Amori:Volume01 Chapter01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Gerbang

Nono bilang ini cuma sebuah permainan.


Memang benar sih, tapi seingat Arda, penyihir itu tak pernah mengatakan padanya bahwa akan ada orang yang mati di dalamnya. Dan seandainya Arda tahu hal itu lebih awal, tentu ia tak akan mau mempertaruhkan nyawanya mengikuti permainan konyol para penyihir ini bahkan seandainya dihadiahi mahkota Avalon sekalipun.

Sambil menyumpah-nyumpah, sekali lagi Arda terpontang-panting berlari berusaha semampunya menghindari semburan-semburan bola api hijau tumbuhan Dragon-Snap yang tumbuh dengan lebat di sekeliling kastil. Untung saja makhluk-makhluk itu tak bisa bergerak terlalu jauh dengan akar mereka yang tertancap dalam di tanah.

"Gerakan bagus nak," seru seorang ksatria tua yang juga bersembunyi dibalik sisa reruntuhan tembok luar kastil tak jauh dari tempat Arda berada saat ini.

"Ini benar-benar tak masuk akal," gerutu Arda.

Ksatria tua itu terkekeh. "Yep, kukira tumbuhan itu sudah punah beberapa waktu yang lalu ketika para penyihir membumihanguskan seentaro belantara Highgreen"

"Beberapa waktu lalu?" Arda mengerutkan keningnya, "Aku tak pernah dengan kalau para penyihir lah yang mengubah Highgreen menjadi padang hitam, tapi sepengetahuanku, terlepas dari apa atau siapa yang melakukannya, kejadian itu sudah berlalu berabad-abad yang lalu."

Kini ganti ksatria tua yang mengerutkan keningnya, lalu menatap Arda dengan tatapan simpati, "Apa kau tadi tanpa sengaja membenturkan kepalamu nak?"

Arda mendengus, tapi cukup maklum, mengingat orang tua memang sering bingung dengan ingatannya sendiri. Ia jadi bertanya-tanya siapa penyihir bodoh yang memilih ksatria setua itu untuk mewakilinya dalam permainan konyol ini.

Lupakan saja.

"Jadi mengapa para penyihir melakukannya?" tanya Arda. Ia tak bisa menyembunyikan keingintahuannya, meski di saat yang sama ia tak terlalu berharap akan mendapatkan jawaban yang masuk akal dari ksatria pikun itu.

"Melakukan apa?" si ksatria tua balik bertanya.

Betul kan.

"Uhh membumihanguskan seentaro Highgreen?" keluh Arda.

"Oh itu," Si ksatria tua kini sedang mengambil ancang-ancang, sekali lagi berusaha menerobos masuk ke dalam kastil melewati gerombolan Dragon-Snap yang tampaknya sudah cukup puas setelah berhasil membantai beberapa orang ksatria.

"Sama seperti mengapa mereka memusnahkan para naga nak, para penyihir itu tak pernah suka pada sesuatu yang tak bisa mereka kendalikan."

Lalu melampaui imajenasi Arda yang paling liar sekalipun, ksatria tua itu berlari, melompat, berguling, mengayunkan pedang dan perisainya dengan lihai, seolah-olah ia baru berusia belasan tahun dan dalam kondisi yang amat sangat prima.

Dan beberapa saat kemudian dengan sebuah loncatan yang penuh resiko ia pun berhasil menyebrangi parit yang mengelilingi kastil dan mendarat dengan selamat tepat di depan gerbang kastil.

Kemudian untuk menambah kekesalan Arda, ksatria tua itu berbalik, lalu sambil tersenyum mengejek berseru, "Kemarilah nak! Jangan bilang kau takut pada tumbuhan liar dan genangan air."

Lalu sambil melompat menghindari semburan dari para Dragon-Snap yang murka, ksatria tua itu pun menghilang ke dalam kastil sambil tertawa terbahak-bahak. "Abayo!" serunya nyaring.


"Apa dia kenalanmu?" Salah satu ksatria lain dengan wajah murung dan ekspresi takjub berjalan menghampiri Arda.

"Tidak juga," gumam Arda.

"Menyebalkan sekali," lanjut Ksatria itu "tapi dia adalah orang kedua yang berhasil masuk ke dalam kastil terkutuk itu."

"Astaga," keluh Arda, "Apa menurutmu kita masih punya kesempatan?"

"Siapa tahu," Sang ksatria mengangkat bahu, "Mungkin saja, jika kita dapat segera masuk ke sana. Tapi mengingat saat ini kita baru berada di gerbangnya, dan kita sudah kesulitan seperti ini, aku ragu keadaan di dalam akan lebih baik."

Arda menghela napas panjang, "Menyerah?" tanyanya.

Sang ksatria tersenyum kecut, "Kukira sudah terlambat untuk itu."

"Kalau begitu apa yang kita tunggu?" tanya Arda, "Ayo maju."

Tapi sebelum ia sempat melangkahkan kakinya ksatria itu memegang pundaknya sambil menggelengkan kepalanya.

"Itu bunuh diri namanya."

"Jadi?" tiba-tiba saja Arda jadi kesal dengan ksatria itu, "Kau bilang tak ingin menyerah, tapi kau juga tak ingin maju, apa sih maumu sebenarnya?"

Sang ksatria kembali tersenyum kecut, "Aku mungkin tak sekuat engkau atapun ksatria-ksatria lainnya, tapi sejujurnya saja, kadang aku berpikir bahwa akulah satu-satunya ksatria yang mau menggunakan otaknya."

Cukup.

Ini sudah keterlaluan.

Arda menghunus pedangnya ke arah ksatria itu.

"Jangan terburu-buru," keluh sang ksatria, "Aku mungkin punya cara agar kita semua dapat masuk."

"Nah katakan saja," geram Arda, "Aku mungkin akan memafkan perkataanmu jika menurutku rencanamu masuk akal"

Sang ksatria mengalihkan pandangannya.

Arda pun menoleh ke arah yang sama dengan ksatria itu.

Di sana, di puncak bukit, tampak sebongkah batu raksasa, putih menyilaukan tertimpa cahaya mentari.

Arda mengumpat lalu menyarungkan kembali pedangnya. Meski enggan, ia terpaksa mengakui bahwa, seperti yang dikatakan ksatria itu, ia tampaknya memang mesti lebih sering menggunakan otaknya.

"Tapi kita tak mungkin melakukannya berdua kan?" tanya Arda lagi.

Sang ksatria kali ini tersenyum gembira, "Kita beruntung tak semua orang seberani dan senekat dirimu. Kukira beberapa kawan kita sudah berpikir untuk menyerah sekarang."

Itu benar.

Sementara mereka berdua berbincang-bincang, Ksatria-ksatria lain tampaknya sudah kehilangan semangat untuk masuk ke dalam kastil, beberapa karena memang sudah terluka cukup parah, namun lebih banyak karena merasa ngeri melihat rekan-rekannya hangus terbakar tadi.

Sore itu, setelah bekerja keras sesiangan, para ksatria, bergantian, berlari secepat yang bisa mereka lakukan melewati jembatan yang baru saja mereka buat dengan menggulingkan batu raksasa di puncak bukit tadi. Usaha yang meski jauh lebih mudah dari sebelumnya, tetap saja memakan beberapa korban jiwa.


"Kurasa sebaiknya kita beristirahat dulu malam ini," saran sang ksatria pada Arda.

"Yeah, tapi bagaimana dengan mereka?" Arda melirik ke arah gerombolan ksatria lain yang juga berhasil masuk ke dalam kastil.

"Entahlah, bagaimanapun permainan ini bukanlah permaianan tim. Cepat atau lambat, kurasa kita mesti bersaing satu sama lain untuk menjadi juaranya."

"Dan aku ragu di dalam sini kerja sama seperti tadi dapat dilakukan," Arda mengangguk menyetujuinya.

"Jadi kurasa kita mesti berpisah dulu di sini," sang ksatria membungkuk hormat lalu masuk ke bagian dalam kastil.

"Tunggu sebentar, Namaku Arda Roan Karanis, dan aku minta maaf atas perkataan kasar ku tadi." Sang ksatria menoleh sambil tersenyum, "Hilgard Braga Asvalen. Dan kurasa kita akan bertemu lagi. Abayo."

Arda menghela nafas panjang lalu memandang ke puncak menara tertinggi di kastil itu. Rasanya masih lama sebelum ia dapat sampai ke sana dan mudah-mudahan ia masih hidup sampai saat itu tiba.

Sementara itu, seiring dengan tenggelamnya matahari, dari sudut-sudut tergelap kastil, keluarlah sosok-sosok ksatria dengan zirah sehitam malam dan pedang-pedang yang berkilau di bawah pendar rembulan.