menyatu kembali membentuk sosok ksatria yang sama dengan sebelumnya.

Maka secepat kilat, Milia pun segera meraih Halberd sang lawan lalu membuangnya keluar lewat jendela. Setidaknya hal itu akan membuat pertandingan sedikit lebih adil.


"Saya rasa mereka bukan manusia!" serunya pada Arda.

"Aku tahu!" gerutu Arda yang saat itu tengah berlari dan melompat menghindari ayunan-ayunan pedang sang Eizen, "Dan lain kali, daripada membuang senjatanya, mungkin akan lebih berguna kalau kau membuang kepala atau potongan kakinya."

Jika bisa saat itu Milia pasti sudah menepuk dahinya keras-keras. Bagaimana ia bisa sebodoh itu? Lalu seolah keadaan belum cukup buruk, dari kedua sudut lorong, melangkah beberapa Maris, sama seperti yang tengah di lawan Milia saat itu, perlahan namun pasti membawa, ancaman kematian bagi kedua ksatria tersebut.

"Sepertinya kita akan mati di sini Pak!" Milia kembali berseru.

Arda mendengus kesal. Tak perlu berteriak hanya untuk memberitahukan apa yang sudah begitu jelas terlihat.

Tapi setidaknya Arda ingin mengalahkan sang Eizen sebelum ia menemui ajalnya.

Dan berhubung sepertinya tak banyak harapan bahwa ia akan bertahan hidup, Arda pun memilih mengambil resiko terakhir.

Alih-alih menghindar menjauh, pada serangan sang Eizen yang terakhir Arda memilih berguling ke depan, hampir-hampir kehilangan kepalanya, dan setelah itu dalam upaya yang nekat menusukkan pedangnya pada celah kecil yang memisahkan bagian helm dan tubuh dari zirah berat yang dikenakan sang Eizen.

Tidak buruk.

Meski tampaknya serangan itu tak cukup mematikan bagi sang Eizen yang jelas bukan manusia, tapi paling tidak untuk pertama kalinya lawan Arda itu menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang terganggu. Membuang sebelah pedangnya, sang Eizen, dengan tangan kirinya meraih leher Arda lalu melemparkannya begitu saja ke dinding.

Tapi belum sempat ia menarik pedang Arda yang masih menancap di lehernya, sesosok ksatria, entah darimana, rupanya telah berhasil menerobos masuk, mendahului para penjaga, lalu berlari kencang menerjang sang Eizen, dan dengan sebuah tendangan yang tepat pada sasaran, berhasil menghempaskan pedang di tangan kanan Dragoon tersebut.

"Hilgard?" seru Arda terkejut.

"Nanti saja berbincangnya," keluh Hilgard, "Aku membutuhkan bantuanmu di sini."

Arda mengangguk, kemudian, dengan sisa-sisa terakhir tenaganya, ia pun menubrukkan dirinya ke kaki sang Eizen, menggoyahkan keseimbangannya dan menjatuhkannya ke lantai. Hilgard, tak membuang kesempatan tersebut, segera meraih pedang Arda, lalu dengan menggunakannya selayaknya sebuah pengungkit ia pun berhasil memisahkan Helm sang Eizen dari tubuhnya.

Hasilnya fenomenal.

Sebentuk asap hitam bergulung keluar dari setiap persendian sang Eizen menyebar ke seluruh penjuru lorong sebelum akhirnya menghilang tersapu angin malam yang bertiup melalui jendela kastil.

Di saat yang sama, terdengar dentangan berulang kali, saat satu persatu para Maris, penjaga kastil yang datang mendekat, seolah-olah kehilangan jiwa mereka dan kembali menjadi potongan-potongan zirah yang kosong melompong.